Teater Memberdayakan Kelompok Perempuan Marjinal
Rakyat Indonesia adalah orang-orang yang genius, tetapi mereka tak punya ruang untuk mengekspresikan diri dan tak mendapat apresiasi. Begitulah kesimpulan dari Lena Simanjuntak (55) perempuan yang dengan kegigihannya selama belasan tahun melatih teater perempuan marjinal dan kelompok-kelompok marjinal lainnya di berbagai daerah di pelosok negeri ini. Pengalaman itu dimulai sejak tahun 1999, saat dia memutuskan melatih teater para pekerja seks komersial (PSK) di Bangunsari, Surabaya. Bersama sahabatnya, Julius R Sijaranamual (almarhum) seorang sastrawan yang waktu itu bergiat di Yayasan Hotline, Surabaya.
Menurut Julius, penghinaan tertinggi kaum perempuan ada di dunia pelacuran, kalimat itu yang membuat Lena merasa tertantang untuk membuktikannya, maka kenyamanan puluhan tahun hidup di Jerman bersama suami dan anak-anaknya ia tinggalkan, dan sebulan penuh ia memutuskan tinggal di Bangunsari dan benar-benar membuktikan kata-kata sahabatnya tadi, bahwa seluruh penghinaan pada perempuan ada di pelacuran. Perempuan hanya dipandang sebagai seonggok daging, nyaris tanpa roh. Pelecehan, kekerasan, sampai dengan penindasan semua terjadi disini.
Dengan kehati-hatiannya ia membongkar nilai-nilai moral yang diajarkan kepadanya sejak kecil, dan memposisikan diri sama dengan mereka yang diajaknya berteater. Paradigma sebagai orang luar dia ubah menjadi bagian dari mereka dan berposes bersama mereka, ia melebur dengan Bangunsari. Setelah itu ia baru merasa bebas, dan bisa melatih para perempuan di sini, dengan perlahan-lahan akhirnya paradigma para peserta pun berubah, kalau menjadi pelacur bukanlah nasib, peserta menemukan bahwa menjadi pelacur itu karena dibuat. “Hanya tiga pilihan perempuan tak terdidik yang datang ke kawasan urban, menjadi buruh pabrik, pembantu rumah tangga, atau pelacur” ungkap Lena.
Bukan hanya kelompok pekerja seks komersil (PSK) saja yang diajar teater oleh Lena, tetapi ada juga kelompok orang dengan HIV AIDS (ODHA), dan orang hidup dengan AIDS (OHIDA) di Surabaya. Tetapi dia juga sampai mengajar teater ke kelompok perempuan buruh tani dan korban kekerasan di daerah Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Baginya panggung teater adalah ruang dialog, baik antar pemain maupun penonton. Teater juga tidak sekadar pentas, tetapi media untuk mengubah paradigm, mengajak orang bermenung, sadar, dan bersolidaritas akan persoalan di hadapannya.
(Disarikan oleh Hasan Ramadhan dari harian Kompas, Senin 5 Agustus 2013)
Jurnal Perempuan memiliki Bundel Kliping setiap bulan dari berbagai surat kabar. Kliping ini berisi tentang isu-isu perempuan yang telah kami kategorisasi. Apabila Anda berminat dengan Kliping kami silakan hubungi: [email protected] atau 021 – 8370 2005
Menurut Julius, penghinaan tertinggi kaum perempuan ada di dunia pelacuran, kalimat itu yang membuat Lena merasa tertantang untuk membuktikannya, maka kenyamanan puluhan tahun hidup di Jerman bersama suami dan anak-anaknya ia tinggalkan, dan sebulan penuh ia memutuskan tinggal di Bangunsari dan benar-benar membuktikan kata-kata sahabatnya tadi, bahwa seluruh penghinaan pada perempuan ada di pelacuran. Perempuan hanya dipandang sebagai seonggok daging, nyaris tanpa roh. Pelecehan, kekerasan, sampai dengan penindasan semua terjadi disini.
Dengan kehati-hatiannya ia membongkar nilai-nilai moral yang diajarkan kepadanya sejak kecil, dan memposisikan diri sama dengan mereka yang diajaknya berteater. Paradigma sebagai orang luar dia ubah menjadi bagian dari mereka dan berposes bersama mereka, ia melebur dengan Bangunsari. Setelah itu ia baru merasa bebas, dan bisa melatih para perempuan di sini, dengan perlahan-lahan akhirnya paradigma para peserta pun berubah, kalau menjadi pelacur bukanlah nasib, peserta menemukan bahwa menjadi pelacur itu karena dibuat. “Hanya tiga pilihan perempuan tak terdidik yang datang ke kawasan urban, menjadi buruh pabrik, pembantu rumah tangga, atau pelacur” ungkap Lena.
Bukan hanya kelompok pekerja seks komersil (PSK) saja yang diajar teater oleh Lena, tetapi ada juga kelompok orang dengan HIV AIDS (ODHA), dan orang hidup dengan AIDS (OHIDA) di Surabaya. Tetapi dia juga sampai mengajar teater ke kelompok perempuan buruh tani dan korban kekerasan di daerah Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Baginya panggung teater adalah ruang dialog, baik antar pemain maupun penonton. Teater juga tidak sekadar pentas, tetapi media untuk mengubah paradigm, mengajak orang bermenung, sadar, dan bersolidaritas akan persoalan di hadapannya.
(Disarikan oleh Hasan Ramadhan dari harian Kompas, Senin 5 Agustus 2013)
Jurnal Perempuan memiliki Bundel Kliping setiap bulan dari berbagai surat kabar. Kliping ini berisi tentang isu-isu perempuan yang telah kami kategorisasi. Apabila Anda berminat dengan Kliping kami silakan hubungi: [email protected] atau 021 – 8370 2005