Auditorium di Gedung 4, FIB, Universitas Indonesia, Depok, ruang yang kerap dipakai untuk berbagai kegiatan seperti seminar, pelatihan, dan pengajaran. Abby Gina Boang Manalu telah menjejakkan kakinya di ruangan itu pada usia 18 tahun ketika kuliah S1 bidang filsafat di tahun 2008. Pada 6 Januari 2023, ruangan tersebut ditata menarik dengan berbagai bunga cantik dan dipenuhi wajah ceria berbagai kalangan; keluarga dekat, mahasiswa, akademisi, aktivis, dan sejumlah Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) yang bermukim di daerah dan luar negeri berpartisipasi lewat Zoom. Semua siap menyambut promosi doktoral Abby yang juga selaku direktur eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Acara dimulai tepat pada pukul 9 dan segenap penguji telah hadir antara lain Prof. Manneke Budiman, Ph.D., Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi, Dr. Dewi Candraningrum, Ph.D., Dr. LG Saraswati Putri, Dr. Naupal, Dr. Johanes Haryatmoko, dan Dr. Fristian Hadinata. Tanggapan paling menarik bagi saya adalah dari Dewi Candraningrum Ph.D., yang mengangkat masalah minimnya perempuan bergelar doktor di Indonesia. Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2021, angka partisipasi perempuan di Pendidikan Tinggi (PT) tingkat sarjana melampaui laki-laki. Angka keseluruhan partisipasi PT hanya 19,32 persen dan terdapat selisih sebesar 2,48 persen antara perempuan dan laki-laki (18,11 persen laki-laki dan 20,59 persen perempuan). Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi perempuan usia 19-24 tahun dalam menempuh PT tingkat S1 lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun, pada tingkat doktoral angka partisipasi perempuan menyusut drastis. Data Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) tahun 2017 menyebutkan hanya ada 31.000 jumlah doktor se-Indonesia. Artinya, Indonesia hanya memiliki 143 doktor per 1 juta penduduk. Sementara Malaysia berjumlah 509, Amerika Serikat berjumlah 9.850, Jerman 3.990, dan Jepang dengan jumlah 6.438 doktor per 1 juta penduduk. Data tahun 2021 menunjukkan hanya 0,02% penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga jenjang S3.
Abby tercatat sebagai doktor ke-409 di Fakultas Ilmu Budaya UI dan doktor perempuan bidang filsafat feminis yang masih langka di Indonesia. Hanya segelintir yang menulis disertasi filsafat berperspektif feminis atau menggunakan kerangka pengetahuan filosofis yang feminis. Pertanyaan Dr. Embun Kenyowati (Kopromotor) menjadi penting karena memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara disertasi filsafat feminis dan filsafat pada umumnya, apalagi dalam memformulasi soal keadilan. Abby di dalam disertasinya membahas soal keadilan yang berperspektif feminis dan mengupas teori-teori filsafat feminis sebagai fondasinya. Ia memfokuskan teori keadilan Seyla Benhabib tentang liyan umum dan liyan konkrit dan berusaha mengembangkan “otonomi liyan” yang tidak terperangkap antara prinsip universal dan partikular. Teori keadilan yang diusung oleh filsuf mainstream (baca: malestream) memihak pada pemahaman prinsip universal agar keadilan terjamin. Prinsip ini dapat ditemui mengakar di pemikiran utilitarian, komunitarian, dan libertarian. Fondasi dari pemikiran-pemikiran ini berangkat dari konstruksi diri sebagai subyek yang eksklusif dan terpisah dari liyan konkrit. Akibatnya, teori keadilan arus utama sibuk mempertentangkan subyek-obyek, prinsip universal-partikular, dan konstruksi self/other yang merujuk pada universalitas. Beberapa filsuf laki-laki seperti John Rawls telah berupaya untuk menggoyahkan fondasi universalitas dan mengusung teori keadilan sosial yang mengakomodasi liyan (prinsip Maxi Min). “Tidak kah ini cukup?” tanya salah satu penguji, Dr. Haryatmoko. Dr. Haryatmoko menambahkan bahwa filsuf lainnya seperti Levinas, telah pula berbicara kepedulian. Ia mengulangi lagi pertanyaannya, “Apakah tidak cukup?” Abby dengan tegas menjawab: “tidak cukup!” Abby membeberkan perdebatan sejumlah filsuf feminis mulai dari McKinnon, Okin, Gilligan, dan Young. Young bahkan mengeritik teori Rawls dan menggaris bawahi lima wajah penindasan (five faces of oppression, 1990), yaitu, eksploitasi, kekerasan, ketidakberdayaan, marjinalisasi, dan imperialisme kultural. Lima wajah penindasan ini dekat dengan penindasan yang dialami perempuan dan oleh sebab itu para filsuf feminis menekankan pengalaman perempuan dan mempermasalahkan konstruksi diri (self) yang netral atau tidak bergender. Paling tidak ada empat hal yang digugat feminis: (1) tidak adanya isu perempuan dalam diskursus keadilan sosial tradisional, (2) tidak adanya kritik terhadap institusi keluarga dan budaya patriarki, (3) buta terhadap penindasan dan kekerasan yang dialami perempuan, (4) relasi kuasa yang timpang. Benhabib (1985) menangkap kenetralan konstruksi diri di dalam argumentasi filsafat arus utama dan ini menurutnya berimplikasi pada perdebatan soal keadilan. Rawls hanya memberikan ruang pada liyan umum yang masih merujuk pada konstruksi diri yang universal (lihat argumentasi Rawls soal posisi asali atau original position). Benhabib menegaskan keadilan hanya dapat dicapai bila liyan konkrit diberikan jaminan. Komitmen ini bukan hanya menghasilkan empati, kepedulian, saling menghormati, dan memahami tetapi sungguh-sungguh ingin membongkar persoalan ketidakadilan gender. Oleh sebab itu, keadilan harus dapat melihat keadaan liyan konkrit, artinya, mempertimbangkan seluruh konteks budayanya, ekonomi, kelas, gender, seksualitas, politik, dan sebagainya. Interaksi dari keduanya diregulasi oleh diskursus universalitas yang berangkat bukan dari kekuasaan tetapi diskursus yang interaktif. Di mata Abby, teori Benhabib perlu dilengkapi dengan teori interseksionalitas. Maka di dalam disertasinya, Ia menerangkan bagaimana teori interseksionalitas dapat menjamin diskursus interaktif yang digagas Benhabib. Interseksionalitas menurutnya bukan sebagai “ambulans” yang datang menyelamatkan korban tetapi harus dilihat bagaimana kecelakaan itu terjadi, dimana letak proses ketidakadilannya. Abby mengutip Kimberlé Crenshaw yang menerangkan masalah perempuan kulit berwarna yang mengalami hambatan bersilang seperti kelas, seksualitas, etnisitas, ras, dan sebagainya. Di titik inilah Abby membeberkan bagaimana kerangka keadilan Benhabib dan feminisme interseksionalitas dapat digunakan untuk persoalan-persoalan perempuan dan kelompok marjinal di Indonesia yang juga mengalami ketidakadilan berlapis dan berkelindan. Prof. Dr. Manneke Budiman sebagai Promotor mengapresiasi karya Abby. Di dalam pidato pengukuhannya, ia menyinggung pentingnya mendukung karya yang memiliki perspektif feminis karena dapat digunakan untuk menegakkan masyarakat yang berkeadilan gender. Dr. Abby Gina Boang Manalu bukan hanya sebagai peneliti dan akademisi, ia adalah seorang aktivis yang kesehariannya berjuang dalam ranah konkrit di luar kampus untuk keadilan perempuan dan kaum marjinal. Namun, ia sekaligus mendobrak diskursus kampus yang masih alergi terhadap teori feminisme. Apa yang dialami Abby tentu telah dialami oleh para akademisi feminis terdahulu. Filsuf Martha C. Nussbaum beserta filsuf feminis lainnya, pernah menyebutkan bahwa kadang perjuangan lebih mudah dilakukan di luar kampus, sebab kampus penuh dengan gerombolan serigala yang siap menerjang siapapun yang lantang mengugat pemikiran patriarkis. Disertasi berjudul “Universalisme Interaktif Seyla Benhabib dan Interseksionalitas: Upaya Mengakomodasi Liyan Konkret dalam Keadilan” setebal 255 halaman adalah bukti disertasi yang mengukuhkan kemenangan diskursus feminisme di kampus. Saya berharap akan lahir lebih banyak lagi disertasi filsafat feminis yang dapat menumpas akademisi misoginis di menara gading. (Gadis Arivia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |