Putu Oka Sukanta: “Sastra Harus Mampu Membuka Daya Pikir”
(21 Mei 2014)
(21 Mei 2014)
Selasa, 20 Mei 2014 bertempat di kantor Indonesia untuk Kemanusiaan berlangsung diskusi novel sejarah Istana Jiwa Langkah Perempuan di Celah Aniaya karya Putu Oka Sukanta. Acara ini menghadirkan pembicara Dewi Nova Wahyuni seorang aktivis dan penulis, Budhisatwati perempuan penyintas dan Okky Tirta koordinator Mata Budaya. Kegiatan yang menjadi bagian dari rangkaian 75 tahun Putu Oka Sukanta ini juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi.
Dewi Nova Wahyuni mengatakan lewat Istana Jiwa, Putu Oka Sukanta menuliskan peristiwa 1965 lewat rahim dan batin perempuan. Novel ini menggambarkan situasi menjelang, saat dan sesudah berlangsungnya kudeta 1965. Menurutnya novel ini di satu sisi menceritakan bagaimana Partai Komunis Indonesia (PKI) ditelikung dan di sisi lain novel ini mengkritik relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dari para tokoh yang merupakan aktivis partai. Dewi Nova juga mengungkapkan novel Istana Jiwa juga menggambarkan penghancuran gerakan perempuan, bagaimana militer mengawinkan patriarki dan agama dan mengajak masyarakat untuk membenci Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Lebih jauh penghasutan itu juga dilakukan dengan memecah-belah sesama perempuan. Menurut Dewi Nova kekuatan novel ini ada pada kemampuannya melihat patriarki mulai dari lingkup keluarga, partai hingga negara.
Sementara dalam pandangan Okky Tirta, karya Putu Oka dapat membantu kita untuk memahami psikologi komunal yang ada pada saat itu. Ia memosisikan karya ini sebagai metanarasi atas narasi besar negara, sebagai renegosiasi atas peristiwa 1965. Menurutnya karya ini juga menceritakan bagaimana negosiasi yang dilakukan perempuan atas patriarki bukan hanya berlangsung di ruang publik tetapi juga di wilayah privat, bagaimana para aktivis partai di luar bicara tentang kesetaraan dan sebagainya, tetapi di dalam keluarga menjadi patriark-patriark kecil. Okky juga mengungkapkan lewat Istana Jiwa Putu Oka menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan Marxisme-Leninisme, akan tetapi “ulah” Putu Oka mengkritik partai membuatnya mendapat label liberal. Lebih lanjut Okky mengungkapkan Istana Jiwa adalah manifesto Putu Oka sebagai seorang kiri non dogmatis.
Sementara itu Putu Oka yang juga diminta berbicara mengungkapkan baginya ketika buku sudah dipublikasikan, maka ia tidak punya hak selain royalti meskipun juga tidak diterimanya (karena penjualan karyanya didedikasikan bagi program penguatan korban ’65, red). Menurutnya, sastra harus mampu membuka daya pikir, karena itu karyanya juga ditulis berdasarkan riset. Lebih lanjut Putu mengatakan tidak ada pengarang yang tidak mempunyai ideologi, ia mengakui memasukkan prinsip-prinsip pemikirannya dalam karyanya lewat dialog-dialog tokoh yang lunak atau santai.
Selain dua pembicara yang mengupas isi novel, diskusi sore itu juga diisi dengan sesi sharing dari seorang perempuan penyintas Budhisatwati yang berbagi tentang pengalaman dan pandangannya. Ia menuturkan bahwa peristiwa 1965 adalah peristiwa politik. Ia menyayangkan Orde Baru yang mencabut mimpi dan harapan korban. Selain itu, sesi diskusi juga berlangsung cukup interaktif. Diskusi sore itu ditutup dengan pembacaan puisi karya Putu Oka oleh teman-teman Mata Budaya. Dan secara spontan Putu Oka kemudian ikut membacakan puisinya. (Anita Dhewy)
Dewi Nova Wahyuni mengatakan lewat Istana Jiwa, Putu Oka Sukanta menuliskan peristiwa 1965 lewat rahim dan batin perempuan. Novel ini menggambarkan situasi menjelang, saat dan sesudah berlangsungnya kudeta 1965. Menurutnya novel ini di satu sisi menceritakan bagaimana Partai Komunis Indonesia (PKI) ditelikung dan di sisi lain novel ini mengkritik relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dari para tokoh yang merupakan aktivis partai. Dewi Nova juga mengungkapkan novel Istana Jiwa juga menggambarkan penghancuran gerakan perempuan, bagaimana militer mengawinkan patriarki dan agama dan mengajak masyarakat untuk membenci Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Lebih jauh penghasutan itu juga dilakukan dengan memecah-belah sesama perempuan. Menurut Dewi Nova kekuatan novel ini ada pada kemampuannya melihat patriarki mulai dari lingkup keluarga, partai hingga negara.
Sementara dalam pandangan Okky Tirta, karya Putu Oka dapat membantu kita untuk memahami psikologi komunal yang ada pada saat itu. Ia memosisikan karya ini sebagai metanarasi atas narasi besar negara, sebagai renegosiasi atas peristiwa 1965. Menurutnya karya ini juga menceritakan bagaimana negosiasi yang dilakukan perempuan atas patriarki bukan hanya berlangsung di ruang publik tetapi juga di wilayah privat, bagaimana para aktivis partai di luar bicara tentang kesetaraan dan sebagainya, tetapi di dalam keluarga menjadi patriark-patriark kecil. Okky juga mengungkapkan lewat Istana Jiwa Putu Oka menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan Marxisme-Leninisme, akan tetapi “ulah” Putu Oka mengkritik partai membuatnya mendapat label liberal. Lebih lanjut Okky mengungkapkan Istana Jiwa adalah manifesto Putu Oka sebagai seorang kiri non dogmatis.
Sementara itu Putu Oka yang juga diminta berbicara mengungkapkan baginya ketika buku sudah dipublikasikan, maka ia tidak punya hak selain royalti meskipun juga tidak diterimanya (karena penjualan karyanya didedikasikan bagi program penguatan korban ’65, red). Menurutnya, sastra harus mampu membuka daya pikir, karena itu karyanya juga ditulis berdasarkan riset. Lebih lanjut Putu mengatakan tidak ada pengarang yang tidak mempunyai ideologi, ia mengakui memasukkan prinsip-prinsip pemikirannya dalam karyanya lewat dialog-dialog tokoh yang lunak atau santai.
Selain dua pembicara yang mengupas isi novel, diskusi sore itu juga diisi dengan sesi sharing dari seorang perempuan penyintas Budhisatwati yang berbagi tentang pengalaman dan pandangannya. Ia menuturkan bahwa peristiwa 1965 adalah peristiwa politik. Ia menyayangkan Orde Baru yang mencabut mimpi dan harapan korban. Selain itu, sesi diskusi juga berlangsung cukup interaktif. Diskusi sore itu ditutup dengan pembacaan puisi karya Putu Oka oleh teman-teman Mata Budaya. Dan secara spontan Putu Oka kemudian ikut membacakan puisinya. (Anita Dhewy)