Nazmiyah Sayuti: Kerjasama YJP dan Lembaga Lintas Negara dalam Isu Perubahan Iklim dan Hak-hak Kesehatan Reproduksi Perempuan
(12 Agustus 2014)
Keterkaitan isu perubahan iklim dan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualitas (Sexual and Reproductive Health and Rights - SRHR) menjadi perhatian utama organisasi The Asian-Pacific Resource & Research Centre for Women(ARROW) dan lembaga-lembaga lain menjelang penyelenggaraan Konferensi Para Pihak (Conference of Parties-COP) ke-20 di Lima, Peru, tahun 2014 ini.
Bencana dan perubahan iklim ditengarai memiliki kaitan erat. Dalam laporanThe Asia-Pacific Disaster Report 2012 disebutkan bahwa "kawasan Asia-Pasifik merupakan area yang paling rawan bencana dan paling terdampak. Hampir 2 juta jiwa menjadi korban bencana yang terjadi dari tahun 1970 hingga 2011, menyumbang angka 70% dari seluruh korban bencana secara global". Bukti dari lapangan sejauh ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim tidak saja meningkatkan tantangan penanggulangan SRHR, namun juga menambah faktor-faktor penghambat. Contohnya di Bangladesh, selama terjadi bencana badai siklon tropis, perencanaan keluarga sesuai kebutuhan perempuan menjadi kian terancam dan perempuan hamil pun memiliki risiko kematian dan kecelakaan yang makin tinggi. Sesuai dengan adat setempat, para perempuan justru tidak diajari keterampilan berenang yang sangat diperlukan agar memperbesar peluang selamat dari terjangan badai. Rancangan tanggap darurat bencana badai siklon di Bangladesh tidak memiliki kepekaan gender, demikian pendapat perempuan yang menghuni kawasan pantai yang rentan terpapar bencana siklon.
Di Indonesia, kawasan rawan bencana seperti daerah Jawa Barat, kondisi tempat pengungsian bagi korban bencana alam tidak peka terhadap kepentingan perempuan, misalnya ketiadaan pelayanan SRHR. Selain itu, perempuan pun rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Ditemukan juga fakta bahwa perempuan tidak cukup terlibat dalam pengambilan keputusan pada fase tanggap darurat dan rekonstruksi. Di negara kawasan Asia-Pasifik lain, seperti Filipina, Laos, Maladewa, Nepal dan Pakistan, terdapat kondisi serupa. Oleh karena itu, ARROW mendesak pemerintah negara terkait agar terus mempromosikan pemahaman menyeluruh terkait isu gender dan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual (SRHR).
Di tahun 2014 ini, ARROW dan lembaga-lembaga sejawat akan melaksanakan sebuah program kerjasama bertajuk: “Building New Constituencies for Women’s SRHR: Climate Change and SRHR.” Lembaga yang terlibat di antaranya: Khan Foundation (Bangladesh), Yayasan Jurnal Perempuan (Indonesia), University of Health Sciences (Laos), Huvadhoo Aid (Maladewa), Women’s Rehabilitation Center (Nepal), Sindh Community Foundation (Pakistan) dan the Path Foundation (Filipina). Pada bulan Juni lalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Nazmiyah Sayuti, turut menghadiri konferensi mengenai perubahan iklim dan SRHR yang diselenggarakan oleh ARROW di Kuala Lumpur, Malaysia, seperti tercatat dalam link berikut: https://www.jurnalperempuan.org/nazmiyah-sayuti-ldquoarrow-membahas-perubahan-iklim--kesehatan-reproduksi-perempuanrdquo.html . (nataresmi)
Bencana dan perubahan iklim ditengarai memiliki kaitan erat. Dalam laporanThe Asia-Pacific Disaster Report 2012 disebutkan bahwa "kawasan Asia-Pasifik merupakan area yang paling rawan bencana dan paling terdampak. Hampir 2 juta jiwa menjadi korban bencana yang terjadi dari tahun 1970 hingga 2011, menyumbang angka 70% dari seluruh korban bencana secara global". Bukti dari lapangan sejauh ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim tidak saja meningkatkan tantangan penanggulangan SRHR, namun juga menambah faktor-faktor penghambat. Contohnya di Bangladesh, selama terjadi bencana badai siklon tropis, perencanaan keluarga sesuai kebutuhan perempuan menjadi kian terancam dan perempuan hamil pun memiliki risiko kematian dan kecelakaan yang makin tinggi. Sesuai dengan adat setempat, para perempuan justru tidak diajari keterampilan berenang yang sangat diperlukan agar memperbesar peluang selamat dari terjangan badai. Rancangan tanggap darurat bencana badai siklon di Bangladesh tidak memiliki kepekaan gender, demikian pendapat perempuan yang menghuni kawasan pantai yang rentan terpapar bencana siklon.
Di Indonesia, kawasan rawan bencana seperti daerah Jawa Barat, kondisi tempat pengungsian bagi korban bencana alam tidak peka terhadap kepentingan perempuan, misalnya ketiadaan pelayanan SRHR. Selain itu, perempuan pun rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Ditemukan juga fakta bahwa perempuan tidak cukup terlibat dalam pengambilan keputusan pada fase tanggap darurat dan rekonstruksi. Di negara kawasan Asia-Pasifik lain, seperti Filipina, Laos, Maladewa, Nepal dan Pakistan, terdapat kondisi serupa. Oleh karena itu, ARROW mendesak pemerintah negara terkait agar terus mempromosikan pemahaman menyeluruh terkait isu gender dan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual (SRHR).
Di tahun 2014 ini, ARROW dan lembaga-lembaga sejawat akan melaksanakan sebuah program kerjasama bertajuk: “Building New Constituencies for Women’s SRHR: Climate Change and SRHR.” Lembaga yang terlibat di antaranya: Khan Foundation (Bangladesh), Yayasan Jurnal Perempuan (Indonesia), University of Health Sciences (Laos), Huvadhoo Aid (Maladewa), Women’s Rehabilitation Center (Nepal), Sindh Community Foundation (Pakistan) dan the Path Foundation (Filipina). Pada bulan Juni lalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Nazmiyah Sayuti, turut menghadiri konferensi mengenai perubahan iklim dan SRHR yang diselenggarakan oleh ARROW di Kuala Lumpur, Malaysia, seperti tercatat dalam link berikut: https://www.jurnalperempuan.org/nazmiyah-sayuti-ldquoarrow-membahas-perubahan-iklim--kesehatan-reproduksi-perempuanrdquo.html . (nataresmi)