Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Warta Feminis

Atnike Nova Sigiro: Strategi Digital Gerakan Feminis Melawan Post-Truth

11/4/2018

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
“Apa kira-kira sebutan yang paling ditakuti oleh orang Indonesia? Kalau anda orang Indonesia dan perempuan?”
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Gerwani. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Atnike Nova Sigiro, M.Sc., Direktur Jurnal Perempuan, dalam sesi kuliah ketiga KAFFE ke-10 yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan dengan tema “Post-truth dan Feminisme” pada Kamis (5/4). Lebih lanjut Atnike menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia sebagai perempuan maka salah satu stigma politis yang sangat diskriminatif dan terus direproduksi hingga detik ini adalah Gerwani. Stigma politis yang diskriminatif tersebut terus muncul dan hadir di dalam masyarakat hingga saat ini karena situasi paranoid yang diciptakan oleh post-truth. Post-truth sendiri merupakan suatu situasi ketika fakta objektif tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan emosi atau belief yang dipercaya oleh masyarakat.
 
Mengangkat isu Post-truth dan Feminisme, Atnike menjelaskan bahwa situasi paranoid yang diciptakan oleh post-truth memberikan ruang bagi diskursus konservatif untuk berkembang dalam masyarakat. Akibatnya jargon-jargon konservatif dengan kultur patriarki yang sudah lama hidup di masyarakat mendapatkan lahan untuk terus tumbuh. Seksisme sebagai bagian dari patriarki semakin diperkuat melalui media sosial dalam situasi post-truth. Atnike mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber yang selalu menyudutkan perempuan dengan berbagai cara seperti mempermalukan, mengintimidasi, dan melecehkan. Situasi tersebut biasanya kita lihat pada saat momen politik, seperti pemilu/pilkada. 
 
Pada momen politik, target kekerasan yang diserang biasanya adalah para politisi perempuan dan para aktivis perempuan atau aktivis HAM. Atnike memberikan contoh beberapa tokoh perempuan yang mengalami situasi tersebut di media sosial pada saat pemilu/pilkada berlangsung di Indonesia. Komentar yang diberikan oleh warganet pada setiap pandangan yang disampaikan para tokoh perempuan di media sosial seringkali tidak berhubungan sama sekali dengan konteks yang disampaikan. Sebaliknya, mereka justru menyerang personal dan keperempuanan para tokoh tersebut. Serangan-serangan terhadap para tokoh perempuan di media sosial, menurut Atnike, merupakan wujud dari kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber. 
 
Dampak dari post-truth dan kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber dapat membuat perempuan menarik diri dari diskursus publik dan partisipasi politik. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melawan post-truth dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, antara lain, (1) gerakan feminis harus membangun strategi di dunia siber, (2) perlunya mendorong gerakan digital citizenship, (3) mendorong advokasi kebijakan untuk membedakan dan mengatur harassment versus real threat, serta (4) perlu adanya online support group.
 
Atnike menjelaskan lebih lanjut terkait empat hal diatas, gerakan feminis harus membangun strategi di dunia siber karena ancaman terhadap perempuan atau kekerasan terhadap perempuan di dunia internet atau media sosial itu adalah ancaman yang nyata. Tidak menutup kemungkinan jika ancaman tersebut dapat terjadi di dunia nyata, misalnya akibat menyampaikan suatu pandangan politik atau pandangan pribadinya tiba-tiba ada pihak yang menggunakan komentar di dunia maya tersebut sebagai alat persekusi. Selanjutnya Atnike menyampaikan konsep gerakan digital citizenship yang tidak berbeda jauh dengan konsep citizenship di dunia nyata. “Bahwa dunia digital itu dunia para warga yang harus dibangun dengan etika dan saling menghargai,” ujar Atnike. Selain itu, advokasi kebijakan untuk membedakan dan mengatur harassment versus real threat menurut Atnike juga perlu diatur dengan ukuran yang jelas, tidak sekadar melakukan blokir. Adanya online support group juga dibutuhkan untuk mencari tujuan yang sama yaitu suatu kesadaran baru.
 
Kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber tidak terlepas dari perkembangan post-truth dalam media, baik media massa maupun media sosial. Atnike menjelaskan bahwa dari televisi kita dapat belajar bagaimana post-truth berkembang sangat pesat di masa sekarang. Peran televisi sekarang ini telah berhasil menurunkan diskursus publik menjadi sebatas entertainment dan showbiz. Masyarakat tanpa disadari telah diajak untuk menelan informasi yang sepotong-sepotong dari televisi. Pergerakan informasi yang sangat cepat dan tidak tersampaikan secara menyeluruh menjadikan media televisi sebagai media yang fast and chaotic. Media yang seharusnya menjadi alat komunikasi justru menyebabkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi, jelas Atnike. 
 
Kita juga bisa melihat bagaimana post-truth berkembang dengan pesat di media sosial dengan setiap penggunanya telah memiliki kesimpulan dan kepercayaannya sendiri. “Mengapa media sosial menjadi penting? Meningkatnya penggunaan media sosial terjadi ketika media sosial memiliki peranan politik,” ujar Atnike. Penggunaan media sosial dalam praktik politik di diskursus publik saat ini merupakan hal yang penting dan tanpa disadari menimbulkan ketegangan diantara masyarakat dengan kepercayaan politiknya masing-masing. 
 
Merujuk pada Hannan (2018), Atnike menjelaskan perbandingan antara televisi dan media sosial. Jika televisi menjadikan diskursus publik sebagai showbiz maka media sosial menjadikan diskursus publik sebagai suatu kontes popularitas ala siswa-siswi SMU. Tanpa disadari, menurut Atnike, media sosial telah menciptakan suatu atmosfer hyperemotional dengan reaksi-reaksi spontan dan paranoid di dalam masyarakat. Jauh sebelum konsep post-truth menjadi populer, kita sudah sering mengenal adanya berita palsu atau kebohongan publik, namun pada saat itu ketegangan antar masyarakat tidak terjadi semudah dan secepat sekarang. Atnike menutup kuliah KAFFE malam itu dengan menyampaikan tiga hal yang perlu dipahami untuk memahami post-truth, yaitu: (1) siapa yang memiliki kontrol atas informasi di media massa, (2) bagaimana karakter media sosial dan penggunanya, dan (3) bagaimana situasi politik yang sedang berlangsung di dalam masyarakat. (Bella Sandiata)


Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024