Sorgum dan Sera’e di Tangan Dua Perempuan Pejuang Pangan
Foto: antaranews
Minggu ini kita dapat menemukan dua tokoh yang diangkat sebagai pejuang pangan. Keduanya adalah perempuan. Mereka adalah Siti Rofi’ah dari Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Rebecca asal Samabusa, Nabire, Papua. Siti Rofi’ah berawal dari menjalankan petuah dari orang tuanya untuk tidak melepas kebun, dan jangan meminta-minta bila dalam keadaan susah. Rofi’ah menganggap perlunya mengembalikan pangan lokal yang mandiri. Sementara Rebecca yang dipanggil Mama Rebecca ini melalui bercocok tanam dapat membantu orang lain di Samabusa. Alasan berkebun bukan semata-mata memenuhi kebutuhan mereka, tetapi kemandirian pangan dan membuat mereka tidak lagi bergantung pada situasi krisis pangan beras saat ini.
Siti Rofi’ah: “Kami butuh pencerahan, bukan Uang”
Rofi’ah bercerita pada tahun 1983 di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, masyarakat yang awalnya tidak mengenal padi, tetapi berkebun jagung, dan berbagai macam umbi-umbian untuk dijual, menjadi malas dan manja ketika mereka mulai diperkenalkan pertanian sawah, dimana orang-orang desa dibagikan ribuan hektar tanah. Siapa yang tidak senang dengan pembagian ini, apalagi pada musim tanam pertama, mereka memberikan hasil padi melimpah. Ini adalah yang kita kenal dengan kebijakan pemerintah tentang “revolusi hijau”, yang telah menggeser kehidupan berkebun mereka di sana. Waktu itu dampak buruknya tidak terlalu terlihat, sampai akhirnya di musim tanam kedua, karena merasa bersawah lebih menghasilkan banyak, orang-orang mulai melepas kebun, meninggalkan jagung. Umbi-umbian hutan seperti talas, ubi dan pisang pun ditinggalkan. Mereka tidak lagi memakan dan menjualnya. Sampai pada tahun kelima, datanglah tawaran pupuk kimia dan pestisida. Pupuk ini menggeser pupuk organik karya orang-orang setempat. Mereka lalu menjadi sangat bergantung. Mereka belanja pupuk, tidak lagi memproduksi dan menjual sendiri, karena pupuk kimia ini menghasilkan panen yang melimpah dalam waktu yang sangat singkat dan sampai waktunya kehebatan itu menimbulkan masalah baru. Datanglah beragam hama seperti wereng coklat, penggerek batang, dan hama putih. Mereka tidak siap mengatasi persoalan baru ini, banyak kasus gagal panen. Mulai muncul tekanan ekonomi dimana orang-orang mulai mengijon (utang) pangan atau beras. Mereka berhutang beras, tetapi harus membayar lebih dari harga beras itu sendiri. Akibat tekanan ekonomi, anak-anak mereka tak sekolah, orang tua bertengkar, kehidupan menjadi buruk. Sampai akhirnya tiba masa gagal panen, dan bencana kelaparan melanda wilayah itu.
Dari cerita ini kemudian Rofi’ah berharap orang-orang kembali berkebun, menjadi lebih mandiri dalam menghadapi situasi pangan. Rofi’ah yang menjanda dipandang sinis dan direndahkan martabatnya oleh lingkungan sekitar karena statusnya itu, ternyata berhasil mengumpulkan kaum ibu sebanyak 10 orang. Kegiatan kaum ibu ini berawal dari mengumpulkan 1 kg beras semacam arisan, yang kemudian untuk diberikan kepada anggota. Beras tersebut lalu dijual sehingga anggota dapat menghasilkan uang.
Perkumpulan kaum Ibu yang dibentuk Rofi’ah semakin berkembang, mereka mulai dibantu LSM, dan pernyataan menarik dari Rofi’Ah adalah bahwa kaum ibu ini tak butuh uang, tetapi butuh pencerahan, artinya mereka merasa tidak tahu apa-apa sehingga ingin dibekali pengetahuan bagaimana menjalankan program kegiatan yang menghasilkan. Dari pengetahuan yang diberikan LSM pendamping itu, mereka belajar membuat pupuk bokasih dan pupuk organik. Bahkan mereka mengumpulkan kotoran sapi, kambing dan kerbau untuk dibuat pupuk yang sebagian dijual. Tetapi tidak terlalu berhasil. Rofi’Ah berpikir panjang, berjalan ke gunung-gunung mencari sorgum merah, hitam dan putih. Benih-benih sorgum ini sudah lama tak dijaga, sampai akhirnya warga mulai menanam sorgum di musim kering dan benih disebarkan ke berbagai desa dan kecamatan lain. Rofi’ah mengatakan seharusnya pangan lokal ini didukung oleh pemerintah karena ketergantungan orang pada beras hanya berujung pada bantuan raskin dan membuat warga jadi malas dan manja. “Lepas kebun berarti melepaskan hidup,” katanya.
Mama Rebecca, Contoh yang Berhasil
Rebecca, yang dipanggil Mama Rebecca ini bahkan tidak lulus sekolah dasar, tetapi berhasil dalam hidupnya, berawal dari kegemarannya bercocok tanam. Tanaman lokal justru menyelamatkan hidupnya, ia bahkan mampu membiayai sendiri sekolah ketiga anaknya. Pengetahuan satu-satunya yang ia miliki adalah berkebun. Ia menanam sera’e, makanan khas Nabire, juga menanam sayuran dan buah-buahan. Setiap hari kerjanya adalah berkebun. Ia berkomentar bahwa beras sekarang tidak tersedia banyak, sehingga harus berpikir cara yang lain. Dengan menanam pangan lain, khususnya panganan lokal yang hampir saja hilang, ia berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya. Sera’e adalah tanaman yang tumbuh secara liar di hutan, dan sejak berkembangnya perusahaan kayu dan pembangunan dermaga, sera’e dan keladi semakin menghilang. Membudidayakan dua tanaman yang nyaris hilang itu adalah gagasan yang menguntungkan Rebecca. Mama Rebecca bahkan mengajak tetangga-tetangganya untuk melakukan hal yang sama, supaya berhasil seperti dirinya, dengan merelakan lahannya dipergunakan oleh 13 tetangganya. Ketigabelas tetangga itupun berhasil, sampai akhirnya mereka memiliki lahan sendiri. Rata-rata dari mereka adalah janda, jadi mereka perlu kemandirian ekonomi. Mama Rebecca mengajak mereka untuk tidak duduk-duduk saja meratapi nasib, tetapi bangkit dan bekerja dengan berkebun. Rebecca menghabiskan waktunya untuk menanam dan mengontrol tanamannya. Berkat upayanya itu, anak-anaknya sampai bisa lulus SMA dan mendapatkan pekerjaan.
Perempuan berusia 58 tahun ini terlihat masih segar dan kuat, bercerita bahwa berkebun bukan berarti tidak mengalami kegagalan, tetapi Mama Rebecca bukanlah orang yang gampang putus asa. Ia menelusuri toko obat dan membaca keterangan yang tertera di botol-botol toko obat itu, sampai akhirnya ia membeli obat pembasmi hama yang ia gunakan untuk mempertahankan tanamannya. Rebecca tidak pernah mendapatkan bantuan modal ataupun pelatihan, semua yang ia terapkan berkat pengetahuannya bercocok tanam sejak kecil. Dari sera’e, seorang perempuan berusia lebih dari setengah baya, menciptakan kehidupannya lebih baik, dan dapat membantu perempuan lain yang membutuhkan ekonomi yang mandiri, serta menyelamatkan panganan lokal yang nyaris punah.
Dua kisah perempuan di atas ingin mengatakan tentang dibalik kehidupan yang serba terbatas, perempuan yang memiliki kemauan, pengetahuan apapun serta harapan, bisa menyelamatkan, menyadarkan, bahkan membantu orang lain serta lingkungan menjadi lebih baik. Pantaslah Rofi’ah dan Rebecca disebut pejuang pangan.
Ditulis oleh Mariana Amiruddin, disarikan dari Media Indonesia Senin, 14 Maret 2013 dan Kompas Selasa, 19 Maret 2013.
Siti Rofi’ah: “Kami butuh pencerahan, bukan Uang”
Rofi’ah bercerita pada tahun 1983 di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, masyarakat yang awalnya tidak mengenal padi, tetapi berkebun jagung, dan berbagai macam umbi-umbian untuk dijual, menjadi malas dan manja ketika mereka mulai diperkenalkan pertanian sawah, dimana orang-orang desa dibagikan ribuan hektar tanah. Siapa yang tidak senang dengan pembagian ini, apalagi pada musim tanam pertama, mereka memberikan hasil padi melimpah. Ini adalah yang kita kenal dengan kebijakan pemerintah tentang “revolusi hijau”, yang telah menggeser kehidupan berkebun mereka di sana. Waktu itu dampak buruknya tidak terlalu terlihat, sampai akhirnya di musim tanam kedua, karena merasa bersawah lebih menghasilkan banyak, orang-orang mulai melepas kebun, meninggalkan jagung. Umbi-umbian hutan seperti talas, ubi dan pisang pun ditinggalkan. Mereka tidak lagi memakan dan menjualnya. Sampai pada tahun kelima, datanglah tawaran pupuk kimia dan pestisida. Pupuk ini menggeser pupuk organik karya orang-orang setempat. Mereka lalu menjadi sangat bergantung. Mereka belanja pupuk, tidak lagi memproduksi dan menjual sendiri, karena pupuk kimia ini menghasilkan panen yang melimpah dalam waktu yang sangat singkat dan sampai waktunya kehebatan itu menimbulkan masalah baru. Datanglah beragam hama seperti wereng coklat, penggerek batang, dan hama putih. Mereka tidak siap mengatasi persoalan baru ini, banyak kasus gagal panen. Mulai muncul tekanan ekonomi dimana orang-orang mulai mengijon (utang) pangan atau beras. Mereka berhutang beras, tetapi harus membayar lebih dari harga beras itu sendiri. Akibat tekanan ekonomi, anak-anak mereka tak sekolah, orang tua bertengkar, kehidupan menjadi buruk. Sampai akhirnya tiba masa gagal panen, dan bencana kelaparan melanda wilayah itu.
Dari cerita ini kemudian Rofi’ah berharap orang-orang kembali berkebun, menjadi lebih mandiri dalam menghadapi situasi pangan. Rofi’ah yang menjanda dipandang sinis dan direndahkan martabatnya oleh lingkungan sekitar karena statusnya itu, ternyata berhasil mengumpulkan kaum ibu sebanyak 10 orang. Kegiatan kaum ibu ini berawal dari mengumpulkan 1 kg beras semacam arisan, yang kemudian untuk diberikan kepada anggota. Beras tersebut lalu dijual sehingga anggota dapat menghasilkan uang.
Perkumpulan kaum Ibu yang dibentuk Rofi’ah semakin berkembang, mereka mulai dibantu LSM, dan pernyataan menarik dari Rofi’Ah adalah bahwa kaum ibu ini tak butuh uang, tetapi butuh pencerahan, artinya mereka merasa tidak tahu apa-apa sehingga ingin dibekali pengetahuan bagaimana menjalankan program kegiatan yang menghasilkan. Dari pengetahuan yang diberikan LSM pendamping itu, mereka belajar membuat pupuk bokasih dan pupuk organik. Bahkan mereka mengumpulkan kotoran sapi, kambing dan kerbau untuk dibuat pupuk yang sebagian dijual. Tetapi tidak terlalu berhasil. Rofi’Ah berpikir panjang, berjalan ke gunung-gunung mencari sorgum merah, hitam dan putih. Benih-benih sorgum ini sudah lama tak dijaga, sampai akhirnya warga mulai menanam sorgum di musim kering dan benih disebarkan ke berbagai desa dan kecamatan lain. Rofi’ah mengatakan seharusnya pangan lokal ini didukung oleh pemerintah karena ketergantungan orang pada beras hanya berujung pada bantuan raskin dan membuat warga jadi malas dan manja. “Lepas kebun berarti melepaskan hidup,” katanya.
Mama Rebecca, Contoh yang Berhasil
Rebecca, yang dipanggil Mama Rebecca ini bahkan tidak lulus sekolah dasar, tetapi berhasil dalam hidupnya, berawal dari kegemarannya bercocok tanam. Tanaman lokal justru menyelamatkan hidupnya, ia bahkan mampu membiayai sendiri sekolah ketiga anaknya. Pengetahuan satu-satunya yang ia miliki adalah berkebun. Ia menanam sera’e, makanan khas Nabire, juga menanam sayuran dan buah-buahan. Setiap hari kerjanya adalah berkebun. Ia berkomentar bahwa beras sekarang tidak tersedia banyak, sehingga harus berpikir cara yang lain. Dengan menanam pangan lain, khususnya panganan lokal yang hampir saja hilang, ia berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya. Sera’e adalah tanaman yang tumbuh secara liar di hutan, dan sejak berkembangnya perusahaan kayu dan pembangunan dermaga, sera’e dan keladi semakin menghilang. Membudidayakan dua tanaman yang nyaris hilang itu adalah gagasan yang menguntungkan Rebecca. Mama Rebecca bahkan mengajak tetangga-tetangganya untuk melakukan hal yang sama, supaya berhasil seperti dirinya, dengan merelakan lahannya dipergunakan oleh 13 tetangganya. Ketigabelas tetangga itupun berhasil, sampai akhirnya mereka memiliki lahan sendiri. Rata-rata dari mereka adalah janda, jadi mereka perlu kemandirian ekonomi. Mama Rebecca mengajak mereka untuk tidak duduk-duduk saja meratapi nasib, tetapi bangkit dan bekerja dengan berkebun. Rebecca menghabiskan waktunya untuk menanam dan mengontrol tanamannya. Berkat upayanya itu, anak-anaknya sampai bisa lulus SMA dan mendapatkan pekerjaan.
Perempuan berusia 58 tahun ini terlihat masih segar dan kuat, bercerita bahwa berkebun bukan berarti tidak mengalami kegagalan, tetapi Mama Rebecca bukanlah orang yang gampang putus asa. Ia menelusuri toko obat dan membaca keterangan yang tertera di botol-botol toko obat itu, sampai akhirnya ia membeli obat pembasmi hama yang ia gunakan untuk mempertahankan tanamannya. Rebecca tidak pernah mendapatkan bantuan modal ataupun pelatihan, semua yang ia terapkan berkat pengetahuannya bercocok tanam sejak kecil. Dari sera’e, seorang perempuan berusia lebih dari setengah baya, menciptakan kehidupannya lebih baik, dan dapat membantu perempuan lain yang membutuhkan ekonomi yang mandiri, serta menyelamatkan panganan lokal yang nyaris punah.
Dua kisah perempuan di atas ingin mengatakan tentang dibalik kehidupan yang serba terbatas, perempuan yang memiliki kemauan, pengetahuan apapun serta harapan, bisa menyelamatkan, menyadarkan, bahkan membantu orang lain serta lingkungan menjadi lebih baik. Pantaslah Rofi’ah dan Rebecca disebut pejuang pangan.
Ditulis oleh Mariana Amiruddin, disarikan dari Media Indonesia Senin, 14 Maret 2013 dan Kompas Selasa, 19 Maret 2013.