Kekerasan Terhadap Perempuan: Rumah Bukan Tempat yang Aman!
Kalangan awam mungkin mengira kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi tempat umum. Masih banyak kita menemukan pemberitaan yang mengulas berbagai peraturan daerah melarang perempuan keluar malam sendirian dengan alasan untuk melindungi perempuan dari tindakan kekerasan. Padahal , banyak data dari kepolisian ataupun lembaga swadaya masyarakat yang menerima laporan bahwa kekerasan terbanyak justru di dalam rumah. Di Aceh misalnya, terdapat 1.060 kasus kekerasan terhadap perempuan dan angka yang sangat tinggi dimana 73,6 % justru terjadi di rumah, di dalam kehidupan rumah tangga. Informasi ini bersumber dari Ketua Presidium Balai Syura Urueng Inong Aceh Nursiti sejak 2011-2012. Menurutnya dari 73,6% tersebut paling dominan adalah kekerasan seksual. Pelaku kekerasan justru adalah orang-orang terdekat korban. Diantaranya terdapat 27 kasus incest yang menimpa anak dalam rumah tangga. (Kompas, 30 Maret 2013).
Di Tangerang Selatan, Kampung Sawah Lama, Ciputat baru-baru ini bahkan terjadi perkosaan terhadap Guru Madrasah. Pelaku memasuki rumah kontrakan korban, mencuri barang-barang dan memperkosa korban pada dini hari. Guru Madrasah tersebut sedang terlelap dan tinggal sendiri di kontrakannya mengalami trauma berat dan tidak berhenti menangis saat diketemukan Polsek Cuputat Ajun Komisaris Syamsudin, Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Ciputat. Korban dibawa ke rumah sakit Fatmawati dan masing mengalami trauma berat. (Koran Tempo dan Koran Kompas 30 Maret 2013)
Dan benarkah bahwa pemerkosaan terjadi pada saat perempuan berjalan sendirian di tempat umum? Berikut adalah kasus yang membuktikan bahwa persepsi ini salah. Di India, ditemukan kasus pemerkosaan turis yang sedang berkemah berkemah dengan suaminya di Madhya Pradesh. Di Rio de Janeiro, seorang laki-laki dan perempuan asing yang sedang belajar bahasa Portugis di Brasil di culik. Keduanya diikat pada saat naik angkot dan yang laki-laki dipukuli dengan benda logam, dan yang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual terhadap turis-turis tersebut ternyata mencoreng nama baik negara-negara tersebut. India misalnya, Kamar Dagang dan Industri India (Assocham) mengatakan, secara keseluruan jumlah turis turun 25 persen. (Kompas, 2 dan 3 April 2013)
Dari kasus-kasus tersebut kita dapat menarik benang merah bahwa kekerasan terhadap perempuan selain tidak memandang pakaian, agama, usia dan ras, juga tidak memandang di rumah atau di luar rumah. Kekerasan terhadap perempuan bahkan tidak dapat dicegah dengan melarang perempuan keluar sendirian. Jelas bahwa persoalannya adalah pada kejahatan pelaku dan tidak adanya jaminan kemanan bagi perempuan. Dalam setiap satu minggu, kita dapat menemukan 3 sampai 4 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan tentunya kita bisa membayangkan, berapa kasus yang terjadi setiap harinya, yang luput dari pemberitaan media.
(Disarikan oleh Mariana Amiruddin, sumber: Kompas, 30 Maret 2013 dan Koran Tempo 30 Maret 2013)
Di Tangerang Selatan, Kampung Sawah Lama, Ciputat baru-baru ini bahkan terjadi perkosaan terhadap Guru Madrasah. Pelaku memasuki rumah kontrakan korban, mencuri barang-barang dan memperkosa korban pada dini hari. Guru Madrasah tersebut sedang terlelap dan tinggal sendiri di kontrakannya mengalami trauma berat dan tidak berhenti menangis saat diketemukan Polsek Cuputat Ajun Komisaris Syamsudin, Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Ciputat. Korban dibawa ke rumah sakit Fatmawati dan masing mengalami trauma berat. (Koran Tempo dan Koran Kompas 30 Maret 2013)
Dan benarkah bahwa pemerkosaan terjadi pada saat perempuan berjalan sendirian di tempat umum? Berikut adalah kasus yang membuktikan bahwa persepsi ini salah. Di India, ditemukan kasus pemerkosaan turis yang sedang berkemah berkemah dengan suaminya di Madhya Pradesh. Di Rio de Janeiro, seorang laki-laki dan perempuan asing yang sedang belajar bahasa Portugis di Brasil di culik. Keduanya diikat pada saat naik angkot dan yang laki-laki dipukuli dengan benda logam, dan yang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual terhadap turis-turis tersebut ternyata mencoreng nama baik negara-negara tersebut. India misalnya, Kamar Dagang dan Industri India (Assocham) mengatakan, secara keseluruan jumlah turis turun 25 persen. (Kompas, 2 dan 3 April 2013)
Dari kasus-kasus tersebut kita dapat menarik benang merah bahwa kekerasan terhadap perempuan selain tidak memandang pakaian, agama, usia dan ras, juga tidak memandang di rumah atau di luar rumah. Kekerasan terhadap perempuan bahkan tidak dapat dicegah dengan melarang perempuan keluar sendirian. Jelas bahwa persoalannya adalah pada kejahatan pelaku dan tidak adanya jaminan kemanan bagi perempuan. Dalam setiap satu minggu, kita dapat menemukan 3 sampai 4 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan tentunya kita bisa membayangkan, berapa kasus yang terjadi setiap harinya, yang luput dari pemberitaan media.
(Disarikan oleh Mariana Amiruddin, sumber: Kompas, 30 Maret 2013 dan Koran Tempo 30 Maret 2013)