Gerakan radikalisme agama menjadi ancaman bagi perempuan, baik sebagai korban dari radikalisme maupun pendukung atau bahkan pelakunya. Konstruksi patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat turut menyulitkan perempuan untuk keluar dari situasi tersebut. Oleh karena hal tersebut, dalam Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) April 2023 yang diinisiasi oleh Jurnal Perempuan, tema yang diangkat adalah “Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Mencegah Radikalisme Beragama”. Pada kegiatan yang rutin diselenggarakan secara daring melalui Zoom ini, Jurnal Perempuan berkesempatan menghadirkan Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., selaku Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIA) dan anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai pemapar. Kegiatan ini dimoderatori oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri, pada Selasa (18/04/2023) lalu.
Rofiah, yang juga Pendiri Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) ini, mengawali pemaparannya dengan menyebut bahwa radikalisme dalam beragama biasanya dikonotasikan dengan keterlibatan aktor laki-laki atau kacamata patriarki. Padahal, perempuan juga punya peran penting dalam gerakan yang kaitannya dengan radikalisme agama. Selain hal tersebut, juga aksi radikalisme di ruang privat kerap tidak dianggap sebagai tindakan radikalisme, yang seharusnya justru wilayah ini vital untuk dibenahi. Semakin radikal pemahaman keagamaan suatu keluarga, maka semakin besar kecenderungan hak perempuan dalam keluarga itu tidak dipenuhi dengan baik. Kekhasan radikalisme agama di antaranya adalah gerakan dihayati sebagai kewajiban agama; melawannya berarti melawan agama. Ketaatan pada pemimpin dihayati sebagai ketaatan kepada Tuhan; melawannya berarti melawan Tuhan. Ideologi radikalisme agama dihayati sebagai kebenaran tunggal agama sehingga tafsir agama yang berbeda dipandang sebagai kesesatan. Cara kerja radikalisme agama seperti ini terjalin berkelindan dengan sistem patriarki karena keduanya sama-sama memiliki pola relasi kuasa yang timpang, yakni pihak yang lemah pasti tunduk, bahkan secara mutlak, pada yang kuat. Radikalisme dalam beragama juga memiliki ciri narasi perang melalui konsep jihad. Secara umum, posisi perempuan dalam arus radikalisme beragama itu, semakin kuat berarti semakin dijadikan alat seksual dan mesin reproduksi. Rofiah selanjutnya menjelaskan keterkaitan radikalisme dan perempuan dalam hal mesin reproduksi dengan sebuah alur berpikir bahwa dalam perang dibutuhkan banyak jihadis. Kemudian, untuk memperbanyak pasukan jihadis ini perempuan sangat dimungkinkan untuk menjadi mesin produksi guna melahirkan anak. Demikian juga dalam hal poligami, satu laki-laki bisa memiliki empat mesin produksi untuk melahirkan jihadis. Oleh karena itu, sikap terhadap istri dan justifikasi untuk memukulnya—selain memang sudah lama ada penafsiran yang dipegang untuk melegalkannya—sebagai langkah pendisiplinan dan cara memandang seorang istri sebagai mesin itu. Begitu juga pasti akan tertolaknya alat kontrasepsi, karena alat itu akan menjadi penghalang lahirnya jihadis. Sehingga dalam hal ini patriarki dan radikalisme ini sangat berjodoh. Yang lebih perlu diwaspadai dari cara beragama yang radikal ini adalah karena misi agama untuk memanusiakan manusia, termasuk perempuan, menjadi terhambat. Betapa tidak, dalam sejarah manusia, tanpa radikalisme agama pun, penjajahan terhadap manusia lain secara kolektif itu terjadi dan telah berjalan berabad-abad. Terlebih lagi, cara pandang lebih rendah terhadap perempuan menjadikan perempuan sebagai objek penjajahan dan perbudakan. Sepanjang sejarah sampai sekarang, perempuan dianggap sebagai harta orang tua ketika lahir sampai gadis, kemudian menjadi harta suami ketika menikah dan selanjutnya menjadi harta kerabat lelaki ketika suami meninggal. Kemudian, untuk menyikapi semua fenomena ini, Rofiah menawarkan sebuah cara pandang yang moderat dalam beragama. Namun, perlu ditekankan bahwa dalam diskursus radikalisme dan moderatisme haruslah ditentukan terlebih dahulu titik tengah sebagai acuan moderasi. Dalam Islam, dikenal istilah dhu’afa dan mustadh’afin. Dhu’afa adalah pihak lemah dalam sebuah relasi sedangkan mustadh’afin merupakan posisi yang rentan dilemahkan secara individual maupun sistemik. Perempuan masuk ke dalam posisi dhu’afa, terutama ketika dalam masa produksi aktif seperti melahirkan, nifas, dan menyusui. Sekaligus, pada posisi ini perempuan rentan masuk ke dalam posisi mustadh’afin, karena dianggap lemah meskipun sedang tidak dalam masa produksi aktif, karena secara kolektif perempuan sepanjang masanya berada dalam posisi lemah. Dengan penuh semangat, Rofiah menyebutkan bahwa, “Inilah yang menjadi musuh agama.” Lebih lanjut, cendekiawan Muslim ini memaparkan ulasan, bahwa pertama, dalam mengimani Allah SWT memiliki konsekuensi logis: bahwa tidak ada satupun yang berhak didudukkan pada posisi yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari yang lainnya. Begitu pun tidak berhak untuk seorang perempuan yang lemah untuk didudukkan atau dianggap lebih rendah secara kolektif dari kaum laki-laki. Oleh karena itulah, ini menjadi titik tengah sekaligus menjadi cita-cita tertinggi dalam beragama, yaitu mendudukkan setiap manusia, baik kuat atau lemah, sebagai manusia seutuhnya dan subjek sepenuhnya. Dalam sistem yang zalim, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik dan hanya dilihat berdasarkan atribut fisiknya. Karena itu, ketika Islam mengkritik cara pandang berdasarkan organ kelamin, berdasarkan suku dan bangsa, saat itu Islam sedang mengkritik cara pandang berdasarkan fisik semata. Sehingga apapun bentuk fisiknya, kuat ataupun lemah, seorang manusia harus tetap dipandang sebagai manusia utuh dan subjek sepenuhnya. Pemahaman agama yang radikal memiliki kecenderungan mendudukkan manusia lain atau dalam hal ini perempuan sebagai alat perang, yaitu sebagai alat seksual dan mesin produksi untuk melahirkan jihadis. Sebagai pamungkas, Rofiah menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki amanah melekat. Laki-laki dan perempuan sama-sama punya tanggung jawab sebagai pemimpin di muka bumi, dengan tugasnya untuk mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya dan juga mencegah kemungkaran, berlaku di dalam dan di luar rumah. Mandat kemaslahatan itu berlaku untuk kedua belah pihak dalam ruang mana pun. Inilah yang disebut dengan kesetaraan. Mendudukkan semua dalam posisi subjek penuh itu meniscayakan mendudukkan setiap orang sebagai manusia seutuhnya. KAFFE April 2023 ditutup dengan pesan, bahwa kesetaraan gender menjadi penting ketika hendak mendudukkan perempuan ataupun laki-laki dalam berbagai sisi dan persoalan. Kesetaraan gender hendaknya menjadi perspektif baru dalam menilik persoalan-persoalan mendasar, seperti agama. Oleh karena demikian, dalam menghadapi fenomena seperti radikalisme beragama, perempuan perlu dipandang setara dengan laki-laki dalam pencegahan, pemulihan aksi radikal guna menciptakan Islam yang lebih inklusif dan adil. (Alfiyah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |