Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM

3/1/2024

 
PictureDok. KAPAL Perempuan
     ​“Perempuan tidak boleh ditinggalkan, suara perempuan menentukan”

     Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi mengadakan deklarasi bertajuk perempuan penyelamat demokrasi dan HAM pada Jumat (22/12/2023) yang bertempat di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat. Deklarasi ini diselenggarakan berbarengan dengan memperingati Hari Gerakan Perempuan Indonesia yang ke-95 dengan melibatkan suara 30 organisasi perempuan dan intelektual lainnya yang prihatin atas lemahnya keberpihakan visi, misi, serta agenda yang diusung oleh calon kandidat presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2024-2028.

     Koalisi yang didukung oleh 304 organisasi masyarakat sipil dan aktivis perempuan ini kemudian membuat pernyataan sikap yang dibagi ke dalam tujuh catatan kegentingan perempuan didasari oleh situasi politik gaduh yang jauh dari demokratis dan utamanya tidak memprioritaskan bahkan mempertimbangkan kepentingan perempuan. Ketujuh catatan kegentingan perempuan disampaikan oleh tujuh perwakilan organisasi sebagai deklarator.

     Pertama, Anis Hidayah sebagai Komisioner Komnas HAM menyampaikan deklarasi di bawah isu rawannya demokrasi: nepotisme, oligarki korupsi dan penyalahgunaan kewenangan melalui hukum dan perapuhan lembaga-lembaga demokrasi (MK, KPK, dll). Ia menyatakan bahwa kegentingan demokrasi ditandai dengan situasi politik yang mencerminkan praktik pelanggaran etika politik, korupsi, dan nepotisme. Kondisi ini berdampak salah satunya pada buruknya keadilan gender di Indonesia.

     Kedua, Ika Ayu sebagai Ketua Save All Women and Girls mendaklarasikan isu hak sipil dan politik perempuan atas representasi perempuan di parlemen dan situasi perempuan pembela HAM. Diskriminasi gender berlapis yang dialami perempuan menurutnya kurang dianggap sebagai dampak dari minimnya partisipasi perempuan dalam ruang politik. Sementara upaya affirmative action yang dijamin oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai ratifikasi CEDAW seringkali dihambat oleh kepentingan partai politik yang patriarkis, isu perempuan yang hanya sebagai isu pelengkap serta politik dinasti yang tidak mempertimbangkan kualitas dalam aksi pemberdayaan perempuan dan demokrasi sehingga tidak mampu mengupayakan perempuan secara substansial.

     Ketiga, isu pemiskinan perempuan dideklarasikan oleh Budhis Utami dari KAPAL Perempuan. Ia menyampaikan bahwa masalah ini secara sistematis berangkat dari asumsi bias gender. Kebijakan pemberdayaan ekonomi misalnya bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal yang merupakan tempat perempuan mencari penghidupan sekaligus mengelola rumah tangga sering kali didekati sebagai kegiatan usaha kaum laki-laki saja. Selain itu, kemiskinan yang terjadi pada pekerja perempuan rentan disebabkan oleh berbagai eksploitasi di area domestik dan kerja publik. Eksploitasi ini menurut deklarator dilanggengkan dengan sistem upah murah dan eksklusifivitas perlindungan sosial dari jaminan sosial, bantuan sosial dan layanan lainnya sekaligus pelanggaran hak reporduksi perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan cuti melahirkan.

     Keempat, isu pengabaian atas kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi perempuan dideklarasikan oleh Nanda Dwinta Sari dari Yayasan Kesehatan Perempuan. Ia menyoroti pelanggaran berupa kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual dalam memperoleh layanan serta praktik sunat perempuan yang masih langgeng terjadi hingga kini. Walaupun Indonesia telah melaksanakan hak HKSR yang bebas dari diskriminasi dan kriminalisasi tetapi nyatanya langkah ini belum memadai dalam memenuhi hak reporduksi perempuan. Ia kemudian melihat kurangnya layanan kesehatan yang responsif gender terutama bagi perempuan disabilitas. Dengan demikian, ia melihat calon presiden telah mengabaikan banyak hal seperti hak hidup untuk anak berkembang, angka perkawinan anak yang tidak turun, penanganan stunting yang tidak menimbang perihal soal relasi kuasa, akses dan kontrol perempuan pada ekonomi keluarga.

     Kelima, Yuni Warlif sebagai perwakilan Solidaritas Perempuan mendaklarasikan isu ketidakadilan iklim, politik lingkungan eksploitatif, ketidakadilan pangan dan transisi energi yang meminggirkan perempuan. Ia melihat betapa patriarkisnya cara pemerintah dalam pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Padahal ekonomi pro-oligarki ini menjadi biang masalah yang telah menguras sumber daya alam dan berdampak pada kehidupan perempuan. Dalam hal ini, akses perempuan sering terpinggirkan. Kondisi ini menurutnya dapat menghilangkan pengetahuan dan pengalaman perempuan beserta kearifan-kearifan lokal. Padahal banyak dari perempuan yang kehilangan sumber penghidupannya dan tentunya akan berdampak pada krisis pangan, bahkan juga ikut memaksa mereka untuk bekerja di luar negeri.

     Keenam, Listyowati dari Kalyanamitra mendeklarasikan isu keberagaman identitas dan interpretasi yang mendiskriminasi perempuan. Ia menegaskan bahwa pelanggaran kebebasan sipil dan politik yang dibiarkan melanggar hak asasi dasar yang tercatut dalam perundang-undangan dan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif. Setidaknya terdapat 300-400 Perda diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, negara telah abai terhadap perempuan dengan tidak memperhatikan keragaman suku, agama termasuk kondisi sosial dan ekonomi mereka.

     Ketujuh, isu terakhir berjudul penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tak tuntas dideklarasikan oleh Mutiara Ika sebagai Ketua Perempuan Mahardhika. Ia menyatakan bahwa bangsa kita memiliki luka sejarah yang besar terkait pelanggaran HAM di masa lalu, dimana korbannya mengalami trauma, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya, bahkan diabaikan oleh pemerintah. Hak mereka atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan dengan prinsip keadilan gender terutama bagi korban perempuan.  Mereka belum menerima hak mereka hingga hari ini, walaupun telah diperjuangkan selama lebih dari puluhan tahun.
 
     Dengan kondisi kegentingan ini, maka Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM menuntut:
  1. Ditegakkannya demokrasi dan supremasi hukum serta pelaksanaan pemilihan umum baik legislatif maupun pemilihan presiden langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta menjamin netralitas Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia, dan Aparatur Sipil Negara.
  2. Para calon presiden dan wakil presidan wajib menjamin pemenuhan hak sipil dan politik perempuan serta representasi perempuan di parlemen dan pemenuhan HAM sebagai agenda prioritas.
  3. Calon presiden dan wakil presiden menempatkan penghapusan praktik pemiskinan perempuan dan memastikan pemenuhan hak ekonomi, sosial budaya; memberi dukungan terhadap pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), perlindungan bagi pekerja infomal baik pekerja rumahan, memastikan adanya UU perlindungan pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja perawatan dan pengasuhan tak berbayar serta memberikan perlindungan sosial yang komprehensif.
  4. Calon presiden dan wakil presiden menindaklanjuti implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pembuatan peraturan turunan serta memperkuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi semua perempuan dan semua perempuan korban kekerasan seksual.
  5. Calon presiden dan wakil presiden berjanji untuk menerbitkan kebijakan tentang keadilan iklim, penghapusan praktik pengelolaan lingkungan yang eksploitatif serta menyusun Rencana Aksi Nasional perubahan iklim yang responsif gender, inklusi disabilitas dan inklusi sosial.
  6. Menghapuskan semua praktik diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, perempuan lanjut usia, perempuan kepala keluarga, dan perempuan marjinal lainnya. Penuntasan penyelesaian pelanggaran 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh negara termasuk kekerasan seksual pada perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.
 
     ​Konklusi: Perwujudan demokrasi akan terwujudkan jika seluruh perempuan dari seluruh golongan umur dilibatkan. (Lisa Aulia)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025