Ita Fatia Nadia: Visi Misi Prabowo-Hatta terkait Perempuan Munculkan Keprihatinan
(02 Juni 2014)
(02 Juni 2014)
Bicara tentang perempuan dalam visi dan misi yang diusung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperlihatkan bahwa perempuan akan menjadi bagian dari bangunan politik maskulin atau politik patriarki yang sangat kental. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang sangat besar bagi Ita Fatia Nadia, aktivis perempuan yang ikut mendirikan Komnas Perempuan, seperti disampaikan dalam diskusi “Perempuan Memantau Visi dan Misi Capres” yang diselenggarakan oleh Forum Perempuan Pemantau Presiden pada Minggu (1/6) di Warung Daun Cikini Jakarta. Menurutnya visi misi Prabowo-Hatta ditulis dengan pendekatan politik maskulin. Pendekatan ini tidak memberi ruang bagi kelompok-kelompok lain dan menghalalkan cara-cara kekerasan, sehingga berbahaya bagi perempuan.
Lebih lanjut Ita menjelaskan, dalam paparan visi misinya pasangan Prabowo-Hatta tidak bicara tentang keterlibatan masyarakat—termasuk didalamnya perempuan—dalam pembangunan. Lebih jauh perempuan dipandang bukan sebagai individu yang merdeka, tetapi sebagai objek pembangunan negara. Perempuan menjadi bagian dari pembangunan sosial, kesehatan, agama, budaya dan olahraga, artinya menjadi objek dan bukan subjek penting dalam pembangunan. Selain itu perempuan juga dimasukkan sebagai bagian dari kelompok rentan sehingga perlu dilindungi secara efektif dan tidak bicara soal pemberdayaan perempuan.
Menurut Ita pasangan yang diusung oleh koalisi enam partai politik ini mendefinisikan perempuan dalam kerangka imajinasi nasionalisme yang mengontrol masyarakat secara kuat. Hal ini dilakukan dengan menciptakan ruang-ruang formal bagi perempuan seperti yang dilakukan Partai Gerindra lewat pembentukan Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Seperti halnya Orde Baru yang menempatkan perempuan dalam wadah semacam PKK dan Dharma Wanita, hal serupa dilakukan Gerindra lewat faksi perempuan Gerindra. Sehingga kontrol terhadap perempuan akan semakin kuat, terutama kontrol terhadap tubuh perempuan.
Sementara itu visi dan misi pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla menurut Ita secara rinci menjelaskan problem bangsa ini dan bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut dengan disertai data. Hal yang menarik menurut Ita adalah isu perempuan masuk dalam aspek kedaulatan politik—salah satu bagian dari Trisakti yang menjadi ideologi. Hal ini berbeda dengan kebijakan Orde Baru dimana perempuan tidak mempunyai kedaulatan politik. Dari penjabaran kebijakan pemberdayaan perempuan, tampak bahwa posisi perempuan bukan dilindungi secara efektif seperti halnya gagasan pasangan Prabowo-Hatta, tetapi perempuan berdaulat secara politik. Sementara terkait kebijakan penegakan hukum, pasangan Jokowi-JK berkomitmen untuk menghapus seluruh regulasi yang merugikan perempuan dan anak. Selain itu, RUU anti kekerasan seksual juga akan menjadi prioritas Jokowi-JK.
Lebih lanjut Ita menyatakan dirinya sepakat dengan gagasan Trisakti yang ditawarkan pasangan Jokowi-JK, tetapi sebagai aktivis perempuan, ia mengaku tidak bisa hanya berdiam diri, karena ditataran implementasi konsep tersebut bisa tidak terlaksana. Untuk itu Ita mengajak gerakan perempuan untuk mengawasi proses tersebut. (Anita Dhewy)
Lebih lanjut Ita menjelaskan, dalam paparan visi misinya pasangan Prabowo-Hatta tidak bicara tentang keterlibatan masyarakat—termasuk didalamnya perempuan—dalam pembangunan. Lebih jauh perempuan dipandang bukan sebagai individu yang merdeka, tetapi sebagai objek pembangunan negara. Perempuan menjadi bagian dari pembangunan sosial, kesehatan, agama, budaya dan olahraga, artinya menjadi objek dan bukan subjek penting dalam pembangunan. Selain itu perempuan juga dimasukkan sebagai bagian dari kelompok rentan sehingga perlu dilindungi secara efektif dan tidak bicara soal pemberdayaan perempuan.
Menurut Ita pasangan yang diusung oleh koalisi enam partai politik ini mendefinisikan perempuan dalam kerangka imajinasi nasionalisme yang mengontrol masyarakat secara kuat. Hal ini dilakukan dengan menciptakan ruang-ruang formal bagi perempuan seperti yang dilakukan Partai Gerindra lewat pembentukan Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Seperti halnya Orde Baru yang menempatkan perempuan dalam wadah semacam PKK dan Dharma Wanita, hal serupa dilakukan Gerindra lewat faksi perempuan Gerindra. Sehingga kontrol terhadap perempuan akan semakin kuat, terutama kontrol terhadap tubuh perempuan.
Sementara itu visi dan misi pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla menurut Ita secara rinci menjelaskan problem bangsa ini dan bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut dengan disertai data. Hal yang menarik menurut Ita adalah isu perempuan masuk dalam aspek kedaulatan politik—salah satu bagian dari Trisakti yang menjadi ideologi. Hal ini berbeda dengan kebijakan Orde Baru dimana perempuan tidak mempunyai kedaulatan politik. Dari penjabaran kebijakan pemberdayaan perempuan, tampak bahwa posisi perempuan bukan dilindungi secara efektif seperti halnya gagasan pasangan Prabowo-Hatta, tetapi perempuan berdaulat secara politik. Sementara terkait kebijakan penegakan hukum, pasangan Jokowi-JK berkomitmen untuk menghapus seluruh regulasi yang merugikan perempuan dan anak. Selain itu, RUU anti kekerasan seksual juga akan menjadi prioritas Jokowi-JK.
Lebih lanjut Ita menyatakan dirinya sepakat dengan gagasan Trisakti yang ditawarkan pasangan Jokowi-JK, tetapi sebagai aktivis perempuan, ia mengaku tidak bisa hanya berdiam diri, karena ditataran implementasi konsep tersebut bisa tidak terlaksana. Untuk itu Ita mengajak gerakan perempuan untuk mengawasi proses tersebut. (Anita Dhewy)