Nikodemus Niko (Mahasiswa Magister Sosiologi, Universitas Padjajaran Bandung) nicoeman7@gmail.com Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia yang terletak di Kalimantan Barat. Tetapi sungguh disayangkan, berbagai aktivitas masyarakat yang tidak ramah lingkungan menyebabkan air Sungai Kapuas sudah tidak sehat lagi. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi sebagian masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Sungai menjadi tempat perempuan melakukan berbagai aktivitas seperti mencuci, mandi, memasak, dan lainnya. Namun di sisi lain, mereka mengabaikan air sungai yang sudah tercemar akibat limbah industri dan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin). Limbah berbahaya mencemari air sungai, tapi masyarakat beraktivitas seperti biasa, pemerintah pun bersikap biasa saja. Seakan-akan kondisi air sungai tidak berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sungai Kapuas sudah tercemari zat kimia merkuri, limbah pabrik, bakteri coli, dan terdapat indikasi tercemar pestisida dari perkebunan.[i] Anak-Anak dan Sungai Suatu ketika saya memiliki kesempatan untuk tinggal bersama keluarga yang sudah cukup lama mendiami wilayah bantaran Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Sebut saja Ibu Alya dan Pak Umin, yang memberikan tumpangan rumah kepada saya selama seminggu di Kota Pontianak. Anak-anak bermain air dengan riang gembira, menggunakan pelampung dari ban dalam bekas mobil. Mereka tertawa lepas, tanpa tahu mereka berenang di atas limbah racun. Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok paling rentan terkontaminasi racun berbahaya dari air sungai. Suami dan ayah mereka mencari ikan di sungai untuk dimakan. Ikan-ikan sudah terkontaminasi racun limbah yang berbahaya, dan dikonsumsi oleh mereka sekeluarga. Sementara ibu-ibu menyusui anak-anak mereka, bayi mereka ikut terkontaminasi racun limbah seperti merkuri. Hal ini sangat serius, pembiaran perusakan hutan oleh perusahaan tambang tanpa pengelolaan limbah yang baik sama saja membunuh generasi yang tiada berdosa. Hampir di setiap aliran Sungai Kapuas terdapat perempuan dan anak-anak yang (bertahan) hidup dalam keterbatasan. Mereka berburu ikan untuk makan, tanpa mengetahui ikan telah tercemar oleh zat kimia berbahaya. Mereka beranggapan bahwa ikan itu masih segar karena baru saja ditangkap. Secara tidak langsung, keluarga pengonsumsi ikan terkontaminasi oleh zat berbahaya. Belum lagi anak-anak suka berenang, tanpa sengaja menelan air sungai. Sedikit banyak zat kimia masuk ke dalam tubuh si anak. Anak-anak Bu Alya, sangat suka bermain air di sungai. Kulit mereka dekil dan hitam, bagian kaki terdapat bercak koreng. Hal itu karena kebiasaan anak-anaknya yang tidak mandi menggunakan sabun. Atau setidaknya mereka tidak dapat membilas badan mereka dengan air bersih, karena tidak ada. Kebiasaan anak-anak yang tidak dipantau ini, tumbuh terus-menerus, sehingga kuman penyebab penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh anak-anak. Ditambah lagi, karena Bu Alya dan Pak Umin sibuk bekerja, maka sedikit waktu untuk memantau anak-anak mereka. Keluarga, Perempuan dan Limbah Saya tinggal bersama sebuah keluarga di pinggiran sungai Kapuas. Rumah mereka adalah rumah sewa, bukan rumah milik pribadi. Mereka warga asli, memiliki KK (Kartu Keluarga) asli, tetapi tidak memiliki rumah permanen. Terdapat tiga anak di tengah keluarga itu, yang tertua kelas satu SMP, dan dua orang lagi masih duduk di bangku SD. Pak Umin bekerja sebagai sopir dan istrinya bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sedangkan anak tertua mereka, yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), bekerja sambilan sebagai buruh cuci. Rumah mereka berdiri di atas air, jika Sungai Kapuas pasang. Sehingga toiletnya langsung mengalir ke sungai. Kondisi ini adalah kondisi umum bagi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Kapuas, hampir setiap rumah memiliki toilet yang langsung mengalir ke sungai. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, sebagai antisipasi pencemaran limbah rumah tangga di Sungai Kapuas. Limbah rumah tangga seperti detergen untuk mencuci pakaian, toilet, dan sampah-sampah rumah tangga menjadi penyumbang atas pencemaran air di Sungai Kapuas. Peringatan tanpa disertai dengan solusi tidak akan membangun kesadaran masyarakat. Buang Air Besar (BAB) di sungai merupakan kebiasaan masyarakat di pinggir sungai yang sulit untuk di ubah. Namun, saya yakin jika masyarakat difasilitasi dengan one family one toilet, kemudian dibekali dengan pemahaman kesehatan, masyarakat akan mengubah kebiasaannya. Sore itu anak-anak masih bergumul dengan air pasang, mereka senang sekali bermain air dikala pasang. Mereka masih sangat polos, tak kurang dari sepuluh orang jumlahnya. Sedangkan bapak-bapak ada yang sedang memasang pukat, ada pula yang menebar jala. Untuk apa lagi kalau bukan mencari ikan buat lauk keluarga mereka. Saya masih duduk di muka pintu, menikmati sunset yang mulai turun meninggalkan bumi khatulistiwa. Isu perempuan dan isu lingkungan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipandang secara terpisah. Isu lingkungan juga merupakan isu feminis, dalam hal ini ekofeminis. Karena opresi terhadap alam sama dengan opresi terhadap perempuan. Sebagaimana diungkapkan Greta Gaard, “ecofeminists have described a number of connections between the oppressions of women and of nature that are significant to understanding why the environment is a feminist issue”.[ii] Bu Alya tidak tamat SD (Sekolah Dasar), begitu pula dengan Pak Umin. Bu Alya masih cukup kuat membantu suaminya bekerja, menopang perekonomian keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. “Yang terpenting, anak-anak saya bisa bersekolah” ucapnya. Mental fight to survive sudah tertanam dalam diri mereka sehingga mereka mampu bertahan hidup di kota, dengan penghasilan seadanya. Sekilas keluarga mereka tampak bahagia hidup dalam kesederhanaan, namun di balik itu terdapat perjuangan dan mimpi untuk generasi dan anak-anak mereka. Tidak ada akses air bersih di rumah mereka, padahal air sungai menjadi tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Tetapi mandi, mencuci sayur, mencuci pakaian mereka lakukan menggunakan air sungai yang kondisinya bau dan tidak layak—mereka tergantung pada air limbah (sungai). Rata-rata masyarakat di bantaran sungai tidak memiliki akses air bersih. Hanya untuk minum mereka membeli air galon isi ulang seharga Rp 6.000 per galon. Imbauan pemerintah hanya sebatas “jangan membuang sampah di sungai”, tetapi tidak mengimbau untuk jangan menggunakan air sungai, tentu diikuti dengan solusi yang implementatif. Perempuan yang hidup di bantaran sungai, seolah-olah sudah terbiasa dengan kondisi hidup mereka, tanpa mereka menghiraukan akibat-akibat yang timbul terhadap keluarga mereka. Kemiskinan sebenarnya lebih dari sekadar rendahnya konsumsi dan minimnya pendapatan, gambaran yang lebih mendalam mengenai orang miskin adalah bahwa mereka adalah orang yang cenderung tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, bahkan lulus sekolah dasar saja sudah merupakan suatu keistimewaan, apalagi memiliki keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.[iii] Masyarakat miskin di wilayah perkotaan, bukan perkara memiliki penghasilan rendah semata, melainkan akses masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup. Catatan belakang: [i] Pencemaran di Hulu Hingga Hilir, di akses tanggal 13 September 2016 dari: http://nasional.kompas.com/read/2008/09/17/10331232/pencemaran.di.hulu.hingga.hilir [ii] Gaard, G (ed.) 1993, Ecofeminsm: Women, Animals, Nature, Temple University Press, Philadelphia. [iii] Stamboel, K A 2012, Panggilan Keberpihakan: Strategi Menangani Kemiskinan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rena Asyari (Dosen dan penggagas Seratpena) caberawit86@gmail.com Dua kali Jumat, berturut-turut saya menyaksikan pementasan drama dalam rangka ujian akhir mahasiswa teater ISBI Bandung. Yang sungguh menarik minat saya untuk tidak melewatkannya adalah lakon yang diperankan merupakan karya Putu Wijaya Bila Malam Bertambah Malam dan Nyai Ontosoroh mengambil kisah dari Roman Pramoedya Ananta Toer yang disadur oleh Faiza Mardzoeki. Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya bercerita tentang kehidupan di Bali pada masa setelah perang puputan. Gusti Biang sebagai tokoh utama adalah seorang janda ningrat yang keras, sesekali angkuh karena keningratannya. Angkuhnya bukan karena keinginan tapi karena kebutuhan untuk terus dihargai. Mungkin itu salah satu cara Gusti Biang mempertahankan hidupnya. Berbeda dengan Gusti Biang, Nyai Ontosoroh, tokoh dalam roman Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer adalah seorang gadis desa yang dijual bapaknya untuk menjadi Nyai Tuan Mellema seorang Belanda tulen. Dendam pada orang tuanya dan pengetahuan barunya akan hal-hal yang berbau Eropa menyebabkan Nyai Ontosoroh menjadi sosok perempuan Jawa yang berbeda pada masanya. Kuat, keras, cerdas, cekatan dan tangguh. Terdapat kesamaan antara tokoh Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh, keduanya berperan dominan sebagai perempuan. Perempuan yang biasanya hanya sebagai pelengkap dalam rumah tangga, pada diri Gusti Biang dan Ontosoroh perempuan berwujud menjadi pengatur dan inti dari rumah tangga. Tentang kisah cinta yang terjadi pada Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh nyaris serupa. Mereka berpasangan dengan seseorang yang tidak dicintainya. Cinta sejati Gusti Biang sebenarnya adalah Wayan, laki-laki sudra yang rela mengorbankan segalanya untuk Gusti Biang bahkan Wayan tidak menikah sampai tua. Hanya karena keningratan suaminya yang membuat Gusti Biang bertahan dari perkawinannya. Begitupun dengan Nyai Ontosoroh meski dalam romannya tidak ada cerita tentang cinta sejatinya, tetapi perkawinan dengan Tuan Mellema adalah sebuah proses jual beli, paksaan bukan dengan sepenuh hati. Kekayaan dan kebaikannya lah yang membuat Nyai bisa menjalani hidup barunya bersama Tuan Mellema. Tetapi tentu ada juga perbedaan yang sangat mencolok. Gusti Biang terlahir sebagai ningrat dan kaya, ditambah lagi dengan harta warisan kekayaan suaminya. Gusti Biang mungkin tak mempunyai dendam masa lalu pada latar belakang kehidupannya. Hidupnya sudah cukup beruntung, tak perlu bekerja keras untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Sedangkan Nyai Ontosoroh adalah sosok pekerja keras. Dia beranggapan semua yang didapatnya adalah hasil kerja kerasnya bekerja siang dan malam di rumah dan di dalam perusahaan Tuan Mellema: “Tuan mulai membayar tenagaku, juga dari tahun-tahun yang sudah” (Toer 2006, hal 96). Hal seperti itu dilakukan nyai, karena nyai khawatir dengan masa depannya sendiri. Nyai paham benar bahwa dia hanyalah gundik yang tidak bisa mendapatkan sedikitpun hak atas suami, perusahaan dan anaknya. Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh bisa menjadi potret perempuan masa lampau yang tinggal di Bali ataupun di Jawa. Perempuan yang tidak bisa memilih cintanya, yang hidupnya ada di tangan orang tua dan suaminya. Meskipun mereka hanyalah tokoh fiktif bisa jadi mereka sebenarnya nyata. Sosok perempuan yang selalu digambarkan lemah, tak berdaya, di bawah kungkungan suami, harus taat pada adat dan agama itu semua seolah-olah didobrak oleh Nyai Ontosoroh. Mungkin kita terlalu besar dengan cerita RA Kartini dengan sistem feodalisme Jawa yang ketat. Tetapi jika kita mau menengok sekilas saja pada cerita perempuan dari masa ke masa maka kita akan menemukan banyak perempuan hebat. Misalnya saja Ken Dedes yang hidup pada awal abad ke-13 dan Dewi Mundingsari anak perempuan kedua Raja Pajajaran yang digambarkan sebagai “Kedua perempuan itu begitu ‘panas’–dalam arti magis–bahwa vaginanya bercahaya, dan hanya lelaki dengan kekuatan gaib bisa menikahinya” (Brandes 1897 dikutip dalam Carey & Houben 2016, hal. 9). ‘Panas’ mempunyai arti perempuan terpilih di antara kaum Hawa. Karena ceritanya yang sangat lokal lakon Bila Malam Bertambah Malam pantas dipentaskan berulang kali, terus dieksplorasi dan diapresiasi. Memerankan sosok Nyai Ontosoroh tentu merupakan tantangan tersendiri. Karena Nyai Ontosoroh tak bisa dilepaskan dari romannya yang besar ditambah kemelekatan dengan penulisnya sosok sastrawan hebat Pramoedya Ananta Toer. Bibliografi Carey, P & Houben, V 2016, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Bandel, K 2006, Sastra, Perempuan, Seks, Jalasutra, Yogyakarta. Wijaya, P 2007, Bila Malam Bertambah Malam, cetakan ketiga, Pustaka Jaya, Bandung. Toer, PA 2006, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, Jakarta. Ali Jafar (Center for Religious and Cross Cultural Studies, UGM) ali.jafar@mail.ugm.ac.id Ada masalah serius dalam pembacaan kitab suci ketika membincangkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, terutama masalah seksualitas dan moralitas. Dalam teks agama-agama Ibrahim, pembacaan narasi tentang Adam yang teralienasi dari Tuhan dan diturunkan ke bumi setelah memakan buah Khuldi akibat bujuk rayu Hawa, begitu kuat didengungkan untuk memberikan justifikasi bahwa secara intlektual dan spiritual, kaum perempuan itu inferior, jauh dari Tuhan dan dekat dengat setan. Dalam pembacaan yang bias, nenek moyang perempuan adalah dia yang sangat mudah tergoda oleh bujuk rayu Iblis yang menyamar. Dalam kitab Kejadian misalnya, konsekuensi dari bujuk rayu itu, adalah wanita yang harus menderita saat mengandung dan akan selalu birahi pada laki-laki. Begitu juga dalam Al-Qur’an dimana wanita dikonsepsikan sebagai perhiasan dunia dan objek birahi (madzinah sahwat) yang menggoda laki-laki. Dalam pembacaan yang lebih lanjut, wanita adalah tempat dimana setan bersemayam untuk menggoda laki-laki yang sholeh. Membaca kitab suci dengan cara male centrist seperti ini bukan hanya berbahaya untuk semangat keadilan dengan mengkaburkan nilai-nilai sakral dalam hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi juga mengakibatkan distorsi dan memberikan konsepsi akan keberpihakan sang khaliq pada satu entitas gender tertentu. Adalah jamak terjadi bilamana pada masyarakat patriarki, pemahaman yang bias tentang seksualitas yang hadir dalam kitab suci kemudian diangkat ke dalam isu generasi dan isu moralitas. Isu ini berdampak pada pemahaman dimana wanita yang baik-baik dan bermoral adalah dia yang dikonsepsikan mampu menjaga tubuhnya sendiri. Isu generasi misalnya, ada pada pemahaman bahwa wanita harus tetap perawan dan belum pernah disentuh sampai saat pernikahan, bukan hanya untuk menyenangkan sang suami di malam pertama, tetapi juga untuk menjaga kehormatan keluarga. Dalam peziarahan saya di kantong-kantong pernikahan dini, banyak sekali keluarga yang merasa perlu untuk menikahkan anak gadisnya secepat mungkin, agar terhindar dari beban bahwa keperawanan anak gadis itu rentan. Sedikit terkoyak maka hancurlah kehormatan keluarga, maka jalan yang cukup efektif adalah menikahkan mereka sedini mungkin. Sementara isu moralitas membawa pada fenomena menutup diri (veiling), dimana oposisi biner antar bermoral dan tidak bermoral ditentukan oleh penampilan fisik (physical appearance) semata, wanita itu berkerudung atau tidak, pakaiannya panjang atau pendek, dia memakai kemben atau baju kurung dan lain sebagainya telah menjadi standar utama apakah wanita itu bermoral atau tidak. Sindrom moralitas dengan veiling ini bukan hanya menjangkit masyarakat urban yang religius, tetapi juga menjadi popular di kalangan masyarakat sekuler metropolitan. Dalam fenomena masyarakat seperti ini, narasi seksualitas dan moralitas yang ada dalam kitab suci sangat layak untuk diperbincangkan kembali untuk melihat seksualitas dan posisi perempuan secara utuh. Tentu saja, dalam pembacaan masyarakat religius, isu seksualitas adalah lensa yang tajam untuk melihat apa yang terjadi di masyarakat. Bagaimana kontrol terhadap seksualitas adalah upaya untuk mendominasi yang lain. Maka adalah tepat jika membaca kitab suci, kita juga turut membaca bagaimana isu itu dinarasikan dan diinterpretasikan, serta dalam tujuan apa. Sinopsis Perempuan Dalam Kitab Suci Dalam pembacaan objektif ketika menarasikan Al-Quran misalnya, kita bisa melihat bagaimana ayat yang membicarakan tentang perempuan tidak pernah secara jelas menyebutkan bahwa laki-laki harus mengontrol seksualitas pasanganya. Pada ayat yang menjelaskan seksualitas dalam ayat dzihar[1] (membelakangi istri) misalnya, ayat itu diwahyukan untuk mengkritik pendapat nabi Muhammad yang tidak adil pada kasus wanita yang di-dzihar. Para penafsir sepakat bahwa ayat pertama dalam surah Al-Mujadalah adalah ayat yang turun untuk wanita bernama Khaulah. Seorang wanita yang diabaikan hak seksualitasnya (dzihar) oleh suaminya. Dalam tradisi seksualitas masyarakat Arab, wanita adalah objek seksual, sedangkan laki-laki adalah satu-satunya subjek yang berbicara mengenai seksualitas. Menelantarkan hak seksualitas adalah sesuatu yang menyakitkan sebagaimana melakukan kekerasan seksual. Tradisi ini kemudian dikritik keras oleh Al-Qur’an dengan wahyu yang turun pada Muhammad, bahwa menelantarkan hak seksualitas pada wanita dalam tradisi dzihar adalah tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan. Narasi lain tentang seksualitas dan keadilan bisa kita temukan dalam kitab Kejadian dalam kisah Tamar. Tamar, seorang wanita yang dianggap membawa sial oleh Yehuda karena kedua putranya (Er dan Onan) mati saat menjalin hubungan dengannya. Bahkan kematian Onan terjadi saat dia melakukan coitus interuptus (persengamaan terputus), dan Tuhan murka dengan apa yang dilakukan Onan. Maka oleh Yehuda sang mertua, Tamar dibiarkan menjadi janda tanpa anak dengan janji akan dinikahkan pada Shelah yang masih kecil. Hingga pada suatu hari, Tamar memakai kerudung dan menyamar sebagai pelacur untuk mengelabui sang ayah mertua, dan terjadilah hubungan seksual itu, antara Tamar dan Yehuda. Kedua kitab suci ini, tidak pernah malu-malu atau merasa tabu untuk menceritakan masalah seksualitas. Pada kasus Khaulah dan Tamar yang ditelantarkan hak seksualitasnya, Tuhan dengan gigih membela dengan penuh keadilan bahwa praktik kebudayaan yang mengsubordinatkan perempuan sama sekali tidak diperkenankan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu ditekankan, pertama saya melihat kasus Khaulah bukan hanya sebagai wanita yang pengaduanya didengarkan oleh Tuhan, tetapi sebagai narasi sosial bahwa seksualitas bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan oleh wanita di depan umum. Kitab suci memberikan narasi yang kuat tentang bagaimana seorang istri bisa menuntut suaminya jika berlaku tidak adil. Kedua, geneaology tentang masalah seksualitas tidak memiliki hubungan masalah moralitas. Seksualitas adalah hal yang inborn (bawaan lahir), dan moralitas adalah konstruksi sosial. Sedangkan kitab suci tidak melihat satu konstruksi sosial masyarakat tertentu sebagai konstruksi yang absolut. Maka, moralitas tidak bisa diseragamkan, dan mereka yang memakai cadar, penutup kepala tidak serta merta lebih bermoral dari pada mereka yang hanya memakai kemben. Dengan sudut pandang yang berbeda, maka narasi ribuan tahun tentang Adam yang terusir ke bumi karena bujuk rayu Hawa, atau narasi tentang neraka yang dipenuhi wanita dan wanita yang dekat dengan Iblis dan Setan perlu dibaca ulang untuk dikoreksi dan mempertegas bahwa baik laki-laki atupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal sosial maupun spiritual. Adalah ironi jika setelah ribuan tahun kitab suci membicarakan seksualitas dengan semangat membebaskan, masyarakat patriarkhi justru berjalan ke arah yang berlawanan, ke arah semangat mendominasi. Dalam budaya religius modern, seksualitas adalah hal yang tabu dan wanita yang “religius”, “bermoral” dan “baik-baik” adalah wanita yang tidak membicarakan seks, karena seksualitas adalah hal yang memalukan, dan godaan menuju seksualiatas itu berawal dari nafsu binatang atau setan. Menyedihkanya, logika tentang tubuh wanita sebagai objek seksualitas atau tempat dimana setan bersemayam untuk manancapkan panah-panah birahinya, diterima dan dijadikan standard moralitas pada wanita. Pada dunia yang mengambarkan tubuh wanita sebagai lokus, atau tempat dimana setan berada (demonic association), hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak akan berjalan berimbang. Karena yang satu dinobatkan sebagai manusia sempurna dan yang satu dianggap lebih rendah dari manusia, dan juga dekat dengan setan yang maha menggoda. Ada perang kosmis-teologis antara laki-laki dan perempuan dimana yang satu dekat dengan tuhan dan yang satu dekat dengan setan. Meski konsepsi semacam ini ironis bahkan menggelikan. Namun menjadi ide dasar proses dehumanisasi berjalan pada ranah teologi, maka ribuan ayat pembebasan gender hanya akan menjadi alat legitimasi untuk mengokohkan dominasi laki-laki. Pada masyarakat religius modern seperti di Indonesia, isu tentang seksualitas acap kali dijadikan alat untuk menundukkan wanita dan memberikan konfirmasi bahwa tubuh wanita itu menggairahkan, namun mereka tidak berdaya untuk menjaganya dan lemah secara alamiah, maka mereka membutuhkan perlindungan dari laki-laki bahkan untuk menjaga dirinya sendiri. Ada security syndrome dimana seseorang merasa tidak aman dengan dirinya sendiri. Tubuh wanita tidak lagi menjadi anugrah, melainkan beban yang harus dilindungi. Sebagai konsekuensi, maka baju-baju kurung dihadirkan untuk menutupi tubuh untuk memberikan jaminan akan moralitas dan keamanan. Meminjam istilah Foucault tentang bio power, tentu saja isu tentang seksualitas dan keamanan tubuh adalah isu yang sengaja dikonstruksi untuk menundukkan pihak lain. Laki-laki perlu untuk berbicara tentang keamanan, moralitas dan seksualitas agar wanita bisa dikontrol untuk tunduk pada peraturan laki-laki. Alih-alih membebaskan dengan prinsip keadilan, kitab suci malah dijadikan justifikasi dari langit untuk membenarkan semua tindakan pengkontrolan. Ketika kitab suci dibaca secara utuh, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka kita akan mendapati kesetaraan posisi dalam narasi. Tuhan menempatkan laki-laki ataupun perempuan sebagai hamba, mereka adalah sama sama manusia yang diperintahkan untuk bertaqwa kepada Tuhan dan memiliki hak yang sama dan setara baik secara sosial maupun spiritual. Ketika nabi Muhammad ditanya mengenai posisi laki-laki dan perempuan, beliau menjawab bahwa “laki-laki dan perempuan itu seperti gigi sisir yang berdiri sama tinggi dalam kesetaraan” (Abi Dawud dan Tirmidzi dari Aisyah). Singkatnya, narasi tentang pengontrolan tubuh dan seksualitas atas alasan moralitas tidak pernah secara jelas disebutkan dalam kitab suci sebagai akar teologis yang diskriminatif. Itu adalah produk penafsiran dan ekspresi budaya patriarki dimana wanita harus lebih sopan dari pada laki-laki. Fenomena menutup tubuh, ketabuan berbicara tentang tentang seksualitas di depan umum dan persepsi bahwa wanita yang berbicara tentang seks adalah wanita yang kurang bermoral adalah konstruksi masyarakat religius modern yang male centrist. Fenomena ini tidak sejalan dengan prinsip kitab suci yang membebaskan dengan penuh keadilan, seperti cerita Khaulah dan Tamar. Jika memang memakai penutup aurat adalah keharusan yang difirmankan dalam kitab suci, maka semata-mata itu berdasarkan ketaqwaan kepada sang khalik, bukan berdasarkan moralitas, kontrol sosial apalagi tentang tubuh yang dihinggapi setan. Catatan Akhir: [1] Dzhihar berasal dari kata dzahara yang artinya punggung. Kata ini digunakan oleh suami untuk tidak lagi memiliki hubungan seksual dengan istrinya Endang Kusniati (Mahasiswi Islam dan Kajian Gender (IKG), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) khusniati_endang@yahoo.co.id Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang, dengan perkembangannya itu pula banyak isu-isu atau kasus yang menarik perhatian banyak kalangan, seperti halnya para tokoh agama, politik, masyarakat, akademisi, dan lain sebagainya. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan nyata yang ada di Indonesia, sebut saja salah satunya adalah isu tentang UU Pornografi (UUP) yang menjadi salah satu isu nasional. Undang-undang Pornografi ini menuai kontroversi, karena sebenarnya bukan mengatur hukum industri pornografi, tetapi mengatur tubuh seseorang—yang kemudian banyak disuguhkan di media massa berbau dengan komodifikasi politik pada tubuh perempuan yang menjadi salah satu pusat perhatian khalayak luas. Komodifikasi tubuh yang diekspos di media, hal ini memang masih tidak terlihat secara terang dan jelas jika didalamnya mengandung unsur pornografi yang berada di dalam dunia industri pasar, karena sudah membaur dan sudah menjadi konsumsi masyarakat dalam kesehariannya, sehingga ia tidak sadar akan hal tersebut. Berbeda dengan trafficking yang sudah jelas terlihat pelanggarannya dan bukti langsung transaksinya. Terkait dengan isu UUP yang karena memang hanya dijadikan topeng belaka. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru namun karena sifatnya yang timbul lalu tenggelam dan timbul kembali, maka tema perbincangan ini seolah tidak pernah berakhir, seperti halnya kisah yang terus berkelanjutan. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan lokus dimana unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video clip artis yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa atau siswa SMU, pelajar, pameran foto-foto nudis beberapa artis sampai aksi panggung artis dangdut yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas tubuhnya. Hasil kajian tim PSW Institut Agama Islam Negeri Mataram, kaitannya pornografi dalam media dan perlakuannya di dunia industri, seolah menjadi ladang penghasil pundi-pundi kemewahan. Sehingga tubuh perempuan tidak berdaya, walaupun dalam pandangan feminis liberal perempuan memiliki hak akan tubuhnya dalam mengekspresikan dirinya. Dalam sebuah tabloid misalnya, tubuh perempuan sering kali menjadi bahasan yang menarik. Karena jika di dalam media seperti tabloid, majalah, koran hingga pada media elektronik, yang dimuat dengan gambar atau tampilan tubuh perempuan yang menarik, cantik, seksi serta berbau pornografi memang laris di dunia hiburan, sehingga dunia perindustrian akan terus langgeng jika keadaan seperti ini yang terjadi, dan bisa pastinya banyak perusahaan bisa meraup keuntungan langsung dari penjual per eksemplarnya. Walaupun menurut kacamata feminis liberal dalam konteks gerakan feminis, wacana pornografi seolah menjadi titik pembelah antara kelompok liberal yang menganggap bahwa pornografi merupakan hak perempuan untuk mengekspresikan diri secara bebas. Sedangkan berbeda dengan kelompok radikal yang menganggap pornografi sebagai bentuk dehumanisasi. Lalu bagaimana feminis radikal dalam memandang pornografi tersebut bandingannya dengan cara pandang feminis liberal terhadap pornografi? Dalam tulisan ini memang secara langsung memiliki tujuan tersendiri, yaitu untuk mengetahui cara pandang feminis radikal terhadap modifikasi tubuh perempuan dalam media massa yang berlanjut pada jaringan akses pornografi dengan menampilkan bentuk lekuk tubuh perempuan yang dirasa mampu menjadi salah satu icon penting atau pusat perhatian. Kemudian memberikan cara pandang kepada perempuan agar tidak begitu mengeksplor dirinya terlalu vulgar, walaupun hal itu adalah hak privat individu, tapi secara tidak sadar tubuh perempuan telah dijadikan objek yang tersubordinat. Cara pandang yang dimiliki perempuan tentang hal demikian memang harus diubah. Selain itu juga, melalui tulisan ini secara langsung untuk memberitahukan kepada seluruh kalangan masyarakat, bahwa ternyata industri pornografi itu mengandung unsur seksualitas yang tidak disadari oleh mereka, perempuan hanya dijadikan objek, laki-laki lebih dominan, padahal semestinya tidak demikian, yang diinginkan adalah perempuan dan laki-laki bisa bekerjasama satu sama lain, tanpa memandang perempuan itu inferior dan laki-laki superior. Pornografi sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi dikalangan akademisi, aktivis bahkan sampai pada kalangan masyarakat. Pornografi dapat diartikan sebagai penggambaran tegas perendahan perempuan secara seksual melalui gambar dan atau perkataan, termasuk di dalamnya perempuan yang didehumanisasi serta diobjekkan, sebagai seseorang sedang menikmati kesakitan, perendahan martabat, maupun perkosaan dalam konteks yang membuat kondisi-kondisi ini menjadi seksual. Kita tahu betapa pornografi sudah menjamur saat ini di Indonesia. seolah tak ada lagi ruang-ruang kebajikan bagi para pejuang. Pornografi menjadi salah satu isu yang terus berkembang di negara ini, sehingga hal tersebut menjadi salah satu hal yang menarik untuk menjadi bahan kajian dengan kegelisahan-kegelisahan penulis terkait dengan komodifikasi tubuh perempuan dalam media. Menurut R. Ogien dalam (Haryatmoko, 2007: 93), pornografi dapat diartikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik. Sedangkan Industri, merupakan sebuah kegiatan atau usaha yang dikelola guna mendapatkan keuntungan dan nilai guna. Perlu diketahui juga, hasil dalam sebuah industri juga bukan hanya pada komoditi barang namun juga pada jasa. Kaitannya perempuan, media, dan pornografi dalam pandangan Thelma McCormack, ialah bahwa banyak studi yang sangat bias dan berfokus pada perspektif laki-laki yakni dalam fungsinya bagi konsumen laki-laki. Menurutnya pornografi dipandang sebagai ketidaksetaraan seksual dimana perempuan hanya dijadikan sebagai obyek untuk menumbuhkan keinginan seksual laki-laki (Zoonen Van, 1994:18). Menurut hemat penulis, ternyata teori ini dekat sekali dengan kedaan realitas yang terjadi saat ini, perempuan memang dijadikan objek utama, walaupun sekarang laki-laki, anak-anak juga sudah mulai ada yang dijadikan sebagia salah satu sasaran atau objek pornografi. Pornografi sebagai representasi proses dehumanisasi perempuan yang diposisikan sebagai obyek, benda, dan komoditi seksual. Penghinaan, kekerasan, dan pelecehan sering hadir dalam skenario-skenario yang merusak seperti perbudakan, pelukaan, perkosaan, dan sebagainya. Pornografi dilihat sebagai salah satu bentuk eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan dalam sistem global kapitalis yang bernama the second sex. Pornografi bukan sesuatu yang netral tetapi sarat dengan kepentingan ideologi dominasi. Metode kesenangan di bawah kekuasaan patriarki, dimana perempuan hanya dijadikan manusia kedua dalam segala hal, termasuk dalam konteks seksualitas. Namun, dalam kacamata pendekatan progresif maka apapun itu, baik seksualitas sekalipun semuanya sama-sama memiliki peran, kesempatan dan keputusan yang sama. Perempuan pun berhak menolak jika memang dirinya tidak menghendaki. Dalam hal metode kesenangan patriarki perempuan hanya dijadikan sebagai objek oleh laki-laki. Padahal jika demikian jelas bahwa budaya patriarki berperan dan berpengaruh sekali. Patriarki erat juga kaitannya dengan kuasa akan tubuh perempuan. Tubuh-tubuh perempuan memang sepantasnya untuk dipatuhkan agar tidak melampaui batas otoritas laki-laki terhadap kekuasaannya, itu jika dalam sistem partriarki. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Walby terkait dengan budaya patriarki diranah privat dan publik. Perempuan identik senang, bahagia dan bangga ketika ia sudah terkenal melalui media massa elektronik maupun cetak, yang dirasa tidak sadar oleh dirinya bahwa itu adalah bentuk dari pada kepatuhan tubuh melalui media dengan skandal dasar kuasa pada setiap tubuh perempuan yang mengandung unsur pornografi. Walaupun perempuan berada diranah publik tapi disana tetap ada perpanjangan atau keikutsertaan kuasa laki-laki didalamnya. Karena keterlibatan budaya petriarki bukan hanya pada ranah privat namun juga pada ranah publik, seperti apa yang dikemukakan oleh Walby.
Disiplin otoritas adalah untuk membentuk suatu tubuh yang patuh dan dapat ditundukkan, dimanfaatkan, ditrasnformasikan, diperbaiki, dan dapat ditingkatkan gunanya. Tubuh yang patuh ini juga merupakan tubuh yang produktif. Maksudnya ialah agar tubuh yang terkontrol tetap mampu mengekspresikan dirinya tanpa harus dikekang atau dilarang, bentuk pengawasan yang dimaksudkan Foucault adalah pengawasan yang menguasai juga memberikan rasa perlindungan pada setiap warga, masyarakat, dan tubuh-tubuh perempuan. Sesuai dengan teori kuasa akan tubuh (seksualitas) atau biopolitik oleh Foucault sebagaimana disebutkan, bahwa kekuasaan membentang atas suatu jumlah yang besar, sejumlah sesuatu yang besar seperti individu yang bergerak, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, ia adalah kekuasaan yang memberi dan mengorbankan sebuah kekuasaan individualistik (Carrette, 2011:176). Penulis berusaha mengandaikan dalam sebuah analogi misalnya, ada seorang gembala kambing yang baik tentu saja ia harus memastikan keselamatan kawanan hewan ternak yang ia gembala. Walaupun sang penggembala adalah orang yang memiliki kekuasaan penuh akan hak kepemilikan hewan tersebut. Penggembala yang baik ia memang mengawasi, mengatur secara khusus satu per satu, tapi ini bukanlah kekuasaan global yang harus mengekang bagaimana hewan itu makan, beradaptasi dengan lingkungan, dan jenis hewan lainnya. Tapi mengawasinya demi menjaga keselamatan hewan tersebut. Begitupun dengan Raja atau kepada derah, walikota dan lain sebagainya, haruslah menganggap setiap warga masyarakat, baik laki-laki ataupun perempuan dalam satu tubuh yang sama, maksudnya perempuan dan laki-laki memiliki hak dan juga peran yang sama untuk dilindungi dan mampu mengaktualisasikan dirinya tanpa harus dikekang atau dikuasaai secara menyeluruh akan tubuh yang ia milikinya. Teori yang dikemukakan di atas juga tidak serta merta berjalan dengan sendirinya, hal itu terjadi juga karena adanya prospek atau kebutuhan pasaran yang menjanjikan. Sehingga membuat dunia hiburan berlomba-lomba untuk menaikan rating masing-masing dengan memproduksi produk yang mudah laku dipasaran. Seksualitas dalam Industri Pornografi Dalam masyarakat industri kapitalis, pornografi dikemas dengan begitu sedemikian rupa dan dipasarkan secara massal, tentu saja hal itu tujuannya adalah untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagi para penentang pornografi, perempuan dalam industri ditempatkan sebagai komoditi yang dieksploitasi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memuaskan hasrat seksual laki-laki (Junaidi, 2012:37). Adanya hubungan yang mendasar antara pandangan dunia dualistik dan objektivikasi perempuan telah menjadi prinsip utama di dalam teori feminis selama 30 tahun silam ini. Dalam beberapa terkhir ini para feminis telah melakukan beberapa penelitiannya terkait dengan objektivikasi perempuan terhadap ciri-ciri yang ada, khususnya terkait dengan seksualitas perempuan. Sebagian besar studi ini tidak semuanya telah dilaksanakan dalam rangka menganalisis ciri-ciri dan implikasi pornografi. Sehingga dalam analisis ini muncul sebuah pemahaman tentang pornografi sebagai suatu penggambaran sekaligus suatu alat untuk mempertahankan dominasi laki-laki atas seksualitas perempuan (Russell, 2004:91). Lebih Jauh, MacKinnon menjelaskan, dalam masyarakat Industri kontemporer, pornografi menjadi produksi masal yang menggunakan perempuan demi keuntungan laki-laki, mengeksploitasi dan menjual perempuan untuk kesenangan seksual laki-laki. Hal ini bisa dikatakan sebagai salah satu jembatan sebagai perdagangan perempuan melalui teknologi cangih (MacKinnon, 1987:184). Menurut analisis penulis, dalam sebuah industri tidaklah mungkin dilandasi tanpa adanya motif atau kepentingan didalamnya, mustahil hal itu terjadi tanpa ada sebab. Begitu juga dengan produk yang ingin dipasarkan, tidak mungkin jika tidak ada motif profit atau keuntungan yang diinginkan. Sehingga dengan keinginan meraup keuntungan maka produksi pasar disesuaikan dengan permintaan pasar, sehingga insudustri dalam sebuah berita, iklan, film, ataupun produk lainnya ia akan mengklasifikasikan (mengelompokkan) dengan jenis-jenis yang berbeda. Seperti misalnya tentang kepentingan industri di dalamnya yang menklasifikasikan dalam sebuah industri pornografi seperti black woman, asian woman, latin woman, pregnant women, old woman, fat woman dan lain-lain. Hal tersebut telah menempatkan perempuan lebih rendah dari binatang dan benda. Selain dalam hal tersebut ada hak untuk mencitrakan dirinya sebagai keibuan, atletik, feminis, dan lain-lain. Sehingga wajar jika di dalam sebuah pornografi ada unsur seksualitas. Jadi sebenarnya yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah membuat peraturan undang-undang pada industri pornografi, sehingga akan memudahkan negara untuk mengontrol adanya eksploitasi pada perempuan yang selalu menjadi objek utama dalam komoditi pornografi. Sehingga tidak akan terjadi transaksi tubuh pada para penguasa. Objektifikasi Tubuh Perempuan dalam Pornografi Obyek pornografi pada saat sekarang tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki, anak-anak, dan juga waria. Sementara itu material pornografi telah meluas melampaui bentuk tulisan, goresan, atau lukisan, bahkan media. Para feminis memang telah membahas tentang ciri-ciri dan dampak objektifikasi perempuan dalam bentuk pornografi masa kini. Sekalipun dalam mencerminkan pandangan seksualitas perempuan yang berlaku dalam sejarah Israel pada masa sebelum adanya penulisan kitab. Adapun ciri dari pada objektifikasi pada perempuan bisa mudah dikenali, jika adanya sebuah seksualitas perempuan yang digambarkan sebagai hal yang negatif dalam kaitannya dengan standar laki-laki yang positif dan netral, perempuan direndahkan dan dihina di depan umum, dan seksualitas perempuan digambarkan sebagai objek pemilikan dan kendali laki-laki, termasuk penggambaran perempuan sebagai hal yang beranalogi dengan alam secara umum dan tanah secara khusus, teristimewa dalam hubungannya dengan gambaran penaklukkan dan dominasi (Russell, 2004:91). Media Mengekspos, Perempuan Tertindas! Benarkah demikian? Sebenarnya ketika kita melihat dan membaca hendaklah kita juga mampu dalam menganalisis media tersebut. Karena latar belakang media juga ternayata mempengaruhi isi, informasi dan bentuk dari pada hasil berita tersebut. Latar belakang yang dimaksud seperti siapa pemilik penerbitan media, baik cetak maupun elektronik, yang dilihat melalui visi, misi serta tujuan yang ingin dicapai baik melalui tujuan profit, sasaran pembaca. Karena bagaimanapun sebuah berita tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan profil penerbit media cetak itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pornografi, rendahnya kualitas jurnalisme yang dipengaruhi budaya patriarki serta sedikitnya jurnalis perempuan dipercaya menyumbang pada hasil karya jurnalistik yang merendahkan perempuan, dalam hal ini tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang mendekati pornografi dan eksploitasi perempuan. Media massa memang berperan penting dalam pembentukan opini publik. Media massa dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, juga pesan-pesan dalam kaitannya dengan isu pornografi dan kebebasan berekspresi. Nama media massa juga merupakan cermin opini sebagian masyarakat. Sehingga apa yang dimuat di media itulah yang dipercayaai oleh masyarakat pada umumnya, tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi dibelakangnya. Selain itu, media memang memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh besar, terutama dalam dunia industri, demi melancarkan visi dan misi dari pada kelompok ataupun golongan bahkan individu. Banyak pihak yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam meraup keuntungan dengan cara meletakkan atau mengekspos tubuh-tubuh perempuan yang sensual di dinding-dinding media. Mengapa perempuan? Tubuh perempuan memang sangat menarik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor membuat para pemilik modal dengan mudah untuk menjadikan perempuan seksi, berparas cantik dan bisa dijadikan sebagai objek iklan, film, dan lain-lain. Media massa banyak dianggap mengeksploitasi seksualitas perempuan demi kepuasan seksual pembaca saja. Perlakuan bias pada perempaun tersebut membuat perempuan terlihat tersubordinat melalui media itu sendiri (Junaidi, 2012:37). Dunia perindustrian, secara materi memang memenuhi kebutuhan, tapi tidak secara nurani. Pribadi terkenal dengan kedaan tubuh yang ditundukkan membuat perempuan tertekan dengan segala peraturan-peraturan yang harus diikutinya. Secara psikologi pasti ia akan mengalami kegelisahan, kebahagiaan sesaat, panik. Itu jika ia menyadari kalau tubuhnya telah banyak dinikmati oleh publik. Keadaan inilah yang membuat tubuh perempuan secara tidak langsung telah berada pada titik subordinat (rendah). Dikalangan masyarakat masih banyak yang beranggapan, jika masuk koran, tabloid, majalah, televisi dan media lainnya, ia akan merasa bangga dengan penampilan bentuk tubuhnya yang seksi dan menarik perhatian. Padahal itu adalah salah satu perdagangan masal tubuh perempuan yang mengandung unsur seksualitas pornografi pada tubuh perempuan yang dituangkan di media massa, alasannya agar menjadi terkenal dan dikenal banyak orang. Sedarhana tapi menindas. Pornografi Menurut Cara Pandang Feminis Liberal dan Radikal Dalam kacamata feminis liberal dan feminis radikal terkait dengan pornografi ini memanglah sangat berbeda, seolah salah satunya mendukung dan salah satunya menolak. Keadaan ini tidaklah wajar jika terus menerus dibiarkan bekelanjutan. Kata radical secara bahasa berarti down to the roots atau kembali ke akar permasalahan. Aliran feminisme radikal terbentuk untuk menggali akar-akar permasalahan munculnya ketidakseimbangan power antara perempuan dan laki-laki. Pada dasarnya, aliran ini berpendapat bahwa pembenahan sistem ketidakadilan antara dua jenis kelamin tidak bisa dilakukan hanya dalam tataran struktural atau reformasi hukum sebagaimana yang diusung oleh feminisme liberal, tetapi harus dilakukan pada tataran kultural dan perempuan yang kemudian harus memulainya (Lorber, 2001:77). Walaupun terkesan bertentangan dengan feminisme liberal, feminisme radikal, dalam batas tertentu, sebenarnya muncul untuk menambah analisis feminisme liberal. Dalam pandangan feminisme liberal, kesetaraan perempuan dan laki-laki diupayakan dengan menciptakan gender neutral world (dunia yang netral gender), memfokuskan isu dunia patriarki pada lingkungan keluarga, dan pembenahan struktural (aturan hukum). Bagi aliran ini, menciptakan gender neutral world adalah sebuah pengingkaran terhadap sifat keunikan baik laki-laki maupun perempuan. Masing-masing laki-laki dan perempuan memang berbeda walaupun perbedaan itu tidak lalu menjadi alasan untuk menerima ketidakadilan. Pada golongan feminisme radikal tidak setuju, jika pendekatan yang dipakai oleh para pejuang feminisme lebih difokuskan pada tataran legal-formal saja. Aliran feminis radikal ini beranggapan bahwa hukum apapun adalah produk dari kepentingan pihak yang berkuasa. Selama dunia ini masih dipegang kendalinya oleh pihak penguasa, laki-laki, maka hukum pun pasti akan mewakili kepentingan laki-laki. Seperti apa yang dikemukakan oleh Audre Lorde, salah seorang tokoh aliran feminis radikal, bahwa: “the master’s tools will never dismantle the master’s house.” (senjatanya seorang tuan tidak akan pernah menghancurkan rumah sang tuan itu sendiri). Dalam artian hal ini, mengurai tentang sebuah ketidaksetujuan, menurut hemat penulis, bukan berarti penolakan. Aliran ini hanya menyangsikan jika hukum atau pendekatan politis saja bisa berbuat banyak untuk menciptakan dunia yang lebih berkeadilan bagi perempuan, ketika cara pandang dunia patriarki sudah begitu kuat berakar tidak hanya pada tataran politik-struktural, tetapi juga individual-kultural. Bagi penulis, munculnya aliran ini yang notabene setelah kehadiran feminisme liberal tentu menentukan bagaimana corak analisis aliran ini. Sebagai sebuah aliran yang muncul kemudian, tentu mereka tidak mungkin memunculkan corak yang sama dengan feminisme liberal yang merupakan pendahulunya. Mereka perlu menunjukkan karakterisitik khusus perjuangan mereka sendiri dengan mengusulkan pendekatan kultural. Daftar Pustaka: Carrette, Jeremy R. (ed), 2011, Agama, Seksualitas, dan Budaya: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, Yogyakarta: Jalasutera. Junaidi, Ahmad, 2012, Porno: Feminisme, Seksualitas, dan Pornografi di Media, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Liesbet, Zoonen Van, 1994, Feminist Media Studies, London: Sage. Lorde, Audre, 1983, “The Master's Tools Will Never Dismantle the Master's House,” dalam This Bridge Called My Back: Writings by Radical Women of Color, ed. Cherrie Moraga dan Gloria Anzaldua, New York: Kitchen Table/Women of Color Press. Lorber, Judith, 2001, Gender Inequality: Feminist Theories and Practice, California: Roxbury Publishing Company. Mackinnon A, Chatarine, 1987, Feminism Unmodified: Discourse on Life and Law, Cambridge: Harvad University Press. MacKinnon, Catherine A., 1989, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge: Harvard University Press. Russell, Letty M., 2004, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Jakarta: Kanisius. Tim PSW Institut Agama Islam Negeri Mataram, 2007, Menolak Subrdinasi, Menyeimbangkan Relasi, Lombok: PSW Institut Agama Islam Negeri Mataram. Walby, Sylvia, 2014, Teorisasi Patriarki, Yogyakarta: Jalasutra. Weisberg, D. Kelly, 1997, “Introduction” dalam Feminist Legal Theory: Foundations, Philadelphia: Temple University Press. Abdurrohman Azzuhdi (Mahasiswa Jurusan Islam dan Kajian Gender Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) azzuhdiabdurrohman@gmail.com Pendahuluan Pada tulisan ini saya akan membahas tentang politik kekuasaan pada tubuh perempuan. Berangkat dari adanya Qanun Syariat yang diberlakukan oleh pemerintah daerah. Sebuah peraturan daerah (Perda) Aceh lainnya mewajibkan semua umat Muslim di Aceh mengenakan busana Islami, yang didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak menunjukkan bentuk tubuh. Meski bentuk Qanun tersebut berlaku pada laki-laki dan perempuan, pada praktiknya, pengaturan atas berpakaian terhadap perempuan lebih represif. Perempuan ditempatkan sebagai “tiang” negara yang harus dikontrol dalam setiap tindak tanduknya, termasuk dalam hal berpakaian. Razia-razia yang dilakukan oleh petugas syariat yang disebut dengan Wilayatul Hisbah (WH) nyatanya lebih banyak menyasar perempuan. Bentuk pelembagaan ini sebagaimana yang disebut oleh Peter Berger dengan internalisasi ide. Penerapan Qanun yang tidak merata menjadikan sebuah penindasan dan kontrol bagi perempuan, sekaligus mengandung kepentingan oleh oknum tertentu. Bagi Millet, seorang pemikir feminis, hal ini menunjukkan perempuan sebagai komoditas yang dibungkam dan tubuh mereka dikontrol.
Aceh merupakan bagian dari negara ini yang diizinkan oleh hukum nasional menerapkan peraturan daerah syariat yang bersumber dari agama Islam. Menurut para pendukungnya, syariat adalah sebuah panduan yang lengkap tentang semua hal yang penting dalam hidup. Bagi pendukungnya, Islam adalah agama universal yang menata seluruh aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk hal berpakaian, berkeluarga bahkan bernegara. Ide-ide yang muncul dari Islam diangap sebagai sebuah ajaran yang mutlak tafsirnya dan harus diaplikasikan dalam ranah kehidupan. Melanggarnya berarti melaggar tata aturan Tuhan atas makhluknya. Pelanggaran terhadap aturan syariat haruslah dihindari, maka atas pemahaman demikian kelompok ini berusaha “seindah” mungkin melaksanakan pertintah Islam dalam kaca mata mereka. Dan tentunya pemahaman seseorang, bagaimanapun indahnya, tidaklah semua orang bisa menerimanya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) hingga saat ini telah mengesahkan lima (5) Perda yang diilhami Syariat tentang berbagai hal, mulai dari pemberian amal, judi, hingga pengaturan ritual Islam dan perilaku Muslim yang sepantasnya. Berdasarkan penelitian Human Rights Watch ada dua undang-undang yang penerapannya bermasalah. Hal tersebut berupa kebijakan yang melarang individu-individu berjenis kelamin berbeda yang tidak menikah untuk bersama dalam situasi-situasi tertentu, dan kebijakan yang mengharuskan masyarakat untuk berbusana muslim di muka publik. Kebijakan-kebijakan tersebut melanggar hak-hak dasar yang dilindungi oleh UUD 1945 Undang-Undang Dasar Indonesia (UUD 1945) maupun hukum hak asasi internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia dan mengikat secara hukum (Human Rights Watch, 2010:2). Bila ditilik dari kacamata teori sexual politics Kate Millet yang terjadi pada perempuan Aceh merupakan struktur kekuasaan patriarki. Perempuan tidak pernah menjadi agen mereka sendiri. Mereka adalah semacam komoditas yang dibungkam kebebasan mereka dan secara seksual dikontrol oleh orang lain, yang dalam hal ini adalah Qanun yang diterapkan oleh Wilayah Hisbah. “Ideologi” menjadi bagian penting dalam analisa Millet, dimana ia diidentikkan dengan maskulin dan feminin. Kepribadian feminin diidentikkan dengan sikap pasif, kebodohan, kepatuhan dan kebajikan. Sedangkan maskulin sering dilekatkan dengan kekuatan, agresif, kecerdasan dan kemanjuran. Peran maskulin seperti biasanya melibatkan kepemimpinan dan ambisi (Kate Millet, 1970: 30). Lebih jauh Millet berargumentasi bahwa sex merupakan wujud politik yang dilandasi paradigma hubungan kekuasaam yang dilegitimasi oleh ideologi patriarkal. Akar dari sebuah penindasan merupakan pembedaan yang keterlaluan terhadap gender. Perasan superior telah mengakar pada jenis gender tertentu, sehingga menampilakn inferioritas pada gender yang lain. (Gadis Arivia, 2003: 107). Pada kutipan bukunya, Millet menulis:
Pada kasus tersebut menunjukkan bahwa petugas WH sendiri memiliki beragam pemaknaan atas cara berpakaian yang benar. Pada Qanun No. 11 Tahun 2002, pasal 13 ayat 1 disebutkan:
Berikut ilustrasi lebih mendalam bagaimana Qanun No. 11 Tahun 2002 tersebut diterapkan. Erni, seorang mahasiswi mengungkapkan pengalamannya terkena razia WH, dengan dalih tidak mengenakan busana Islami, sebagaimana kutipan berikut:
Pemerintahan di tingkat kabupaten di Aceh, yang dapat menerapkan hukum Syariah, berupaya menerapkan standar yang lebih ketat atas perilaku dan penampilan pribadi yang mereka akui bersumber dari Syariah. Pada bulan Juli 2010, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat menerapkan peraturan daerah tentang busana Islami dapat diterima, bahkan dengan kekhususan yang melebihi peraturan di tingkat provinsi, Pemkab juga memberikan wewenang kepada pasukan WH setempat untuk mewajibkan perempuan yang mengenakan celana panjang yang tidak sesuai dengan peraturan untuk segera menggantinya dengan rok yang disediakan oleh pemerintah. Pemerintah setempat mengatakan bahwa mereka telah membeli 20.000 rok semacam itu sebagai upaya memfasilitasi penerapan hukum, dan petugas-petugas WH mulai membagi-bagikannya pada bulan Mei 2010, bahkan sebelum Perda tersebut berlaku. (Human Rights Watch, 2010: 66). Rezim Syariah Aceh tampaknya mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintahan lainnya di Indonesia. Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2009 menemukan bahwa sejumlah pemerintah daerah di berbagai tempat di Indonesia telah mencontoh hukum Aceh dalam menerapkan peraturan busana dan perilaku yang berdasarkan pada Islam yang jelas-jelas membatasi hak-hak perempuan. Bila dianalisa dengan kacamata politik seksualitas, penerapan aturan berjilbab adalah sebuah langkah untuk melakukan kontrol dan penguasaan atas perempuan. Pola penerapan kebijakan untuk menghasilkan individu seperti ini diterapkan secara teratur untuk mencapai tujuan kekuasaan. Pada masyarakat yang pro syariah penerapan yang masif ini dengan mekanisme sosial yang persuasif, membujuk dan meyakinkan. Namun tidak demikian dengan kelompok yang tidak sepakat dengan sistem syariah. Mereka akan melihat hal tersebut sebagai sebuah langkah yang represif. Sejarah seksualitas mencatat bahwa tujuan kekuasaan itu memberi warna yang sangat dominan. Menganalisa sejarah seksualitas berarti berusaha memahami bagaimana dengan memaksakan norma-norma moral, kekuasaan ingin mendapatkan tenaga produktif, memudahkan distribusi kekayaan dan mendapatkan kepatuhan dari seluruh tubuh sosial. Wacana seks menjadi bagian dari strategi kekuasaan menghadapi penduduk. Negara hendak melihat seks dari warga negaranya dan apa yang dilakukan dengan seks tersebut. Antara negara dan individu seks menjadi pertaruhan, dan pertaruhan publik. Seluruh bentuk wacana, pengetahuan, analisa dan larangan ada di dalamnya. (Haryatmoko, 2003: 222-223). Pelembagaan Jilbab Persoalan ini berangkat dari sebuah peraturan daerah Aceh, yang mewajibkan semua umat Muslim di Aceh mengenakan busana Islami, yang didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat (bagi laki-laki, bagian tubuh dari lutut hingga pusar, dan bagi perempuan, seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah), yang tidak tembus pandang, dan tidak menunjukkan bentuk tubuh. Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa perempuan Muslim diwajibkan mengenakan jilbab (tutup kepala Islami) di muka publik setiap saat dan dilarang mengenakan pakaian yang menunjukkan bentuk tubuh. Walaupun hukum ini berlaku bagi baik laki-laki maupun perempuan, tetapi hukum ini memberikan pembatasan lebih ketat terhadap perempuan daripada laki-laki dan memiliki dampak diskriminatif. Tak mengherankan, perempuan merupakan pihak yang paling banyak ditegur sesuai dengan hukum. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) hingga saat ini telah mengesahkan lima (5) Perda yang diilhami Syariat tentang berbagai hal, mulai dari pemberian amal, judi, hingga pengaturan ritual Islam dan perilaku Muslim yang sepantasnya. Internalisasi aturan terkait dengan pemakaian busana muslimah ini tercermin pada ayat selanjutnya pasal 13, dimana pelembagaan tersebut harus dibudayakan oleh instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha atau institusi masyarakat. Sederhananya semua yang terkait dengan lembaga pemerintah dan lembaga swasta wajib mengatur dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Bahkan, pemerintah tingkat Kabupaten Aceh menerapkan standar yang lebih ketat atas perilaku pelanggaran terkait dengan perda syariat. Parahnya lagi petugas WH diberi wewenang oleh Pemkab untuk mewajibkan para perempuan mengenakan celana panjang yang dianggap Islami. Dagelan lain adalah, bentuk pembelian sekitar 20.000 (dua puluh ribu) rok oleh pemerintah pada bulan Mei 2010 sebagai respons logis atas pelarangan setelan bawahan yang dipakai oleh perempuan. Pembelian ini tidak lain adalah bertujuan sebagai pengganti celana yang dipakai oleh perempuan yang terken razia. Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2009 saja telah menemukan beberapa adaptasi hukum Islam aceh pada beberapa tempat di Indonesia yang jelas-jelas membatasi hak-hak perempuan. Pemberlakuan aturan berjilbab oleh lembaga resmi Negara jelas merupakan bentuk kontrolisasi atas tubuh perempuan. Tubuh perempuan selalu dijadikan objek kekuasaan dan hasrat. Alasan normatif sering sekali digunakan sebagai tendensi atas kebenaran putusan lembaga yang memiliki otonomi daerah. Meski Islam mengatur cara berpakaian laki-laki dan perempuan, namun tidak berarti mengekang ekspresi perempuan dalam menyuarakan hak tubuhnya dalam memilih bungkus. Konstelasi pelembagaan jilbab mengalami pasang surut dinamika yang cukup menarik. Pada masa orde baru, penggunaan jilbab di ranah publik ditentang keras (baca: dilarang) oleh penguasa rezim. Kala itu, hampir setiap elemen masyarakat mengalami kesulitan dalam merepresentasikan identitasnya. Semua gerak dan gerik harus melalui kontrol dan izin dari penguasa rezim. Pertarungan antara penguasa rezim orde baru dan komunitas Islam menciptakan gap yang begitu kentara. Komunitas ini dipengaruhi gerakan Islam transnasional yang kental dengan pengaruh ideologi Timur Tengah. Ibarat “kentut” yang telah lama ditahan, di masa reformasi, “kentut” tersebut telah keluar dengan segenap bau sampah yang terendap selama puluhan tahun. Kelegaan tersebut sekaligus memberi “efek kejut” yang luar biasa. Para aktivis mulai kehilangan kendali, membabi buta dan menyerang saudara sebangsa yang tidak se-ide, reformasi. Sementara kelompok Islam yang sebelumnya menahan “kentut” mulai keranjingan dan menggulirkan ideologi Islamisasi. Diantara salah satu indikator yang masif muncul adalah wacana kewajiban berjilbab. Jilbab yang pada mulanya sebagai sebuah aspirasi keinginan anak sekolah bergeser menjadi sebuah kewajiban. Hal yang pada awalnya diperjuangkan sebagai simbol kebebasan kini telah berubah menjadi undang-undang yang mengungkung dan sebagai alat kontrol. Ani Kurniasih dalam Tesisnya menyebut bahwa wacana “keharusan” berjilbab tidak terlepas dari peranan kelompok tertentu yang mengambil kendali secara politis. Perempuan kini tidak lagi ber-himmah “Sudah saatnya saya mengenakan jilbab”, melainkan lebih agresif dengan “Kapan kau akan berjilbab?” (Ani Kurniasih: 2013, 72) Kontrol atas busana tidaklah semata terkait dengan masalah syariat atau ketentuan yang mengatur kerja internal Islam. Pengharusan masyarakat berbusana muslim di publik, sebenarnya telah menggar hak-hak dasar yang dilindungi oleh UUD 1945 maupun hukum hak asasi internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia dani mengikat secara hukum. Adanya aturan tersebut jelas merampas kebebasan dan kenyamanan perempuan dalam berekspresi. Dalam Qanun tentang pelaksanaan syariat Islam, kajian menyatakan bahwa ketentuan Qanun hanya menempatkan perempuan dan anak perempuan sebagai objek yang diatur karena ketubuhan, pakaian dan tindak-tanduknya yang dianggap berpotensi merusak akhlaq dan moral masyarakat. Sementara itu Qanun tidak mengatur adanya kelembagaan yang secara khusus menangani persoalan anak, anak perempuan dan perempuan. Pelanggaran kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik (KIHSP). Ketentuan yang dimaksud adalah sebagaimana aturan kewajiban bagi orang Islam untuk berbusana Islami (pasal 13 ayat 1), dan ketetapan pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya (pasal 13 ayat 2). Pelanggaran atas pasal ini dikenai pidanya sebagaimana:
Hal lain yang saya amati atas semangat Pemda Aceh menerapkan Qanun Syariat Islam adalah respons traumatik atas bencana Tsunami yang menimpa Aceh di tahun 2004. Wacana kemaksiatan dianggap sebagai salah satu faktor musibah Tsunami. Aceh sebagai salah satu daerah cikal bakal Islam di Nusantara semacam dianggap tidak mencerminkan spirit Islam. Merebaknya maksiat dan banyaknya manusia yang mengumbar aurat menjadi isu penting seputar refleksi pasca Tsunami. Isu pelaksanaan Hukum Syariat pra tahun 2000 tidaklah sekuat setelah tahun tersebut, atau bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali, kecuali segelintir Kelompok Separatism Aceh. Dengan judul membumikan Syariat Islam di Tanah Rencong, hendak mengembalikan kejayaan kerajaan Islam Aceh pada masa lalu. Memang benar kerajaan Islam di Aceh pernah berjaya di masa silam seperti kerajaan Pasai dan Kesultanan Aceh. Bahkan karena sangat religiusnya kesultanan Aceh, disematkanlah gelar “Serambi Makkah”. Yang artinya Aceh adalah bagian dari Makkah sebagai bibit awal kemunculan Islam. Memang tidak dipungkiri, di masa kesultanan Aceh muncul banyak sekali nama-nama ulama besar seperti Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf Sinkel, Syamsuddin Sumatrani dan lain sebagainya. Merasa jauh dari nilai-nilai Islam inilah kemudian spirit kembali ke hukum syariat menguat. Disamping mulai kuatnya kelompok-kelompok Islam transnasional di Aceh. Padahal, sebenarnya Aceh pernah memiliki riwayat mengerikan terkait konflik berlatar agama. Yakni disaat Hamzah Fansuri yang berfaham Wahdat al-Wujud menjadi mufti Kesultanan Aceh, digantikan oleh Nuruddin Ar Raniri yang bertasawuf sunni-akhlaki. Pembakaran karya dan pembantaian manusia adalah rekam sejarah yang tidak pernah bisa dilupakan. Romo Magnis, sering mengingatkan bahwa hukum yang berdasar pada norma agama akan sangat bermasalah bila diterapkan pada masyarakat yang majemuk. Hal ini disebabkan karena setiap kelompok keberagamaan menginginkan keyakinan dan tata nilai agamanya untuk diadopsi. Batas-Batas Aurat yang Masih Kabur Persoalan kontrol atas tubuh perempuan pada penerapan aturan “berbusana Islami” semakin diperparah dengan batas-batas aurat yang masih kabur. Fakta lapangan mendiskripsikan bahwa antara satu polisi syariat, Wilayatul Hisbah (WH), dengan polisi yang lain memiliki gambaran yang berbeda soal bagian tubuh yang termasuk aurat. Lekuk tubuh dan celana di satu sisi dianggap sebagai aurat dan pada kesempatan lain tidak dianggap. Multitafsir seperti ini akan sangat menguatkan diskriminasi antara satu orang dengan yang lainnya. Padahal sebenarnya tata aturan berpakaian itu diperuntukkan untuk laki-laki dan perempuan. Namun demikian selama ini perempuan menjadi objek paling terekspos oleh razia-razia polisi WH. Berikut wawancara oleh Human Rights Watch dengan salah seorang mahasiswi bernama Erni yang terkena razia pada tahun 2010:
Pertama, kelompok yang menyatakan seluruh anggota badan adalah aurat. Quraish Shihab mengutip 3 hadist yang digunakan kelompok yang memiliki argumen tersebut. Meski hadist pertama disebutkan berkualitas shahih namun Quraish Shihab menilai tidak dapat digunakan patokan untuk mencetuskan hukum seluruh anggota adalah aurat. Kemudian hadist yang kedua bernilai lemah. Sedangkan yang ketiga lebih berisi narasi tentang perempuan Arab yang kesehariannya menggunakan penutup tubuh. Namun demikian Quraish Shihab menyaksikan sebab realitanya hal tersebut tidak ditemukan secara absolut, yang ada malah hadist yang menerangkan sebaliknya (Quraish Shihab: 2004, 124-127). Kedua, kelompok yang mengecualikan wajah dan telapak tangan. Setidaknya ada lima hadist yang dikutip oleh Qurais Shihab. Kesemuanya saling menguatkan, meski ulama lain memberikan pemahaman yang lain. Sebagaimana dikutip Quraish Shihab, Muhammad al-Beltagy, Guru Besar dan Ketua Jurusan Syariat Islam Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo, mengemukakan bahwa di Mesir cadar digunakan oleh perempuan di kalangan maju dan kaya. Sedangkan perempuan yang bekerja di perkebunan demikian miskin perkotaan tidak memakainya dan tampil secara terbuka (Quraish Shihab: 2005, 158). Ketiga, pandangan ulama kontemporer. Penulis buku “Jilbab” tersebut mengawali dengan pendapat yang dikemukakan oleh Qasim Amin, pemikir kenamaan Mesir. Pada bukunya yang berjudul “Tahrir al-Mar’ah” disebutkan bahwa nash tidak secara jelas menyebut bagian mana yang termasuk aurat. Maka demikian diperbolehkan menampakkan bagian tubuh, meski kepada mahram. Namun bagian mana yang diperbolehkan juga tidak dijelaskan secara eksplisit. Muhammad Abduh, mufti Mesir saat itu, meski tidak menyatakan secara langsung, ia nampak menyetujui pemikiran Qasim Amin tersebut (Quraish Shihab: 2005, 167-168). Selain dari pemikir Mesir, Quraish Shihab juga menuturkan substansi makalah dari Sarlito Wirawan, seorang psikolog dari Indonesia. Makalah yang disampaikan dalam diskusi ilmiah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 April 1998 menjelaskan bahwa pakaian itu memengaruhi pemakai dan orang yang melihatnya, hanya saja hal tersebut sifatnya subjektif. Bila pakaian yang dipakai terlalu vulgar bisa jadi pemakainya malu dan orang yang melihatnya kemungkinan bisa terangsang. Namun demikian pelajar putri yang memakai pakaian renang, masyarakat Bali primitif masa lalu dan Papua tetap membiarkan dada mereka terbuka dan tidak mengundang rangsangan sekitarnya. Pada kesimpulannya, tata berbusana menurut Quraish Shihab adalah: 1) jangan tabarruj (berlebihan); 2) jangan mengundang perhatian pria; 3) jangan memakai pakaian transparan (Quraish Shihab: 2005, 167-168; 250-254) Fleksibelitas Islam dalam mengatur hal berpakaian serta adanya multitafsir ulama soal pakaian yang menutup memberikan ruang pemahaman yang variatif. Sedikit banyak hal tersebut juga memengaruhi petugas WH dalam menentukan mana pakaian yang sesuai dengan standar syariat. Meski Aceh sendiri telah mulai mendeklarasikan dirinya mengikuti Madzhab Syafi’i, tetapi ulama Syaf’iyah sendiri memberi ruang untuk berbeda pendapat. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa tubuh perempuan tidak hanya dikontrol oleh konstitusi UU daerah, tetapi juga oleh petugas Wilayah Hisbah (WH). Kebijakan yang Diskriminatif Pada pengamatan Perda ini saya tidak hendak mengatakan ketidaksepakatan saya atas Perda Syariat yang ditetapkan oleh pemerintah Aceh melalui otonomi daerahnya. Namun tidak juga mendukung penerapan Perda tersebut yang ternyata berakhir pada represifitas aparat Wilayah Hisbah. Tetapi saya lebih melihat belum adanya kematangan dalam konsep dan bentuk aplikasi Perda tersebut. Hal demikian tentu akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu dan atau akan ditafsirkan dengan tidak tepat oleh petugas. Hal ini ada kalanya disebabkan karena arogansi aparat atau memang wawasan tentang keagamaan yang masih minim. Maka yang dihasilkan adalah perlakuan yang diskriminatif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa undang-undang tersebut lebih banyak diberlakukan kepada kelompok miskin, terutama perempuan. Perempuan dalam kategori ini adalah mereka yang sering beraktivitas dengan berjalan kaki, bersepeda atau bermotor. Berbeda dengan perempuan dengan strata sosial yang lebih tinggi yang dalam aktifitasnya sering menggunakan mobil. Meski sama-sama tidak mengenakan pakaian Islami, nyatanya perempuan yang menggunakan mobil tidak diberhentikan. Lebih lanjut, bahwa masyarakat miskin lebih banyak jam bekerja di luar dengan kategori kerja kasar. Tentulah ini tidak bisa dibatasi laki-laki saja, tentu perempuan ikut terlibat sebagai penyokong ekonomi keluarga. Namun banyak petugas WH tidak memperdulikan hal tersebut. (Human Rights Watch, 2010: 7) Beberapa hasil wawancara juga menyebutkan bahwa petugas WH cukup selektif dalam melakukam razia. Mereka yang memiliki kedekatan hubungan dengan pejabat atau pegawai daerah dapat lolos begitu saja, bahkan terkesan sengaja dilepaskan oleh petugas. Kepala petugas WH bernama Marzuki menyebutkan, bila diantara kerabatnya terkena razia, cukup ia menyebutkan bahwa dirinya adalah kerabat Marzuki, maka otomatis petugas WH tidak akan menahannya. Seorang narasumber yang diwawancarai Human Rights Watch menuturkan:
Ketidakmatangan dan diskriminasi atas penerapan Perda tentang Qanun Syariat semakin memperjelas terjadinya kontrol atas tubuh. Perempuan menjadi korban dalam segenap tata norma yang dianggap sebagai aturan dogmatis. Bentuk kontrol atas internalisasi ide ini semakin menempatkan posisi perempuan pada apa yang disebut oleh Simone de Beauvoir dengan Second Sex. Bentuk kontrol tubuh ini akan sangat melukai bahkan menyiksa perempuan miskin dan komunitas dunia ketiga, yang meminjam istilah Spivak dengan kelompok “subaltern”. Mereka tidak dapat berbicara, ada namun eksistensinya tidak diakui. Hanya dapat bertahan dengan “etika subversif” ala James Scott, yaitu bertahan dengan kondisi yang sangat minim. Semuanya adalah bentuk pelanggaran kebebasan hak dasar manusia. Negara seharusnya tahu dan segera mengambil tindakan atas penindasan tersebut. Daftar Pustaka: Ani Kurniasih, Jilbab Sebagai Lokus Pengolahan Diri: Sebuah Kajian Otoetnografis, Thesis pada Pascasarjana Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogayakarta, 2015. Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, (Surabaya: Insan Cendekia, 2002). Gadis Arivia, Filsafat Berperpektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003). Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media Kekerasan dan Pornografi, (Jakarta: Pustaka Kompas. 2003). Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia (New York: Human Rights Watch, 2010). Kate Millet, Sexsual Politics (New Yor: Garde City, Doubleday, 1970). Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003). Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004). Zainal Abidin Dkk, Analisis Qanun-Qanun Aceh Berbasis Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Demos, 2011). Perda: Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) Witriyatul Jauhariyah (Mahasiswi Jurusan Islam dan Kajian Gender Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) witriyatulj@gmail.com Pendahuluan Kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini bagaikan fenomena gunung es, sejak kasus Yuyun mulai mencuat, rentetan kasus kekerasan seksual mulai muncul ke permukaan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016, yang diluncurkan setiap tahun untuk peringati Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret, mencatat beragam kasus peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tahun 2015. Komnas Perempuan memberikan catatan penting dan menyimpulkan bahwa pada tahun 2015 kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola meluas, sehingga penting agar negara hadir secara maksimal untuk terlibat dalam pencegahan, penanganan, serta tindakan strategis untuk menjamin rasa aman perempuan korban kekerasan. Temuan Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestik atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, tetapi juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan negara.[1] Kasus Yuyun misalnya adalah potret nyata kekerasan seksual pada anak perempuan, ia adalah seorang pelajar Kelas 2 SMPN 5 Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang diperkosa oleh empat belas pemuda dibawah umur dua puluh tahun seusai pulang sekolah. Secara bersama-sama para pelaku yang habis pesta minuman keras (tuak) menyekap, memperkosa secara bergiliran, memukuli, mengikat dan membuang mayatnya ke dalam jurang. Menurut Kapolsek Padang Ulak Tanding AKP Eka Chandra para pelaku mengaku sering menonton film porno yang diputar melalui DVD di rumah dan telepon genggamnya.[2] Manajer Program Cahaya Perempuan Women Crisis Center, Juniarti menyebutkan sepanjang 2016, terdapat 36 kasus kekerasan anak dan perempuan yang terjadi. Sebelumnya, di Kabupaten Rejang Lebong pada tahun 2015, peristiwa kekerasan mencapai 84 kasus dan menurutnya pemberlakuan darurat kekerasan anak dan perempuan wajib dilakukan Pemda Rejang Lebong agar Pemda memiliki arah dan tujuan jelas dalam penuntasan persoalan ini[3]. Kasus kekerasan seksual lain yang cukup sadis yaitu kisah seorang gadis berumur delapan belas tahun bernama Eno Parihah yang diperkosa oleh tiga pemuda di Tangerang. Gadis ini dibunuh di asramanya. Pelaku sengaja membunuh Eno setelah diperkosa sebab pelaku khawatir dilaporkan ke pihak berwajib. Mereka membunuh Eno dengan cara memasukkan gagang cangkul ke liang vaginanya hingga menembus paru-parunya[4]. Kasus Yuyun dan Eno ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh kekerasan seksual yang terjadi pada anak perempuan di negri ini. Salah satu penyebabnya adalah budaya patriarki yang masih subur di masyarakat. Anak laki-laki diajarkan dengan ego maskulinitas sementara femininitas diabaikan dan di anggap sebagai sifat yang nista. Para orang tua sangat bangga ketika anak laki-laki mereka mempunyai sifat maskulin, macho dan jantan. Sementara mereka diolok-olok jika anak laki-laki mempunyai sifat feminin. Sebagai contoh, masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum hawa yang melintas di jalan, tindakan mereka seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki-laki mereka beranggapan harus berani mengahadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda sementara kaum hawa adalah objek atau makhluk yang pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri. Dalam bukunya Gender Trouble, Judith Butler menjelaskan, dalam kerangka heterosexual matrix, jenis kelamin kita sudah ditentukan secara biologis. Dengan kata lain, jenis kelamin kita baik perempuan atau laki-laki berdasarkan konvensi budaya dan bahasa yaitu feminin dan maskulin. Jadi, yang menentukan apakah seseorang itu feminin atau maskulin adalah konstruksi sosial dan budaya berdasarkan jenis kelamin kita pada saat kita dilahirkan. Maka gender (maskulin dan feminin) adalah konstruksi sosial[5]. Jika maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial, maka konsekuensi logis atas kekerasan seksual terhadap perempuan juga merupakan kostruksi sosial. Artinya, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan adalah sesuatu yang bisa dibentuk, dipelajari dan ditiru secara individual dan sosial. Jika kekerasan seksual terhadap perempuan adalah konstruksi sosial, mestinya tindakan tersebut dapat direkonstrusi sehingga dapat dihentikan. Namun pada kenyataannya, mengapa kekerasan seksual terhadap perempuan semakin marak? Dan apa penyebab dibalik suburnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan? Untuk itu, tulisan ini mencoba mencari akar kekerasan seksual terhadap perempuan dan dapatkah kekerasan seksual terhadap perempuan hentikan? Seks, Seksualitas dan Gender Seks adalah perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, yang sering disebut jenis kelamin yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Jadi jelas bahwa Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara fisik yang melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan tidak dapat dipertukarkan. Maka perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan mutlak.[6] Sementara seksualitas menurut WHO adalah suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi[7]. Seksualitas menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk prilaku yang beraneka ragam. Seksualitas adalah tentang bagaiamana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual. Maka tidak ada istilah normal atau abnormal dalam perspektif seksualitas. Seksualitas berbeda dengan seks, ia merupakan sesuatu yang kompleks dan sensitif. Ruang lingkupnya lebih luas, tidak hanya pada aspek biologis, tetapi meliputi perilaku, sikap, kepercayaan,nilai-nilai dan norma serta orientasi. Sifatnya yang sensitive karena menyangkut hal yang pribadi, sementara kompleksitasnya meliputi aspek kehidupan seperti keluarga, agama, pendidikan, gender, hukum dan lain-lain. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis. Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.[8] Sementara Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan cirri-ciri manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya, dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Oakley (1972), mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Senada dengannya, Mansour Fakih, dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menjelaskan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.[9] Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor non biologis lainnya yang dapat dipertukarkan. Dari sini juga nampak perbedaan antra sex dan gender. Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Menurut Rubin dalam esainya Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality, gender dan seksualitas mempunyai persamaan, keduanya merupakan konstruksi sosial dan mempunyai basis biologis pada seks, bersifat politis, yaitu pengorganisasian ke dalam sistem kekuasaan, yang mendukung dan menghargai individu serta kegiatan tertentu, sembari menekan dan menghukum yang lainnya. Antara seksualitas dan gender jelas berhubungan, bahkan perkembangan sisitem seksual mengambil tempat dalam konteks hubungan gender. Tetapi keduanya bukan hal sama karena terbentuk dari basis sosial yang berbeda. [10] Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial, kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Masyarakat, Negara dan ajaran agama turut serta menciptakan sikap dan prilaku berdasarkan gender. Konsep gender yang selama ini berkembang dalam masyarakat telah menciptakan ketimpangan dan menjadi akar dari budaya patriarki. Perempuan dibentuk dan didefinisikan sebagai makhluk yang lemah dan emosional, sementara laki-laki makhluk yang kuat dan rasional. Perbedaan konsep gender secara sosial ini telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, serta menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki. Laki-laki diberi beban yang sangat berat dalam tatanan sosial masyarakat. Definisi dan ciri-ciri maskulin yang dibentuk telah menempatkan laki-laki sebagai super power, mendapat beban yang sangat berat, untuk itu ia berhak mendominasi baik dalam keluarga maupun masyarakat. Maka, jika laki-laki gagal menjalankan perannya, maka ia dianggap sebagai makhluk lemah dan mendapat posisi yang rendah dalam masyarakat. Sementara dampak ketidakadilan gender dalam masyarakat yang sangat patriarkis lebih dirasakan oleh kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Akses perempuan dalam segala aspak menjadi sangat terbatas dan menempatkan mereka pada posisi subordinat. Mereka tidak mempunyai tanggung jawab besar dalam keluarga dan masyarakat, dan mau tidak mau perbedaan perlakuan tersebut dapat membentuk mereka menjadi makluk yang (di)lemah(kan). Konsep perbedaan gender yang telah diwariskan secara turun temurun, telah melahirkan karakter yang menuntut seseorang berpikir, bersikap dan bertindak berdasarkan definisi dan ciri-ciri sesuai dengan ketentuan sosial budaya dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh, laki-laki sejak kecil diajarkan untuk menjadi pelindung dan kepala keluarga, dibekali ilmu bela diri dan pendidikan yang tinggi, sementara perempuan diajarkan sebaliknya. Maka tak heran jika perempuan menjadi korban kekerasan laki-laki sebab kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan kekerasan yang berbasis gender. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (Gender Based Violence) Kekerasan adalah penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. [11] Kekerasan seksual termasuk dalam ruang lingkup pelecehan seksual, yaitu segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehinga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi, perbuatan seperti main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga perkosaan. Jadi kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah terhadap hal-hal yang berdasar pada perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Bentuk kekerasan seksual atau bentuk kekerasan lain yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan tak lain merupakan bentuk ekspresi maskulinitasnya dalam relasi atau interaksinya dengan perempuan. Sebagian laki-laki menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan merupakan bentuk kemampuan dalam mendominasi dan mengendalikan orang lain. Menurut Michael Kaufman seorang aktivis di Kanada yang memimpin kampanye "Pita Putih", mengungkapkan faktor-faktor di balik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut sebagai malapetaka (kekuasan yang dimiliki oleh laki-laki menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan patriarki (patriarki power), (b) hak-hak istimewa (privilege), (c) sikap yang permisif (permission).[12] Dari sini nampak jelas bahwa kekuasaan patriarki menjadi pemicu utama dibalik diskriminasi atau kekerasan terhdap perempuan. Dalam budaya patriarki, terjadi subordinasi dan kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan serta dominasi. Budaya patriarki diperkuat melalui institusi baik sosial maupun politik. Negara juga ikut andil dalam pelegalan budaya ini, sebagai contoh nampak dalam undang-undang perkawinan yang melegalkan pernikahan poligami sekalipun dengan syarat tertentu. Poin kedua, yaitu hak-hak istimewa (privilege), sebagai contohnya adalah hak-hak istimewa dimiliki oleh laki-laki sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, mereka bebas bermain di luar rumah, jenis permainan pun berbeda dan cenderung ekstrem, jika anak laki-laki bisa sekolah sampai ke luar negeri. Dalam ranah publik misalnya, setelah mereka berkeluarga, rapat RT dan rapat lain dalam menentukan kebijakan desa sarat didominasi laki-laki, sekalipun kepala rumah tangganya adalah seorang perempuan (Ibu). Sikap permisif (membolehkan) tindakan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan yang biasanya dianggap wajar dalam masyarakat. Contoh sederhana, pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya masih dianggap persoalan privat bagi masyarakat tertentu, dan itu dianggap lazim manakala terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam rumah tangga. Tentu sangatlah wajar jika sikap permisif ini tetap dipelihara akan menimbulkan efek negatif, tindakan kekerasan atau pelecehan yang dilakukan laki-laki dianggap persoalan privat dan wajar terjadi. Kekerasan terhadap perempuan senantiasa langgeng terjadi sebab perempuan dengan tubuhnya yang khas dipahami sebagai makhluk sekunder, objek, dapat diperlakukan seenakknya dan dapat menjadi hak milik. Dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kita dapat melihat beberapa faktor yang mendasari tindakan tersebut, antara lain: a) Karakteristik fisik dan reproduksinya perempuan memang lebih mudah menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, seperti perkosaan atau penghamilan paksa; b) Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan sosial dari perbedaan biologis tersebut menyebabkan memantapnya mitos, streotipe, aturan, praktik yang merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa pula di tempat kerja atau melalui praktik-praktik budaya; c) Dari sisi ekonomi, perempuan dapat dijadikan sarana pengeruk keuntungan, sehingga merebaklah pelacuran, perdagangan perempuan (woman trafficking), atau pornografi; d) Kekerasan terhadap perempuan sekaligus dapat digunakan sebagai sarana terror, penghinaan, atau ajakan perang pada kelompok lain. Kesucian perempuan dilihat sebagai kehormatan masyarakat, sehingga penghinaan atau perusakan kesucian perempuan akan dipahami sebagai penghinaan terhadap masyarakat.[13] Lalu apakah kekerasan terhadap perempuan dapat dihentikan? Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan bagaimana keadilan dalam masyarakat ditegakkan. Keadilan terhadap perempuan akan sulit ditegakkan jika budaya patriarki masih berlaku dalam segala aspek kehidupan dalam masyarakat. Budaya patriarki tersebut disadari atau tidak telah merongrong hak asasi dan ketentraman bagi perempuan. Sekalipun dalam konferensi HAM PBB di WINA (1993)[14] mengeluarkan deklarasi dan program aksi yang menegaskan dua butir penting berikut: a) Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta penghapusan dan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarakat sedunia; b) Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya, tidak sesuai dengan martabat danharga diri manusia, serta harus dihapuskan. Pasal 1 dalam deklarasi tersebut menyebutkan :
Maka kesadaran dari semua pihak baik individu, masyarakat, dan Negara untuk mendobrak budaya patriarki menjadi salah satu kunci besar dalam menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi marak terjadi. Jika budaya patriarki tidak dapat dihapuskan maka harapan berakhirnya kekerasan seksual terhadap perempuan hanya isapan jempol belaka. Kesimpulan Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan universal. Tidak hanya endemis tetapi juga pervasive dan berulang-ulang terjadi dimana-mana dalam kurun waktu yang sangat panjang. Di balik suburnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah disebabkan budaya patriarki yang menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan dalam masyarakat dapat kita lihat dari praktik perlakuan hak istimewa terhadap laki-laki. Sejak kecil laki-laki diajarkan agar mepunyai sifat yang berani, kuat, tangguh sehingga sifat tersebut selalu ingin mereka tampakkan kepada siapapun. Sifat kejantanan yang dimilki oleh laki-laki seolah-olah menjadi kebanggaan yang mereka dan diekpresikan dalam bentuk antara lain pelecehan terhadap perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan mustahil untuk dihentikan apabila keadilan sulit ditegakkan. Apabila budaya patriarki senantiasa direproduksi dan dilanggengkan baik oleh individu, keluarga, masyarakat, serta Negara yang dikemas dan disosialisasikan melalui undang-undang, maka diskriminasi akan tetap berlaku dan menimbulkan ketidakadilan, baik berupa kekerasan maupun tindakan yang lainnya. Kuncinya adalah, kekerasan seksual dapat dihentikan jika masyarakat dan Negara dapat menghentikan ketidakadilan dan menghapus budaya patriarki. Daftar Pustaka: Butler, Judith, 2002, Gender Trouble. New York: Taylor & Francis e-Library. Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset. Jurnal Perempuan 26, 2002, "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan", Jakarta, YJP Press. Suryakusuma, Julia, 2012, Agama Seks dan Kekuasaan (Kumpulan Tulisan, 1979-2012), Depok, Komunitas Bambu. The Vienna Declaration And Programme Of Action, United Nations, 1993. Sumber Internet: https://m.tempo.co/read/news/2016/05/03 https://beritagar.id/artikel/berita/rahmat-alim-pembunuh-eno-yang-pendiam-dan-irit-bicara http://www.komnasperempuan.or.id http://www.kompas.com http://www.unesco.org/jakarta Catatan Akhir: [1]http://www.komnasperempuan.co.id. diakses pada 18 Mei2016 pukul 12.00 WIB [2] https://m.tempo.co/read/news/2016/05/03 diakses pada 10 Mei 2016 pukul 16.30 WIB [3] http://www.kompas.com diakses pada 10 Mei 2016 pukul 15.40 WIB [4] https://beritagar.id/artikel/berita/rahmat-alim-pembunuh-eno-yang-pendiam-dan-irit-bicara diakses pada 19 Mei 2006 pukul 13.51 WIB [5] Butler, Judith, 2002, Gender Trouble. New York: Taylor & Francis e-Library [6] BKKBN 2006. http://www.bkkbn.go.id diakses pada 10 Mei 2016 Pukul 12.14 WIB [7] Word Health Organization (WHO) https://www.who.int/2013 diakses pada 16 Mei 2016 pukul 16.15 [8] BKKBN 2006. http://www.bkkbn.go.id [9] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 1999. hal 5-7 [10] Julia Suryakusuma, 2012, Agama Seks dan Kekuasaan (Kumpulan Tulisan, 1979-2012), Depok: Komunitas Bambu, hal: 162. [11] Word Health Organization (WHO) https://www.who.int/2013 diakses pada 16 Mei 2016 pukul 16.30 [12] Jurnal Perempuan Edisi 26, "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan", Jakarta, YJP Press, hal: 102 [13] Jurnal Perempuan Edisi 26, "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan", Jakarta, YJP Press, hal: 126 [14] The Vienna Declaration And Programme Of Action, United Nations, 1993 Masih segar dalam ingatan kita, dalam beberapa tahun terakhir ini marak sekali kekerasan seksual terhadap anak dan terhadap perempuan. Kedua hal ini terpisah, antara kekerasan yang terjadi terhadap anak dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Sebenarnya kasus demi kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, sama sekali bukan hal kontemporer. Kejahatan seksual sudah lama terjadi terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Hanya saja sering terlupakan, timbul tenggelam dalam pemberitaan media massa. Dalam kata lain kekerasan seksual hanya booming ketika terdapat korban, setelah itu selesai, tanpa adanya upaya perbaikan-perbaikan manusianya (masyarakat). Tentu kita menyaksikan dalam pemberitaan media, bahwasannya baru-baru ini presiden Republik Indonesia menandatangani Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Perppu ini atas dasar menyikapi kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Namun darurat kekerasan seksual tidak hanya terjadi kepada anak-anak, tetapi juga terhadap perempuan. Perppu No. 1 Tahun 2016 merupakan perlindungan anak terhadap kejahatan seksual, lalu Perppu apa untuk perlindungan perempuan terhadap kejahatan seksual? Disisi lain dengan adanya ancaman hukuman kebiri kimiawi di dalam Perppu tersebut, menurut penulis bukan langkah semestinya dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Kemudian keberadaan Perppu ini hanya akan berlaku jika kekerasan seksual terjadi kepada anak-anak. Lalu bagaimana dengan kekerasan seksual terhadap perempuan (orang) dewasa dan bahkan laki-laki dewasa? Bukankah mereka juga butuh perlindungan hukum? Dalam menyikapi kekerasan seksual terhadap anak, UU Perlindungan Anak sudah cukup jelas untuk kita pahami bersama. Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur secara lebih baik dalam arti memberi jaminan terhadap anak-anak untuk tidak mengalami kekerasan seksual, ancaman pidana terhadap pelakunya lebih tinggi, dan terdapat ancaman minimal, bila dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHP[1]. Berarti bahwa sudah terdapat jaminan hukum bagi anak-anak Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual. Pertanyaannya apakah dengan demikian kejahatan seksual akan berkurang? UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian mengalami perubahan menjadi UU No. 35 Tahun 2014, tidak juga memberikan perubahan signifikan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga kemudian pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2016. Materi hukumnya sudah sangat luar biasa baik, terdapat pula tambahan hukuman berupa pemasangan alat deteksi dan hukum kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perlu menjadi catatan bahwasannya menyikapi perilaku kekerasan dan kejahatan seksual ini bukan semata pada materi penghukuman. Melainkan lebih dari itu, pendidikan moral dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan kemasyarakatan juga perlu menjadi perhatian. Misalkan, seseorang yang berasal dari keluarga miskin, tidak bersekolah, keluarganya berantakan, pendidikan moral kurang, tidak memiliki pekerjaan, hal ini juga dapat menjadi pemicu seseorang menjadi pelaku kejahatan (termasuk kekerasan seksual). Jadi menurut hemat penulis, kekerasan dan kejahatan seksual itu merupakan ciptaan dari lingkungan sosial pelaku, bukan persoalan libido yang tidak terkendalikan. Sigmund Freud mengatakan bahwa dorongan libido pada diri manusia selalu menggedor-gedor dan meronta-ronta ingin dilampiaskan[2]. Pada kutipan ini, kata “manusia” perlu digarisbawahi. Manusia berarti semua orang tanpa pengecualian, termasuk saya dan anda adalah manusia. Apakah saya dan anda adalah pelaku kekerasan seksual? Karena alasan itu, kita (manusia) harus dikebiri kimiawi untuk menidurkan libido yang meronta-ronta itu. Pada kenyataannya, tidak semua manusia menjadi pelaku kejahatan seksual. Konteks manusia dalam teori Libido Sigmund Freud adalah general, tidak spesifik. Pada bagian lain tulisannya Freud mengatakan libido dalam diri manusia dapat dilampiaskan dengan berbagai cara, seperti membaca, memasak, bekerja, dan aktivitas lain. Menurut penulis landasan ini tidak dapat menjadi acuan untuk pemberlakuan kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual. Karena pelampiasan libido manusia bukan semata-mata pada aktivitas seksual. Pada sisi lain di dalam Perppu No. 1 Tahun 2016, menurut penulis peraturan ini hanya berorientasi kepada penghukuman pelaku. Sedangkan korban kekerasan seksual terabaikan. Tidak tercantum bagaimana si korban memperoleh keadilan hukum yang seadil-adilnya, tidak tercantum bagaimana langkah pemulihan psikologis dan sosial korban, dan tidak tercantum bagaimana keluarga korban mendapatkan perlindungan (serangan media massa dan lain sebagainya). Dalam UU No. 23 Tahun 2002 ayat (2): “setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.[3] Namun disisi lain, media massa memiliki otoritas dan wewenang untuk publish identitas siapa anak yang menjadi korban dan pelaku. Justru kerapkali korban dan pelaku dikriminalisasi oleh media massa dan media sosial. Tidak lupa dalam ingatan kita kasus perkosaan sadis yang menggunakan gagang cangkul, korban kemudian menjadi meme tren di media sosial. Demikian juga pelaku yang masih duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) menerima hujatan di media sosial. Patut dipertanyakan perasaan empati masyarakat kita yang terepresentasi oleh media sosial. Like dan share yang dengan gampang dilakukan, merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat kita belum teredukasi dalam menggunakan media sosial. Bagaimana perasaan keluarga korban, atau bahkan keluarga pelaku? Dalam hal ini penulis melihat bahwa penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab juga menimbulkan pelaku-pelaku baru atas kasus kekerasan seksual yang terjadi. Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini? Apakah dengan hukuman kebiri kimiawi, kemudian kejahatan seksual akan selesai, atau setidaknya menurun? Berdalih kebiri kimiawi ini merupakan suatu tindakan terapi, itu sangat tidak benar. Memasukkan cairan kimia ke dalam tubuh orang yang tidak sakit, menurut hemat penulis adalah bentuk penyiksaan, terlebih terdapat unsur pemaksaan. Dalam penjelasan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa setiap manusia memiliki non-derogable rights, satu diantaranya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan[4]. Manusia tidak terlahir sebagai penjahat. Tetapi setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi penjahat. Pemberlakuan hukuman kebiri kimiawi ini adalah bentuk kriminalisasi balik kepada pelaku. Sehingga yang tadinya orang itu sebagai pelaku, menjadi sebagai korban karena pemberlakuan hukuman kebiri ini. Sedangkan pembenahan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga yang merupakan tempat bernaung anak-anak seakan diabaikan. Perlindungan anak-anak hanya berfokus kepada tindak penghukuman terhadap pelaku saja, sedangkan antisipasi agar tidak terdapat korban masih belum terealisasi. Menyikapi kekerasan seksual (baik yang terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa) merupakan upaya kita bersama agar tidak terdapat korban yang berjatuhan. Revitalisasi masyarakat kita yang cenderung individualis menjadi catatan penting dalam memerangi kejahatan seksual. Dengan kepedulian terhadap sesama, saling melindungi, konsep mengasihi satu sama lain akan menjadi pemicu perdamaian, sehingga kekerasan dan kejahatan seksual akan terperangi. Catatan Akhir: [1] Irianto, Sulistyowati, "Hukum yang Tak Peduli Korban". Jurnal Perempuan. Edisi November 2011. Hal. 41-52. [2] Yuwono, Ismantoro Dwi, 2015, Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. [3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. [4] Dewi, Kurniasari Novita, 2015, HAM dan Politik Internasional: Sebuah Pengantar oleh Ani W. Soetjipto (ed). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Akhiriyati Sundari (Mahasiswa Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga) andarindari@gmail.com Pendahuluan Tubuh perempuan selalu memasuki hiruk-pikuk pembahasan di segala ranah. Karenanya tidak ada diskursus lain yang memiliki daya tanding lebih yang mampu menyamai atau menyaingi diskursus ramai atasnya kecuali perbincangan tentang tubuh perempuan. Tubuh perempuan dari masa ke masa selalu mengalami kontestasi untuk diperebutkan oleh pihak-pihak yang berasal dari luar dirinya. Konstruksi sosial yang ditopang oleh ragam struktur sosial, berkembang setingkat dinamika yang mengiringi laju jaman. Ada titik yang dibidik sekaligus disasar dari perebutan wacana dan tubuh perempuan, yakni ketundukan dan kepasrahan. Dalam hal ini pihak laki-laki adalah tertuduh utama dengan bias sekaligus eros patriarkalnya, yang selalu merasa memiliki ‘hak istimewa’ untuk membuat berbagai penilaian atas tubuh perempuan. Laki-laki merasa seakan memiliki privilese untuk mengintervensi dengan meletakkan standar nilai tertentu kepada tubuh perempuan. Semuanya bekerja dalam bingkai patriarki yang mendudukkan posisi perempuan dan tubuhnya dalam posisi subordinat. Dimensi kekuasaan digunakan sebagai mesin kerja untuk mencapai tujuan. Foucault dalam masterpiece-nya tentang seksualitas mengatakan bahwa gagasan seksualitas dan kekuasaan sangat membantu analisis sosial dalam mengurai berbagai ketimpangan akibat relasi kekuasaan yang tidak seimbang terutama dalam kehidupan modern. Dalam perspektif ini, kekuasaan sebagai rezim wacana dianggap mampu menggapai, menembus, dan mengontrol individu sampai kepada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Kekuasaan sebagai rezim wacana ini dianggap sebagai praksis yang mampu mengubah konstelasi sosial. Darinya lalu muncul pengetahuan sebagai daya topang kekuasaan. Hubungan kekuasaan dan pengetahuan ini menurut Foucault adalah ketika wacana yang ada menahbiskan dirinya sebagai yang memiliki otoritas, otonomi atas klaim kebenaran dan kontekstual, seperti yang ada pada psikiatri, kedokteran, pendidikan, dan agama. Di dalam Islam, tubuh perempuan diidentifikasi sebagai yang memiliki rahim. Konteks mikronya bahwa hal ini mengindikasikan perempuan sebagai jenis kelamin yang ‘membawa kehidupan’, lengkap dengan sifat rahim [baca: kasih sayang] yang meng-endors pada wujud rahim di dalam tubuhnya. Sedang konteks makronya adalah perempuan memiliki keistimewaan yang khas dan tak bisa dipertukarkan. Karenanya Islam sangat menghormati perempuan sebagai manusia utuh yang sama dengan laki-laki. Titik tekan Islam paling utama dalam membingkai perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah pada tingkatan amal saleh. Yakni sejauh mana kedua jenis kelamin berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan dan bermanfaat bagi orang lain. Suara Islam yang genius ini kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat dimana konstruksi sosial patriarkalnya amat parah. Budaya yang lestari pada akhirnya menjadi tungkai bajak dan mengeliminir semangat universal Islam yang terkandung dalam kitab suci. Membincang Seksualitas dalam Wacana Islam: Pernikahan Wacana Islam dimaksud di sini adalah segala hal yang terbingkai dalam segala dialektika dan perdebatan tentang Islam. Bangunan terpenting yang menjadi acuan wacana ini adalah bersumber dari kitab suci [Syafiq Hasyim, 2002]. Bagaimana Al-Qu’ran sebagai kitab suci berbicara tentang seksualitas? Tentu saja hal ini terkait dengan pola relasi laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Ranahnya adalah seputar perkawinan, perceraian, relasi pergaulan suami-istri di dalam rumah tangga, masa tunggu sesudah bercerai [iddah], hingga persoalan yang menyangkut homoseksualitas. Kitab suci membingkai urusan seksualitas di dalam Islam hanya boleh dilakukan melalui lembaga perkawinan. Hubungan seksual yang dilakukan diluar perkawinan dianggap ilegal disebut sebagai zina. “Dan janganlah kamu mendekati zina karena itu sekeji-kejinya perbuatan” [QS Al-Isra (17): 32], ayat yang keras melarang perbuatan zina dengan penekanan ‘mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukan’ ini sesungguhnya hendak merespon masa lalu, dimana jaman pra-Islam, kegiatan seksual dapat dilakukan dengan bebas tanpa ikatan pernikahan sekalipun. Terpapar di dalam kitab suci pula bentuk respon terhadap masa lalu adalah dengan membatasi kepemilikian istri menjadi maksimal empat. Struktur sosial bangsa Arab pada masa pra-Islam yang disebut sebagai jahiliyah telah menempatkan perempuan sebagai istri yang bermakna ‘properti’. Hanya barang yang diambil kegunaannya semata sehingga dalam satu keluarga sebagai struktur sosial terkecil, adalah lumrah terdapat sembilan bahkan ratusan istri [poligami, pada kepala-kepala suku bangsa pagan kala itu]. Lantaran barang yang hanya diambil kegunaannya maka si pemilik properti [suami] bebas untuk berbuat sesuka hatinya, misal dengan mencampakkan begitu saja ketika merasa si istri sudah tidak berguna. Dari sini tampak secara jelas bahwa poligami bukanlah ajaran Islam, melainkan telah ada sebagai produk sosial umat terdahulu. Semangat yang disuntikkan Islam adalah memartabatkan manusia dalam resapan-resapan cinta melalui hubungan perkawinan sebagai hal alami yang naluriah. Lebih lanjut Al-Qur’an kemudian memberikan topangan spiritual bagaimana laki-laki dan perempuan yang terikat di dalam lembaga perkawinan itu seharusnya bergaul. Ada relasi yang setara dan seimbang, sebagai prasyarat mutlak yang harus diketahui untuk mencapai tujuan harmoni, bermartabat, dan bermoral. Metafora indah “mereka [para istri itu] adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” [QS Al-Baqarah [1]: 187], menunjukkan bahwa masing-masing relasi adalah resiprokal seimbang. Pakaian bersifat menutupi, memperindah, dan melindungi. Seyogyanya demikian pula dalam relasi suami-istri. Kasih sayang dan cinta kasih adalah perlambang adibusana, karenanya suami-istri secara moral dilarang saling menyakiti, secara moral harus menghargai dan menghormati satu sama lain dengan menghindari hegemoni-dominasi, termasuk dalam urusan seksual. Fatima Mernissi menyebut bahwa Al-Qur’an sesungguhnya tidak pernah menjustifikasi poligami. Justru Al-Ghazali lah yang melakukannya, karenanya Mernissi menganggap bahwa bahwa ada kekeliruan dari para pemikir Islam, yang tidak melihat poligami sesungguhnya sangat merugikan perempuan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan perempuan yang harus dipertimbangkan dalam praktik pergaulan yang ma’ruf tersebut, terutama pada kebutuhan seksual istri. Poligami dipandang sebagai lebih jauh dari sekadar memberikan hak seksual laki-laki, yakni menyediakan ruang bagi laki-laki untuk memperturutkan hawa nafsu seksualnya tanpa kenal batas. Padahal dalam adagium populer telah gamblang dikatakan bahwa ‘nafsu [seksual] itu seperti anak kecil [bayi] yang menyusu, ia akan terus meminta’. Selain sumber kitab suci, dalam wacana Islam terkait seksualitas, sunnah Nabi Muhammad SAW adalah rujukan penting kedua. Sunnah Nabi mencakup ucapan, tindakan/perilaku dan hal-hal atau peristiwa apa saja yang dilangsungi selama hidupnya. Nabi Muhammad sebagai orang suci dan dipilih oleh Tuhan dengan status ma’shum, bebas dari salah—lantaran seluruh makrokosmos dan mikrokosmos hidupnya adalah wahyu Tuhan, menjadi duplikasi yang tampak mata sebagai ejawantah ajaran kitab suci. Sejarah hidup Nabi mengisahkan perkawinannya dengan Siti Khadijah didahului oleh lamaran yang dilakukan Khadijah. Bukan oleh Nabi sendiri, melainkan Khadijah yang meminta. Perkawinannya dilandasi cinta dan saling penghormatan. Garis bawah dari sejarah telah mencatat bahwa Khadijahlah yang aktif dan Nabi pasif, menerima. Terlepas dari status kelas yang melekat pada diri Khadijah sehingga yang bersangkutan dimungkinkan memiliki ‘daya aktif’ melamar, di situ sekali lagi memperlihatkan ada keterlibatan perempuan dalam tindakan ‘memulai lebih dulu’ terhadap pasangannya. Tidak ada penolakan sama sekali dari Nabi, artinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Landasan ini pulalah yang dapat dipakai sebagai teropong bahwa dalam kehidupan seksual suami-istri, kedua belah pihak setara, tidak selalu suami yang aktif, tetapi istri pun. Tidak ada ordinat dan subordinat dalam relasi perkawinan Nabi dan Khadijah. Bahkan tidak mempermasalahkan status diri Khadijah sebelum menikah dengan Nabi. Kekuasaan Pengetahuan: Memasung Seksualitas Perempuan Perebutan wacana di dalam fungsi otorisasi akan klaim kebenaran terhadap tubuh perempuan sesungguhnya telah berlangsung sekian lama di dalam Islam. Idealisasi yang termaktub dalam kitab suci berikut sejarah Islam awal yang dibangun oleh Nabi Muhammad direduksi secara kasar sejak Nabi wafat. Dimulai dari jaman kekhalifahan empat hingga mengecambah ke dinasti-dinasti politik sesudahnya, posisi perempuan ‘dikembalikan’ ke dalam rumah. Ke ranah domestik. Ketika jaman Nabi perempuan turut pula terlibat aktif di ranah publik tak terkecuali dalam urusan ibadah ritual di masjid, maka sesudah Nabi wafat perempuan bahkan tidak boleh pergi ke masjid. Maka dimulailah aneka ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan itu termasuk di ranah seksual. Perempuan mengalami berbagai tindakan tidak adil juga kekerasan terkait seksual. Mengutip Abdul Munir Mulkhan [2002], sedikitnya ada tiga persoalan menyangkut ketidakadilan seksual pada perempuan; pertama, tradisi Islam dalam fikih [formula aturan hukum yang berkembang pasca Nabi] yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan kebutuhan seksual laki-laki’ dan ‘pembangkit birahi seksual’. Kedua, kecenderungan konsumerisme tubuh perempuan dalam peradaban industri modern. Ketiga, tradisi lokal [khususnya Jawa] yang masih melekatkan stereotype kepada perempuan sebagai ‘penumpang’ kemuliaan [kelas sosial] laki-laki. Ketiga, persoalan itu berkelindan dan melahirkan gagasan subordinasi pada perempuan. Gagasan yang menumbuh pada relasi kuasa yang timpang ini tak ayal menumbuhkan bibit-bibit kekerasan seksual terhadap perempuan. Perempuan hanya dilihat sebagai seonggok daging bernama tubuh seksual. Subjek yang melihat adalah laki-laki. Melihat di sini dimaknai sebagai penguasa tatapan. Foucault menganasir hal ini sebagai tindakan kekuasaan-pengetahuan yang menerapkan strategi kekuasaannya untuk mengatur [seksualitas] perempuan. Ada histerisasi tubuh perempuan yang menunjukkan bahwa tubuh [perempuan] dikaitkan dengan tubuh sosial untuk menjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga termasuk kehidupan anak. Jadi tubuh perempuan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab biologi dan moral. Khasanah fikih klasik hingga hari ini masih memberikan kacamata patriarki yang sarat bias gender dalam mengatur seksualitas perempuan. Khitan perempuan, sebagai contoh, dikatakan bahwa ia adalah perintah agama. Padahal sesungguhnya sunat perempuan adalah tradisi yang berasal dari 4000 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Ada pada masa Fir’aun, karenanya dulu dikenal dengan istilah pharaonic circumcisium [Jurnalis Uddin, 2013]. Hingga kini hanya di Yaman, Irak, Iran, Pakistan, India, Malaysia, dan Indonesia. Alasan dibalik pelaksanaan khitan perempuan ini adalah untuk mengerem nafsu seksual perempuan, yang dianggap lebih besar kadarnya daripada laki-laki sehingga membahayakan. Anggapan ini semata adalah mitos. Produk sosial dari jaman Fir’aun. Akan tetapi, institusi agama melestarikannya sebagai bagian dari ajaran agama. MUI tahun 2008 melakukan penolakan terhadap edaran Kementerian Kesehatan tahun 2007 yang melarang pelaksanaan khitan perempuan dari sudut pandang medis [Jurnal Perempuan 77]. Ketegangan pihak pemegang otoritas agama terhadap entitas di luarnya, adalah bentuk dari perebutan wacana tubuh perempuan. Sebagai medan politik, tubuh perempuan ditundukkan. Tubuh perempuan dipindai dengan tatapan laki-laki dus patriarki dalam sederet stigma negatif. Ada yang buruk dalam tubuh perempuan sekaligus ada yang menguntungkan dari tubuh perempuan. Tatapan patriarki ini lalu dilanggengkan dalam struktur sosial, mengokohkan diri sebagai pemegang kekuasaan. Strategi kedua menurut Foucault dari permainan kekuasaan-pengetahuan adalah pedagogisasi seks anak dengan tujuan anak jangan sampai jatuh dalam aktivitas seksual, karena mengandung bahaya fisik dan moral serta dampak kolektif maupun individual. Pedagogisasi ini juga untuk melawan onanisme [Haryatmoko, 2013]. Dalam setiap generasi sejak kecil, diajarkan tentang bahaya seksualitas yang dilakukan tidak di dalam pernikahan. Institusi agama membingkainya dalam fikih yang masih normatif, yang mengajarkan hanya ketakutan tanpa didukung oleh pengetahuan positif yang memadai. Anak tidak diberikan pendidikan seksualitas sejak dini lantaran anggapan tabu. Sehingga anak telah sejak dini pula dijauhkan dari pengetahuan yang memadai tentang tubuhnya. Otoritas agama hanya berkutat di seputar fikih yang lebih banyak mengatur soal thoharoh [tata aturan kebersihan] dalam kaitannya dengan sembahyang wajib [termasuk di dalamnya batasan tentang menutup aurat di dalam sholat]. Disusupkan pendidikan moral di dalamnya semata bahwa lagi-lagi tubuh perempuan adalah ‘sumber dosa’, karena itu jangan dekat-dekat. Walhasil, tidak mengherankan ketika pedagogisasi ini di lain pihak justru mengungkung hak anak untuk mengetahui kesehatan reproduksi secara benar. Saat marak kasus pernikahan dini, pernikahan anak-anak usia remaja ke bawah, persoalan-persoalan terkait kesehatan reproduksi dan seksual ini menjadi kian rumit dan blunder. Tidak ada kesiapan mental dan fisik. Anak-anak didorong begitu saja masuk ke kegelapan dunia seksualitas sehingga rentan dengan bahaya yang sulit dihindari seperti AKI, anemia, pendarahan, ekslampsia, juga tidak menutup kemungkinan penyakit menular seksual. Kasus pernikahan anak ini juga tidak bisa begitu saja dilepaskan dari konstruksi masyarakat yang digarisbawahi oleh tafsir-tafsir agama. Kerapkali misalnya, menganggap bahwa pernikahan anak akan menyelamatkan si anak dari pergaulan buruk yang menggiring pada hubungan seksual diluar pernikahan sebagaimana dilarang oleh agama, apalagi anak perempuan korban perkosaan [kekerasan seksual]. Ada pula yang menyandarkan diri pada sejarah Nabi bahwa pernikahannya dengan Siti Aisyah adalah termasuk pernikahan dini, karenanya dipandang sebagai sebuah syariat yang harus dipatuhi. Belum ditambah lagi argumen yang dipaksakan dan direkayasa secara panjang oleh konstruksi sosial stigmatis di masyarakat, bahwa pernikahan anak lebih baik daripada perempuan yang sudah ‘cukup umur’ namun belum menikah. Status single perempuan distigmatisasi oleh patriarki sebagai ‘kerawanan sosial’. Pernikahan anak juga tidak jarang bermotifkan ekonomi yang lagi-lagi ditopang oleh agama bahwa menghindari kemiskinan itu wajib agar tak terjerembab ke kekufuran. Tidak bisa tidak menurut tafsir ini, solusinya adalah menikahkan anak. Instrumen ini secara terus-menerus melanggengkan relasi kuasa yang timpang dalam mengatur seksualitas perempuan. Selanjutnya menurut Foucault, adanya sosialisasi perilaku prokreatif dimaksudkan untuk kesuburan pasangan; sosialisasi politik dilaksanakan melalui tanggung jawab pasangan terhadap tubuh sosial; dan sosialisasi medik termasuk praktik kontrol kelahiran atau KB. Pada masa Orde Baru, tangan otoritas keagamaan bergandeng tangan dengan kekuasaan untuk melakukan pengontrolan tubuh perempuan melalui program KB. Nilai keagamaan berlabuh dalam program yang sarat kepentingan politik negara dalam biopolitik modern. Tubuh perempuan menjadi sasaran utama ragam alat kontrasepsi tanpa mempertimbangkan kebutuhan kesehatan tubuh perempuan itu sendiri. Perempuan ditekan untuk tidak memiliki kedaulatan atas tubuhnya sendiri. Strategi kuasa pengetahuan sebagaimana diungkap Foucault di atas sejatinya dijadikan instrumen oleh agama melalui pengendalian atas tubuh perempuan. Subjek yang saling mengait ini memiliki tujuan yang satu yakni kepatuhan dan ketundukan. Darinya maka sebuah rezim akan langgeng dalam status quo. Seluruh peristiwa ini dibingkai dari frame patriarki yang mengusung rezim seksualitas dalam agama. Kuasa pengetahuan selanjutnya hadir dalam problem modernitas yang melahirkan anak kandung bernama kapitalisme. Di wilayah ini, tubuh perempuan diperebutkan kembali untuk dijadikan objek konsumerisme. Tidak terkecuali tubuh perempuan yang ditarik melalui wilayah keagamaan yang dipromosikan melalui media. Terdapat rezim kapitalisme di sini yang berhasrat hanya untuk penumpukan kapital. Standar tubuh perempuan dilabeli oleh patriarki melalui narasi-narasi perempuan ideal, cantik, langsing, berkulit putih, lembut, berambut panjang, bisa melahirkan anak, dan sederet panjang ukuran-ukuran subjektif lainnya, kemudian direproduksi oleh media secara massif dan vandalistik. Tidak terbatas pada media-media yang hanya dipajang dan dilihat secara dekat melalui media elektronik dan media cetak, persepsi patriarki atas tubuh perempuan dinarasikan pula secara jauh melalui ‘sampah visual’ yang bertebaran di ruang-ruang publik dengan tak terkendali. Baliho-baliho, spanduk, dan billboard berkibar gemebyar, menyesaki ruang-ruang publik di jalanan, berjajar-jajar tak karu-karuan dengan tiang-tiang serta kabel-kabel listrik yang bergelantungan sebagai penanda buruknya sistem tata kota di negara yang gamang dengan modernitas ini. Idealitas dalam wilayah tafsir agama yang membungkus perempuan dengan penertiban moral, turut pula diblow-up media dengan narasi-narasi ‘iklan syariah’. Iklan perempuan berjilbab sebagai contoh, tak ketinggalan memasuki arena publik dalam promo massal produk-produk tertentu berlabel agama [contoh jilbab zoya bersertifikat halal]. Tubuh perempuan lagi-lagi direbut otonominya di sini sebagai pendulang pundi-pundi dalam bingkai kapitalisme. Bahwa perempuan muslim yang kaffah selain membungkus tubuhnya dengan hijab agar tak mengundang birahi laki-laki, juga harus memastikan bahwa produk yang dipakainya adalah halal [berlisensi islami]. Begitu ribetnya tubuh perempuan harus didorong melesak ke dalam kapitalisme berjubah agama. Rezim seksualitas dihasilkan dari koalisi halus antara kapitalisme dan agama. Penutup Tubuh perempuan disorot dan diregulasikan dalam kancah paling esensial dari laku hidup manusia [agama], melalui penertiban perilaku, pakaian, dan segmen-segmen hidup yang lain. Tafsir-tafsir agama diwacanakan secara massif tanpa celah kritis sedikit pun, untuk memberikan satu narasi tunggal tentang stereotype perempuan melalui presentasi sebagai konstruksi cultural, yakni media. Bahwa media adalah struktur yang paling berperan dalam mereproduksi cara masyarakat mendudukkan dan memandang perempuan. Cara pandang ini diadopsi untuk memperlihatkan kekuatan media dan otoritas mainstream keagamaan dalam membentuk opini yang mendukung pandangan dominan tentang perempuan. Tubuh perempuan dikontrol agar menjalani ketundukan dan kepatuhan dengan frame patriarki, ditopang secara kokoh oleh sebuah rezim seksualitas. Pada akhirnya, dalam gerusan modernitas yang terus-menerus dipiyuh oleh kapitalisme ini, tubuh perempuan mulai kehilangan otonomi. Pada setiap laju sejarah, hal ini akan terus dimainkan sebagai ajang politik, padahal sejatinya justu menunjukkan sebuah tontonan lemah dari patriarki yang tidak pernah bisa menundukkan ego pallus-nya. Daftar Pustaka: Jeremy R. Carette (ed.), Agama, Seksualitas, Kebudayaan; Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault, Yogyakarta: Jalasutra. 2011. Mochamad Sodik (ed.), Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. 2004. Christina Siwi Handayani, Gadis Arivia, dkk, Subyek yang Dikekang; Pengantar ke Pemikiran Julia Kristeva, Simone de Beauvoir Michel Foucault, Jacques Lacan, Jakarta: Komunitas Salihara. 2013. Michel Foucault, Kuasa/Pengetahuan, Yudi Santosa (penerj.), Yogyakarta: Bentang Budaya. 2002. Irwan Abdullah, Nasaruddin Umar, dkk, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. 2001. Abdul Moqsit Ghozali, Badriyah Fayumi, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Cirebon: Rahima. 2002. Jurnal Perempuan edisi 15, “Wacana Tubuh Perempuan”. 2001. Jurnal Perempuan edisi 71, “Perkosaan dan Kekuasaan”. 2011. Jurnal Perempuan edisi 77, “Agama dan Seksualitas”. 2013. remotivi.com, “Perempuan tanpa Otonomi; Wajah Ideologi Dominan dalam Sinetron Ramadhan”. 2014. Apa yang ada dalam pikiran kita ketika kita menyaksikan pembunuhan masal? Tidak beradab dan aksi terorisme. Inilah yang terjadi di sebuah klub malam di Orlando, Florida, US beberapa hari lalu. Portal berita luar negeri, NBC News menyebutkan terdapat 50 orang meninggal dan 53 orang terluka dalam tragedi itu, dan disebutkan “deadliest mass shooting in U.S. history”. Ini berarti aksi terorisme pertama kalinya yang menelan korban paling banyak di US. Hal ini merupakan sebuah tragedi kemanusiaan, terlepas dari siapa yang menjadi korban. Namun tak sedikit diantara kita (orang Indonesia) yang mengamini tragedi ini, merespons karena LGBT selayaknya, sepantasnya, sepatutnya layak diperlakukan seperti itu. Saya menilai bahwa respons seperti ini merupakan suatu ancaman bagi kelompok LGBT di Indonesia. Bolehkah sejenak kita merespons sebuah kejadian tanpa melihat identitas? Mereka merupakan manusia, yang seharusnya hidup aman dan damai, terlepas dari orientasi seksualnya. Saya tidak mengatakan bahwa semua orang Indonesia membenarkan tragedi ini, bahwasanya terdapat kelompok-kelompok yang mengutuk kejahatan kemanusiaan itu. Termasuk saya pribadi, sangat mengutuk tragedi ini. Tragedi ini merupakan sebuah aksi terorisme, dimana terdapat korban berjatuhan. Teroris sendiri menggunakan kekerasan untuk menarik perhatian akan maksud atau alasan dibalik tindakan mereka. Ibarat bom waktu, aksi teroris dapat terjadi kapan pun dan di mana pun, tanpa dapat kita prediksi. Aksi ini merupakan ancaman serius bagi keamanan internasional dan nasional. Terorisme memang bukan satu-satunya ancaman terhadap keamanan global dalam konteks human security, tetapi aksi terorisme juga patut diperhitungkan dalam mengancam keamanan hidup kelompok tertentu (human security dalam konteks lokal dan nasional). Terdapat tipologi terorisme menurut Gregory D. Miller yaitu terorisme separatis-nasional, terorisme revolusioner, terorisme reaksioner, dan terorisme religius (Winarno, 2014). Pendapat saya, aksi terorisme di Orlando termasuk di dalam tipologi terorisme reaksionisme. Kelompok teroris ini memang berjumlah kecil dan sulit untuk di lacak keberadaannya. Mereka ini reaktif terhadap isu-isu yang mengemuka, dan ini merupakan reaksi atas keberadaan kelompok LGBT di Orlando, bisa saja dari kelompok anti-LGBT. Miller (dalam Winarno, 2014) menegaskan bahwa kelompok teroris ini melakukan aksi teror dengan cara membunuh orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan pikiran mereka. Benar adanya, aktor teroris ini membunuh dengan brutal orang-orang tanpa alasan. Kelompok “anti” ini memang tidak terorganisir, tetapi mereka akan meniru aksi yang sama untuk mencapai tujuan mereka—yang notabenenya adalah sama pula. Hal ini menunjukkan bahwa tragedi Orlando ini dapat menjadi pintu bagi aksi terorisme lainnya di berbagai belahan dunia, terlebih di Indonesia, dimana terdapat sejumlah besar kelompok anti LGBT (homophobia). Berarti bahwa terdapat ancaman serius bagi kelompok LGBT di Indonesia, karena aksi teror serupa bisa saja terjadi oleh kalangan “anti” ini. Meskipun pelaku teroris di Orlando tidak terdapat hubungan dengan kelompok homophobia di Indonesia, tetapi aksi serupa dapat saja dilakukan dengan tujuan serupa pula. Pada dasarnya terorisme terhadap kelompok LGBT sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Bagaimana bisa? Menurut Wilkinson (dalam Winarno, 2014) yang mengkategorisasikan terorisme menjadi empat tipe, yaitu: (1) kriminal, (2) psychi, (3) perang, (4) political. Dalam hal ini saya cenderung melihat aksi teror yang terjadi di Indonesia adalah tipe yang pertama dan kedua, dimana tidak sedikit anggota kelompok LGBT yang dikriminalkan (mengalami kekerasan, dan lain-lain), dan kerapkali diserang secara psychi (dianggap menyimpang, sakit jiwa, dan lain-lain). Hal ini merupakan aksi terorisme yang dilakukan oleh berbagai kalangan homophobia terhadap kelompok LGBT di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa kelompok “anti” ini sangat membenci LGBT. Terlebih lagi, tidak ada payung hukum yang menjamin keberadaan kelompok LGBT di Indonesia, sehingga tindakan kriminal (teror) itu bisa dari kalangan apa saja. Karena aksi teroris ini menginginkan perhatian, dan mereka ingin semua orang tahu apa yang mereka maksud dan mereka mau. Seperti pendapat ahli media dan terorisme, Brigitte Nacos (dalam Winarno, 2014), “Terrorists do not win the hearts of...the people their target and even not those who look on in the international realm”. Realitas ini sudah seharusnya menjadi pembuka mata pemerintah Indonesia untuk membuat suatu regulasi konkret untuk perlindungan bagi kelompok LGBT. Bahwa tragedi Orlando dapat menciptakan iklim sosial baru, yang mana kekerasan dan kriminal mengancam anggota kelompok LGBT. Negara tidak seharusnya diam saja atas ketidakamanan yang dirasakan oleh salah satu kelompok warganya, terlebih mereka adalah kelompok minoritas. Bahwasannya siapapun korban dan pelakunya, aksi terorisme merupakan musuh kita bersama. Romel Masykuri (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Airalngga Surabaya) romel.masykuri@gmail.com Judul Buku : Politik Hukuman Mati di Indonesia Editor : R. Robet dan Todung Mulya Lubis Penerbit : Marjin Kiri, Tanggerang Cetakan : I, Maret 2016 Halaman : 292 hlm Hukuman mati di Indonesia masih tetap dipertahankan meski banyak penolakan dari masyarakat internasional, terutama dari negara yang sudah menghapus hukuman mati. Data yang dilansir dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa sejak Desember 2014, 160 dari 193 negara anggota PBB telah menghapus hukuman mati, dan memberlakukan moratorium. Bahkan dalam sebuah forum terbuka, Sekjen PBB, Ban Ki-Moon mengatakan dengan tegas hukuman mati tidak memiliki tempat di abad ke-21.
Di tengah menguatnya dukungan dari berbagai negara di dunia untuk menghapus hukuman mati, Indonesia tetap mempertahankan hukuman mati secara legal. Peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati diantaranya, KUHP, UU Narkotika, dan UU Anti terorisme. Alasan utama hukuman mati tetap diberlakukan karena masih kuatnya kepercayaan pemerintah dan juga masyarakat bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera dan efek penggentar (general deterrence). Dengan sanksi hukuman mati, diharapkan memberi rasa takut di kalangan pelaku kejahatan agar tidak terulang di masa depan. Inilah alasan yang seringkali disampaikan oleh Presiden Jokowi untuk tetap melanjutkan eksekusi terpidana hukuman mati dan menolak permohoan grasi yang diajukan para tersangka. Sikap “tegas” Presiden Jokowi mendapat dukungan luas dari masyarakat dengan minimnya suara protes atas hukuman mati (berkaitan dengan presentase masyarakat yang pro dan kontra perlu diteliti lebih lanjut). Namun jika hendak dikaji lebih mendalam, benarkah hukuman mati dapat meminimalisir tindakan kejahatan? Buku Politik Hukuman Mati di Indonesia yang ditulis oleh lintas akademisi ini memberikan penjelasan bahwa efek jera yang “dijanjikan” dari hukuman mati hanyalah mitos. Hukuman mati tidak lepas dari konfigurasi politik yang mempengaruhi. Hal ini tampak dari diskursus hukuman mati yang didominasi oleh elit, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dalam artian, belum ada keterbukan pemerintah untuk membahas hukuman mati ini melibatkan masyarakat luas, terutama pihak-pihak yang menolak hukuman mati. Buku ini diawali oleh tulisan Wilson yang meninjau hukuman mati persepektif historis. Artikel yang berjudul "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati" membahas praktik hukuman mati dari zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga pasca Indonesia merdeka. Dalam artikel ini, Wilson memaparkan bahwa hukuman mati yang bersifat kejam sudah ada sejak zaman feodalisme kerajaan yang pernah besar di Nusantara pada abad ke-16, seperti kerajaan Mataram di Jawa dan kerajaan Islam Aceh di Sumatera. Pada masa kerajaan, hukuman mati dikenakan bagi mereka yang memberontak sang raja. Melalui hukuman mati, raja membangun legitimasi kekuasaannya sehingga rakyat bisa tunduk dan patuh. Kemudian hukuman mati berlanjut diterapkan oleh Belanda di era VOC dan melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Tujuan hukuman mati sejak dulu sama, yakni menegakkan supremasi ekonomi-politik dan supremasi moral penguasa untuk melakukan “kontrol” atas tertib sosial dan politik (hlm. 4). Sedangkan Iqrak Sulhin mengulas hasil penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat tentang hukuman mati. Melalui artikel berjudul Mitos Penggentar Hukuman Mati, Sulhin menemukan bukti empiris berupa hasil riset di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa ancaman hukuman mati, bahkan pasca eksekusi sekalipun tidak serta merta menurunkan angka kejahatan. Salah satu riset yang diulas hasil penelitian Radelet dan Lacock yang dituangkan dalam artikel “Do Executions Lower Homicide Rates? The Views of Leading Criminologists”.Temuan menarik penelitian yang dilakukan tahun 2009 itu menunjukkan hanya 2,6% dari responden yang setuju dengan pernyataan bahwa eksekusi mati memberikan efek penggentar, dan 86,9% lainnya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Jadi, mayoritas kriminolog Amerika Serikat meyakini bahwa hipotesis penggentarjeraan hanyalah mitos dan tidak memiliki bukti yang akurat (hlm. 95). Artikel lain yang lebih reflektif ditulis oleh Todung Mulya Lubis. Artikel ini berada di urutan terakhir, seakan menjadi penanda bahwa sudah waktunya hukuman mati diakhiri di Indonesia. Dalam artikel berjudul "Hukuman Mati dan Tantangan ke Depan: Suatu Studi Kasus tentang Indonesia", pengacara dan aktivis HAM ini memberikan catatan penting kenapa hukuman mati mesti dievalusi dan direkomendasikan untuk dihapus dalam sistem hukum Indonesia. Beberapa argumen yang diajukan, diantaranya: Pertama, hukuman mati bertentangan dengan HAM, padahal konsitutsi Indonesia berupa UUD 1945 mengakui dengan tegas bahwa HAM tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kedua, tidak ada bukti hukuman mati berdampak mencegah kejahatan. Sehingga dalih hukuman mati dapat membawa efek jera tidak memiliki pondasi yang kuat. Ketiga, risiko salah menghukum. Dalam kasus ini, Lubis mencontohkan kasus yang menimpa Sengkon dan Karta yang dihukum karena pembunuhan yang tidak pernah mereka lakukan. Keempat, korupsi hukum, di kalangan para hakim, pengacara, jaksa dan polisi masih marak tindakan korupsi. Kultur lembaga peradilan yang koruptif akan membuat proses hukum cacat dan tidak adil (hlm. 263-365). Kesembilan artikel yang ada dalam buku ini membangun narasi yang sama, bahwa hukuman mati di Indonesia selama ini ditopang oleh dasar yang tidak kokoh. Namun karena ortodoksi dalam pandangan hukum, hukuman mati tetap dipaksa menjadi bagian dari sanksi hukum yang ada di Indonesia. Buku ini mengajak pemerintah dan masyarakat untuk mendiskusikan kembali hukuman mati sebagai diskursus terbuka. Jika memang pemerintah meyakini bahwa hukuman mati dapat membawa efek jera, sudah semestinya keyakinan itu ditopang dari riset yang kredibilitasnya dapat diuji, bukan hanya sekadar dari asumsi politik semata. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |