Menanggapi isu transisi energi yang mempengaruhi hak atas tanah di Indonesia, Yayasan Lembaga Tropika Indonesia (LATIN) yang bekerja sama dengan Perkumpulan HuMa Indonesia mengadakan diskusi dengan tajuk utama “Reforma Agraria dan Pemenuhan Hak Rakyat di Kawasan Hutan”. Diskusi yang merupakan seri keempat dari rangkaian diskusi Angkringan Hutan Jawa ini diadakan pada Kamis (21/12/2023) dengan menghadirkan Linda Rosalina sebagai moderator, dan pada pembahasan transisi energi menghadirkan Mimin Dwi Hartono selaku Analis Kebijakan Ahli Madya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pembicara. Pada awal diskusi, Linda menjelaskan bahwa diskusi sesi ini akan membahas tiga poin. Poin pertama terkait dengan masalah reforma agraria yang telah ada sejak zaman kolonial, “Jejaknya bisa kita lihat pada hutan Jawa dengan hadirnya Perhutani,” jelas Linda. Kedua, diskusi akan berdasar pada tesis dari Nancy Peluso dalam buku Hutan Kaya, Rakyat Melarat, yang mengemukakan bahwa kemiskinan rakyat di sekitar kawasan hutan disebabkan dari scientific forestry (kehutanan ilmiah), yaitu paradigma pengelolaan hutan berwatak kolonial yang bercorak anti-manusia. Diskusi ini hendak melihat apakah tesis tersebut masih berlaku atau tidak. Terakhir, diskusi akan membahas situasi terkini agraria kehutanan, khususnya di hutan Jawa.
Sesi selanjutnya diisi oleh Mimin Dwi Hartono yang membawakan topik keadilan hak atas tanah dan transisi energi di pulau Jawa. Mimin memulai topik dengan memaparkan data aduan pelanggaran HAM Agraria dan SDA yang diterima Komnas HAM dari periode 2021–2023. Berdasarkan data Komnas HAM, sebanyak 535 kasus diadukan pada Komnas HAM, dengan tiga hak yang paling banyak dilanggar adalah hak atas kesejahteraan dengan 477 kasus pada tahun 2023, kemudian hak memperoleh keadilan dengan 35 kasus pada tahun 2023, dan hak atas rasa aman dengan 11 kasus pada 2023. Dari semua kasus tersebut, empat aktor utama yang paling banyak dilaporkan adalah Kepolisian, Korporasi, Pemda, dan Pempus. Kasus-kasus ini, apabila ditarik akarnya, paling banyak diisi oleh permasalahan lahan. Pembahasan kedua beralih menuju perubahan iklim. Menurut Mimin, hutan merupakan salah satu sektor yang banyak berpengaruh terhadap perubahan iklim baik pada konteks deforestasi maupun penggunaan hutan sebagai alternatif untuk mencegah pemanasan global. Akibat perubahan iklim ini Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas akan terancam tenggelam karena naiknya permukaan laut maupun abrasi, sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat secara umum. Terkait dengan isu perubahan iklim, negara-negara di dunia mulai menciptakan kebijakan-kebijakan yang diharapkan akan mencegah perubahan iklim yang berdampak negatif, termasuk Indonesia. Mimin kemudian mengangkat beberapa konferensi dan deklarasi yang menjadi transisi energi di Indonesia. Pada tahun 2015, Indonesia mulai terikat pada Perjanjian Paris yang yang mengharuskan Indonesia untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim agar suhu global tidak melampaui 1,5° C yang bisa menyebabkan kekeringan dan peningkatan bencana global. Kemudian pertemuan United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, dimana 198 negara bersepakat segera mengakhiri secara bertahap energi fosil. Kemudian Deklarasi Bali yang dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada tahun 2022, di mana terdapat dua poin khusus terkait sektor energi, yaitu mempercepat dan memastikan transisi energi yang berkelanjutan, adil, terjangkau, dan investasi inklusif. Selanjutnya adalah kebijakan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan Indonesia secara garis besar yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Tingkat Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020–2024 terutama dalam Prioritas Nasional 6, yakni membangun lingkungan yang meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta dalam rancangan RPJMN 2024–2019 untuk membangun ekonomi ekonomi hijau. Dalam usaha untuk mengupayakan adanya transisi energi ini, ada beberapa komitmen pemerintah yang direncanakan harus tercapai. Mimin menjelaskan bahwa, “Pemerintah berkomitmen mencapai net zero emission,” komitmen ini direncanakan akan tercapai pada tahun 2060, ketika pemakaian energi kotor berbahan dasar fosil akan dialihkan menuju energi bersih via proyek transisi energi, seperti menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan dasar batubara. Kebijakan transisi untuk menghentikan PLTU berbahan dasar utama batubara ini dimulai dengan menerapkan PLTU yang menggunakan energi bauran, yaitu mencampurkan pemakaian bahan bakar PLTU yang semula dari batubara murni menjadi batubara dan kayu (co-firing). Kebijakan ini terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yaitu pemanfaatan energi terbarukan dari biomassa untuk ketenagalistrikkan. PLN sendiri menargetkan untuk melakukan co-firing atas 52 PLTU sampai dengan 2023 dengan luas Hutan Tanaman Industri (HTI) lebih dari 200.000 hektar, sehingga berpotensi menyebabkan deforestasi besar-besaran. “Namun, kebijakan ini berpengaruh pada keberlangsungan sumber daya hutan,” jelas Mimin. Sedangkan pada sektor kehutanan, ada beberapa regulasi yang terkait dengan transisi energi ini. Mimin menyoroti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang memberikan kemudahan investasi dan penyederhanaan peraturan perundang-undangan sehingga perizinan dimudahkan. Undang-undang ini sendiri akan diturunkan pada Peraturan Pemerintah (PP) 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, di mana PP ini mengakomodir tentang perizinan usaha di sektor kehutanan. Kemudian PP Nomor 9 Tahun 2014 tentang KEN terkait energi bauran pada PLTU, serta Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 7 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Permen ini mengakomodasi perubahan-perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Selanjutnya adalah Permen Nomor 8 tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, di mana proyek ketahanan energi difasilitasi oleh produksi ketahanan energi. “Ini tentu saja berdampak pada masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor kawasan hutan terutama masyarakat di Pulau Jawa,” ujar Mimin. Selanjutnya, Mimin menjelaskan dampak dari transisi energi yang telah dijelaskan sebelumnya. Dampak-dampak ini antara lain adanya potensi deforestasi, dimana kawasan hutan akan mengalami pengurangan jumlah yang signifikan, kemudian adanya potensi landgrabing atau perampasan tanah, kemudian potensi penggusuran petani hutan, meningkatnya emisi karbon, menghambat agenda Reforma Agraria, menghambat penataan hutan adat, serta adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, perlu adanya beberapa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi negara, baik penyelenggara pemerintahan di pusat maupun di daerah untuk melindungi hak masyarakat di kawasan hutan. Kewajiban ini berupa menciptakan lingkungan aman dan kondusif bagi pelaksanaan HAM, jangan sampai ada intervensi berlebihan yang justru mengganggu hak masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kemudian melindungi masyarakat dari pelanggaran oleh pihak-pihak ketiga, “Jangan sampai regulasi yang baru justru menciptakan ancaman bagi masyarakat,” tambah Mimin. Kemudian mengambil langkah-langkah yang cepat dan terukur untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, dan memperbaiki ketika terjadi pelanggaran HAM ataupun untuk memenuhi secara progresif HAM. Selanjutnya Mimin juga menjelaskan instrumen-instrumen HAM internasional yang mendukung lindungan hak bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Instrumen-instrumen ini antara lain Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial, dan Budaya), Kovenan Internasional Hak Sipol (Sipil dan Politik), Konvensi Internasional Penyandang Disabilitas, Konvensi Internasional Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Internasional tentang Anti Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Buruh Migran dan Keluarganya, Konvensi Hak Anak, Deklarasi Pembela HAM, Deklarasi Hak-Hak Petani, Deklarasi Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat, Komentar Umum tentang Hak Ekosob, serta yang terakhir adalah Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang HAM atas Tanah dan Sumber Daya Alam. Terakhir, Mimin menyampaikan rekomendasi terkait transisi energi dan ancaman-ancaman terhadap hak masyarakat di kawasan hutan. Pertama, perlunya adanya perlindungan hak asasi yang berhubungan dengan keamanan fisik dan integritas, misalnya perlindungan hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari kekerasan dalam setiap skema dan kebijakan transisi energi. Kemudian perlindungan hak bagi masyarakat yang terdampak, misalnya masyarakat adat yang hutan dan lahannya akan dimanfaatkan untuk program energi terbarukan, agar hak untuk hidup, teritori, dan penghidupannya dilindungi. Selanjutnya adalah perlindungan hak yang terkait dengan kebutuhan dasar untuk hidup, misalnya hak atas pangan, air minum, tempat tinggal, pakaian yang memadai, pelayanan kesehatan yang memadai, dan sanitasi. Menurut Mimin, kebijakan transisi energi wajib menjamin perlindungan hak atas keputusan dasar, jangan sampai justru mengakibatkan terlanggarnya pemenuhan hak dasar bagi masyarakat ataupun pekerja yang bekerja di sektor energi maupun masyarakat yang terdampak oleh program atau proyek transisi energi. Kemudian perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya misalnya hak untuk mengakses pendidikan untuk menerima ganti rugi atau kompensasi atas properti yang hilang, dan hak untuk bekerja. Misalnya pada masyarakat adat yang wilayahnya akan menjadi lokasi pembangkit listrik energi terbarukan, maka mereka harus mendapatkan manfaat nyata dari energi terbarukan, karena merekalah yang menjaga hutan agar tetap bisa dimanfaatkan. Serta perlindungan hak yang berhubungan dengan hak sipil dan politik misalnya hak atas kebebasan berbicara, partisipasi politik, akses ke pengadilan, dan kebebasan dari diskriminasi. Kebijakan transisi energi ini wajib untuk melindungi hak setiap orang untuk menyatakan pendapat dan ekspresi sebagai bentuk kontrol publik atas kinerja negara dan akuntabilitas korporasi. Dalam hal ini, negara tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar apapun dalam menjalankan kebijakan transisi energi yang berbasis pada suku, ras, agama, budaya, keyakinan politik dan lain-lain. (Dian Agustini) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |