Setiap hari, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap 3 jam, setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Inilah mengapa kita sebut “Darurat Kekerasan Seksual”. Perempuan dan anak terancam, Negara lambat bertindak.
Kasus kekerasan seksual sudah ada di dekat kita, bahkan mengancam kita! Kita mendengar, melihat, menangani, bahkan ada yang sudah menjadi korban. Berderet kasus kekerasan seksual telah terjadi di bumi pertiwi. Kasus pernikahan anak di bawah umur oleh Pujiono di Semarang, kasus pernikahan siri oleh Bupati Garut, kasus pelecehan seksual oleh Gubernur Riau, kasus KDRT oleh Wakil Walikota Magelang, kasus kekerasan seksual di Jakarta International School, kasus pedofilia oleh Emon Sukabumi, kasus trafiking dan kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo PB XIII Hangabehi, serta sederet kasus kekerasan seksual lainnya yang tidak terekspose oleh publik. Seperti fenomena gunung es, fakta dan bentuk yang sesungguhnya jauh lebih besar dan beragam, namun banyak korban belum berani melapor. Di Negeri Indonesia tercinta ini, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak belum menjadi perhatian serius. Dari tahun ke tahun, makin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini tercermin dari fakta-fakta yang dihimpun oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam waktu tiga belas tahun terakhir, kasus kekerasan seksual berjumlah 93.960 kasus dari total 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan (Januari 2013). Artinya, setiap hari ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Disebutkan lebih lanjut bahwa pada tahun 2013 kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus dari 4.336 kasus di tahun 2012. Ini artinya setiap 3 jam setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan Seksual (berdasarkan data Komnas Perempuan). Kekerasan terhadap anak juga mengalami peningkatan. Komnas Perlindungan Anak menyebut Indonesia gawat darurat. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA, mengatakan meski Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak anak dari PBB selama 24 tahun, kekerasan anak terus meningkat. Laporan soal kekerasan anak pada Januari-September 2014 mencapai 2.726 kasus. Kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak tersebut terjadi di dalam rumah/keluarga, tempat kerja, institusi pendidikan, transportasi publik, dan dalam berbagai konteks seperti konflik, migrasi, kekerasan atas nama agama, moralitas, dan budaya. Sedangkan pelakunya adalah pihak yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan korban (ayah, kakak, adik, paman, kakek), perkawinan (suami) dan relasi intim (pacaran), maupun pejabat publik (TNI/POLRI, bupati, gubernur, bahkan raja). Dalam kasus-kasus dimana pejabat publik menjadi pelaku kekerasan seksual, proses hukumnya menjadi lebih sulit bagi korban. Di Solo Raya, aparat penegak hukum terkesan lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual yang indikasi pelakunya adalah Raja Solo. Polres Sukoharjo belum memiliki terobosan untuk bisa berhasil memeriksa Raja Solo. Raja Solo selalu beralasan sakit setiap ada pemanggilan pemeriksaan dari kepolisian, namun mendadak sehat dan mampu bersuara lantang saat bicara kompensasi uang untuk pasar sementara bagi para pedagang Pasar Klewer. Di tengah keprihatinan pada angka kekerasan seksual yang tinggi, kami menangkap kelambatan dan ketidakseriusan aparat negara dalam menyelesaikan setiap kasus kekerasan seksual yang ada. Tidak sedikit pihak aparat yang justru menyalahkan dan menghakimi perempuan korban, bahkan menjadikannya sebagai lelucon. Pernyataan dan sikap tersebut menempatkan korban kembali menjadi korban (reviktimisasi), dan menyebabkan rasa sakit tak terperihkan bagi korban, keluarga korban, komunitas, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perilaku ini juga menyebabkan putusan pengadilan yang beragam dan mengerdilkan rasa keadilan korban. Ketiadaan payung hukum yang mumpuni juga menyebabkan sejumlah kasus tidak diproses karena dipandang tidak memiliki bukti yang cukup. Sebaliknya, justru bermunculan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang berangkat dari penilaian yang menghakimi moralitas perempuan dalam persoalan kekerasan seksual. Terkait dengan situasi darurat ini, maka dalam momentum Hari Perempuan Internasional, kami dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang terdiri dari berbagai lembaga masyarakat sipil (SPEKHAM, YAPHI, ATMA LSK Bina Bakat, YKPS, Ekasita, Gergatin, LK3, Pertuni, WKRI Cabang Surakarta, dan Jejer Wadon) beserta masyarakat dampingannya menuntut 3 hal: 1. Usut tuntas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Raja Solo, berikan hukuman yang berat pada setiap pelaku kekerasan seksual. 2. Lindungi perempuan dan anak, berikan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. 3. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, akhiri impunitas (kekebalan) pelaku kekerasan seksual. Kekekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Hentikan kekerasan seksual sekarang juga. Berani, Bersuara, Lawan! Surakarta, 7 Maret 2015 Koordinator Umum Hari Perempuan Internasional Solo Raya Endang Listiani (Eliest - 08156720819) “Setiap hari, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap 3 jam, setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual (data Komnas Perempuan). Inilah mengapa kita sebut “Darurat kekerasan Seksual”. Perempuan dan anak terancam, Negara lambat bertindak” Demikian lead yang tertulis pada selebaran yang dibagi lalu dibacakan oleh anggota Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang terdiri dari beberapa lembaga seperti LPH YAPHI, SPEKHAM, ATMA, Yayasan Krida Paramita Surakarta (YKPS), Ekasita, LSK Bina Bakat, Forum Gerak Difabel dan Jejer Wadon serta segenap masyarakat pada Sabtu, 7 Maret 2015, di Bundaran Gladag. Pada malam keprihatinan untuk memperingati hari Perempuan Internasional tersebut juga dibacakan orasi oleh Haryati Panca Putri, ketua JPPAS yang juga direktur LPH YAPHI serta dukungan terhadap pengusutan kasus kekerasan seksual dan segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berupa pembubuhan tanda tangan bersama. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan pejabat publik menjadi pelaku, proses hukum menjadi sulit bagi korban. Di ranah kebijakan, ketiadaan payung hukum menyebabkan sejumlah kasus tidak diproses karena dipandang tidak memiliki bukti yang cukup. “Kita melihat kekerasan seksual menjadi satu keprihatinan terkait kasus-kasus yang ada di Solo Raya, satu kasus yang kita hadapi saat ini adalah kasus kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo, PB XIII Hangabehi” tutur Haryati Panca Putri. Selain pembacaan puisi, orasi serta nyanyian, para anggota JPPAS bersama masyarakat melakukan flashmob. Sebuah representasi tari berupa gerakan tubuh disertai alunan musik dan para penari berpayung menyiratkan adanya simbol bahwa perlunya payung hukum dan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Sementara itu NR.Kurnia Sari, anggota DPRD Surakarta menyoroti perempuan yang kerap dijadikan obyek. Perempuan memiliki beban ganda sebagai istri dan seorang ibu yang juga berperan ketika mencari nafkah serta di ranah publik. “Di beberapa kasus di tempat kerja, perempuan harus memiliki hak-hak di tempat kerja. Selalu kekerasan terjadi identik dengan korban perempuan. Ada stereotype di masyarakat tentang perempuan yang bekerja larut malam di luar rumah,” tutur NR.Kurnia Sari. Di ranah politik kuota 30 persen anggota legislatif perempuan belum terealisasi untuk memperjuangkan hak-haknya. Di Surakarta 45 kursi anggota DPRD baru terisi 8 perempuan. Sedangkan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) yang berpihak kepada perempuan baru ada 2 yakni Perda AIDS dan Perda Seks Komersil. Pada acara yang dipandu oleh Elizabeth Yulianti Raharjo dan Muladiyanto, JPPAS beserta masyarakat dampingan menuntut 3 hal , yaitu 1) Usut tuntas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Raja Solo, dan berikan hukuman yang berat pada setiap pelaku kekerasan seksual. 2) Lindungi perempuan dan anak, berikan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. 3) Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, akhiri impunitas (kekebalan) pelaku kekerasan seksual. (Astuti Parengkuh) Modernisasi yang terjadi di Indonesia di satu sisi membawa kemajuan bagi status perempuan. Mengacu pada laporan pemerintah tentang pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) tentang status perempuan misalnya, terdapat peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan terutama di sektor nonpertanian. Akan tetapi di sisi yang lain, muncul pula sejumlah fenomena yang terkait dengan praktik tradisi dan agama yang merugikan perempuan. Alissa Wahid, Pendiri Jaringan Gusdurian, dalam Konferensi “Agama, Tradisi, Hak & Status Perempuan” yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dan Kedutaan Besar Kanada di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (25/3), lebih lanjut memaparkan sejumlah contoh terkait fenomena tersebut. Dalam dekade terakhir, laju pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan, yang kerapkali disebut sebagai potensi bonus demografi, meski sesungguhnya menunjukkan kegagalan program KB. Pada tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk di Indonesia sebesar 1,45%, tetapi pada 2010 meningkat menjadi 1,49%. Selain itu Angka Kematian Ibu (AKI) juga menunjukkan peningkatan. Jika pada tahun 2007 angka kematian ibu berjumlah 228 atau turun dibandingkan tahun 1991 yang mencapai 390 per 100 ribu kelahiran hidup, namun berdasarkan data SDKI (Survei Dasar Kesehatan Indonesia) pada 2012 AKI berjumlah 359. Fenomena lain adalah angka usia pertama kali menikah untuk perempuan berdasarkan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010 ada lebih dari 46% yang menikah sebelum usia 19 tahun. Ini menunjukkan bahwa lamanya pendidikan perempuan di sekolah ternyata tidak berdampak cukup signifikan terhadap kapan mereka menikah. Alissa menambahkan, mengacu pada gagasan Seth Godin, fenomena ini merupakan dampak dari globalisasi dimana suku tidak lagi dibentuk berdasarkan kedekatan geografis dan etnisitas, tetapi oleh kesamaan ideologi dan minat. Ini yang membuat ideologi berkembang ke segala arah dan semua orang bisa menjadi sumber penyebaran ideologi. Pada satu sisi kita melihat global village tetapi pada saat yang sama kita melihat pengelompokan berdasarkan ideologi. Kondisi ini menciptakan pertentangan, ketegangan dan kemudian kontestasi ideologi yang terjadi tidak hanya di level agama, tetapi juga pada level negara. Dalam praktik keseharian Alissa mencontohkan kampanye “nikah aja yuk” atau “udah putusin aja” lewat media sosial, yang pada kenyataannya sudah mampu mengubah tradisi. Contoh lain soal poligami, dimana praktik poligami justru semakin terbuka dibandingkan dulu bahkan kini juga dipromosikan selain dilakukan. Lebih jauh Alissa menjelaskan ketika arus besar publik sudah menjadi lebih abu-abu dan justru mengikuti arus yang menentang keadilan gender dengan berbasis teologis, maka kita mempunyai persoalan besar. Sementara sebagian besar dari kita cenderung memperkuat keyakinan (faith based) tetapi kurang dalam hal penguatan kultur (respect axis). Jadi kita tidak secara sistematis menginfiltrasi tradisi yang ada atau mengkapitalisasi tradisi yang ada untuk penguatan keadilan gender. Kondisi inilah yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Sebelum itu Indonesia justru dikenal sebagai negara yang menjadi salah satu model untuk keberhasilan melakukan mainstreaming gender. Alissa mengingatkan jika kita tidak mengambil respons yang cukup layak, maka kondisinya akan semakin memburuk. Jadi trennya justru semakin memburam kalau kita bicara agama dan tradisi dalam konteks perempuan. Lebih lanjut Alissa membagi pengalamannya dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Ia menuturkan kita harus mengakui bahwa masih banyak praktik-praktik yang tidak adil gender dan tidak berpihak pada perempuan terutama dikluster-kluster yang lebih konservatif seperti Madura. Tetapi jika kita melihat lebih panjang ke belakang, banyak juga praktik-praktik yang sebetulnya menunjukkan bahwa di kalangan Nahdliyin ada kesetaraan. Misalnya di musala-musala atau masjid-masjid NU, perempuan tidak ditempatkan di luar atau di belakang, tetapi setara, berada di samping dengan hijab ditengahnya. Selain itu dalam pertemuan-pertemuan formal di pesantren, laki-laki dan perempuan berada di dua lajur saling berhadapan. Bahkan di kalangan yang lebih modern sudah tidak ada lagi pemisahan semacam itu, tetapi sudah berbaur, seperti dalam forum pertemuan alim ulama misalnya. Jadi ada tradisi-tradisi semacam ini tetapi tidak kita kapitalisasi. Hal lain, lembaga-lembaga pelayanan masyarakat, rata-rata dikelola oleh Muslimat dan Fatayat dan pengakuan yang diberikan pada lembaga-lembaga ini sangat tinggi. Sehingga pengakuan atas perempuan di ruang publik sudah ada. Kita mempunyai tradisi ini, tetapi tidak kita kapitalisasi dan kalah kontestasi di ranah publik. Karena itu menurut Alissa tantangan yang kita hadapi saat ini adalah memperkuat basis teologis untuk keadilan gender, menggali tradisi aktual yang mendukung penguatan perempuan dan membangun gerakan yang lebih strategis dan komprehensif untuk memenangi kontestasi. (Anita Dhewy) “Apakah agama dan tradisi adalah dua hal yang berbeda atau salah satunya lebih kuat dari lainnya, yakni agama lebih kuat dari tradisi atau tradisi lebih kuat dari agama?”, Syafiq Hasyim, Direktur Senior ICIP (International Center for Islam and Pluralism) mempertanyakan kedudukan antara agama dan tradisi dalam Konferensi “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” yang diadakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kanada pada Kamis, 5 Maret 2015 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Dalam konferensi ini, Syafiq menekankan bahwa membedakan antara agama dan tradisi merupakan persoalan yang harus dicari jawabannya. Selanjutnya, Syafiq menggarisbawahi apa yang disampaikan Musdah Mulia—yang juga menjadi pembicara dalam konferensi tersebut—bahwa orang lebih cenderung melihat “kembang-kembang” dalam agama daripada inti ajaran agama. Misalnya mengenai khotbah setelah pernikahan yang cenderung membatasi perempuan. Di mana tradisi menjadikan posisi perempuan berada dalam posisi yang tidak diinginkan. Menurut Syafiq dalam menyikapi posisi antara agama dan tradisi, pandangan Ulama dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Islam sebagai produsen dari tradisi, karena itu jika ada perempuan diperlakukan tidak adil atau subordinat, hal itu semata-mata dari agama yang merembes ke tradisi. Kedua, Tradisi sebagai produsen dari Islam, di mana agama dipengaruhi tradisi itu sendiri. Sehingga jika tradisinya baik akan menjadi empowering, sementara jika tradisinya cenderung patriarkis tentu menghasilkan the rules of father. Lebih lanjut, Syafiq memandang ada kalanya agama memengaruhi tradisi dan begitupun sebaliknya dengan menekankan pada equal dan justice dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki. Syafiq melihat cara pandang Islam yang secara tekstual meletakkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan. Misalnya pada surat An-Nisa ayat 34 yang cenderung dilihat secara tekstual bahwa perempuan adalah sebagian dari laki-laki. Hal ini juga terjadi pada ayat penciptaan manusia serta ayat poligami. Syafiq menekankan, “Ini merupakan problem kita karena kita belum dapat menemukan jawaban yang krusial dan mantap, di mana ayat membela baik perempuan maupun laki-laki.” Sejauh penelitian yang dilakukan Syafiq mengenai sudut pandang ulama dalam persoalan perempuan, hampir sebagian besar bias gender. Bahkan banyak sejarawan muslim yang memandang bahwa peranan perempuan pascaRasulullah mengalami stagnasi. Sehingga menghasilkan produk-produk yang dalam istilah sekarang dikatakan tidak sensitif gender. Hal ini dapat dilihat dari pandangan ulama mengenai penciptaan manusia dan poligami. “Kita menemukan ribuan kitab yang membuat kita akan menangis melihat ulama terdahulu menggambarkan perempuan sebagai the secondary class,” tegas Syafiq. Mengenai penciptaan manusia, ulama terdahulu berpendapat bahwa perempuan diciptakan dari diri laki-laki. Ulama terdahulu menyandarkan argumennya bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk Adam dan pembuktiannya dengan memeriksa perbedaan tulang rusuk laki-laki dan perempuan. Mereka menegaskan bahwa tulang rusuk laki-laki sebelah kanan delapan belas dan sebelah kiri tujuh belas, dengan salah satu tulang rusuknya diambil perempuan. Padahal ulama terdahulu belum dapat membuktikannya secara medis, hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan akademisi saat ini, di mana ulama terdahulu mengambil pengetahuan yang bersumber dari tradisi pengetahuan pada masa itu sebagai taken for granted. Syafiq manyatakan hanya Muhammad Abduh yang menegaskan bahwa makhluk yang diciptakan pertama bukanlah laki-laki, sebagai mana yang diceritakan dalam the rib story. Dalam tafsir Al-Manar, Abduh mengatakan jika the rib story tidak diceritakan dalam Alquran dimana Adam dipandang sebagai sebab asal-usul penciptaan hawa. Menurut dia hal ini merupakan hasil tradisi Israiliyyat. Tradisi Israiliyyat berkembang pada masyarakat Judeo-Chrstian. Untuk itu, Syafiq mempertanyakan pada kaum nasrani mengenai tradisi biblistik dalam menggambarkan penciptaan manusia sebagai mana pada the rib story. Akan tetapi, kaum Kristen tidak membenarkan mengenai hal itu. Menelisik khazanah pandangan ulama di Indonesia pun masih terdapat bias gender. Pandangan Buya Hamka dalam buku Kedudukan Perempuan dalam Islam, sama seperti ulama terdahulu, sehingga tidak mengulas aspek-aspek penting bagi perempuan hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat normatif. Ulama saat ini pun kerap menyandarkan pada argumen ulama terdahulu yang tidak sensitif gender, misalnya Syeikh Nawawi Al-Bantani yang menjadi rujukan perihal persoalan perempuan. Padahal dalam diktum-diktumnya, terkhusus pada kitab ‘uquduz zain fi ‘uqudiz zaujain cenderung bias gender. “Lantas di mana posisi kita?”, Syafiq kembali mempertanyakan bagaimana kita memandang antara agama dan tradisi dalam mengatasi persoalan perempuan. Penerjemahan-penerjemahan pun dilakukan untuk mengatasi persoalan perempuan dengan menerjemahkan literatur-literatur berbahasa Inggris yang lebih banyak daripada literatur berbahasa Arab. Aksi nyata untuk mengatasi persoalan perempuan pun dilakukan Yayasan Kalyanamitra dan Yayasan Solidaritas Perempuan namun mereka mengalami kesulitan karena tidak mampu menjawab dari aspek agama. Padahal kecenderungan masyarakat ingin selalu menggunakan agama dalam segala aktivitasnya. Untuk itu Musdah Mulia serta Nasaruddin Umar berada dalam garis terdepan dalam mengatasi persoalan perempuan dengan pendekatan maqashidul syariah dan menghadirkan fiqhul nisa. (Agidia Oktavia) “Agama dan perempuan tidak pernah bersahabat meskipun perempuan adalah pihak yang seringkali paling menjaga kemurnian dan perintah agama”. Kalimat ini membuka paparan Siti Musdah Mulia dalam Konferensi “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” yang diadakan Jurnal Perempuan dan Kedutaan Kanada pada Kamis, 5 Maret 2015 di Jakarta. Musdah yang merupakan ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menambahkan Islam membawa perubahan dalam masyarakat yaitu memperkenalkan perayaan kelahiran bagi anak perempuan. Tradisi ini yang dikenal dengan hukum Akikah (perayaan sebagai bentuk ungkapan syukur dan kebahagiaan atas lahirnya hidup baru di dunia), awalnya hanya dijalankan untuk anak lelaki pada masa pra-Islam (jahiliyah). Ketika Islam masuk, tradisi Akikah kemudian dilaksanakan bagi bayi-bayi perempuan yang awalnya dianggap sebagai beban bagi sebuah keluarga. Sayangnya patriarki bertumbuh dengan sangat kuat. Anggapan bahwa perempuan adalah beban masih sering melekat dalam keluarga-keluarga yang melestarikan nilai-nilai tradisi yang salah. Oleh karena itulah pernikahan anak, salah satu akibat dari anggapan tersebut, banyak dilaksanakan untuk “membebaskan” keluarga yang bersangkutan dari anak perempuannya. Padahal perkawinan anak ini yang menyebabkan traffiking, AKI, HIV/AIDS, dan sebagainya. Musdah menceritakan bahwa salah satu anak didiknya pernah dinikahkan oleh orang tuanya walaupun saat ijab kabul dilakukan, yang bersangkutan tidak berada di lokasi ijab kabul. Ketika ia pulang ke kampung, ia mendapati ada lelaki asing di dalam kamarnya yang dinyatakan oleh ayahnya sebagai suami dari mahasisiwi tersebut. Di sinilah ijab kabul dimaknai secara keliru. Dalam prosesnya, ijab kabul biasanya dilaksanakan oleh penghulu dan wali sebagai partisipan aktif. Kedua posisi ini diisi oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Di sisi lain, perempuan hanyalah berperan pasif. Padahal ijab kabul sebenarnya adalah sebuah kontrak yang seharusnya diikuti dan disepakati oleh hanya kedua pihak yang akan mengikatkan diri pada satu sama lain yakni mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Sayangnya persoalan ini tak diatur dalam agama Islam. Posisi perempuan dalam pernikahan bahkan diatur dalam undang-undang sebagai posisi subordinat. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang seringkali diartikan sebagai penguasa ataupun yang memiliki hak untuk memerintah sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal lain dalam prosesi pernikahan yang timpang secara gender adalah ketika perempuan seringkali di-setting terlihat “mengenaskan”, bersimbah air mata sembari memohon ampun pada orang tua sementara pihak mempelai lelaki hanya berperan seadanya, tidak turut dalam adegan dramatis semacam itu. Jadi, seharusnya kita mulai memisahkan antara agama dan tradisi dalam suatu prosesi pernikahan meskipun pada kenyataannya nilai-nilai tradisi masih lebih kuat ketimbang agama. Menurut perempuan yang menjadi dosen pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, selama ia mendalami Alquran, ia tidak pernah menemukan ayat yang memerintahkan perempuan untuk taat kepada suami mereka. Kata “taat” dilanggengkan oleh masyarakat dalam prosesi pernikahan yang pada akhirnya dimaksudkan untuk menanamkan pada pihak istri bahwa istri harus patuh sepenuhnya pada suami mereka. Musdah menyatakan bahwa ia hanya menemukan perintah bagi lelaki dan perempuan untuk menaati Allah dalam Alquran. Dengan menaati Allah berarti sudah sepantasnya seorang istri menghormati suaminya dan begitu pula sebaliknya. Lembaga pernikahan di Indonesia yang sarat akan nilai-nilai patriarki dapat terlihat melalui contoh sederhana. Para perempuan yang sudah menikah umumnya disibukkan dengan tanggung jawab akan segala kebutuhan suami dan anak-anak mereka sementara seringkali kebutuhannya sebagai perempuan sekaligus manusia terlupakan. Tekanan pada perempuan tak hanya berhenti dalam lingkup keluarga. Masyarakat seolah turut berperan aktif menekan perempuan. Seringkali perempuan harus bertahan dalam suatu pernikahan meskipun pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan baginya. Persepsi masyarakatlah yang membuat mereka harus mengambil keputusan tersebut. Kita semua sebagai manusia dilimpahi sebuah tanggung jawab untuk bertransformasi, memeriksa diri, tidak statis dan memanusiakan manusia. Dalam Islam, visi dan misi kita seharusnya sudah jelas. Ketidakadilan adalah hal yang harus dilawan. Inilah jihad. (Johanna G.S.D. Poerba) Pada hari Kamis (5/3) Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Kedutaan Kanada mengadakan konferensi yang bertema “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia”. Acara yang bertempat di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta ini mengundang pembicara dari McGill Institute of Islamic Studies, Montreal, Profesor Ahmed Fekry Ibrahim. Profesor Ibrahim memberikan penjelasan mengenai hukum Islam dan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan isu gender dan anak. Diskursus HAM menjadi basis kajian Prof. Ibrahim terhadap hukum Islam. Di dalam Islam dikenal konsep Taqlid, yaitu legal conformism atau kompromi hukum-hukum Islam. Taqlid sangat jarang terjadi dan ditemukan lebih mudah pada abad ke-13. Ibrahim menjelaskan perubahan tafsir hukum Islam yang pro-Islam ditemukan lebih kaya saat sebelum abad ke-13 atau disebut sebagai masa Islam pra-modern. Saat itu wajah hukum Islam lebih mengenal kesetaraan dibandingkan Eropa. Setelah abad ke-13 ortodoksi berkembang. Dinasti saat itu mempersulit jalan untuk menghasilkan tafsir hukum Islam yang ramah gender. Selanjutnya pada abad ke-19 pembaharuan terjadi dengan munculnya tafsir-tafsir yang ramah pada kesetaraan. Berdasarkan penelitian Prof. Ibrahim, Islam sebelum abad ke-13 bahkan lebih setara dibanding Eropa. Pada abad ke-16 s.d. abad ke-18, penjajahan Eropa ke Timur Tengah mempertemukan modernitas Eropa dengan tradisi Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah (terutama Mesir) mengadopsi sekaligus membenci modernitas Eropa. Hal itu dimaknai sebagai destabilisasi Timur Tengah yang menimbulkan ketakutan-ketakutan tertentu di dalam masyarakat. Meski begitu banyak pemikir Mesir yang mengenyam pendidikan di Eropa. Dari situ muncul pertanyaan-pertanyaan apakah hukum Islam dapat mengakomodasi modernisme hukum Eropa dan kenyataan hukum-hukum baru dalam masyarakat global. Pada abad ke-19 pertanyaan itu masih berbentuk, “is it possible or Islamic for Moslem to wear European hat? Or eat the meat killed by Christian or Jewish person?”. Pada abad selanjutnya sampai sekarang pertanyaan bergeser dan mengerucut berkenaan dengan feminisme dan hak-hak anak. Ketika para pemikir tersebut kemudian kembali ke Mesir, mereka menjadi reformis. Ibrahim mengatakan, “People would go back to the scripture and say, well this verse really means that”. Misalnya dalam hal poligami. Beberapa negara yang berpenduduk Muslim melarang poligami berdasarkan tafsir ayat tertentu dan tertuang di dalam hukum positif seperti Tunisia. Sebagai contoh ayat yang mengatakan, “you’re allowed to have two, three or four wives if you treat them justly. But you will not treat them justly”. Dari sana mereka menginterpretasi bahwa poligami sesungguhnya tidak diperbolehkan. Bergeser pada abad ke-21, Ibrahim memberikan contoh kasus mengenai hukum perwalian anak. Bagi Ibrahim, “it is important because it is overlaps with gender issues and minority rights”. Di samping itu isu itu juga terkait dengan ras, etnisitas serta afiliasi agama seseorang. Di dalam hukum-hukum tersebut Ibrahim mengatakan, “There are several rules of where the gender of the child determines how you gonna deal with the child.” Jenis kelamin anak sangat menentukan bagaimana masa depan mereka nantinya dalam perwalian. Hal itu akan menjadi isu karena mengakibatkan ketidakadilan gender. Ada banyak sekali posisi legal anak-anak dalam hukum perwalian dalam mazhab berbeda-beda. Reformasi hukum Islam terjadi dengan mengenali adanya pluralisme tafsir diantara mazhab-mazhab yang ada. Salah satu upaya progresivitas hukum adalah dengan melakukan seleksi mazhab di dalam Islam. Ibrahim meneliti teks-teks lama dan pada abad ke-15 saat Turki Usmani atau Ottoman berkuasa ditemukan kontrak-kontrak akan perwalian. Di saat yang bersamaan, di Eropa, perempuan tidak mendapatkan hak sebanyak itu. Di Inggris pada tahun 1839 baru dibicarakan mengenai hak perempuan di dalam perwalian. Padahal di dalam Islam hal tersebut sudah ada jauh sebelumnya. Bagi Ibrahim kita harus melihat praktik-praktik bagaimana masyarakat menegosiasikan hukum-hukum tersebut karena apa yang terjadi di dalam praktik berbeda dengan apa yang termaktub di dalam hukum. Sejauh ini menurut penelitian Prof. Ibrahim, di antara kekayaan pluralitas hukum Islam, yang paling progresif yaitu ketika kerajaan Ottoman berkuasa, karena pertimbangan hukum saat itu didasarkan rekomendasi akan kepentingan terbaik terutama pada anak-anak. Hal itu bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita atas praktik yang terjadi sekarang. Ibrahim menawarkan alternatif forum seleksi serta normativitas dari praktik, yaitu mempertimbangkan praktik yang ada di samping menghormati hukum-hukum Islam. Kita bisa mengupayakannya dengan ijtihad dan penelusuran praktik-praktik tersebut untuk membawa perubahan yang lebih adil pada hari ini. (Lola Loveita) Dalam rangka Peringatan Hari Perempuan Internasional dan Peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 84, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kanada menggelar Konferensi dengan tema “Agama, Tradisi dan Hak & Status Perempuan di Indonesia” pada Kamis, 5 Maret 2015 bertempat di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta. Acara yang dihadiri oleh sejumlah kalangan baik akademisi, mahasiswa, kalangan profesional, jaringan NGO dan media dari sejumlah daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta ini bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan kepada khalayak luas atas kajian-kajian yang dilakukan Jurnal Perempuan sekaligus mengampanyekan kesetaraan gender dalam praktik budaya, tradisi, tafsir agama dan adat. Agenda rutin Pendidikan Publik Jurnal Perempuan ini dibagi dalam dua sesi dengan menghadirkan pembicara Ahmed Fekry Ibrahim (McGill Institute of Islamic Studies, Montreal), Alissa Wahid (Nahdlatul Ulama-NU), Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace -ICRP) dan Syafiq Hasyim (international Center for Islam and Pluralism-ICIP) dengan moderator Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum. Acara dibuka dengan sambutan dari Dewan Pembina Jurnal Perempuan Melli Darsa yang menyampaikan apresiasi atas dukungan yang diberikan Kedutaan Kanada dalam mempromosikan dan mengampanyekan kesetaraan gender. Sementara Duta Besar Kanada Donald Bobiash dalam sambutannya menyatakan Kedutaan Kanada percaya bahwa hak-hak perempuan dan kebebasan beragama saling terkait. Ia melihat keduanya sebagai isu hak asasi manusia yang lebih luas dan karenanya butuh promosi dan dukungan. Lebih lanjut Donald mengatakan tema yang diangkat pemerintah Kanada dalam peringatan HPI tahun ini adalah “Perempuan Kuat, Dunia Kuat, Perbaikan Kesempatan Ekonomi bagi Semua”. Tema ini merujuk pada kontribusi penting keterlibatan perempuan dalam ekonomi baik di tingkat rumah tangga maupun global. Tema tersebut juga menggarisbawahi pentingnya memastikan bahwa setiap perempuan memiliki kesempatan untuk menciptakan kesejahteraan baik sebagai seorang pekerja, profesional, pemimpin bisnis atau pengusaha. Donald menambahkan bahwa pemerintah Kanada mendukung gagasan bahwa kesetaraan gender bukan hanya semata-mata merupakan isu hak asasi manusia, tetapi juga komponen penting dari pembangunan berkelanjutan, keadilan sosial, kedamaian dan keamanan. Ketika perempuan bebas dari kekerasan, diskriminasi dan intoleransi, perempuan dapat menjadi agen perubahan yang kuat. Pihaknya juga percaya bahwa kebebasan beragama bukan hanya hak asasi manusia, tetapi juga merupakan isu tentang martabat manusia. Usai sambutan dari Jurnal Perempuan dan Kedutaan Kanada, acara dilanjutkan dengan pidato dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Agama. Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Sri Danti Anwar, dalam ceramahnya mengungkapkan sejak tahun 2000 pemerintah khususnya KPPPA telah mengintegrasikan gender dalam berbagai kebijakan baik di level nasional maupun daerah. Upaya percepatan pengarusutamaan gender dilakukan pada 2009 lewat kebijakan penganggaran responsif gender. Danti juga mengungkapkan sejauh ini sudah lahir sejumlah kebijakan yang pro perempuan dan anak, seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, UU Peradilan Anak, dll. Namun demikian, menurutnya sejumlah tantangan masih dihadapi, seperti interpretasi pemahaman agama yang merugikan perempuan dan pemahaman tentang kesetaraan yang masih berbeda. Dampak dari interpretasi ajaran agama yang tidak mendukung kesetaraan gender mewujud dalam pernikahan dini dan KDRT. Sehingga perlu untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang tidak mendukung kesetaraan perempuan dan melakukan interpretasi ulang. Danti juga mengatakan bahwa selama ini publikasi Jurnal Perempuan menjadi referensi bagi KPPPA dalam menyusun kebijakan. Karena itu pihaknya mendukung konferensi ini. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia Abdurahman Mas'ud dalam pidatonya mengutarakan Kementerian Agama merupakan lembaga yang memfasilitasi kehidupan beragama yang dinamis dan harmonis. Konsep dan kebijakan agama cukup berdampak pada status perempuan. Menurutnya saat ini Badan Litbang Kementerian Agama sedang menyiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama untuk melindungi semua umat beragama termasuk di luar ke-6 agama yang diakui negara. Mas’ud menambahkan pihaknya melihat tradisi sebagai hal yang melekat dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan keragaman tradisi yang hidup dalam masyarakat dan interpretasi yang sangat kaya atas tradisi tersebut juga bagaimana komunitas masyarakat menggunakan kearifan lokal untuk mengatasi persoalan yang ada dalam masyarakat. Dalam konflik misalnya, perempuan bisa tetap menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang berseberangan bahkan menjadi aktor dalam proses perdamaian. Kearifan lokal pada taraf tertentu telah mendamaikan masyarakat dalam bidang agama. Mas’ud juga mengajak semua pihak mengeliminir kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan. Ia menambahkan Kementerian Agama mengapresiasi upaya Jurnal Perempuan mewujudkan kesetaraan baik lewat penerbitan maupun pendidikan publik. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2024
Categories |