Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran (FITRA) berkolaborasi bersama UPN Veteran Jakarta (UPN VJ) menyelenggarakan acara yang bertajuk Budget Literacy Forum 2.0 dengan tema Anggaran Hijau yang Baik (Berkeadilan, Akuntabel, Inklusif dan Kredibel). Acara ini berlangsung pada Sabtu (16/12/2023) dan bertempat di Auditorium Fakultas Kedokteran Gedung Wahidin, UPN VJ. Acara ini dibagi ke dalam tiga, sesi dimana sesi dua berfokus membahas evaluasi anggaran dan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dr. Abby Gina selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan menjadi salah satu dari 4 pembicara pada sesi dua. Pembicaraan lain yaitu Aniqotul Ummah, M.Sos (Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), UPN VJ), Olin Monteiro (Aktivis Perempuan), dan Ubaid Matraji (Koordinator Nasional Seknas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia).
Moderator mengawali diskusi dengan mengungkapkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bahwa persentase perguruan tinggi yang memiliki Satgas PPKS belum mencapai 5%, walaupun pengesahan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi telah disahkan setidaknya hampir 2 tahun lalu. Kemandekan ini disebabkan anggaran yang tidak mencukupi. Abby Gina melihat adanya suatu krisis, dimana data kekerasan seksual setiap tahunnya terus mengalami peningkatan terutama di perguruan tinggi yang semestinya bertanggung jawab atas inklusivitas dan ruang aman bagi sivitasnya. Meskipun sudah ada kebijakan anti kekerasan seksual—yang dikuatkan lagi dengan adanya anggaran dan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)—kampus juga belum sepenuhnya berpihak kepada korban. Padahal situasi ini kerap kali terjadi karena relasi kuasa yang timpang, terutama karena seringkali pelaku merupakan dosen atau pengajar dari korban. Mengingat bahwa budaya perkosaan termasuk diskriminasi berbasis gender, maka diperlukan turunan dari kebijakan Permendikbud No. 30 Tahun 2021, tukas Abby. Misalnya, berupa pelatihan yang bisa mengubah praktik-praktik yang ada di masyarakat. Persoalan kekerasan seksual tidak terlepas dari kurikulum pembelajaran yang tidak mengenalkan konsep konsen, hak dan otonomi tubuh, atau kesehatan reproduksi. Diskusi kemudian dilanjutkan oleh Aniqotul Ummah yang menjelaskan bahwa UPN VJ—bahkan sebelum disahkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2021—telah berkomitmen memberantas kekerasan seksual. Saat ini, UPN VJ telah memiliki Satgas PPKS. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2020, 63% kekerasan seksual yang terjadi tidak dilaporkan semata-mata untuk menjaga nama baik kampus. Persoalan kekerasan seksual di perguran tinggi yang berkelindan dengan reputasi kampus ini kemudian dipaparkan secara detail oleh Olin Monteiro. Aktivis perempuan ini melihat banyak sekali kekerasan seksual di kampus-kampus, seperti perkosaan, yang tidak dilaporkan karena kentalnya budaya patriarki. Olin pun menegaskan, perlawanan terhadap budaya patriaki tidak melulu hanya bertumpu pada kebijakan, tetapi juga bisa dengan membangun komunitas atau melalui budaya. Olin menyuarakan urgensi adanya kebijakan turunan dari Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang bisa disahkan melalui Peraturan Presiden (Perpres), serta diiringi oleh pelatihan dan edukasi pada Satgas. Dalam kasus kekerasan seksual, diperlukan mekanisme penanganan dan pendampingan yang jelas mengingat dampaknya yang destruktif terhadap psikologis korban. Tidak ditanganinya kekerasan seksual akan secara bertahap berdampak kepada keluarga serta orang-orang yang ada di lingkaran korban. Karena itu, kita perlu lebih memperhatikan penanganan dan pelindungan kasus kekerasan seksual yang lebih komprehensif. Pada level individu, setiap orang yang mendengar tentang kasus kekerasan seksual hendaknya untuk peduli dan mendukung korban mengingat penderitaan seumur hidup yang akan ditanggung oleh korban. Diskusi kemudian beralih kembali ke Abby yang merefleksikan penelitian di Jurnal Perempuan mengenai kekerasan seksual dari masa ke masa. Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan itu melihat bahwa banyak sekali hambatan ketika membicarakan isu kekerasan seksual. Kekerasan seksual selayaknya fenomena gunung es: korban memerlukan waktu panjang untuk berani bersuara karena mengkhawatirkan respons negatif masyarakat serta penanganan yang tidak responsif. Minimnya dukungan ini berimplikasi pada keengganan korban untuk melapor. Salah satu tantangan dalam pelaksanaan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 adalah mengubah paradigma “nama baik kampus” dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Sivitas perlu melihat bahwa kekerasan seksual bukan hanya sekedar isu kesusilaan semata, tetapi menyangkut HAM dan ruang aman. Mekanisme pelaporan dan penyembuhan bagi korban memerlukan komitmen pemerintah berupa anggaran yang memadai. Sebab perubahan ini menuntut implementasi kebijakan serta anggaran yang responsif gender. Ia juga menegaskan bahwa kita perlu pandangan yang lebih holistik, yakni dari institusi pendidikan, komunitas-komunitas dan NGO, dalam bekerja sama untuk memberantas kekerasan seksual. Moderator kemudian beralih kepada pembicara selanjutnya, yaitu Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional Seknas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, untuk membahas refleksi pemerintah terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Ubaid melihat bahwa Permendikbud No. 30 Tahun 2021 merupakan refleksi panjang dari apa yang terjadi di ranah pendidikan di Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa pembentukan Satgas PPKS di sekolah-sekolah hingga hari ini masih sangat minim karena keterbatasan anggaran. Implikasinya, beberapa kampus yang sudah memiliki Satgas hanya menampung pengaduan saja tanpa ada proses lanjutan. Ketiadaan anggaran—baik dari kampus, Kemendikbudristek, bahkan daerah—menjadi faktor signifikan dalam minimnya penanganan terhadap kekerasan seksual. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pengesahan kebijakan membuat pemerintah seakan dapat lepas tangan dari persoalan di lapangan. Akibatnya, anggota Satgas PPKS di kampus masing-masing harus bekerja keras untuk menampung aduan dan melaksanakan pemulihan dengan sumber daya yang seadanya. Ubaid kemudian menggarisbawahi fakta bahwa perguruan tinggi di negeri ini yang berlomba-lomba menuju world class university, tetapi mirisnya menyimpan segudang kasus kekerasan seksual. Moderator kemudian menutup acara dengan menegaskan akan pentingnya mengawal komitmen pemerintah dalam implementasi kebijakan serta anggaran, sehingga pemberantasan kekerasan seksual di perguruan tinggi dapat dilaksanakan secara komprehensif dan berkeadilan gender. (Lisa Aulia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |