Revisi Undang-Undang Usia Perkawinan di Indonesia
(25 Maret 2014)
(25 Maret 2014)
Draf uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, kembali diajukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan usia minimum perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Karena Undang-Undang yang sekarang ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam UU Perlindungan Anak, batas usia dewasa dinyatakan 18 tahun, sementara dalam Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan, usia minimum perkawinan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. “Dengan demikian, negara sama saja memperbolehkan anak menikah,” ungkap Ketua Dewan Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Zumrotin. Dengan merevisi usia minimum perkawinan, diharapkan angka pernikahan dini di Indonesia berkurang, seperti kita ketahui bahwa Indonesia menempati peringkat ke-37 negara dengan persentase pernikahan dini yang tinggi di dunia, serta tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. Dalam Riset Kesehatan Dasar 2010, sekitar 22.000 perempuan usia 10-14 tahun di Indonesia terikat pernikahan, sementara hasil Survei Demografi dan Kesehatan tahun 2012 menunjukkan 10 persen remaja usia 15-19 tahun sidah pernah melahirkan atau sedang hamil anak pertama.
Megapa usia perkawinan perlu direvisi? Karena pernikahan usia dini berdampak buruk pada kesehatan remaja perempuan. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohammad mengatakan, secara fisik perempuan di bawah usia 19 tahun masih dalam pertumbuhan sehingga belum siap menjalani fungsi reproduksi. Ia menjelaskan ketika remaja hamil, ada persaingan antara dirinya dan janin, janin yang pertumbuhan selnya lebih cepat dua kali lipat membutuhkan masukan energi besar untuk tumbuh sehat. Sementara ibu yang masih remaja juga butuh, akibatnya ada dua kemungkinan yang akan muncul. Pertama, janin kalah dan bayi lahir prematur, cacat, bahkan gugur. Kedua, ibu kalah dan mengalami pendarahan, komplikasi berupa hipertensi dan anemia, serta kekurangan gizi. Sementara itu, Prof. Dr. Saparinah Sadli yang juga Ketua Pembina YKP menambahkan, dari sisi psikologis, seorang remaja belum siap melahirkan dan mengasuh anak. Akibatnya, anak tidak mendapat perhatian sesuai kebutuhan. Selain itu, remaja yang menikah dengan orang dewasa juga rentan dieksploitasi.
(Disarikan oleh Hasan Ramadhan dari Harian Kompas, Kamis 6 Maret 2014)
Jurnal Perempuan memiliki Bundel Kliping setiap bulan dari berbagai surat kabar. Kliping ini berisi tentang isu-isu perempuan yang telah kami kategorisasi. Apabila Anda berminat dengan Kliping kami silakan hubungi: [email protected] atau 021 – 8370 2005
Megapa usia perkawinan perlu direvisi? Karena pernikahan usia dini berdampak buruk pada kesehatan remaja perempuan. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohammad mengatakan, secara fisik perempuan di bawah usia 19 tahun masih dalam pertumbuhan sehingga belum siap menjalani fungsi reproduksi. Ia menjelaskan ketika remaja hamil, ada persaingan antara dirinya dan janin, janin yang pertumbuhan selnya lebih cepat dua kali lipat membutuhkan masukan energi besar untuk tumbuh sehat. Sementara ibu yang masih remaja juga butuh, akibatnya ada dua kemungkinan yang akan muncul. Pertama, janin kalah dan bayi lahir prematur, cacat, bahkan gugur. Kedua, ibu kalah dan mengalami pendarahan, komplikasi berupa hipertensi dan anemia, serta kekurangan gizi. Sementara itu, Prof. Dr. Saparinah Sadli yang juga Ketua Pembina YKP menambahkan, dari sisi psikologis, seorang remaja belum siap melahirkan dan mengasuh anak. Akibatnya, anak tidak mendapat perhatian sesuai kebutuhan. Selain itu, remaja yang menikah dengan orang dewasa juga rentan dieksploitasi.
(Disarikan oleh Hasan Ramadhan dari Harian Kompas, Kamis 6 Maret 2014)
Jurnal Perempuan memiliki Bundel Kliping setiap bulan dari berbagai surat kabar. Kliping ini berisi tentang isu-isu perempuan yang telah kami kategorisasi. Apabila Anda berminat dengan Kliping kami silakan hubungi: [email protected] atau 021 – 8370 2005