Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan: Upaya Menulis Sejarah Perempuan
(14 Mei 2014)
(14 Mei 2014)
Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, sebuah buku yang memotret peristiwa mei 1998 dan memaparkan dengan detail perjuangan para perempuan yang tak kenal lelah mengungkap kebenaran dan mengupayakan keadilan bagi korban hingga melahirkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang dikenal sebagai Komnas Perempuan, diluncurkan hari ini, Rabu (14/5) di Function Room Gramedia Matraman. Peluncuran buku yang menjadi bagian dari kegiatan peringatan tragedi Mei 1998 ini selain dihadiri oleh penulis buku Dewi Anggraeni juga diisi dengan pemutaran film, pembacaan puisi dan testimoni oleh Richard Leonardi dari Kompas Gramedia yang ikut terlibat dalam penerbitan buku dan Andy Yentriyani Komisioner Komnas perempuan yang berbagi tentang kisah mereka ketika peristiwa Mei 1998 terjadi serta sambutan dari Komnas Perempuan yang diwakili oleh Andy Yentriyani.
Dewi Anggraeni yang ketika peristiwa Mei 1998 terjadi menjadi koresponden Tempo di Australia menuturkan sewaktu mendengar kabar tentang pemerkosaan, ia tidak percaya, baginya hal itu terlalu kejam sehingga tidak mungkin terjadi. Hingga suatu hari seorang teman mempertemukannya dengan seorang korban yang dilarikan ke Melbourne dengan syarat dia tidak menemuinya sebagai seorang wartawan dan tidak menceritakan kisahnya. Perempuan tersebut bersedia menemuinya, ia tidak banyak berkata-kata, namun bercerita dengan jelas. Setelah pertemuan tersebut Dewi menyesal pernah meragukan adanya pemerkosaan pada perempuan Tionghoa pada peristiwa Mei 1998.
Lebih lanjut Dewi mengungkapkan penelitian yang ia lakukan dalam penyusunan buku ini membuka pandangannya bahwa yang dijadikan sasaran dalam peristiwa Mei 1998 adalah warga etnis Tionghoa, namun bukan hanya warga etnis Tionghoa yang dikorbankan, warga dari kelas bawah terutama yang tidak mampu juga dimanfaatkan. Mereka dibujuk dan dihasut untuk menjarah dan setelah itu dikunci di dalam mal dan gedung yang sengaja dibakar. Mereka pun tidak mendapat simpati dari masyarakat dan disebut sebagai “penjarah”. Bahkan hingga saat ini belum ada pelaku yang dibawa ke pengadilan.
Buku ini adalah sebuah upaya untuk menuliskan sejarah perempuan. Mengutip Andy Yentriyani, sebuah upaya untuk menjauhkan kita menjadi bangsa amnesia. Upaya ini tentu perlu diikuti dengan sejumlah langkah sinergis untuk terus mendorong pengakuan negara atas pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam peristiwa Mei 1998 sekaligus mengupayakan pemulihan dan keadilan bagi korban serta memastikan agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. (Anita Dhewy)
Dewi Anggraeni yang ketika peristiwa Mei 1998 terjadi menjadi koresponden Tempo di Australia menuturkan sewaktu mendengar kabar tentang pemerkosaan, ia tidak percaya, baginya hal itu terlalu kejam sehingga tidak mungkin terjadi. Hingga suatu hari seorang teman mempertemukannya dengan seorang korban yang dilarikan ke Melbourne dengan syarat dia tidak menemuinya sebagai seorang wartawan dan tidak menceritakan kisahnya. Perempuan tersebut bersedia menemuinya, ia tidak banyak berkata-kata, namun bercerita dengan jelas. Setelah pertemuan tersebut Dewi menyesal pernah meragukan adanya pemerkosaan pada perempuan Tionghoa pada peristiwa Mei 1998.
Lebih lanjut Dewi mengungkapkan penelitian yang ia lakukan dalam penyusunan buku ini membuka pandangannya bahwa yang dijadikan sasaran dalam peristiwa Mei 1998 adalah warga etnis Tionghoa, namun bukan hanya warga etnis Tionghoa yang dikorbankan, warga dari kelas bawah terutama yang tidak mampu juga dimanfaatkan. Mereka dibujuk dan dihasut untuk menjarah dan setelah itu dikunci di dalam mal dan gedung yang sengaja dibakar. Mereka pun tidak mendapat simpati dari masyarakat dan disebut sebagai “penjarah”. Bahkan hingga saat ini belum ada pelaku yang dibawa ke pengadilan.
Buku ini adalah sebuah upaya untuk menuliskan sejarah perempuan. Mengutip Andy Yentriyani, sebuah upaya untuk menjauhkan kita menjadi bangsa amnesia. Upaya ini tentu perlu diikuti dengan sejumlah langkah sinergis untuk terus mendorong pengakuan negara atas pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam peristiwa Mei 1998 sekaligus mengupayakan pemulihan dan keadilan bagi korban serta memastikan agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. (Anita Dhewy)