Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu diperingati dengan berbagai cara. Mulai dari melakukan aksi di muka publik sampai melakukan kampanye udara. Salah satu cara paling umum adalah dengan berbagi pengetahuan lewat diskusi. Hal inilah yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Politeknik Negeri Indramayu (BEM Polindra) pada Rabu (8/3/2023) lalu secara dalam jaringan (daring). Diskusi yang dilaksanakan mengangkat judul “Melihat Langkah Birokrasi Kampus dalam Menangani Kekerasan dalam Kampus”. Sebagai narasumber, hadir Retno Daru Dewi G.S. Putri (redaksi Jurnal Perempuan) sebagai narasumber tunggal. Diskusi juga dipandu oleh Ana Yuliana dari BEM Polindra. Pada kesempatan ini, Daru menyampaikan materi mengenai kekerasan seksual (KS) di kampus dan regulasinya. Materi dibuka oleh paparan data KS di perguruan tinggi dari media Tempo. Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat beberapa kasus KS yang terjadi di kampus. Ada yang terselesaikan, ada pula yang berakhir terbengkalai. Daru kemudian menyinggung Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu Komnas Perempuan), yang mendokumentasikan 338.498 kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Salah satu bentuk kekerasan yang mendominasi adalah KS di ranah privat.
Untuk mengatasi KS, pada tahun 2021 lalu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) merilis Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) sebagai payung regulasi penanganan dan pencegahan KS di kampus. Alasan lainnya, kerap kali kampus tidak memiliki regulasi KS yang komprehensif. Permen PPKS ini sudah ada sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan, sehingga menjadi regulasi yang sangat progresif. Dalam Permen PPKS, terdapat 21 jenis KS. Jumlah KS yang diakui dalam Permen PPKS pun lebih banyak dibanding dalam UU TPKS. Beberapa bentuk KS dalam Permen PPKS bahkan mencakup rayuan atau siulan bernuansa seksual, mempraktikkan budaya komunitas bernuansa KS, dan membiarkan KS terjadi. Daru menjelaskan apa itu praktik budaya komunitas bernuansa KS, yaitu: “Apa yang kita sebut sebagai rape culture—ini yang memperbolehkan objektivitas perempuan, membicarakan badan perempuan, catcalling, melihat tubuh perempuan dari atas sampai bawah, itu adalah bentuk melanggengkan budaya perkosaan.” Selanjutnya, Daru menyinggung akar dari KS, yaitu absennya persetujuan. Persetujuan atau consent merupakan dasar tindakan seksual dapat dikategorikan sebagai kekerasan atau sebagai keintiman. Daru menyatakan, KS tidak pernah terjadi karena nafsu atas pakaian korban. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan, korban KS tidak selalu berpakaian terbuka, banyak di antara mereka yang menggunakan cadar, piyama, bahkan seragam sekolah. KS terjadi karena keinginan pelaku untuk menunjukkan kuasanya atas korban. Staf redaksi Jurnal Perempuan itu kembali mengingatkan audiens mengenai pentingnya pemahaman akan Permen PPKS. “Teman-teman mahasiswa harus paham, karena ini merupakan hak teman-teman,” ujar Daru. pemahaman akan KS ini juga perlu disebarkan pada teman-teman lainnya, sehingga mereka bisa bersolidaritas untuk melawan perilaku budaya perkosaan. Lantas, mengapa KS di perguruan tinggi sulit dibasmi? Daru menyatakan, salah satunya adalah masih langgengnya kultur perkosaan. Kultur ini masih mengagungkan dominasi maskulin. Hal ini juga berimbas pada objektivikasi perempuan. Dalam hal ini, Daru memberanikan audiens untuk membasmi pola pikir tersebut. “Jangan sampai membiarkan teman-teman yang lain untuk mengobjektivikasi korban,” katanya. Sebagai langkah awal, kita bisa menegur teman yang melakukan objektivikasi terhadap perempuan. Terakhir, Daru memantik pertanyaan, yakni apa yang harus kita lakukan dalam menanggapi KS? Langkah utama adalah dengan berpihak pada korban. Selanjutnya, kita juga perlu turut mendampingi korban. Pentingnya pelaporan dan dokumentasi juga menjadi hal penting yang wajib disadari oleh seluruh mahasiswa. Selanjutnya, seluruh penghuni perguruan tinggi, terlepas dari mahasiswa atau dosen, harus bahu membahu membangun ruang aman. Penghuni kampus dapat membangun sisterhood untuk saling melindungi dan memberdayakan satu sama lain. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |