Dewi Candraningrum: Komunikasi dalam Ruang Publik adalah Bentuk Pelayanan atas Pengetahuan, Kesetaraan, Keadilan
(26 Agustus 2014)

Dalam rangka peringatan 69 tahun kemerdekaan RI, Megawati Institute menggelar acara bertajuk “Masa Depan Keberagaman dan Kebangsaan Kita” yang diisi dengan pidato kebudayaan oleh tokoh muda Indonesia Dewi Candraningrum yang juga Pemred Jurnal Perempuan dan peluncuran buku yang merupakan proyek Megawati Institute dalam menyuarakan ide-ide strategis untuk bangsa pada Sabtu (23/8) di Gedung Djoeng, Menteng, Jakarta. Dalam sambutannya, Direktur Megawati Institute, Musdah Mulia mengatakan buku Memoria Indonesia Bergerak merupakan kumpulan tulisan dari alumni sekolah pemikiran pendiri bangsa yang melakukan tinjauan terhadap pemikiran para founding father/mother. Hampir sama dengan Memoria Indonesia Bergerak, buku Udah Kenal dengan Pendiri Indonesia? juga mengangkat gagasan para pendiri bangsa namun ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna oleh anak muda. Lebih lanjut Musdah menjelaskan selain persoalan kebangsaan, persoalan perempuan juga menjadi topik yang diangkat. Buku Selamatkan Ibu Selamatkan Bangsa adalah kumpulan tulisan dari para pemenang lomba dalam rangka hari Ibu yang diadakan Megawati Institute dengan mengangkat isu soal Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih tinggi. Sementara buku Kemuliaan Perempuan dalam Islam mengangkat isu tentang Islam sebagai agama yang ramah terhadap perempuan. Buku ini merupakan pedoman sehingga orang islam tidak akan lagi berpikir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atau menjadi makhluk nomor dua. Terakhir, buku Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender mengupas kesetaraan dan keadilan gender dalam perspektif Islam. Megawati Institute berharap dengan diseminasi buku-buku ini maka akselerasi atas gagasan kebangsaan dan keberagaman semakin meningkat.
Sementara itu dalam pidato kebudayaan yang berjudul ”Negara, Politik dan Hasrat Manusia”, Dewi Candraningrum membedah ide Habermas tentang ruang publik dalam Strukturwandel der Öffentlichkeit yang berbicara tentang kelahiran arena publik sebagai arena intelektual yang diciptakan oleh publik yang membaca, publik yang berdebat, dengan konteks masyarakat Eropa awal abad ke-18. Strukturwandel melakukan rekonstruksi atas versi ideal dari ruang publik yang berfungsi sebagai dasar penilaian atas kesehatan masyarakat demokratis. Dewi kemudian mengritisi gagasan Habermas dari perspektif postmodern-feminisme terkait dengan menguatnya pasar, munculnya world wide web dan diraihnya hak-hak politik modern bagi gender ketiga. Dalam pidatonya Dewi juga mempersoalkan kebutaan-kebutaan Habermas dalam membaca gender yang cukup sistematis. Ia kemudian menutup pidatonya dengan mengupas pertanyaan tentang bagaimana cara merayakan kegembiraan-kegembiraan politik. (Anita Dhewy)
Sementara itu dalam pidato kebudayaan yang berjudul ”Negara, Politik dan Hasrat Manusia”, Dewi Candraningrum membedah ide Habermas tentang ruang publik dalam Strukturwandel der Öffentlichkeit yang berbicara tentang kelahiran arena publik sebagai arena intelektual yang diciptakan oleh publik yang membaca, publik yang berdebat, dengan konteks masyarakat Eropa awal abad ke-18. Strukturwandel melakukan rekonstruksi atas versi ideal dari ruang publik yang berfungsi sebagai dasar penilaian atas kesehatan masyarakat demokratis. Dewi kemudian mengritisi gagasan Habermas dari perspektif postmodern-feminisme terkait dengan menguatnya pasar, munculnya world wide web dan diraihnya hak-hak politik modern bagi gender ketiga. Dalam pidatonya Dewi juga mempersoalkan kebutaan-kebutaan Habermas dalam membaca gender yang cukup sistematis. Ia kemudian menutup pidatonya dengan mengupas pertanyaan tentang bagaimana cara merayakan kegembiraan-kegembiraan politik. (Anita Dhewy)
Fanny Chotimah: Film Pencari Keadilan Efektif Kampanyekan Isu Kekerasan Pada Perempuan
(21 Agustus 2014)

Bertempat di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Surakarta, Rabu (20/8/2014) komunitas Jejer Wadon yang dihadiri oleh 30 orang menggelar acara rutin bulanan dengan tema Pemutaran dan Diskusi Film Pencari Keadilan. Film yang diproduksi oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) bekerja sama dengan Etnoreflika dan didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) diambil dari kisah nyata seorang perempuan difabel mental intelektual dan rungu wicara yang menjadi korban perkosaan dan pencabulan. Film yang juga bercerita tentang advokasi kasus tersebut menggambarkan mekanisme peradilan di Indonesia. Fanny Chotimah, feminis dan filmmaker yang mengupas film Pencari Keadilan mengatakan bahwa film ini efektif untuk mengampanyekan isu kekerasan yang dialami oleh perempuan.
Purwanti, pembicara dari Sigab menyatakan bahwa setiap perempuan korban kekerasan selalu mengalami trauma berkepanjangan. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan difabel yang tidak masuk dalam ranah peradilan di Indonesia karena kebijakan dan sistem yang tidak berpihak kepada difabel. “Dengan adanya film ini maka diharapkan ada gerakan masif yang berdampak secara sistemik yang mengubah paradigma,”tutur Purwanti. Dilihat dari sisi pembuatan film itu sendiri, Purwanti melihat adanya kemanfaatan yang besar dengan hilangnya ego sektoral di kalangan difabel. “Film ini juga salah satu hasil refleksi sehingga bermacam-macam jenis difabel turut berpartisipasi dalam pembuatan yakni difabel daksa, netra, rungu wicara dan cerebral palsy. Kami bekerja sama dengan nondifabel dan terjadi proses peleburan lalu berpikir bagaimana film ini dibuat mudah diakses bagi semua,”tambah Purwanti, pemeran film dan pelaku advokasi untuk korban.
Pada sesi diskusi, Elizabeth Yulianti Rahardjo, pegiat Jejer Wadon dari LPH-YAPHI menanyakan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti menjelaskan bahwa saat ini belum ada Standard Operating Procedure (SOP) yang menjadi pijakan bagi pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti juga mengemukakan bagaimana saat ini sistem peradilan di Indonesia dalam menangani korban kekerasan masih mengacu kepada umur berdasarkan kalender, bukan usia mental. “Melihat sebuah karya dari unsur intrinsik dan ekstrinsik, film Pencari Keadilan bisa dikatakan berhasil menyampaikan pesan tentang advokasi perempuan korban kekerasan seksual ,”pungkas Fanny Chotimah pada diskusi yang dimoderatori oleh Astuti Parengkuh. (Astuti Parengkuh)
Purwanti, pembicara dari Sigab menyatakan bahwa setiap perempuan korban kekerasan selalu mengalami trauma berkepanjangan. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan difabel yang tidak masuk dalam ranah peradilan di Indonesia karena kebijakan dan sistem yang tidak berpihak kepada difabel. “Dengan adanya film ini maka diharapkan ada gerakan masif yang berdampak secara sistemik yang mengubah paradigma,”tutur Purwanti. Dilihat dari sisi pembuatan film itu sendiri, Purwanti melihat adanya kemanfaatan yang besar dengan hilangnya ego sektoral di kalangan difabel. “Film ini juga salah satu hasil refleksi sehingga bermacam-macam jenis difabel turut berpartisipasi dalam pembuatan yakni difabel daksa, netra, rungu wicara dan cerebral palsy. Kami bekerja sama dengan nondifabel dan terjadi proses peleburan lalu berpikir bagaimana film ini dibuat mudah diakses bagi semua,”tambah Purwanti, pemeran film dan pelaku advokasi untuk korban.
Pada sesi diskusi, Elizabeth Yulianti Rahardjo, pegiat Jejer Wadon dari LPH-YAPHI menanyakan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti menjelaskan bahwa saat ini belum ada Standard Operating Procedure (SOP) yang menjadi pijakan bagi pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti juga mengemukakan bagaimana saat ini sistem peradilan di Indonesia dalam menangani korban kekerasan masih mengacu kepada umur berdasarkan kalender, bukan usia mental. “Melihat sebuah karya dari unsur intrinsik dan ekstrinsik, film Pencari Keadilan bisa dikatakan berhasil menyampaikan pesan tentang advokasi perempuan korban kekerasan seksual ,”pungkas Fanny Chotimah pada diskusi yang dimoderatori oleh Astuti Parengkuh. (Astuti Parengkuh)
Dewi Candraningrum: Politik Memori sebagai Upaya Melawan Lupa
(18 Agustus 2014)

Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) menggelar diskusi buku puisi Pulang Melawan Lupa karya Zubaidah Djohar dengan tajuk “Perempuan, Sastra dan Perdamaian” pada Jumat 15 Agustus 2014 di Balai Budaja Jakarta bertepatan dengan peringatan penandatanganan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia sembilan tahun silam. Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang menjadi salah satu pembicara membahas soal politik memori, amnesia sosial dan karya sastra sebagai pengungkap kebenaran. Ia mengatakan bahwa Politik memori perlu dibangun, karena ia berfungsi untuk merehabilitasi dan mengusahakan rekonsiliasi dalam situasi pasca konflik. Museum sebagai salah satu situs ingatan, tidak hanya mewujud dalam bentuk fisik, akan tetapi juga non fisik, seperti misalnya penulisan puisi, pembuatan film, penciptaan lukisan, dan lain-lain. Upaya penulisan sejarah lewat karya sastra ini menjadi penting. Mengapa karya sastra? Karena kesusastraan ibarat samudra yang bisa menampung semua, ada metafora, aporisma, juga hiberbola di dalamnya.
Lebih lanjut Dewi mengatakan pengalaman-pengalaman perempuan yang mengalami perkosaan—seperti ditulis Zubaidah dalam puisinya Inikah Damai itu, Tuan?—tidak masuk dalam sejarah formal. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Jerman, di negara tersebut, puisi-puisi semacam ini diajarkan dan dipelajari di sekolah. Tanpa memaksakan bahwa apa yang termaktub dalam karya sastra tersebut adalah sejarah, dengan membaca, mendengarkan, bagaimana puisi tersebut dibacakan merupakan sebuah jalan membangun retorika melawan kesewenangan dan ketakadilan zaman. Dengannya, pembaca memberikan telinganya untuk melakukan re-apropriasi bentuk sejarah baru yang lebih adil.
Sementara Pande K. Trimayuni dari Indonesian Womes’s Literary yang juga menjadi pembicara mengupas soal konflik, dampaknya bagi perempuan dan peran yang seharusnya diambil negara. Ia memaparkan bahwa sejak Perang Dunia II paham yang berlaku adalah realis-positivis yang memandang perang sebagai keniscayaan. Bangsa-bangsa akan berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga perdamaian adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Namun pada tahun 1980-an muncul pemikiran yang menentang, salah satunya dari kelompok feminis. Feminis percaya bahwa ada pilihan selain konflik. Kelompok feminis juga percaya bahwa konflik terjadi karena sifat-sifat maskulin lebih dominan. Sifat maskulin ini tidak hanya dimiliki laki-laki, tetapi juga perempuan. Bagi kelompok feminis, dialog adalah cara untuk mengakhiri konflik. Nilai-nilai perdamaian seperti mengutamakan dialog, adalah nilai-nilai feminin, yang ada pada laki-laki dan perempuan.
Lebih lanjut Pande mengatakan dalam konteks Aceh, paham maskulin ini yang dominan. Dalam situasi konflik, perempuan rentan menjadi korban. Perkosaan menjadi isu yang sangat memprihatinkan dan dipakai sebagai teror, alat perang. Dan sayangnya sampai sekarang masih sulit membawa para pelaku ke pengadilan. Di Aceh belum pernah terdengar para pelaku disidang dan diadili. Di sisi lain, perempuan—yang banyak menjadi korban—kesulitan mengartikulasikan pengalaman kekerasan dan trauma yang dialami. Sehingga butuh upaya khusus untuk menuliskan dan butuh pendekatan personal. Di sini peran negara adalah memfasilitasi, memberi repatriasi dan pemulihan. Sehingga kejadian semacam ini dapat menjadi pembelajaran dan tidak terjadi kembali. Dalam konteks sastra menjadi tantangan tersendiri untuk mengangkat suara korban.
Sementara itu Yenti Nurhidayat Ketua KPPI ketika membuka acara mengungkapkan bahwa semangat dari kegiatan ini adalah mengingat kembali semangat perdamaian dari perjanjian damai yang disepakati antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 dan sekaligus menolak lupa atas kekerasan yang dialami perempuan dan anak yang menjadi korban dalam konflik Aceh. Selain Jakarta, acara sejenis juga berlangsung serentak di dua kota, Aceh dan Canberra. Lebih lanjut Yenti mengatakan dengan semangat melawan lupa pula KPPI memilih untuk menggelar diskusi di Balai Budaja mengingat gedung itu dulu pernah menjadi pusat aktivitas budaya dari para penulis dan penyair, seperti Chairil Anwar. Acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penampil seperti Milastri Muzakkar, Olin Monteiro, Gayatri Muthahari, BJD Gayatri, dan lain-lain. (Anita Dhewy)
Lebih lanjut Dewi mengatakan pengalaman-pengalaman perempuan yang mengalami perkosaan—seperti ditulis Zubaidah dalam puisinya Inikah Damai itu, Tuan?—tidak masuk dalam sejarah formal. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Jerman, di negara tersebut, puisi-puisi semacam ini diajarkan dan dipelajari di sekolah. Tanpa memaksakan bahwa apa yang termaktub dalam karya sastra tersebut adalah sejarah, dengan membaca, mendengarkan, bagaimana puisi tersebut dibacakan merupakan sebuah jalan membangun retorika melawan kesewenangan dan ketakadilan zaman. Dengannya, pembaca memberikan telinganya untuk melakukan re-apropriasi bentuk sejarah baru yang lebih adil.
Sementara Pande K. Trimayuni dari Indonesian Womes’s Literary yang juga menjadi pembicara mengupas soal konflik, dampaknya bagi perempuan dan peran yang seharusnya diambil negara. Ia memaparkan bahwa sejak Perang Dunia II paham yang berlaku adalah realis-positivis yang memandang perang sebagai keniscayaan. Bangsa-bangsa akan berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga perdamaian adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Namun pada tahun 1980-an muncul pemikiran yang menentang, salah satunya dari kelompok feminis. Feminis percaya bahwa ada pilihan selain konflik. Kelompok feminis juga percaya bahwa konflik terjadi karena sifat-sifat maskulin lebih dominan. Sifat maskulin ini tidak hanya dimiliki laki-laki, tetapi juga perempuan. Bagi kelompok feminis, dialog adalah cara untuk mengakhiri konflik. Nilai-nilai perdamaian seperti mengutamakan dialog, adalah nilai-nilai feminin, yang ada pada laki-laki dan perempuan.
Lebih lanjut Pande mengatakan dalam konteks Aceh, paham maskulin ini yang dominan. Dalam situasi konflik, perempuan rentan menjadi korban. Perkosaan menjadi isu yang sangat memprihatinkan dan dipakai sebagai teror, alat perang. Dan sayangnya sampai sekarang masih sulit membawa para pelaku ke pengadilan. Di Aceh belum pernah terdengar para pelaku disidang dan diadili. Di sisi lain, perempuan—yang banyak menjadi korban—kesulitan mengartikulasikan pengalaman kekerasan dan trauma yang dialami. Sehingga butuh upaya khusus untuk menuliskan dan butuh pendekatan personal. Di sini peran negara adalah memfasilitasi, memberi repatriasi dan pemulihan. Sehingga kejadian semacam ini dapat menjadi pembelajaran dan tidak terjadi kembali. Dalam konteks sastra menjadi tantangan tersendiri untuk mengangkat suara korban.
Sementara itu Yenti Nurhidayat Ketua KPPI ketika membuka acara mengungkapkan bahwa semangat dari kegiatan ini adalah mengingat kembali semangat perdamaian dari perjanjian damai yang disepakati antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 dan sekaligus menolak lupa atas kekerasan yang dialami perempuan dan anak yang menjadi korban dalam konflik Aceh. Selain Jakarta, acara sejenis juga berlangsung serentak di dua kota, Aceh dan Canberra. Lebih lanjut Yenti mengatakan dengan semangat melawan lupa pula KPPI memilih untuk menggelar diskusi di Balai Budaja mengingat gedung itu dulu pernah menjadi pusat aktivitas budaya dari para penulis dan penyair, seperti Chairil Anwar. Acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penampil seperti Milastri Muzakkar, Olin Monteiro, Gayatri Muthahari, BJD Gayatri, dan lain-lain. (Anita Dhewy)