Dialog Antariman pada Hari Kartini 2022: Mencapai Kesetaraan Gender dan Toleransi atas Perbedaan25/4/2022
Indonesia merupakan negara majemuk. Perbedaan menjadi keseharian masyarakatnya, termasuk juga perbedaan agama. Namun, perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu konflik antarmasyarakat. Lebih dari itu, institusi agama dapat mencengkram kebebasan dan memelihara budaya kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, diperlukan upaya dari semua pihak untuk berdialog bersama guna mencapai toleransi dan kesetaraan. Membahas isu tersebut sekaligus memperingati Hari Kartini, Institut Leimena bersama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Agama, Perempuan, dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya” pada Kamis lalu (21/4/2022) secara dalam jaringan (daring). Acara ini diisi oleh narasumber berkualitas, yaitu Dr. Inayah Rohmaniyah, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga), Prof. Katherine Marshall (Vice President G20 Interfaith Association), Dwi Rubiyanti Kholifah (Asian Muslim Action Network Indonesia – AMAN Indonesia), Dr. Chris Seiple (University of Washington), Pdt. Mery L.Y. Kaliman (Gereja Masehi Injil di Timor), dan dimoderasi oleh Hasna Safarina Rasyidah, M.Phil.
Matius Ho (Direktur Eksekutif Institut Leimena) memberikan pembuka dengan menyinggung agama sebagai berkat bagi seluruh manusia. Ia juga menyatakan, laki-laki dan perempuan diciptakan setara. Selanjutnya, Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag. M.A.(Rektor UIN Sunan Kalijaga) memberikan pidato kunci. Dalam pidatonya, ia menyebut bahwa Indonesia merupakan bangsa yang diberkahi oleh keragaman. Keragaman tersebut perlu dipahami sebagai kapital untuk perkembangan dan kemajuan bangsa. Salah satu bentuk keragaman adalah pakaian perempuan Indonesia yang menunjukkan ciri pemikiran, tradisi, dan budaya yang tidak selalu terikat pada identitas religiusnya. Inayah Rohmaniyah memberikan paparan pertama mengenai perspektif transdisiplin dan literasi keagamaan lintas budaya. Menyinggung Hari Kartini, ia memaknai Kartini sebagai guru yang mengajarkan tradisi berpikir kritis dalam beragama. Inayah menyampaikan, dalam Islam terdapat nilai-nilai universal, di antaranya kesetaraan, persaudaraan, keadilan, rasional, humanis, antikekerasan, dan lainnya. Begitu pula kedudukan gender dalam Islam, dimana tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, teks Alquran sebagai kitab suci umat Muslim tidak melegitimasi pembedaan terhadap manusia. Karena itu, untuk menghasilkan tafsir yang ramah perempuan, cendikiawan Muslim harus mencari referensi yang adil dan setara. Melanjutkan paparan Inayah, Katherine Marshall menyinggung bagaimana masalah perempuan dibahas dengan emosi, bukan logika. Masalah-masalah perempuan pun kebanyakan dibahas dalam ranah personal saja. Karena itu, kita harus tegas dalam melawan kekerasan terhadap perempuan, khususnya melalui institusi keagamaan. Tidak jarang, justru institusi keagamaan memiliki citra sebagai institusi yang melindungi perilaku kekerasan terhadap perempuan. Salah satu cara untuk mengentaskan budaya kekerasan dalam institusi keagamaan adalah dengan memberikan kesetaraan pendidikan bagi perempuan. Sehingga perempuan dapat mengenali perlakuan berbahaya yang diterimanya sebagai suatu hal yang harus dilawan. Dwi Rubiyanti Kholifah turut memberikan pandangannya mengenai isu perempuan dan agama. Baginya, beragama berarti harus membawa kebahagiaan bagi setiap orang. Identitas keagamaan juga tidak dapat dipisahkan dengan identitas budaya seseorang. Oleh karena itu, penting untuk beragama secara terbuka, tanpa menghilangkan identitas kita sebagai masyarakat Indonesia. Rubiyanti menyinggung rekonsiliasi perempuan-perempuan antariman di tingkat akar rumput sebagai sebuah jalan untuk mencapai kedamaian. Dialog antariman dapat membiasakan kemampuan mendengarkan seseorang, tanpa menghakimi pilihan-pilihannya. Paparan disambung oleh Chris Seiple, yang menyebut fakta bahwa peran perempuan penganut agama masih direndahkan dalam hubungan internasional. Walaupun begitu, perempuan sendiri memainkan peran penting dalam keberlanjutan dan pembangunan suatu negara. Chris menyampaikan bahwa terdapat misinterpretasi dari Al-Qur’an, sehingga banyak yang menganggap Islam membedakan hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Nyatanya, tiada ayat dalam Al-Qur’an yang melarang perempuan berpikir kritis dan meraih pendidikan tinggi. Pdt. Dr. Mery Kolimon memaparkan materinya dalam perspektif teologi Kristen feminis, sekaligus menutup sesi materi dalam diskusi publik ini. Perempuan asal Timor itu menyampaikan, kitab Perjanjian Lama ditulis oleh laki-laki dalam masyarakat yang didominasi laki-laki, sehingga hanya menggambarkan dunia laki-laki. Sementara perempuan digambarkan hanya sebagai istri dan ibu yang harus dilindungi laki-laki. Hal tersebut berubah pada kitab Perjanjian Baru, dimana banyak perempuan dihadirkan. Hari ini, tantangan yang muncul adalah untuk merekonstruksi kekristenan, dengan memperkenalkan ajaran agama yang dipenuhi unsur kebudayaan lokal dan kesetaraan gender. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |