Helga Worotitjan: Mendampingi adalah Tugas Pelayanan
(19 Juni 2014)
(19 Juni 2014)
Mendampingi korban kekerasan seksual sekaligus mengampanyekan dan mengedukasi masyarakat adalah perjalanan yang sunyi. Sunyi karena sepi dukungan, baik dukungan dari masyarakat maupun dari orang dekat, demikian pernyataan Helga Worotitjan saat berbagi pengalaman sebagai pendamping korban kekerasan seksual di acara Rabu Perempuan yang diselenggarakan Komnas Perempuan bersama Indonesia untuk Kemanusiaan di Kedai Tjikini, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (18/6). Menurut Helga hal terpenting yang perlu dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi pendamping adalah kemampuan mendengarkan dan menanggapi dengan serius. Karena itu bagi Helga, mendampingi adalah tugas pelayanan. Helga menambahkan sebagai pendamping dia juga pernah merasa tidak kuat dan ingin menyerah. Di titik-titik rawan semacam ini Helga mengaku dukungan terbuka dari teman-teman melalui media sosial misalnya, bisa membangkitkan kembali semangatnya dan membuatnya kembali kuat. Hal-hal sederhana, semacam inilah menurut Helga yang dibutuhkan seorang pendamping.
Lebih lanjut Helga mengatakan pelecehan seringkali dipahami dengan tindakan memegang payudara, mencium dengan paksa dan sejenisnya, tetapi sebenarnya pelecehan juga mencakup ungkapan verbal yang merendahkan. Ketika hal-hal yang dianggap “ringan” ini kita biarkan atau diamkan maka akan membuat pelaku meningkatkan intensitas dan/atau pola kekerasan yang dilakukan. Korbannya bisa jadi bukan lagi kita, tetapi mungkin orang lain yang lebih rentan dari kita. Helga menambahkan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu besar yang dianggap wajar, remeh dan tidak penting karena perempuan dan anak dianggap sebagai pihak yang lemah dan rentan. Menurutnya, Isu kekerasan adalah isu kemanusiaan karena itu persoalan kekerasan seksual harus disikapi dengan serius. (Anita Dhewy)
Lebih lanjut Helga mengatakan pelecehan seringkali dipahami dengan tindakan memegang payudara, mencium dengan paksa dan sejenisnya, tetapi sebenarnya pelecehan juga mencakup ungkapan verbal yang merendahkan. Ketika hal-hal yang dianggap “ringan” ini kita biarkan atau diamkan maka akan membuat pelaku meningkatkan intensitas dan/atau pola kekerasan yang dilakukan. Korbannya bisa jadi bukan lagi kita, tetapi mungkin orang lain yang lebih rentan dari kita. Helga menambahkan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu besar yang dianggap wajar, remeh dan tidak penting karena perempuan dan anak dianggap sebagai pihak yang lemah dan rentan. Menurutnya, Isu kekerasan adalah isu kemanusiaan karena itu persoalan kekerasan seksual harus disikapi dengan serius. (Anita Dhewy)