Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai badan kerja sama regional Asia Tenggara menyimpan banyak potensi pembangunan. Sayangnya, potensi pembangunan yang banyak dilirik hanyalah pembangunan ekonomi. Secara sosial, budaya, dan kultural, ASEAN belum banyak membantu pemangku kebijakan maupun Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Guna mendorong pembangunan sosial, terkhusus pembangunan gender melalui Visi ASEAN 2025-2045, Kalyanamitra menggandeng WEAVE (Weaving Women’s Voices in ASEAN) menyelenggarakan Diskusi Publik “Membangun Perspektif Gender untuk Visi Asean 2045” pada Selasa (27/6/2023) secara tatap muka. Acara ini dibuka oleh Listyowati selaku Ketua Kalyanamitra. Ia menyerukan hadirin untuk selalu mengawal inklusivitas di jejaring ASEAN. Sebagai latar belakang, pembentukan Masyarakat ASEAN bertujuan untuk meningkatkan kohesi dan integrasi di antara negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi perubahan politik global. Untuk mencapai tujuan tersebut, disepakatilah susunan Cetak Biru Masyarakat ASEAN 2025-2045 yang terdiri dari tiga pilar utama, yakni Pilar Politik-Keamanan, Pilar Ekonomi, dan Pilar Sosial Budaya. Cetak Biru itu akan berakhir pada tahun 2025 mendatang. Kini, ASEAN tengah menyusun Cetak Biru 2025-2045. Listyowati menutup dengan harapan, “Semoga Visi ASEAN 2045 tidak hanya menjadi visi, tapi juga implementatif.”
Selanjutnya, dimulai sesi diskusi bersama para narasumber. Dinna Prapto Raharja (Synergy Policies), Ahmad Zafarullah Abdul Jalil (Director for ASEAN Integration Monitoring Directorate–AIMD), Lenny N. Rosalin (ASEAN Committee on Women), dan Olivia C. Salampessy (Wakil Ketua Komnas Perempuan) menjadi pemateri. Masyarakat ASEAN ditopang oleh kekuatan masyarakat sipil dan masyarakat akar rumput. Ini yang ditekankan oleh Dinna Prapto Rahardja dalam paparannya. Visi ASEAN sendiri menjadi arahan untuk menyatukan kekuatan jaringan negara-negara di Asia Tenggara. Dinna menuturkan, Visi ASEAN dibentuk guna menengahi perbedaan pendapat antara negara-negara di dalamnya, meluruskan prinsip non-interference (tidak mengintervensi) yang menyulitkan negara-negara ASEAN untuk menengahi konflik Hak Asasi Manusia (HAM) tingkat regional, dan mempromosikan dan melindungi HAM. Hak perempuan tidak bisa dipisahkan dari HAM. Kedua hal tersebut harus dibangun secara beriringan, tanpa dipisahkan maupun disisihkan satu sama lain. Dalam praktiknya, penegakan HAM kerap dinilai sudah cukup mencakup isu perempuan. Ini membuat banyak isu-isu perempuan luput dari upaya penegakan HAM yang tidak berperspektif gender dan interseksionalitas. Dinna mendorong partisipasi ditingkatkannya masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan tingkat ASEAN. Dengan begitu, isu perempuan dapat diposisikan sebagai isu sentral. Ahmad Zafarullah Abdul Jalil, sebagai salah seorang pemegang keputusan di ASEAN, mendorong peningkatan kewirausahaan perempuan dalam program-programnya. Terutama setelah adanya pandemi COVID-19 yang meruntuhkan stabilitas ekonomi global–termasuk juga di wilayah Asia Tenggara. Menggunakan ASEAN Comprehensive Recovery Framework (ACRF), Zafar memaparkan strategi ASEAN dalam membangun kesejahteraan perempuan melalui ekonomi digital, yaitu dengan menyempurnakan sistem kesehatan, memperkuat keamanan masyarakat, memaksimalkan potensi pasar ASEAN dan interaksi ekonomi yang lebih luas, mempercepat transformasi digital yang inklusif, serta membangun masa depan yang berkelanjutan dan dapat dipercaya. Apabila Zafar mempertegas perlunya ekonomi digital bagi perempuan Asia Tenggara, Lenny Rosalin merekomendasikan penguatan kebijakan sosiokultural di ASEAN. Strateginya adalah menggunakan ASEAN Gender Mainstreaming Strategic Framework (AGMSF). Namun, strategi ini juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah banyaknya Sectoral Bodies (Badan Sektor) di ASEAN. Pengupayaan AGMSF terbentur pada mekanisme institusi, komitmen, pemahaman, serta pengalokasian sumber daya dalam menjalankan program. Lenny menawarkan rekomendasi: Badan Sektor yang ada harus terlebih dulu mendukung anggota ASEAN untuk mengarusutamakan gender dalam program tingkat nasional maupun regional. “Perempuan berhak atas penikmatan dan perlindungan yang sama atas seluruh HAM dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sipil,” ujar Olivia Salampessy dalam gilirannya. Salah satu kendaraan menuju hal tersebut adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Sayangnya, dalam konteks Asia Tenggara, penyiksaan terhadap perempuan masih tinggi. Jika ditelusuri, hal ini dapat terjadi karena ASEAN lebih fokus pada sektor pembangunan dan kerja sama ekonomi, bukan sosial budaya. Dalam Indeks Kesenjangan Gender tahun 2023, Indonesia menempati posisi 87 secara internasional dan posisi 6 dari 11 negara ASEAN. Dalam perhitungannya, sebenarnya Indonesia sudah baik dalam indikator partisipasi ekonomi, capaian pendidikan dan kesehatan. Namun Indonesia tertinggal pada pemberdayaan politik. Perempuan Indonesia cenderung lebih sulit menyuarakan kepentingan politiknya secara bottom-up, tertinggal dari Filipina yang menempati posisi 1 di antara negara ASEAN. Olivia menyatakan, hal ini menjadi tantangan bagi perempuan akar rumput Indonesia. Demikian, ASEAN perlu dengan serius melihat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender sebagai masalah regional yang penting, bukan hanya untuk pembangunan ekonomi, tapi juga untuk pembangunan kemanusiaan yang holistik. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |