Terdapat perbedaan antara apa yang disebut sebagai kebijakan publik (public policy) dengan kebijakan sosial (social policy). Kebijakan publik membahas mengenai proses formulasi dan pelaksanaan kebijakan yang melibatkan otoritas dalam hal ini pemerintah/otoritas formal dan proses politik. Jadi jika kita berbicara tentang penggodokan UU atau peraturan, maka kita berbicara mengenai kebijakan publik terlepas dari apakah kebijakan itu menyangkut persoalan sosial, ekonomi, politik, olahraga atau transportasi, sejauh ia menyangkut pengaturan dan tata kelola hal-hal yang akan memengaruhi kehidupan publik, maka ia disebut sebagai kebijakan publik. Sementara jika kita berbicara tentang kebijakan sosial, maka kita membicarakan kebijakan sebagai upaya pengelolaan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan. Paparan ini disampaikan Atnike Nova Sigiro, Program Manajer Asian Advokasi pada Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA) dalam kelas Kaffe (Kajian Filsafat dan Feminisme) yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dengan tema Kebijakan Publik, Etika Publik dan Konsep Keadilan pada Kamis (26/8) di kantor JP. Lebih lanjut Atnike menjelaskan bahwa kebijakan publik membicarakan soal prosedur dan legitimasi. Sedang kebijakan sosial membincangkan kesejahteraan dan kehidupan sosial. Kesejahteraan ini menurut Atnike dibedakan menjadi dua, yakni wellbeing dan welfare. Idealnya menurut Atnike kesejahteraan bukan semata-mata welfare yang lebih pada konotasi fisik (ekonomi, infrastruktur, hal-hal yang bisa dilihat secara fisik), tetapi lebih jauh dari itu, kesejahteraan seharusnya mencakup wellbeing yang artinya sejahtera lahir batin. Lebih jauh Atnike mengemukakan berbicara mengenai perempuan atau feminisme maka dalam isu kesejahteraan sosial, perempuan adalah salah satu objek yang selalu lekat dengan isu kesejahteraan, tetapi seringkali ia dilekatkan secara negatif. Karena peran sosialnya maka perempuan dalam isu kesejahteraan seringkali mengandung banyak stigma, misalnya perempuan sebagai sosok dependen atau bergantung pada suami, perempuan dengan kemampuan atau kapasitas yang lebih rendah. Di Barat misalnya berkembang istilah welfare mother dan welfare queen yang mengandung stigma terhadap perempuan dalam isu kesejahteraan. Welfare mother adalah istilah yang diberikan kepada perempuan atau ibu yang memiliki anak tetapi secara ekonomi tidak mampu, sehingga ia bergantung kepada bantuan sosial, entah dari pemerintah atau lembaga amal. Sedang welfare queen cenderung lebih negatif yakni istilah yang berkembang di Amerika untuk perempuan-perempuan atau ibu yang mendapatkan bantuan sosial tetapi mereka dianggap menyalahgunakan bantuan tersebut. Itu semua adalah stigma yang berkembang khususnya di negara-negara kapitalistik liberal yang menganggap orang yang menerima bantuan sosial adalah orang-orang pemalas, orang-orang yang tidak serius mencari nafkah, tidak serius berjuang memenuhi kebutuhannya sendiri. Atnike mengungkapkan Indonesia juga memiliki stigma terkait perempuan dan kesejahteraan meskipun tidak secara vulgar seperti di Barat. Misalnya pada masa pemerintahan SBY terdapat program keluarga harapan, dan pemegang kartu keluarga harapan adalah perempuan karena dianggap perempuan lebih bertanggung jawab dan akan menggunakan uang yang diberikan untuk kebutuhan keluarga seperti yang diinginkan. Perempuan diberi peran lebih untuk memastikan bantuan itu sampai kepada keluarga. Begitu juga dengan program yang sekarang, kartu yang sekarang ada sebetulnya kelanjutan saja dari program bantuan di masa lalu, hanya namanya saja yang diubah. Bantuan-bantuan sosial tersebut selalu mensyaratkan yang berhak mendapat bantuan adalah ibu dan ana. Posisi perempuan yang dianggap lemah terefleksi dari syarat-syarat pemberian kebijakan, seperti ibu dan anak atau ibu yang hamil. Menurut Atnike, pada satu sisi situasi tersebut memperlihatkan perempuan didahulukan tetapi di balik itu dia sebenarnya mengandung stigma bahwa perempuan selalu dependen terhadap bantuan. Padahal dalam kenyataannya peran ekonomi perempuan dalam konteks Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki atau kepala keluarga laki-laki yang umumnya dikenal. Lebih lanjut Atnike mengungkapkan terdapat perdebatan yang selalu muncul ketika kita bicara tentang feminisme dan kebijakan sosial. Pertama soal keluarga dan individu. Jika kita berbicara kebijakan sosial, pertanyaannya adalah kepada siapa kebijakan sosial itu akan diberikan, individu atau keluarga. Misalnya BPJS, apakah ketika membuat kebijakan ini pemerintah berpikir bahwa yang akan mendapatkan manfaat adalah keluarga atau individu. Tradisi yang melihat unit kehidupan merupakan keluarga, sebetulnya merupakan tradisi tempo dulu, orang hidup dalam keluarga inti merupakan tradisi atau kondisi masyarakat tahun 60-an sampai 80-an. Sehingga kalau BPJS diberikan kepada keluarga, maka akan ada banyak orang yang tidak memenuhi syarat. Di Indonesia syarat-syarat untuk mengklaim kebijakan atau bantuan sebagai individu masih sangat sulit. Kedua perdebatan mengenai pasar tenaga kerja dan negara. Dalam kehidupan sosial khususnya dalam sistem kapitalisme diasumsikan pada satu titik manusia harus masuk dalam lapangan tenaga kerja karena dia harus hidup dari pendapatan yang diperoleh dari lapangan tenaga kerja. Sementara terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa pasar tenaga kerja tidak selalu mampu menyerap individu. Sehingga ketika tidak ada penyerapan di pasar tenaga kerja maka negara harus mengambil peran untuk memastikan kesejahteraan individu atau keluarga. Ketiga soal equal opportunity versus differences. Misalnya dalam soal pasar tenaga kerja, equal opportunity artinya semua orang, entah laki-laki atau perempuan mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan mereka harus berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi equal opportunity ternyata tidak cukup, karena equal opportunity tanpa memperhitungkan perbedaan kebutuhan justru akan menimbulkan diskriminasi. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |