Perempuan Tidak Serta Diuntungkan oleh Budaya Lokal
Berita yang kali ini kami angkat adalah tentang acara Sahabat Jurnal Perempuan Gathering kelima yang mengangkat tema “Perempuan dan budaya” pada Minggu 3 November 2013. Acara ini merupakan peringatan satu tahun berjalannya program Sahabat Jurnal Perempuan Gathering, dan tuan rumah untuk gathering SJP yang kelima ini adalah bapak Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, guru besar Linguistik Emeritus pada Fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Indonesia. Bukan hanya sebagai tuan rumah, beliau juga berkenan menjadi pembicara dalam diskusi ini yang dimoderatori oleh Gadis Arivia pendiri Jurnal Perempuan. Acara dibuka oleh Deedee Achriani Wakil Direktur Jurnal Perempuan yang menyampaikan perkembangan jumlah anggota SJP (Sahabat Jurnal Perempuan) yang sampai saat ini telah berjumlah 440 orang, yang terdiri dari 357 perempuan dan 83 laki-laki (yang masih terbagi lagi dalam beberapa kategori usia dan jenis pekerjaan). Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Mariana Amiruddin Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan.
Dalam diskusi ini Mariana menyatakan, “Kalau tanpa kehadiran dan kontribusi bapak ibu anggota SJP, Jurnal Perempuan bukan apa-apa, dengan kontribusi dari Sahabat Jurnal Perempuan ini, eksistensi JP masih terus ada. Peran anggota SJP juga menjadi agen dan penyambung lidah untuk menyampaikan visi dan misi JP. Oleh sebab itu JP akan terus berupaya mengadakan acara rutin gathering ini, untuk terus bisa bersinergi dan sharing tentang berbagai isu-isu perempuan dengan SJP”. Sambutan berikutnya adalah dari Resti Rahayu Hoed, istri Prof. Benny Hoedoro Hoed, yang menyatakan, “Saya malu belum menjadi anggota Sahabat Jurnal Perempuan. Resti Rahayu Hoed juga menyatakan bahwa perempuan-perempuan sekarang lebih perkasa dan lebih berdaya sebagaimana yang dia lihat di daerah Jepara, tempat yang paling sering dia kunjungi dalam bulan-bulan terakhir ini.
Acara ini banyak dihadiri oleh tokoh-tokoh perempuan seperti Prof. Saparinah Sadli, Sjamsiah Achmad dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Gadis Arivia, pendiri JP, mengawali diskusi dengan melemparkan pertanyaan: “Bagaimana kita memulai pembahasan tentang perempuan dan budaya, karena ketika kita berbicara masalah perempuan selalu dikaitkan dengan masalah budaya. Yang sebelumnya perempuan sebenarnya tidak masuk ke dalam ranah budaya, karena dia diletakan dalam ranah alamiah, karena dikaitkan dengan fungsi reproduksinya. Yaitu dia melahirkan sehingga dia tidak pernah masuk perbincangan ranah budaya. Aristoteles maupun Plato ketika berbicara tentang konsep negara mereka tidak pernah memikirkan bahwa perempuan bisa berperan di dalam budaya itu. Persoalan yang berkembang sekarang adalah terjadinya pembedaan terhadap perempuan dalam segala hal tatanan kehidupan, dimana wilayah perempuan terbagi dalam ranah privat dan ranah publik. Akibat berkembangnya pemikiran ini, lahirlah aturan budaya, agama, negara yang mengekang perempuan. Bahkan sampai parlemen di negara kita pun mengatur pembatasan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen. Belum lagi Perda-Perda yang di keluarkan oleh setiap Pemerintah Daerah di Indonesia yang sangat diskriminatif terhadap perempuan”.
Masih menurut Gadis Arivia bahwa di Indonesia sampai dengan sekarang ada 342 Perda diskriminatif yang dikeluarkan oleh setiap Pemerintah Daerah yang mengatasnamakan moral dan agama, dan 265 kebijakannya menyasar kepada perempuan. Dari 265 kebijakan, 76 kebijakan mengatur cara berpakaian perempuan, dan 124 kebijakan mengatur tentang prostitusi dan pornografi, dan masih banyak lagi aturan-aturan yang membedakan dan sangat merugikan perempuan.
Pembahasan tentang perempuan dan budaya dilanjutkan oleh Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, yang menyatakan, “Kalau berbicara tentang setara maka “setara” itu berbeda dengan “sama”, menurut saya bicara setara itu berkaitan dengan posisi sosial. Posisi sosial perempuan di negara kita masih jauh dari setara. Lalu kita berbicara “dosa, dosa” itu kita sebut saja sebagai logika budaya dimana dominasi laki-laki begitu kuat dibandingkan dengan perempuan. Bahkan di era reformasi sekarang ini saya masih melihat jarang sekali pembicaraan masalah keseteraan perempuan, itulah yang bisa saya sampaikan dan saya juga mengajak istri saya untuk menjadi pendukung sahabat Jurnal Perempuan”. Peserta SJP lain memberikan responnya, yaitu Intan dari IBL (Indonesian Business Link) yang mengungkapkan, “Sekarang ini kita masuk ke dalam era digital yang sangat kuat, dan dalam konteks ini berarti kita semua setara baik laki-laki maupun perempuan. Ini bisa menjadi kekuatan yang besar dimana semua dapat menjadi subjek”. Respon dilanjutkan oleh Erna anggota DPRD yang menceritakan bahwa di Dewan Perwakilan Rakyat masih ada perlakuan yang diskriminatif baik terhadap laki-laki ataupun perempuan oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan yang sangat berpengaruh.
Kemudian Magdalena Sitorus melanjutkan dengan menyatakan bahwa setiap perempuan di suku Batak selalu dipanggil dengan sebutan “Boru” yang menempel dengan nama suaminya, padahal mereka juga punya nama sendiri, lalu dalam setiap kegiatan perempuan selalu menjadi seksi konsumsi, kenapa tidak dengan laki-laki atau bapak-bapaknya saja yang jadi seksi konsumsi”. Prof. Saparinah Sadli menambahkan bahwa perempuan perlu banyak melakukan penelitian mengapa budaya patriarki di Indonesia begitu mengakar sehingga sulit untuk di bongkar demi kesetaraan. Kemudian Gadis Arivia menggarisbawahi, “Kita harus berpikir ulang tentang local culture, dan diperlukan keberanian untuk bersuara, mana yang benar dan mana yang tidak”. Gathering Sahabat Jurnal Perempuan kali ini banyak diharapkan untuk memberikan inspirasi pada pencerahan dan kesetaraan terhadap perempuan di Indonesia. Dan semua anggota sahabat Jurnal Perempuan juga berharap agar Jurnal Perempuan terus terbit karena menurut mereka Jurnal Perempuan adalah perahu bersama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
(Ditulis oleh Hasan Ramadhan)
Dalam diskusi ini Mariana menyatakan, “Kalau tanpa kehadiran dan kontribusi bapak ibu anggota SJP, Jurnal Perempuan bukan apa-apa, dengan kontribusi dari Sahabat Jurnal Perempuan ini, eksistensi JP masih terus ada. Peran anggota SJP juga menjadi agen dan penyambung lidah untuk menyampaikan visi dan misi JP. Oleh sebab itu JP akan terus berupaya mengadakan acara rutin gathering ini, untuk terus bisa bersinergi dan sharing tentang berbagai isu-isu perempuan dengan SJP”. Sambutan berikutnya adalah dari Resti Rahayu Hoed, istri Prof. Benny Hoedoro Hoed, yang menyatakan, “Saya malu belum menjadi anggota Sahabat Jurnal Perempuan. Resti Rahayu Hoed juga menyatakan bahwa perempuan-perempuan sekarang lebih perkasa dan lebih berdaya sebagaimana yang dia lihat di daerah Jepara, tempat yang paling sering dia kunjungi dalam bulan-bulan terakhir ini.
Acara ini banyak dihadiri oleh tokoh-tokoh perempuan seperti Prof. Saparinah Sadli, Sjamsiah Achmad dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Gadis Arivia, pendiri JP, mengawali diskusi dengan melemparkan pertanyaan: “Bagaimana kita memulai pembahasan tentang perempuan dan budaya, karena ketika kita berbicara masalah perempuan selalu dikaitkan dengan masalah budaya. Yang sebelumnya perempuan sebenarnya tidak masuk ke dalam ranah budaya, karena dia diletakan dalam ranah alamiah, karena dikaitkan dengan fungsi reproduksinya. Yaitu dia melahirkan sehingga dia tidak pernah masuk perbincangan ranah budaya. Aristoteles maupun Plato ketika berbicara tentang konsep negara mereka tidak pernah memikirkan bahwa perempuan bisa berperan di dalam budaya itu. Persoalan yang berkembang sekarang adalah terjadinya pembedaan terhadap perempuan dalam segala hal tatanan kehidupan, dimana wilayah perempuan terbagi dalam ranah privat dan ranah publik. Akibat berkembangnya pemikiran ini, lahirlah aturan budaya, agama, negara yang mengekang perempuan. Bahkan sampai parlemen di negara kita pun mengatur pembatasan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen. Belum lagi Perda-Perda yang di keluarkan oleh setiap Pemerintah Daerah di Indonesia yang sangat diskriminatif terhadap perempuan”.
Masih menurut Gadis Arivia bahwa di Indonesia sampai dengan sekarang ada 342 Perda diskriminatif yang dikeluarkan oleh setiap Pemerintah Daerah yang mengatasnamakan moral dan agama, dan 265 kebijakannya menyasar kepada perempuan. Dari 265 kebijakan, 76 kebijakan mengatur cara berpakaian perempuan, dan 124 kebijakan mengatur tentang prostitusi dan pornografi, dan masih banyak lagi aturan-aturan yang membedakan dan sangat merugikan perempuan.
Pembahasan tentang perempuan dan budaya dilanjutkan oleh Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, yang menyatakan, “Kalau berbicara tentang setara maka “setara” itu berbeda dengan “sama”, menurut saya bicara setara itu berkaitan dengan posisi sosial. Posisi sosial perempuan di negara kita masih jauh dari setara. Lalu kita berbicara “dosa, dosa” itu kita sebut saja sebagai logika budaya dimana dominasi laki-laki begitu kuat dibandingkan dengan perempuan. Bahkan di era reformasi sekarang ini saya masih melihat jarang sekali pembicaraan masalah keseteraan perempuan, itulah yang bisa saya sampaikan dan saya juga mengajak istri saya untuk menjadi pendukung sahabat Jurnal Perempuan”. Peserta SJP lain memberikan responnya, yaitu Intan dari IBL (Indonesian Business Link) yang mengungkapkan, “Sekarang ini kita masuk ke dalam era digital yang sangat kuat, dan dalam konteks ini berarti kita semua setara baik laki-laki maupun perempuan. Ini bisa menjadi kekuatan yang besar dimana semua dapat menjadi subjek”. Respon dilanjutkan oleh Erna anggota DPRD yang menceritakan bahwa di Dewan Perwakilan Rakyat masih ada perlakuan yang diskriminatif baik terhadap laki-laki ataupun perempuan oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan yang sangat berpengaruh.
Kemudian Magdalena Sitorus melanjutkan dengan menyatakan bahwa setiap perempuan di suku Batak selalu dipanggil dengan sebutan “Boru” yang menempel dengan nama suaminya, padahal mereka juga punya nama sendiri, lalu dalam setiap kegiatan perempuan selalu menjadi seksi konsumsi, kenapa tidak dengan laki-laki atau bapak-bapaknya saja yang jadi seksi konsumsi”. Prof. Saparinah Sadli menambahkan bahwa perempuan perlu banyak melakukan penelitian mengapa budaya patriarki di Indonesia begitu mengakar sehingga sulit untuk di bongkar demi kesetaraan. Kemudian Gadis Arivia menggarisbawahi, “Kita harus berpikir ulang tentang local culture, dan diperlukan keberanian untuk bersuara, mana yang benar dan mana yang tidak”. Gathering Sahabat Jurnal Perempuan kali ini banyak diharapkan untuk memberikan inspirasi pada pencerahan dan kesetaraan terhadap perempuan di Indonesia. Dan semua anggota sahabat Jurnal Perempuan juga berharap agar Jurnal Perempuan terus terbit karena menurut mereka Jurnal Perempuan adalah perahu bersama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
(Ditulis oleh Hasan Ramadhan)