Argyo Demartoto: “Masyarakat Kita Diskriminasi Waria”
(22 Mei 2014)
(22 Mei 2014)
Solo—bertempat di YAPHI digelar peringatan IDAHOT (International Day Against Homophobia & Transphobia) yang diperingati setiap 17 Mei setiap tahunnya. Narasumber pada malam peringatan ini adalah dosen sosiologi UNS Argyo Demartoto yang menjelaskan “Homofobia adalah suatu sikap atau tindakan seseorang, kelompok maupun institusi baik langsung maupun tidak langsung untuk membenci minoritas seksual (LGBT-lesbian, gay, biseksual dan transeksual)”. Sejarah IDAHOT sendiri dimulai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 17 Mei 1990 yang secara resmi mengeluarkan homoseksual, biseksual dan transgender sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan.
Kemudian dalam konferensi internasional 26-29 Juli 2006 di Motreal-Canada ditetapkan 17 Mei sebagai hari melawan homophobia-transfobia. IDAHOT diperingati karena UUD 45 dibangun dari filosofi dasar bahwa setiap warga Negara (termasuk minoritas seksual dan kelompok rentan lainnya) berhak diperlakukan setara, adil, tanpa kekerasan-diskriminasi dalam bentuk apapun, demikian dijelaskan oleh Argyo. Fanny Chotimah, seorang feminis dan kurotar Festival Film Solo menjelaskan bahwa film The Tales of Waria, yang menjadi bahan diskusi IDAHOT kali ini, merupakan film dokumenter penting untuk menggugah semangat keberagaman para pemirsanya. “Kadang-kadang film dokumenter bisa mengubah pandangan pemirsanya”, terang Fanny. “IDAHOT bertujuan untuk membangun kepedulian masyarakat dan Negara tentang informasi keberagaman seksualitas dan identitas gender untuk membangun masyarakat Indonesia yang damai tanpa kekerasan dan diskriminasi”, tutup Argyo. Diskusi ini dihadiri oleh aktivis HAM (Rainbow, Talitakum, SPEK HAM, Jejer Wadon), feminis, mahasiswa yang dimeriahkan pula oleh kelompok seni Sarang Tarung. (redaksi-JP).
Kemudian dalam konferensi internasional 26-29 Juli 2006 di Motreal-Canada ditetapkan 17 Mei sebagai hari melawan homophobia-transfobia. IDAHOT diperingati karena UUD 45 dibangun dari filosofi dasar bahwa setiap warga Negara (termasuk minoritas seksual dan kelompok rentan lainnya) berhak diperlakukan setara, adil, tanpa kekerasan-diskriminasi dalam bentuk apapun, demikian dijelaskan oleh Argyo. Fanny Chotimah, seorang feminis dan kurotar Festival Film Solo menjelaskan bahwa film The Tales of Waria, yang menjadi bahan diskusi IDAHOT kali ini, merupakan film dokumenter penting untuk menggugah semangat keberagaman para pemirsanya. “Kadang-kadang film dokumenter bisa mengubah pandangan pemirsanya”, terang Fanny. “IDAHOT bertujuan untuk membangun kepedulian masyarakat dan Negara tentang informasi keberagaman seksualitas dan identitas gender untuk membangun masyarakat Indonesia yang damai tanpa kekerasan dan diskriminasi”, tutup Argyo. Diskusi ini dihadiri oleh aktivis HAM (Rainbow, Talitakum, SPEK HAM, Jejer Wadon), feminis, mahasiswa yang dimeriahkan pula oleh kelompok seni Sarang Tarung. (redaksi-JP).