Perempuan Pejabat Publik, Tak Semata Persoalan Kuantitas
Sabtu, 19 Januari 2013, Jurnal Perempuan mengadakan Pendidikan Publik dengan tema “Perempuan Pejabat Publik” di Aula Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta yang
berlangsung atas kerjasama Jurnal Perempuan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Mahkamah Konstitusi RI, dan media partner Marie Claire Magazine. Acara ini dibuka dengan sambutan dari Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan dengan Maria Farida
Indrati, Hakim Mahkamah Konstitusi RI sebagai pidato pembukaan.
Kemudian Maria Farida Indrati berbicara bahwa pembicaraan mengenai perempuan di parlemen, seperti tindakan afirmatif berupa kuota dan representasi politik lebih sering dibicarakan daripada mengenai perempuan di ranah eksekutif, yaitu mereka yang turut andil dalam proses pengambilan keputusan. Kegiatan pendidikan publik semacam ini dirasa sangat perlu untuk mendiskusikan bagaimana seharusnya fungsi perempuan sebagai pejabat publik.
Pendidikan Publik dengan tema “Perempuan Pejabat Publik” ini menghadirkan narasumber Ani Soetjipto, Dosen FISIP Universitas Indonesia dan Jaleswari
Pramodhawardani, Peneliti LIPI, serta dimoderatori oleh Nur Iman Subono, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga dijadwalkan untuk menjadi narasumber ketiga dalam acara ini, namun berhalangan hadir.
Salah satu hal penting untuk didiskusikan bukan hanya soal jumlah perempuan, tapi bagaimana perspektif perempuan digunakan dalam pengambilan keputusan, demikian Nur Iman Subono membuka diskusi. Jaleswari kemudian berbicara bahwa kematangan demokrasi kita sebenarnya bisa diukur dari seberapa besar partisipasi perempuan dalam politik. Namun tidak mudah bagi perempuan untuk bekerja di wilayah publik meski telah ada pembagian kerja dalam rumah tangga.
Kendati secara kuantitas ada perempuan yang menduduki jabatan dalam pemerintahan, tapi belum tentu juga mereka menggunakan perspektif perempuan
dalam membuat keputusan.Berbicara mengenai perempuan di ruang publik saat ini memang lebih problematik dibanding 5-10 tahun yang lalu. Perempuan dapat membuat perubahan jika ada akses untuk itu sehingga bisa berkontribusi positif tidak hanya pada perempuan tapi pada masyarakat dan bangsanya, demikian Ani Soetjipto mengawali pemaparannya. Identitas perempuan itu tidak tunggal, dan hal ini menyebabkan cara pandang perempuan terhadap permasalahan sosial-politik pun berbeda. Angka partisipasi perempuan di ranah politik tidak semata menjadi cerminan peningkatan kualitas hidup perempuan karena masih banyak permasalahan terkait kehidupan perempuan yang belum terselesaikan seperti trafficking, angka kematian ibu, KDRT, dan sebagainya. Ranah perjuangan perempuan tidak hanya pada ranah demokrasi yang prosedural seperti parlemen, parpol, dan eksekutif, tetapi juga pada ranah demokrasi sehari-hari, yaitu keseharian hidup yang dijalani oleh perempuan.
Diskusi yang berlangsung dari pukul 12.00 ini berakhir pada pukul 15.30 dengan banyak sekali tanggapan dan pertanyaan dari peserta yang hadir termasuk Maria
Farida Indrati, Sjamsiah Ahmad, juga Asep Syarifudin, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB (BPM PKB) yang hadir mewakili Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Asep Syarifudin memaparkan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah daerah Jakarta yang berpihak pada kepentingan perempuan, seperti disediakannya pojok ASI di tempat-tempat publik. Pendidikan publik kali ini menyatukan kalangan akademisi, legislasi, eksekutif, dan aktivis dalam membicarakan pejabat publik perempuan.
(Ditulis oleh Khanifah)
berlangsung atas kerjasama Jurnal Perempuan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Mahkamah Konstitusi RI, dan media partner Marie Claire Magazine. Acara ini dibuka dengan sambutan dari Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan dengan Maria Farida
Indrati, Hakim Mahkamah Konstitusi RI sebagai pidato pembukaan.
Kemudian Maria Farida Indrati berbicara bahwa pembicaraan mengenai perempuan di parlemen, seperti tindakan afirmatif berupa kuota dan representasi politik lebih sering dibicarakan daripada mengenai perempuan di ranah eksekutif, yaitu mereka yang turut andil dalam proses pengambilan keputusan. Kegiatan pendidikan publik semacam ini dirasa sangat perlu untuk mendiskusikan bagaimana seharusnya fungsi perempuan sebagai pejabat publik.
Pendidikan Publik dengan tema “Perempuan Pejabat Publik” ini menghadirkan narasumber Ani Soetjipto, Dosen FISIP Universitas Indonesia dan Jaleswari
Pramodhawardani, Peneliti LIPI, serta dimoderatori oleh Nur Iman Subono, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga dijadwalkan untuk menjadi narasumber ketiga dalam acara ini, namun berhalangan hadir.
Salah satu hal penting untuk didiskusikan bukan hanya soal jumlah perempuan, tapi bagaimana perspektif perempuan digunakan dalam pengambilan keputusan, demikian Nur Iman Subono membuka diskusi. Jaleswari kemudian berbicara bahwa kematangan demokrasi kita sebenarnya bisa diukur dari seberapa besar partisipasi perempuan dalam politik. Namun tidak mudah bagi perempuan untuk bekerja di wilayah publik meski telah ada pembagian kerja dalam rumah tangga.
Kendati secara kuantitas ada perempuan yang menduduki jabatan dalam pemerintahan, tapi belum tentu juga mereka menggunakan perspektif perempuan
dalam membuat keputusan.Berbicara mengenai perempuan di ruang publik saat ini memang lebih problematik dibanding 5-10 tahun yang lalu. Perempuan dapat membuat perubahan jika ada akses untuk itu sehingga bisa berkontribusi positif tidak hanya pada perempuan tapi pada masyarakat dan bangsanya, demikian Ani Soetjipto mengawali pemaparannya. Identitas perempuan itu tidak tunggal, dan hal ini menyebabkan cara pandang perempuan terhadap permasalahan sosial-politik pun berbeda. Angka partisipasi perempuan di ranah politik tidak semata menjadi cerminan peningkatan kualitas hidup perempuan karena masih banyak permasalahan terkait kehidupan perempuan yang belum terselesaikan seperti trafficking, angka kematian ibu, KDRT, dan sebagainya. Ranah perjuangan perempuan tidak hanya pada ranah demokrasi yang prosedural seperti parlemen, parpol, dan eksekutif, tetapi juga pada ranah demokrasi sehari-hari, yaitu keseharian hidup yang dijalani oleh perempuan.
Diskusi yang berlangsung dari pukul 12.00 ini berakhir pada pukul 15.30 dengan banyak sekali tanggapan dan pertanyaan dari peserta yang hadir termasuk Maria
Farida Indrati, Sjamsiah Ahmad, juga Asep Syarifudin, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB (BPM PKB) yang hadir mewakili Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Asep Syarifudin memaparkan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah daerah Jakarta yang berpihak pada kepentingan perempuan, seperti disediakannya pojok ASI di tempat-tempat publik. Pendidikan publik kali ini menyatukan kalangan akademisi, legislasi, eksekutif, dan aktivis dalam membicarakan pejabat publik perempuan.
(Ditulis oleh Khanifah)