Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected]d Gagasan awal kehidupan demokrasi adalah pemberian ruang penghargaan atas kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam kehidupan politik negara. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bentuk ruang demokrasi di tingkat lokal. Rakyat mampu berperan dalam proses penentuan “wajah” keterwakilan mereka di tingkat dewan pemerintahan daerah. Pilkada langsung mampu menjadi upaya untuk menghindari praktik oligarki yang sangat kental di zaman orde baru. Oleh karenanya, Pilkada tidak melalui mekanisme DPRD akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung mampu “mendidik” rakyat dalam berpolitik dan mampu memberikan ruang publik demokratis secara lebih luas: pertama, rakyat dilatih untuk berdaulat dan langsung memilih para pemimpinnya. Kedua, pilkada langsung mampu menjadi modal sosial terciptanya habitus dan mentalitas berkewarganegaraan dalam arti yang lebih luas. Ketiga, melalui pilkada langsung rakyat bukan hanya menjadi “massa mengambang” yang mudah disandera dan dibajak oleh telikungan oligarki politik. Masih lekat dalam ingatan kita, Orde Baru mampu menyisakan trauma politik tersendiri bagi rakyat. Tak jarang rakyat merasa enggan untuk terlibat dalam tataran politik negara. Sebagian besar rakyat merasa tidak ingin rumit dan terlibat jauh dalam politik yang sarat dengan intrik. Ya, mereka terepresi secara politik. Bagaimana stigma PKI maupun Gerwani menjadi kontrol negara untuk membatasi ruang gerak politik rakyat di era Orde Baru. Ketakutan menjadi alasan rakyat mundur dari kancah perpolitikan negara. Reformasi, saat itulah udara kebebasan mulai muncul ditandai dengan tumbangnya Orde Baru di tahun 1998. Rakyat mulai terlibat dalam politik. Terciptanya multipartai dan pemilu langsung, memberikan ruang demokrasi bagi rakyat. Perempuanpun memiliki hak yang sama dalam pemilu, satu suara perempuan berarti satu suara rakyat. Pemilu tahun 2009 merupakan pemilu demokratis Indonesia. Ada peran tangan-tangan rakyat didalamnya secara langsung, pun dengan perempuan. Posisi perempuan di parlemen pun menduduki persentase yang cukup menggembirakan. Angka 18% persen menjadi langkah awal geliat perempuan di panggung parlemen. Bahkan hadirnya presiden perempuan pertama di Indonesia, Megawati Soekarnoputri di era reformasi, mampu memberikan geliat harapan dan kebebasan perempuan dalam politik. Beberapa poin ini tentunya mampu memberikan nafas kegigihan baru bagi gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politiknya. Pemilu tahun 2014 merupakan saat dimana perempuan mempunyai harapan terhadap peningkatan keterwakilan politiknya di lembaga legislatif. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hak suara perempuan mencapai 92.791.321 orang sedangkan hak suara laki-laki mencapai 93.086.694. Pada Pemilu 2014 perempuan menyumbang suara hampir 50 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi jumlah suara perempuan belum signifikan menyumbang perolehan suara bagi perempuan yang duduk di kursi parlemen. Dari data pemilu 2014, didapatkan bahwa jumlah perempuan di parlemen hanya sebesar 17%. Bahkan dari data yang diperoleh Jurnal Perempuan pada edisi 82 dapat dilihat bahwa terdapat indikasi peningkatan pencalonan caleg perempuan berbanding terbalik dengan keterpilihan caleg perempuan. Tahun 2009 caleg perempuan tercatat 34,86% dengan jumlah perempuan terpilih sebanyak 18,03%. Pada pemilu 2014, pencalonan perempuan meningkat menjadi 37,27% dengan jumlah perempuan terpilih menurun 17,32%. (Anita Dhewy, Jurnal Perempuan: Vol 19 No.3 Agustus 2014, Hal. 102) Fenomena ini tentunya sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, dengan jumlah hak suara yang “hampir sama” terjadi ketimpangan luar biasa dalam porsi kedudukan perempuan di parlemen. Kedua, begitu banyaknya “wajah” yang dipilih, tentunya perempuan yang mencalonkan/dicalonkan semestinya berupaya agar mampu dikenal baik oleh masyarakat baik dari segi visi misi maupun kiprah perjuangannya kelak di parlemen. Tentunya perjuangan atas keberpihakan. Ketiga, perlu upaya yang sistematis untuk membangun kesadaran politik perempuan. Memilih bukan sekadar hanya “urun suara”, akan tetapi merupakan bentuk upaya kebebasan kaum perempuan untuk berdaulat secara politik. Bagaimana masa depan perempuan pasca Pemilu 2014? Belum kering kegundahan perempuan atas ketimpangan perolehan kursi yang terjadi, tiba-tiba kita dihadapkan pada pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) No.1/2014. UU Pilkada No.1/2014 menjadi agenda pembajakan suara perempuan di ruang politik. Apabila dilihat dari kacamata demokrasi, tentunya pengesahan Undang-undang itu merupakan langkah mundur kehidupan demokrasi itu sendiri. Hiruk pikuk kesetaraan suara rakyat atas partisipasinya dalam kedaulatan politik tentunya hanya akan kembali menjadi wacana. Penerapan UU Pilkada tentu akan kembali menjadi pembajakan demokrasi dan menggoreskan catatan trauma panjang rakyat dalam membangun mimpi publik membentuk negara demokratis pun dalam ruang politik perempuan. Suara perempuan pada pemilu tahun 2014 turut menyumbang proses pergulatan politik negara dan menentukan “sosok terpilih” di parlemen yang diberikan mandat kepercayaan dan harapan untuk memperjuangkan hak perempuan. Harapan itu kemudian ditelikung dengan upaya pembungkaman kebebasan bersuara dalam ruang demokrasi politik lokal, dan ini adalah sebuah awal wajah politik negara. Kekecewaan dan kemarahan itu hadir memunculkan gelombang penolakan dari sebagian besar masyarakat sipil dan menjadi bukti bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap penetapan sebuah kebijakan politik. Mereka berupaya secara gigih dan serius agar hak politik mereka tidak kembali tersesat dalam kebobrokan oligarki elit. Kemarahan rakyat adalah kemarahan kaum perempuan, karena suara perempuan telah “dibajak” untuk membuat kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat. Jadi kepalkan tangan kiri kita, tolak UU Pilkada! Referensi: Jurnal Perempuan Vol. 19 No. 3, Agustus 2014, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia, 2013, Kanisius, Yogyakarta
1 Comment
Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Bertolak dari apa yang diungkapkan novelis Inggris Virginia Woolf mengenai perempuan dalam fiksi, “seorang perempuan harus mempunyai uang dan ruang bagi dirinya sendiri untuk menulis fiksi, dan itu membiarkan hal besar tetang sifat perempuan dan sifat fiksi tidak terpecahkan”, perlu digarisbawahi bahwa terdapat dua syarat penting yang harus terpenuhi yaitu perempuan harus punya uang dan ruang untuk bisa melakukan sesuatu demi kemajuan dirinya. Bukan hanya dalam konteks menulis fiksi, namun bisa jadi dua hal itu “uang dan ruang” perlu terpenuhi ketika perempuan berkarier di dunia politik. Kebutuhan akan ruang dalam berpolitik tentu dibutuhkan oleh perempuan maupun laki-laki. Apakah ruang berpolitik yang diberikan kepada perempuan sudah membuka kesempatan perempuan? Mengingat bahwa pada pemilu 2014 terjadi penurunan jumlah perempuan di parlemen. Apakah ada upaya peningkatan trust terhadap wakil rakyat perempuan? Mengingat bahwa anggota legislatif tahun 2009 ada yang tersandung kasus korupsi besar. Lewat tulisan ini kita akan bersama-sama menelusuri sejauh mana kebutuhan akan ruang dan uang bagi perempuan untuk berpolitik.
Berdasarkan tabel di atas, secara kuantitas persentase keterwakilan perempuan DPR-RI periode 2014-2019 mengalami penurunan yaitu menjadi sekitar 17% atau 97 orang perempuan, dari total 560 anggota DPR-RI. Pada tahun 2009-2014 persentase keterwakilan perempuan mencapai 18% atau sebanyak 103 orang. Meskipun demikian, jika diakumulasi keterwakilan perempuan dari periode 1999-2004 s.d 2014-2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 9% menjadi 17,3% .
Di masa orde lama dan baru (1955-1997), upaya negara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan secara khusus di dalam parlemen masih belum dilakukan. Tindakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan baru terlahir di masa reformasi, tepatnya ketika pemilu 2004 dilangsungkan. Pemilu 2004 telah mengakomodir affirmative action dengan diterapkannya kuota minimal 30% keterwakilan perempuan pada saat pencalonan anggota legislatif, itu menunjukkan bahwa ada sebuah narasi kebijakan yang memberikan ruang terhadap perempuan untuk berpolitik secara kompetitif dan bukan berarti memberikan jalan ‘tol’ bagi perempuan. Narasi kebijakan ini tentunya perlu diiringi dengan kapabilitas perempuan di ranah politik untuk menjadi wakil rakyat, tidak semata-mata diberikan jalan pintas bagi perempuan untuk menduduki kursi karier politiknya. Sehingga perempuan perlu memanfaatkan itu sebagai sebuah ruang yang terberi. Implikasi terhadap UU Pemilu tahun 2003 pasal 65 ayat 1 mengenai kuota minimal 30% itu maka akan ada minimal 1 nama bakal calon legislatif (caleg) perempuan pada setiap 3 nama bakal calon setiap partai. Ruang administratif yang telah dibuka tentunya tidak berarti memberikan peluang besar terpilihnya caleg perempuan. Dalam hal ini besar kecilnya peluang terpilihnya caleg memiliki kecenderungan terhadap nomor urut yang diberikan. Pada pemilu 2004 caleg dengan nomor urut 1 mencapai 73,6% yang berhasil menduduki kursi legislatif, kemudian 19% untuk nomor urut 2 dan 0,6% dengan nomor urut 5. Dapat disimpulkan bahwa caleg dengan nomor urut kecil memiliki kesempatan yang lebih besar untuk masuk menjadi anggota legislatif. Sedangkan tercatat di dalam daftar calon tetap pemilu 2004, hanya 9,17% caleg perempuan yang ditempatkan pada nomor urut satu. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengenai ruang tadi. Nomor urut ditentukan oleh partai dimana caleg yang memiliki kapabilitas pengetahuan dan materi yang diunggulkan oleh partai. Menyoal mengenai nomor urut ini berarti perempuan perlu menciptakan ruangnya sendiri dan tidak hanya mengandalkan ruang yang terberi (kuota 30%). Sehingga menurut saya perlu diciptakan sebuah ruang konstruksi kepercayaan kader partai terhadap caleg perempuan dan perlu dibuktikan dengan uji publik yang dipubllikasikan sehingga nantinya akan menjadi domino effect terhadap rakyat sebagai pemilih. Disini perempuan perlu menunjukkan kemampuannya secara kompetitif agar dapat menduduki nomor strategis dalam pencalonan, inilah yang dimaksud dengan ruang yang perlu diciptakan. Dalam percaturan politik modern, mengenai ruang yang diberi dan diciptakan memiliki pengaruh penting, namun selain itu kebutuhan akan dana politik untuk membiayai kampanye turut memainkan peranan utama di arena kompetisi politik. Hampir semua peserta pemilu masih beranggapan, jika kemenangan dalam suatu kontes electoral di tentukan dengan seberapa masif kampanye politik yang dilakukan. Pada pemilu 2014, iklan politik membanjiri media massa nasional kita. Media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lukman Hakim, “Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan persepsi memengaruhi sikap dan perilaku seseorang”. Selain itu, Jurgen Habermas mengemukakan “Language (media massa melalui bahasa yang digunakan) is also a medium of domination and social force”, dari pendapat di atas dapat kita kerucutkan bahwa ternyata berita-berita melalui media cetak maupun elektronik dapat menggiring opini publik sehingga bisa menjadi alat dominasi ataupun kekuasaan. Dengan model kampanye di televisi, koran, bahkan dunia maya untuk memberikan citra terbaik bagi sang caleg tentunya membutuhkan dana (uang) yang tidak sedikit. Fenomena kampanye politik melalui media massa ternyata tidak sebatas terkait dengan soal uang, mengingat ruang di media massa seperti televisi ini pun terbatas. Contoh yang paling jelas terlihat misalnya ANTV dan TVOne yang dimiliki pengusaha Aburizal Bakrie yang juga ketua umum partai Golkar, sehingga iklan dan program-programnya tentunya untuk menaikkan elektabilitas partai dan caleg. Begitu juga dengan Metro TV dan harian cetak Media Indonesia Group yang dimiliki oleh Surya Paloh. Kemudian MNC Group dan harian cetak Sindo yang berada dibawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo. Ketiga pemilik media di atas bukanlah pengusaha biasa namun juga praktisi politik. Maka disadari ataupun tidak, ini akan berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan-gagasan politik dan pencitraan tokoh partai masing-masing. Ternyata dalam persaingan politik bukan hanya dibutuhkan uang yang relatif tinggi untuk modal, namun ada ruang khusus yang tidak dapat dimiliki semua caleg, terlebih lagi caleg perempuan. Sehingga lobi politik dan relasi jaringan juga diperlukan untuk dapat mengakses ruang-ruang elitis tersebut sebagai salah satu strategi kampanye. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan rata-rata biaya kampanye caleg sebesar 1,18 miliar. Angka itu memiliki tingkat kewajaran dan peluang terpilihnya caleg besar. Berikut ini tingkat kewajaran investasi politik caleg DPR: (1) dibawah Rp 787 juta: kurang/sedikit, (2)Rp 787 juta-Rp 1,18 miliar: optimal, (3)Rp 1,18 miliar-4,6 miliar: wajar dan peluang terpilih besar, (4) Rp 4,6 miliar-9,3 miliar: tidak wajar, (5) diatas 9,3 miliar: tidak rasional. Data diatas memberikan sebuah pemandangan mengenai kalkulasi kebutuhan untuk kampanye politik. Sekali lagi bahwa ongkos politik di negeri ini tidak murah. Para caleg perlu memutar otak bagaimana mendapatkan dana kampanye tersebut. Kembali pada pernyataan Woolf mengenai uang dan ruang, menurut saya, seorang perempuan untuk dapat memenuhi syarat penting tersebut memerlukan sebuah strategi yang andal. Tidak hanya mengandalkan ruang yang terberi melalui tindakan afirmasi maupun kebijakan-kebijakan publik yang diberikan, perempuan juga harus menyiasatinya dengan menciptakan ruang sendiri bagi dirinya bahkan golongannya. Dengan basis pengetahuan yang baik mengenai politik, maka ruang politik pun akan memilih perempuan. Kemudian perihal kebutuhan akan uang dalam kontes politik tentunya menjadi hal yang mutlak ada, namun uang tidak selalu menjamin seberapa besar ruang yang didapat. Tentunya ketika dalam hal teknis ruang dan uang sudah terpenuhi maka yang menjadi PR penting bagi kaum perempuan adalah mengenai pendidikan politik dan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat perempuan berdasarkan Meritokrasi[1]. Sehingga keterwakilan perempuan di legislatif memiliki pengaruh secara substansi bukan hanya deskripsi memenuhi UU pemilu tahun 2003 pasal 65 mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan. Perempuan di legislatif perlu memiliki value dan power lebih sehingga dapat menjadi wakil rakyat yang diandalkan dan menepis paradigma masyarakat mengenai keterwakilan di legislatif meningkatkan angka korupsi dikalangan politisi perempuan. Daftar Pustaka 1. Ringkasan Laporan, “Penelitian perempuan dan politik”, women research institute-IDRC, 2009 2. http://lukmanhakim.multiply.com/journal/item/11 diakses pada tanggal 22 oktober 2014, pukul 19.00 Wib 3. http://www.puskapol.ui.ac.id/press-release/profil-anggota-legislatif-2014-2019-potensi-dominasi-fraksi-makin-kuat.html diakses pada tanggal 22 oktober 2014, pukul 20.00 Wib 4. Martany Dina, Signifikansi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia, 2014 Catatan Belakang [1] Meritokrasi menitik beratkan kemampuan dan kelebihan seorang individu berdasarkan kepada kualitas pribadi tanpa dipengaruhi faktor keturunan, Bahasa, agama, status sosial, gender, dsb. “Gue enggak percaya kalau kita berasal dari tanah, gue kan berasal dari sperma. Mungkin iya gue mati jadi tanah”. Perkataan ini keluar dari mulut teman saya ketika kami sedang berbincang-bincang tentang kekuasaan Ilahi. Sebagai bangsa Indonesia yang dipayungi Pancasila, kami tentunya bertuhan dan (harus) beragama, agama kami adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yaitu Islam. Agama Islam sendiri memiliki tiga sumber hukum Islam sebagai pedoman sehari-hari kita bertindak yaitu Alquran, Hadis, dan Ijtihad. Merujuk pada sumber pertama yaitu Alquran tentang penciptaan manusia, esai kali ini akan membahas tanah sebagai tempat manusia berasal, hidup dan mati. Budaya patriarkis menonjolkan penciptaan manusia yang sibuk berdebat tentang penafsiran literal terhadap air mani sebagai awal penciptaan manusia bukan kepada tanah. Dan ayat yang dirujuk adalah surat Al Mu’minun Ayat 12-16 berisi: وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ – (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ – (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ – (14) ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ - (15) ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ – (16) Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan nuftah dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. [Al Mu’minun: 12 – 16] Kebanyakan Tafsir akan merujuk pada penciptaan manusia secara aktif dari air mani (sperma) menyampingkan tahapan pertama bahwa manusia berasal dari saripati tanah مِنْ سُلَالَة مِنْ طِين secara akal memang lebih mudah bagi kita untuk memaknai penciptaan manusia yang berasal dari air mani karena muncul secara harafiah. Silakan lihat di buku-buku agama pelajaran SD-SMP-SMA semua memfokuskan keajaiban Alquran yang nyata menjabarkan penciptaan manusia oleh air mani tapi hanya sedikit saja yang menyinggung tanah dalam penciptaan manusia. Sehari-hari kita menjejak bumi, tanah, dunia. Kita tidak pernah jauh dari tanah. Apapun yang kita makan semuanya berasal dari tanah. Air yang kita minum dilabelnya terpampang jelas “Sumber mata air pegunungan”, sapi dan kambing Iduladha yang kemarin kita makan, sehari-harinya menyantap rumput yang tumbuh di atas tanah, bahkan beras yang kita makan setiap hari tumbuh diatas tanah. Kita tidak bisa hidup tanpa tanah, kita memang tergantung dengan tanah. Dalam studi feminisme, tanah merupakan representasi dari tubuh perempuan. Karena merujuk pada ayat tersebut, tanah adalah segalanya. Tanah adalah tempat darimana kita berasal. Tanah adalah rahim, tanah adalah tubuh perempuan. Kata Dunia yang kita kenal sekarang pun berasal dari serapan bahasa Turki yaitu Dunya. Dunya adalah nama dari perempuan cantik. Mengapa perempuan? Karena tubuh perempuan bukan saja lambang kesuburan tapi perempuan adalah kesuburan itu sendiri. Betapa terpananya orang-orang dari jazirah Arab melihat keindahan alam Indonesia dimana sungai-sungai mengalir jernih, bukit hijau terhampar. Indonesia adalah citra surga yang kitab suci ceritakan. Maka apa lagi yang hendak kita sangsikan dari krusialnya tanah dalam hidup kita? Mungkin kita harus merevisi buku-buku pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah untuk kembali memahami dan mengajarkan kembali pemahaman akan posisi perempuan dan status tubuh perempuan yang justru paling berperan dalam proses penciptaan manusia. Bahwa tubuh perempuan adalah sebuah berkah kesuburan, bukan aib jadi tidak perlulah ditutup-tutupi. Masih hangat dalam benak saya puisi “Di Negeri Tujuh Ribu Rok” karya Zubaidah Djohar. Selama ini kita menganggap posisi perempuan sebagai subordinat, pelengkap, tulang rusuk sedangkan pada kenyataannya kamu tidak bisa hidup tanpa perempuan, tubuhnya. Tanpanya bahkan kamu tidak bisa lahir ke dunia ataupun bertahan disana, dan tanpa tubuh perempuan, (D)unia tidak ada. Melintaslah ke kawasan Sudirman dan Setia Budi pada pukul empat sampai lima sore, maka kalian akan menemukan perempuan berkaki besi menggunakan high heels dan rok pendek, dengan pakaian eksekutif mentereng berjalan kaki menuju stasiun, halte Trans Jakarta atau metromini, taksi dan berbagai kendaraan lainnya, untuk pulang ke rumah masing-masing. Tidak dipungkiri, semakin hari semakin deras arus perempuan memasuki ruang-ruang publik. Era reformasi memungkinkan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan sama seperti laki-laki. Untuk kelas menengahnya kita bisa melihat barisan perempuan kaki besi di perkantoran Jakarta, untuk kelas bawah kita bisa berjalan ke pinggir, mengalihkan pandangan kita ke kota-kota penunjang yang menjadi kawasan-kawasan pabrik seperti Bekasi, Cibinong, Tangerang untuk melihat buruh-buruh pabrik perempuan bubaran pabrik[1] dan akibatnya, angkot berjejer berbagi lahan dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, yang membuat macet lalu lintas di sekitar. Pengusaha ternyata lebih menyukai perempuan untuk dipekerjakan, karena perempuan dinilai lebih ulet, tekun, dan mudah diatur, disamping untuk menjunjung kesetaraan gender[2]. Alasan lainnya mempekerjakan perempuan adalah karena perempuan mau dibayar murah. Jika mempekerjakan laki-laki berarti mempekerjakan kepala rumah tangga yang menanggung beban seluruh keluarga, berbeda halnya mempekerjakan perempuan yang dianggap hanya menanggung dirinya sendiri. Ketika mereka cuti hamil dan menyusui atau jika mereka single yang kemudian menikah, maka beban dan tanggung jawab akan dilimpahkan ke suami dan mereka akan mengundurkan diri, jadi perusahaan dengan mudah melepas mereka dan merekrut yang lebih baru dan mau dibayar murah. Perlahan tapi pasti, dan jika sejarah berjalan linier, akan timbul pergeseran di ruang publik dan privat. Beban ganda yang selama ini dilimpahkan pada perempuan akan mulai bergeser dan akan muncul pergeseran peran antara perempuan dan laki-laki di ruang publik dan privat. Tentu saja hal ini harus diamati betul oleh pemerintah dalam membuat kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan perbankan harus memperhitungkan posisi perempuan sebagai kepala rumah tangga. Pembelian rumah melalui KPR atas nama perempuan dan pinjaman ke bank atas nama perempuan harus dimungkinkan karena kini lebih banyak perempuan bekerja. Persoalan upah dan kontrak kerja di kalangan pegawai dan buruh perempuan yang kebanyakan berstatus pekerja kontrak harus diawasi dengan ketat karena telah dimulai pengambilalihan peran pencari nafkah sehingga hak-hak perempuan pekerja harus diperhatikan betul. Laki-laki sendiri bagaimana? Akibat dari feminisasi buruh, laki-laki apabila ia terdesak dan tidak lagi mendapat kesempatan untuk bekerja, maka ia harus mengalah masuk ruang privat, berperan sebagai bapak rumah tangga. Harus mau bertukar peran. Karena apabila perempuan dibuat untuk menjadi superwomen, maka merujuk pada teori The Selfish Genes dari Dawkins, gen laki-laki tidak akan sintas karena dianggap lemah. Maka laki-laki, bisa saja punah. Acara televisi tentang masak-masak misalnya, dulu ada Rudi Chairuddin dan Bara Patiradjawane, sekarang Farah Quinn dan Marinka menjadi ikon masak memasak. Bukan, ini bukan gerakan feminisasi tapi justru efek dari feminisasi ruang publik. Penonton acara masak memasak tidak lagi para perempuan tetapi para pria sehingga televisi pun harus memberikan pengisi acara yang menarik bagi pemirsanya. Kemudian, jika laki-laki berada di ruang privat, akankah mereka rentan terhadap kekerasan? Mungkin hal ini dapat terjadi jika perempuannya yang justru bersikap patriarkis. Bila demikian yang terjadi, maka kita hanya bertukar peran akibat gerakan feminisme tetapi tidak mencabut patriarki dari tempatnya bernaung. Dengan kata lain perempuan berhasil memasuki ruang publik tapi justru perempuan melakukan pelecehan terhadap laki-laki karenanya. Dalam situasi demikian, sesungguhnya patriarki masih bersemayam dalam tubuh kita. Catatan Belakang: [1] Bubaran Pabrik adalah istilah yang dipakai penduduk setempat untuk menjelasakan kemacetan akibat jam pulang buruh. [2] Istilah menjunjung kesetaraan gender dengan konotasi negatif menjadi lazim digunakan para pengusaha untuk mengemukakan alasannya lebih menyukai merekrut perempuan sebagai pegawai dibandingkan laki-laki. Satu bulan sudah saya menjejaki dunia sebagai manusia mandiri. Dunia di mana setiap manusia khususnya perempuan harus menempati status sosial yang dikekalkan di masyarakat. Kebebasan seorang perempuan harus terbatasi oleh aturan masyarakat, perempuan lajang dilarang berjalan sendirian, dilarang untuk keluar malam dengan atau tanpa laki-laki. Perempuan penuh mitos yang membelenggu, dimanakah harus saya taruh kemerdekaan berpikir dan berkreasi? Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan dalam aktivitas organisasi. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin dan ini berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinasi dapat terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari pemahaman gender yang minim. Saya pernah menemukan kasus tentang salah satu calon anggota DPRD Kab. Banyumas yang tidak bisa memenangkan pemilihan legislatif karena dia lebih dikenal dengan nama suaminya. Saat dirinya menjajaki kursi pileg hanya sedikit saja orang yang mengenalnya sebagai “perempuan merdeka”. Fenomena lain yang saya temui adalah ayah saya sebagai Pegawai Negeri Sipil menuntut ibu saya untuk menenggelamkan nama pemberian orang tuanya. Latar belakang ibu yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan populer karena suami yang memiliki peran kuat di masyarakat maupun organisasi, memaksanya dikenal dengan nama suami, bukan namanya sendiri. *** Tentang organisasi Dharma Wanita, Dharma Wanita Persatuan adalah organisasi kemasyarakatan yang menghimpun dan membina istri Pegawai Negeri Sipil RI dengan kegiatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial budaya serta tidak terkait dengan kekuatan politik manapun, tetapi hak berpolitik anggota tetap dihormati. Secara garis besar, tujuan organisasi Dharma Wanita adalah mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota untuk mendukung tercapainya tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kegiatan yang dilaksanakan Dharma wanita persatuan diarahkan untuk: (a) Mengutamakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari pengurus dan anggota; (b) Memilih kegiatan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kesempatan organisasi; (c) Dalam melaksanakan kegiatan mendahulukan yang penting sesuai dengan skala prioritas; (d) Mengutamakan kualitas penanganannya daripada kualitas yang ditangani, serta diupayakan secara tuntas; (e) Menjaga citra yang baik sebagai istri pendamping aparat pemerintah di tengah masyarakat yang dinamis. Sedangkan fungsinya adalah sebagai wadah untuk melakukan pembinaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok organisasi. Di samping tugas dan fungsi pokok yang ada di dalam kelompok organisasi dharma wanita persatuan, organisasi tersebut juga memiliki tujuan yaitu mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota guna mendukung tercapainya tujuan nasional. Wewenang pengurus organisasi Dharma Wanita adalah (1) Menetapkan kebijaksanaan teknis organisasi berdasarkan hasil musyawarah nasional, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan juga kebijaksanaan organisasi satu tingkat diatasnya; (2) Mengesahkan organisasi, pengurus dan atau ketua satu tingkat dibawahnya; (3) Melaksanakan pembinaan organisasi pada unsur pelaksana di lingkunganya; (4) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh unsur pelaksana di lingkungannya; (5) Melaksanakan program dan kegiatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada organisasi satu tingkat di atasnya. Kewenangan anggota hanya sebatas kewenangan normatif yang harus dipatuhi. Sepanjang perjalanannya, organisasi dharma wanita hanya memiliki kegiatan yang monoton dan tidak inovatif. Tidak ada isu keperempuanan yang dibahas di dalamnya, padahal harapannya organisasi ini bisa mencegah istri dari tindakan kekerasan yang barangkali dialaminya dalam keluarga. Peran sebagai istri para pejabat pemerintahan akan membawa mereka pada arus identitas patriarki. Secakap apapun istri seorang PNS golongan II tidak akan menjadikannya sebagai ketua dharma wanita di salah satu instansi. Sebaliknya istri seorang pejabat Eselon II yang tidak memiliki kemampuan memimpin organisasi, siap tidak siap, mau tidak mau harus mau menjadi ketua dharma wanita. Dengan menyandang nama suaminya, istri seorang pejabat tersebut mendapatkan kehormatan lebih dan mendapatkan “fasilitas sosial” yang lebih baik. Jadi, jangan heran jika kegiatan dharma wanita yang sering terlihat hanya arisan, studi banding, dan seminar kecantikan. Penyadaran akan pentingnya memaksimalkan kegiatan dharma wanita selain kegiatan di atas seharusnya menjadi perhatian para pegiat gender dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Fenomena yang sering terjadi hari ini adalah bagaimana peran dan fungsi seorang ibu atau istri rumah tangga dianggap lebih rendah dari peran ayah atau suami yang bekerja dan mendapatkan upah secara materiil dan dianggap sebagai titik ukur dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Anggapan atas keistimewaan laki-laki sebagai pemilik kuasa tertinggi sebagai seorang pencari nafkah inilah yang kemudian menimbulkan penyingkiran kerja perempuan baik sebagai istri atau ibu. Bahwa kerja perempuan dalam relasi keluarga dianggap sebagai peran kedua karena fungsi domestik yang dijalankannya tidak mendapatkan upah atau gaji secara materiil seperti halnya laki-laki. Aktivitas perempuan dalam sektor domestik pada organisasi binaan seperti Dharma wanita seharusnya mulai dibenahi secepat mungkin agar kehebatan seorang perempuan dapat terwadahi dengan baik. *** Saya selalu mendengar di setiap pertemuan dharma wanita yang mengungkapkan bahwa laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan logika dari pada perasaan, sedangkan perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Sehingga tidak jarang, perempuan dianggap tidak dapat menjadi pemimpin atau menduduki suatu jabatan tertentu. Tetapi pernahkah Anda mempertanyakan dalil atau dasar ungkapan tersebut? Dapatkah dibuktikan secara ilmiah? Tidakkah ungkapan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah itu mengakibatkan diskriminasi dan ketidakadilan? Saya rasa ungkapan semacam itu sudah seharusnya dimasukkan dalam keranjang sampah, bukan hanya karena tidak ada pembuktian ilmiah, tetapi juga akan menimbulkan bentuk-bentuk ketidakadilan dan pembatasan hak-hak tertentu pada salah satu pihak, yaitu perempuan. Kondisi perempuan dalam organisasi yang terkungkung dalam beban identitas patriarki membuat saya semakin gerah, kenapa? Karena perempuan tidak dapat melakukan suatu hal tanpa mendapat izin suaminya, walaupun hal tersebut baik untuk kesejahteraan keluarganya. Saya amat meyakini bahwa perempuan-perempuan yang bergerak pada sektor domestik merupakan nuklir dahsyat bagi negeri ini. Melihat posisi perempuan pada organisasi Dharma Wanita yang saya temui selama ini membentuk anggapan bahwa perempuan dapat saling menjatuhkan. Sehebat apapun seorang perempuan, jika mereka merupakan istri seorang yang tidak memiliki kehebatan sosial maka tidak akan hebat pula kariernya di ranah sosial. Ini juga akan memengaruhi konsepsi akan perannya di masyarakat, pemikirannya selalu berasal dari keputusan suaminya. Peran perempuan di sebuah organisasi binaan seperti Dharma Wanita belum dapat dikatakan sebagai tindakan yang memberdayakan secara maksimal. Penguasaan dan dominasi masih sangat dipengaruhi oleh peran domestiknya. Maka diperlukan sebuah penyadaran dan kesadaran perempuan sebagai individu untuk berusaha membebaskan dirinya dari identitas patriarki yang kuat. Sebagaimana dikatakan Soekarno, “Dan kamu, wanita Indonesia, achirnja nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saja memberi peringatan kepada kaum laki-laki untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perdjoeangan, tetapi kamu sendiri harus mendjadi sadar, kamu sendiri harus terdjun mutlak dalam perdjoeangan”. Sebagai narasumber dalam diskusi yang dihelat Jejer Wadon bersama LPH YAPHI dengan tema “Perempuan dalam Politik Massa: Generasi 65, 98 dan Reformasi”, Mbah Arjo Sutiyem (94) adalah sosok perempuan yang mampu membuat peserta terbelalak ketika melihat dan mendengar beliau menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi aktivis di tahun 1951-1965 di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pada masanya, Mbah Arjo Sutiyem adalah sosok perempuan biasa yang sehari-hari adalah seorang petani desa dan penjual sirih. Dalam penuturannya, ia pertama kali mengenal sebuah organisasi ketika menjual sirih di pasar desa Jatinom, Kecamatan Klaten Jawa Tengah. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ia melihat banyak perempuan di suatu rumah di Jatinom yang disangkanya sedang ada perkabungan, tetapi ternyata bukan, menurut penjelasan dari warga sekitar yang pada waktu itu berjalan dibelakangnya, keramaian tersebut adalah perkumpulan ibu-ibu yang sedang berdiskusi. Singkat cerita, dengan ajakan salah satu warga yang memberitahukan kegiatan perempuan-perempuan tersebut, akhirnya mbah Arjo Sutiyem ikut melihat dan mendengarkan apa yang didiskusikan dalam perkumpulan tersebut. Ternyata perkumpulan tersebut adalah perkumpulan perempuan yang diberi nama GERWIS (Gerakan Wanita Istri Sedar). GERWIS adalah salah satu organisasi gerakan perempuan yang memperjuangkan pembagian hak waris yang sama antara perempuan dan laki-laki, anti poligami, anti poliandri dan pro monogami. Tertarik dengan isu yang diperjuangkan, mbah Arjo Sutiyem memutuskan untuk bergabung dalam organisasi Gerwis di desa Jatinom. Secara diam-diam apa yang didapat dari perkumpulan organisasi tersebut ditindaklanjutinya dengan memberikan penyadaran kepada perempuan khususnya bagi para istri-istri tentang pentingnya menolak poligami, poliandri dan menuntut hak yang sama atas hak waris di wilayah tempat tinggalnya. Pada awal penyadaran kepada perempuan-perempuan, terdapat 10 perempuan di dusunnya yang sepakat dengan apa yang ia sampaikan dan lakukan. Kemudian agar itu menjadi kepedulian bersama akhirnya 10 orang tersebut dibagi menjadi 5 kelompok untuk bertugas memberikan penyadaran di dusun-dusun lain sampai pada akhirnya para perempuan di desanya sadar akan hak dan posisi nasibnya pada waktu itu sehingga mbah Arjo Sutiyem bersama perempuan yang lain mendeklarasikan cabang GERWIS di Musuk, Boyolali pada tanggal 2 Februari 1952 dan posisi beliau menjadi Ketua GERWIS. Maju dan tumbuhnya organisasi GERWIS dengan baik di Musuk, Boyolali tidak bisa dilepaskan dari organisasi GERWIS di wilayah lain khususnya di Jatinom Klaten. Ketika pada tahun 1954 GERWIS Cabang Klaten berubah nama menjadi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), GERWIS di Musuk Boyolali juga menjadi oraganisasi GERWANI. Dalam gerakannya, GERWANI selalu melebarkan sayapnya ke desa-desa lain hingga mencapai 20 desa di Kabupaten Boyolali. Sebagai inisiator dan penggerak, mbah Arjo Sutiyem selalu berada pada posisi yang strategis, beliau menjabat sebagai ketua bidang keorganisasian GERWANI di Kabupaten Boyolali. Dengan posisi tersebut, mbah Arjo Sutiyem bersama perempuan-perempuan lain mulai meningkatkan kampanye dan memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu juga melakukan gerakan pengentasan buta huruf dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan yang belum bisa membaca. Dan untuk keberlangsungan organisasi, perempuan-perempuan yang tergabung dalam GERWANI setiap bulan melakukan arisan dan iuran wajib untuk mendanai segala aktivitasnya. Pada tahun 1957 GERWANI melakukan re-organisasi dan pada waktu itu pula mbah Arjo Sutiyem tidak memegang jabatan dalam struktur organisasi. Meskipun demikian, beliau selalu aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan organisasi. Mulai dari peralihan pimpinan nasional dari presiden Soekarno ke presiden Soeharto, kemunculan berbagai organisasi di masyarakat hingga munculnya paham komunis, memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi beliau dan perempuan-perempuan lain dalam gerakannya. Pada tahun 1965 di bawah pimpinan presiden Soeharto, aktivis-aktivis yang dianggap sebagai penganut paham komunis diangkut bersama-sama, kemudian dibunuh dan dikubur secara massal. Pada waktu itu mbah Arjo Sutiyem adalah salah satu korbannya, tapi ia tidak sampai dibunuh. Ia mengisahkan, pada waktu itu terdapat 19 laki-laki yang dianggap menganut paham komunis yang diangkut dan dibawa ke salah satu hutan di lereng Gunung Merapi, dan dari 19 orang tersebut, satu diantaranya meninggal terlebih dahulu sehingga tinggal 18 orang yang pada waktu itu dilucuti dan dijemur di bawah terik matahari. Mbah Arjo Sutiyem yang pada waktu itu sudah tidak menjabat dalam organisasi GERWANI ikut diangkut dan diserahkan ke tentara oleh saudaranya sendiri karena dianggap sebagai salah satu perempuan yang aktif dan membahayakan. Dalam penahanan beliau mendapat perlakuan yang sama dengan para tahanan yang lain. Pakaiannya dilucuti sampai tidak ada satu helai pun kain di tubuhnya. Ia masih merasa beruntung karena rambutnya panjang jadi dapat menutupi kemaluannya sehingga tidak dapat dilihat oleh tahanan laki-laki. Sampai tiba pada waktunya, 18 tahanan tersebut dibawa ke salah satu tempat yang sudah digali menjadi lubang yang cukup besar dan mereka dibunuh dengan senapan kemudian dikubur di dalamnya. Tersisa satu orang yaitu mbah Arjo Sutiyem, ketika akan dibunuh muncul percakapan diantara dua tentara yang akan mengeksekusi, berikut kutipannya: Tentara 1: ”Apa orang yang sudah tua (Arjo Sutiyem) ini juga akan kamu bunuh?” Tentara 2: “ini kalau tidak saya bunuh akan membahayakan.” Tentara 1: ”Sudah dia dibiarkan saja, nanti lama-kelamaan juga mati sendiri.” Dari percakapan tersebut, akhirnya mbah Arjo Sutiyem dibuang di dapur umum. Selama di dapur umum setiap hari ia ditodong dan diintimidasi dengan kata-kata “Ini apa..ini apa, kamu tahu nggak ini buat,…apa…ini bisa buat mati kamu…” ungkap seorang tentara yang menodongkan pistol ke kepalanya saat dalam pembuangan. Kemudian datanglah seorang tentara yang menawarkan pembebasan dirinya tapi dengan sebuah syarat, berikut kutipan percakapannya: Tentara: “Kamu mau bebas?” Mbah Arjo: ” Iya.” Tentara: “Kamu saya bebaskan, tapi kalau ada perkumpulan-perkumpulan kamu langsung laporkan ke saya.” Mbah Arjo: ”Jarak rumah dengan sini kan jauh pak, harus menempuh waktu 3 jam, nanti kalau saya lapor, kumpulan pasti sudah bubar.” Tentara: “Ya sudah, kamu menjadi pedagang keliling saja, nanti kalau ada aktivitas-aktivitas di masyarakat, kamu laporkan.” Mbah Arjo: “Orang mengenal saya bukan sebagai seorang pedagang keliling, jadi kalau saya tiba-tiba jadi pedagang keliling, pasti dia akan mencurigai saya.” Tentara: “Ya sudah kamu saya lepaskan, tapi kamu datangi keluarga dan kerabat-kerabatmu, tapi setiap satu minggu kamu laporan ke sini.” Mbah Arjo: “Iya pak, saya akan laksanakan.” Apa yang disampaikan mbah Arjo Sutiyem diakhir kutipan wawancara tersebut beliau lakukan dan setiap satu minggu ia laporan, tapi ia tidak menginformasikan apa-apa. Yang ia sampaikan adalah bahwa beliau sekadar bersilaturahmi layaknya keluarga tanpa ada perbincangan yang lebih. Satu minggu kemudian suami mbah Arjo yang waktu itu juga aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia) meninggal dengan gantung diri. Sepeninggal suaminya, mbah Arjo mendapat kebebasan yang tak bersyarat. Meskipun demikian kebebasannya ternyata tidak diiringi dengan penerimaan masyarakat khususnya kaum perempuan pada waktu itu. Beliau mendapat caci maki dan intimidasi dari berbagai kalangan baik dalam bentuk perkataan maupun dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia memandang selama dalam penahanan telah terjadi indoktrinasi besar-besaran. Hal tersebut terlihat dari perubahan sikap teman-teman perempuannya yang awalnya baik dan ramah kemudian memusuhi dan mengasingkannya. Kondisi tersebut dipertegas dengan dihilangkannya organisasi-organisasi perempuan dan diganti dengan PKK dan DHARMA WANITA. Sampai pada suatu ketika beliau bertemu dengan salah satu tokoh masyarakat yang menawarkan sesuatu kepadanya, yaitu jika dirinya ingin selamat dan hidup tenteram, maka diminta untuk tutup telinga, mata dan mulut serta diminta untuk memilih partai GOLKAR (Golongan Karya) dengan simbol pohon beringin. Menurutnya, itulah awal keterputusan generasi dalam gerakan perempuan Indonesia. Pembungkaman Gerakan Perempuan Melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pemerintah orde baru yang dipimpin Soeharto mampu membungkam perempuan selama 32 tahun. Melalui 10 pokok program kerja PKK, perempuan disibukkan dengan kerja-kerja domestik seperti mengurus anak, memasak, menjaga kebersihan lingkungan dll. Doktrin pemerintah orde baru telah masuk ke alam bawah sadar generasi-generasi berikutnya, khususnya perempuan. Kita bisa membandingkan misalnya, sebelum orde baru perempuan bebas mengekspresikan dirinya dengan berorganisasi dan terbiasa pulang malam, tapi sekarang perempuan pulang malam justru mendapat label sebagai perempuan tidak baik oleh masyarakat. Dalam urusan domestik, dulu sebelum orde baru, ini merupakan pekerjaan bersama baik perempuan maupun laki-laki, tetapi sekarang lebih cenderung menjadi pekerjaan perempuan. Dan jika seorang perempuan sudah berkeluarga, maka ia mempunyai kewajiban mutlak untuk mengurus anak dan urusan domestik, sehingga ketika perempuan menjadi pekerja di ranah publik, dia pun juga harus menyelesaikan pekerjaan domestik terlebih dahulu. Bahkan ketika tidak diminta oleh suami, istri merasa bahwa urusan domestik adalah urusan utamanya sebelum berangkat kerja atau aktif di ruang publik. Sehingga menjadi hal yang terlihat lumrah bahwa banyak perempuan yang berhasil dalam bidang akademis namun kemudian hilang perannya ketika harus masuk dalam kehidupan rumah tangga. Meskipun sekarang muncul organisasi-organisasi perempuan yang bertebaran hampir di penjuru wilayah di Indonesia, tapi organisasi-organisasi tersebut seakan kehilangan ruhnya. Sebelum orde baru berkuasa, organisasi perempuan menjadi sebuah gerakan yang dalam aktivitasnya dibarengi dengan pendidikan politik kepada masyarakat khususnya perempuan, sehingga perempuan sadar akan hak-haknya dan mereka merasa memiliki nasib yang sama. Akan tetapi organisasi-organisasi perempuan yang ada sekarang justru cenderung hadir sebagai tuntutan proyek dan berjalan sendiri-sendiri tanpa diiringi dengan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya perempuan. Perjuangan mbah Arjo Sutiyem serasa menjadi sia-sia ketika semuanya dimatikan oleh makhluk yang namanya orde baru. Karena itu penting rasanya kita tahu dan mencari fakta sejarah yang selama ini dihilangkan. Dan akan lebih berarti jika kita mampu menumbuhkan rasa kepedulian pada diri kita dan menumbuhkan kepedulian itu kepada orang lain atas kondisi bangsa yang tidak menentu. Yulianti Muthmainnah (Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah) [email protected] Kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan bagian dari memorialisasi bangsa. Atas tuntutan masyarakat sipil, terutama kelompok perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara atas berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 dan diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Enam belas tahun menjalankan mandat menciptakan situasi kondusif bagi penghapusan pelbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan telah menempatkan Komnas Perempuan sebagai role model lembaga nasional hak asasi manusia/LNHAM di tingkat internasional yang memiliki mandat spesifik. Begitu signifikannya peranan Komnas Perempuan, Navanethem Pillay (Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB) mengatakan, “Saya terkesan pada kekuatan dan keteguhan Komnas Perempuan yang bekerja dengan aktif melindungi hak perempuan, lembaga ini adalah vital untuk melindungi hak di Indonesia” saat kunjungan resminya ke Indonesia tahun 2012. Landasan kerja Komnas Perempuan yakni Konstitusi UUD 1945, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT), dan Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993. Ruang lingkup kerja Komnas Perempuan mulai dari tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional, tidak memiliki kantor perwakilan daerah, dan dijalankan oleh 15 Komisioner dan Badan Pekerja. Siapa Layak? Komisioner periode 2010–2014 telah selesai menjabat. Pada 13 Agustus lalu, para calon komisioner telah menjalani uji publik. Sebagai rangkaian mekanisme memilih komisioner yang transparan dan akuntabel, uji publik dimaksudkan agar masyarakat luas dapat secara langsung berdialog, menilai visi misi, dan merekomendasikan atau tidak para calon. Dari 79 calon yang mendaftar, 45 orang dinyatakan layak mengikuti uji publik. Setelah uji publik, wawancara mendalam dengan lima orang tim independen untuk menjaring 30 bakal calon yang kemudian akan diserahkan ke Sidang Paripurna Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan memang bukan manusia setengah dewa yang multi talent. Tetapi, perspektif adil gender, keberpihakan pada kelompok minoritas dan marginal, bebas bias kelas dan pengalaman berjibaku dengan isu dan perjuangan hak asasi perempuan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi. Mereka juga dituntut bekerja secara independen, bebas dari kepentingan politik/pasar tertentu, mencerminkan pluralitas dalam setiap mekanisme kerja dan komposisi anggota. Sejumlah masalah utama kerap dihadapi Komnas Perempuan, seperti varian dan angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, dikategorikannya LNHAM—atau ditingkat internasional dikenal dengan sebutan National Human Rights Institution (NHRI)--sebagai lembaga ad hoc, ide dileburnya LNHAM (Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan KPAI) dan dikelompokkannya LNHAM dalam lembaga non struktural (LNS), tata kelola administrasi dan keuangan yang belum mencerminkan perlindungan untuk saksi dan korban kekerasan karena menggunakan mekanisme dan standar pelaporan dana negara yang rigid dan detail menyebutkan nama dan alamat, serta pemahaman publik yang beragam tentang LNHAM. Tanggung Jawab Bersama Sebuah negara yang demokratis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM mensyaratkan adanya NHRI yang bertugas memantau implementasi HAM, memastikan tidak terjadi pelanggaran HAM, berfungsi sebagai koreksional, check and balance, dan memberikan rekomendasi pada pemerintah terkait pemenuhan HAM oleh negara. Ide pembentukan NHRI sudah dimulai sejak tahun 1946, oleh PBB, NHRI ibarat teman dekat yang berskala nasional. Prinsip-prinsip Paris 1991 (Paris’s principles) serta International Coordinating NHRI Committee (ICC) menyebutkan bahwa NHRI/LNHAM tidaklah bersifat ad hoc melainkan sebagai lembaga negara yang permanen dan independen. Hal ini karena tidaklah mungkin negara bisa memantau dirinya sendiri secara objektif, bahkan kadangkala negara berpotensi menjadi pelaku pelanggaran HAM, sehingga dibutuhkan lembaga yang dapat memberikan penilaian pada pelanggaran-pelanggaran atau pengabaian pemenuhan HAM yang dilakukan oleh personil negara baik secara individu maupun sebagai lembaga. Pemikiran bahwa NHRI/LNHAM adalah lembaga ad hoc kemungkinan dikarenakan penggunaan kata “komisi” sebagai nama institusi tersebut. Padahal tidak ada acuan atau standar baku untuk menamai NHRI/LNHAM. Penamaan di berbagai negara sangatlah beragam, ada yang menyebut sebagai Commission, Ombudsment, Institution ataupun lembaga nasional HAM seperti di Indonesia. Nama biasanya tergantung dari region, tradisi yang berkembang atau bahkan situasi umum yang berlaku, yang terpenting adalah mandat yang dimiliki. Menjaring calon komisioner Komnas Perempuan ibarat menambang emas dalam campuran pasir kerikil. Artinya, komisioner terpilih adalah orang-orang yang sudah tahu akan melakukan apa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan bukanlah orang-orang yang masih harus belajar. Untuk itulah, kepada tim independen dan anggota sidang paripurna diharapkan dapat menentukan komisioner yang tepat untuk menjabat. Nadya Karima (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) [email protected] Ketika melintasi terowongan Casablanca. Banyak dari kita mengikuti anjuran mitos yang ada, membunyikan klakson. Seakan-akan kita takut pada kuntilanak merah yang akan melintas. Modernisasi berusaha menerjemahkan mitos-mitos menjadi logos (ilmu pengetahuan), melalui tulisan ini mari kita mencoba membedah mengapa kuntilanak menjadi ikon hantu yang ditakuti oleh banyak orang dan muncul sebagai bintang film di film horor indonesia. Kuntilanak, secara fisik pada umumnya memiliki rambut panjang hitam menjuntai, berpakaian putih dan punya suara tawa yang khas. Kuntilanak adalah perempuan. Kuntilanak adalah perempuan yang menjadi korban perkosaan dan meninggal dengan janin dalam kandungannya serta menakut-nakuti kaum pria untuk membalas dendam karena tidak bertanggung jawab telah memerkosa dan menghamilinya. Mengapa kuntilanak bisa menjadi hantu dan meneror warga? Karena kuntilanak tidak diberikan kesempatan berbicara atas apa yang telah menimpa dirinya. Kuntilanak semasa hidupnya dituduh perempuan muda yang menggoda sehingga ia diperkosa. Padahal apakah benar kuntilanak menggoda atau memang para lelaki ini tidak bisa menjaga pikirannya untuk memiliki tubuh perempuan? Hingga perkosaan terjadi dan kuntilanak hamil pun tetap ia yang disalahkan. Sampai mati pun, ia diberikan imaji sosok yang menakutkan dan tertawa pilu. Kuntilanak adalah perempuan yang terviktimisasi. Merujuk pada istilah yang digunakan oleh ilmu kriminologi, viktimisasi adalah keadaan menyalahkan korban atas kerugian yang ia derita (biasanya perkosaan). Viktimisasi rentan terjadi pada kasus perkosaan. Seringkali masyarakat menyalahkan korban perkosaan yang dianggap berpakaian terlalu seksi dan memancing berahi pemerkosa, atau korban pemerkosaan yang pulang malam sehingga diperkosa, atau korban perkosaan adalah wanita penggoda karena diasosiasikan hawa adalah penggoda yang membuat adam terusir ke bumi. Menurut data korban perkosaan dari Rifka Annisa Women’s Center tahun 2004, korban perkosaan bisa siapa saja, berdasarkan umur termuda berumur satu tahun hingga 70tahun. Dari data tersebut kita tidak bisa memberi kesimpulan bahwa perempuan muda dan cantik rentan diperkosa. Viktimisasi terhadap korban perkosaan membuat korban bungkam karena disalahkan akibat kerugian yang menimpa dirinya. Dan kuntilanak, hanya bisa tertawa yang sebenarnya merupakan ironi dari kepedihannya sebagai korban perkosaan tapi justru tidak bisa membela diri dan bercerita tentang apa yang dia rasakan. Kuntilanak malah dicap buruk oleh masyarakat dan menjadi hantu. Dan kita, masyarakat yang melakukan viktimisasi, ketakutan atas eksistensi kuntilanak. Perempuan-perempuan korban viktimisasi ini tidak mampu berbicara akan apa yang menimpa dirinya, sehingga ia hanya bisa membalas dendam terhadap apa yang telah terjadi padanya. Dan pelekatan imaji menyeramkan juga terjadi karena korban dibungkam oleh rasa takut dan bersalah sehingga muncul pemikiran ”dendam kuntilanak”. Sebenarnya, kuntilanak ini hanya perlu didengarkan, dan berhentilah menghakimi korban perkosaan dengan asumsi perempuan tidak baik yang rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Kita lebih takut terhadap dendam kuntilanak, bukan pada asumsi dan konstruksi terhadap tubuh perempuan. Perempuan lebih mudah diasosiasikan pada hal yang berbau jelek dan buruk sehingga hantu perempuan terkadang lebih jahat, hanya mengincar pria-pria yang dulu menyakiti dirinya, memperkosa dia hingga menjadi hantu. Para feminis posmodern atau feminisme gelombang ketiga menolak keberpihakan terhadap kasus perkosaan melainkan bersikap. Bagaimana kita yang sudah masuk era posmodern ini memaknai kasus perkosaan dan menolak viktimisasi perempuan terhadap kasus yang menyangkut seksualitas. Perempuan harus mampu menuliskan pengalaman kebertubuhannya. Seperti yang digencarkan oleh Julia Kristeva dan Luce Irigaray. Perempuan dan laki-laki memiliki alat kelamin yang berbeda secara biologis, maka pengalaman kebertubuhannya pun sudah pasti berbeda. Sayangnya, sistem patriarki membuat akses perempuan pada tubuhnya sendiri terabjeksi. Perempuan dijauhkan dengan tubuhnya karena perempuan harus tetap pada labelnya sebagai perempuan baik-baik. Padahal, ketidaktahuan perempuan tentang tubuhnya yang membuat perempuan rentan terhadap pelecehan seksual. Perkosaan terjadi akibat adanya relasi kuasa. Dengan memahami dan mengenal tubuh kita sendiri, kita bisa menguasai tubuh kita, sehingga kita mampu memahami dan menggunakan kuasa kita atas tubuh kita sendiri. Dekonstruksi terhadap posisi perempuan yang subordinat dari laki-laki bisa dilakukan. Hal ini dapat menghilangkan relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya perkosaan. Kolonisasi tubuh perempuan. Perempuan harus mampu menguasai tubuhnya, mematahkan patriarki untuk menghapus relasi kuasa. Sehingga tidak ada lagi kuntilanak yang tertawa pilu. Catatan: Tulisan ini terinspirasi oleh The Power of Horror karya Julia Kristeva yang membahas mitos Medusa. Sebelumnya juga ada novel karangan Toety Heraty penulisan ulang karya sastra Calon Arang: Korban Patriarki. Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected] Kaum perempuan di Indonesia masih terbelenggu oleh nilai-nilai budaya yang masih melekat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pemahaman tentang keperempuanan di Indonesia banyak ragamnya tergantung pada suku, kelas sosial dan agama. Sebagian besar masyarakat berharap agar perempuan mampu menjadi ibu dan istri, itulah yang disebut sebagai perempuan utama. Tujuan perempuan dilahirkan ke dunia seakan-akan hanyalah untuk menikah dan merawat keluarga. Pandangan ini mengakibatkan hampir semua perempuan dipojokkan ke dalam urusan-urusan reproduksi dan domestik seperti menjaga rumah dan mengasuh anak. Bahwa keberhasilan dan kemampuan seorang perempuan selalu diukur dari keberhasilan mereka untuk mengelola rumah tangga. Kodrat perempuan seringkali disebut sebagai pembenaran atas perbedaan tugas laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai “konco wingking” dimana peran pengambilan keputusan perempuan hanya terpenjara pada ranah privat/keluarga. Bahkan dalam sistem budaya jawa menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Perempuan berada dalam posisi sulit untuk menemukan jati dirinya bahkan tidak berani untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Mereka menjadi terikat secara sistemik sehingga semakin terpenjara di dunia yang tidak merangsang pertumbuhan kepribadiannya. Konsep ibu rumah tangga sebagai penanggung jawab urusan keluarga yang dibawa ke dalam ranah publik mampu memengaruhi cara pandang dan sikap sosial masyarakat terhadap perempuan. Perempuan didoktrin bahwa mereka bekerja layaknya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apalagi kekuasaan. Setinggi apapun posisi mereka, tetap saja kedudukannya lebih rendah dibandingkan laki-laki. Mitos tentang perempuan memang terasa melekat erat dalam diri perempuan, sehingga menekan ruang geraknya agar tidak bergerak terlalu berlebih. Setiap tindakan perempuan yang dianggap progresif hampir selalu menuai kritik. Bahkan masyarakat Jawa mengatakannya sebagai sesuatu hal yang saru atau tabu, sehingga perempuan dianggap tidak patut jika melanggar konsensus sosial itu dan dipandang menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di sisi lain, perempuan diklaim untuk turut berperan serta memajukan pembangunan bangsa. Peran ganda perempuan disebut-sebut sebagai justifikasi bahwa selain mengurus rumah, perempuan juga berkewajiban untuk berkiprah aktif dalam pembangunan. Peran mereka di ranah publik tidak serta merta mampu melepaskan tanggung jawabnya terhadap rumah tangga. Di satu sisi perempuan dituntut aktif dalam pembangunan, namun di sisi lain perempuan terikat oleh nilai-nilai tradisional yang masih diyakini oleh masyarakat. Peran perempuan di ranah publik untuk berorganisasi pun masih mengikuti budaya “ikut suami”. Organisasi Dharma Wanita, Organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Persatuan Istri Anggota Dewan, Bhayangkari, dan organisasi perempuan lainnya cenderung menguatkan peran laki-laki dan tidak terlepas dari perannya untuk keluarga. Semakin tinggi posisi ataupun status sosial istri dalam sebuah organisasi, akan turut menyumbang peningkatan status suami di ranah publik. Kebebasan ruang gerak perempuan di ranah publik apalagi politik sejatinya merupakan kebebasan semu. Perempuan seakan-akan telah memiliki “pagar” yang tidak boleh dilanggar atas kodratnya sebagai perempuan. Mereka dikondisikan patuh atas pembatasan itu dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Konstruksi sosial masyarakat memberikan cara pandang yang berbeda terhadap sosok perempuan. Pertama, agama-agama di dunia memiliki pembatasan atas tubuh perempuan. Perempuan dianggap kurang mempunyai kemampuan berpikir yang memadai sehingga perlu untuk selalu didampingi, dididik bahkan dilindungi. Kedua, perempuan diyakini memiliki kelemahan fisik yang bersumber dari kemampuan reproduksinya. Sesungguhnya perempuan memiliki kelebihan biologis dibandingkan laki-laki akan tetapi dalam konsep sosial masyarakat kelebihan ini dipandang sebagai kelemahan perempuan. Ketiga, perbedaan derajat sosial budaya. Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan seakan-akan sudah menjadi akar sejarah panjang dan mendarah daging. Perempuan selalu ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas kedua) atau pun jenis kelamin kedua yang berada di bawah superioritas kaum laki-laki. Keempat, sejarah tidak berpihak pada perempuan. Kisah Adam dan Hawa membawa perempuan dalam sebuah tarikan sejarah panjang. Dari awal kisah itu bermula, perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan kerusakan. Perempuan dianggap sebagai manusia penggoda yang mengakibatkan Adam turun ke bumi setelah tergoda untuk memakan buah terlarang. Sejak saat itu, kemana pun perempuan pergi semestinya didampingi, dilindungi dan dibimbing agar tidak “menggoda” manusia lain. Kelima, perbedaan perspektif. Dikotomi pembedaan laki-laki berperan dalam ranah publik dan perempuan dalam ranah privat membawa perempuan semakin terpenjara di rumah. Mereka akan merasa bersalah apabila meninggalkan keluarga ataupun melepaskan tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga. Beberapa poin di atas sedikit banyak ikut menyumbang cara pandang masyarakat terhadap perempuan. Konsep pemaknaan perempuan yang diwacanakan terus-menerus di dalam kehidupan sosial masyarakat itulah yang memunculkan alasan mengapa perempuan tidak pantas memasuki dunia politik. Dalam perkembangan peradaban manusia, rasionalitas modern berusaha membawa masyarakat menuju abad pencerahan dimana manusia mampu melepaskan mitos dan berpijak pada logos menuju emansipasi pengetahuan. Perkembangan pola berpikir manusia telah mengubah pandangan tentang perempuan. Semula perempuan hanya mengurus ranah domestik kini mulai berkembang ke ranah publik, terutama dalam berpolitik. Yulianti Muthmainnah (Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah) [email protected] Idul Adha, dikenal pula dengan Lebaran Haji atau hari raya kurban, akan segera tiba. Kurban selalu identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail melalui mimpi (al-ru’ya al-shadiqah/mimpi yang benar). Dialog antara ayah dan anak pun terjadi. Dengan berat hati dan penuh keikhlasan, Ibrahim, sang ayah menceritakan mimpinya pada sang anak. Ismail yang kala itu berusia antara enam sampai tujuh tahun, mengizinkan ayahnya menjalankan perintah Sang Khalik tanpa rasa ragu (QS. Ash-Shaffaat: 102). Dengan penuh ketakwaan, mereka pergi menuju Jabal Qurban (gunung kurban), membaringkan leher Ismail di atas sebuah batu dan pedang siap diayunkan untuk menjalankan perintahNya. Namun Allah berkehendak lain, Ismail diganti dengan seekor hewan. Sehingga Ibrahim tidaklah menyembelih Ismail tetapi seekor hewan (QS. Ash-Shaffaat: 103-107). Ismail adalah anak dari istri kedua Ibrahim, Siti Hajar. Ismail dan Hajar tinggal terpisah dari Ibrahim. Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Mekkah dengan beberapa potong roti dan sebuah guci berisikan air. Ketika Hajar kehabisan air dan makanan ia melihat air di arah timur yang ternyata hanya fatamorgana. Hajar pun berlarian antara bukit Sofa dan Marwah hingga tujuh kali, namun tak pula mendapatkan air. Ismail terus menangis. Ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah. Atas izin Allah, hentakan kaki Ismail mengeluarkan air. Hajar yang kegirangan berteriak “zami-zami”. Tempat ini kemudian dikenal dengan sumber mata air Zam-zam. Kisah Hajar menjadi salah satu ritual Ibadah Haji yakni berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah. Sedangkan kisah Ibrahim dan Ismail menjadi penanda sejarah kurban. Kurban merupakan ibadah dalam bentuk menyembelih hewan ternak. Penyembelihan hewan kurban adalah simbol mendekatkan diri pada Tuhan sebagai bentuk ketakwaan (QS. Al-Hajj: 36-37). Bagi umat muslim yang memiliki kelebihan harta maka hendaknya mereka menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya untuk orang-orang fakir miskin (QS. Al-Hajj: 36). Demikianlah kisah kurban selalu kita dengar setiap tahun dan berulang. Sebuah dialog antara Tuhan, Ibrahim, dan Ismail. Lantas dimanakah peran Siti Hajar, ibunda Ismail, dalam dialog di atas? Perempuan yang di(ter)hilangkan dalam sejarah kurban Siti Hajar mulanya budak perempuan yang dihadiahkan Raja Mesir kepada Ibrahim. Siti Sarah, istri pertama Ibrahim, berinisiatif mengizinkan Ibrahim menikahi Hajar dalam rangka mendapatkan keturunan karena Ibrahim telah berusia 100 tahun. Atas pernikahan itu, lahirlah Ismail. Sarah, perempuan tercantik kala itu, yang juga sangat mencintai Ibrahim merasa sedih melihat kemesraan mereka setiap saat. Allah pun memerintahkan Ibrahim membawa Hajar dan Ismail hijrah (berpindah) ke Mekkah dan meninggalkan mereka di sana. Hajar memang sempat bertanya mengapa ia harus pindah dan ditinggalkan, tetapi Hajar menerimanya. Mengorbankan kebahagiaan yang baru sebentar ia rasakan bersama Ibrahim atas nama menjalankan perintah Sang Khalik. Kerasnya kehidupan di Mekkah menjadi penanda pengorbanan Hajar membesarkan Ismail seorang diri, tanpa suami. Sedangkan di sisi lain, Ibrahim kembali pada Sarah yang melahirkan bayi bersama Ishaq (QS. Ash-Shaffaat: 112). Pengorbanan Hajar lainnya adalah ketika perintah kurban datang, Hajarlah yang mengasah pedang dan memastikan pedang tersebut benar-benar tajam agar tak menyakiti anak kesayangannya. Sebuah pengorbanan luar biasa dari tangan yang membesarkan Ismail selama tujuh tahun tanpa suami, tangan itu pula yang mengasah pedang. Selain Hajar, adakah pengorbanan Sarah? Sarah, atas permintaan Ibrahim, bersedia menjadikan dirinya sebagai saudara perempuan Ibrahim tatkala Raja Mesir menanyakan identitasnya. Karena jika ia mengaku sebagai istri Ibrahim, maka raja yang terkenal memiliki ratusan istri tanpa sungkan akan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim. Pengorbanan Sarah yang kedua adalah kesediaan dirinya dimadu. Sebuah pengorbanan luar biasa dari seorang perempuan yang mencintai pasangannya. Selain itu, karena pernikahan tersebut, secara otomatis Sarah memerdekakan Hajar dari status budak menjadi manusia merdeka (Ibnu Sahid As-Sundy dalam Samudra Cinta Sarah dan Ibrahim a.s). Akan tetapi, pengorbanan Sarah dan Hajar tak jua diperdengarkan dalam kisah kurban. Setiap tahun, para muballigh/penceramah hanya menyuarakan dialog antara Ibrahim dan Ismail. Hampir tak pernah saya mendengar kisah Sarah dan Hajar dikumandangkan. Mengapa history, bukan herstory? Hilangnya kisah Sarah dan Hajar dalam peringatan Hari Raya Kurban menjadi penanda tidak dianggapnya kisah perempuan dalam tiap sejarah manusia. Tak berlebihan kiranya jika Simone de Beauvoir menyebutkan perempuan sebagai second sex. Sebagai jenis kelamin kedua di dunia, tentu saja sejarah perempuan dianggap tidak perlu dibahas dan didengar. St. Sunardi dalam Mencari Profil Pendidikan Kritis mengisahkan bagaimana Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis di negara-negara Amerika Latin senantiasa menuliskan bait-bait manusia dengan kata “man”. Kata-kata ini yang kemudian ditentang Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen sebagai tanda menghilangkan sejarah perempuan, karena selalu mengidentifikasi manusia sebagai laki-laki. Perilaku ini yang tampaknya dilakukan sejarawan muslim ketika menulis dan menceritakan sejarah masa lalu dengan tokoh utama laki-laki, tanpa perempuan. Kesadaran akan pentingnya menyuarakan sejarah perempuan sebagai bagian dari sejarah manusia (perempuan dan laki-laki) menjadi titik tolak para sejarawan feminis mengubah persepsi kita tentang masa lalu. Maggie Humm dalam Ensiklopedia Feminism setidaknya menuliskan ada tiga pendekatan yang dilakukan sejarawan feminis yakni mendefinisikan kembali metode dan kategori—terutama konsep periodisasi, memfokuskan pada jenis kelamin bersamaan dengan analisa ras dan kelas sebagai cara mengidentifikasi ungkapan-ungkapan stereotip bagi perempuan dan terakhir mentransformasikan pemahaman kita mengenai perubahan sosial dan bagaimana lingkup domestik dan publik dibedakan. Dengan optimis, para feminis mengusulkan bahwa kebenaran subjektif sejarah kita akan membawa pada kesadaran perempuan secara kolektif. Atas desakan feminis, pendekatan itu diadopsi PBB. Preambul Piagam PBB versi awalnya menuliskan “equal rights among men” diubah menjadi “equal rights among men and women”. Demikian pula Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) mulanya mengonsepkan “all men” untuk menyebut semua manusia, diubah menjadi “all human being”. Lantas, apakah sejarawan muslim masih berkutat pada history tanpa mau membaca kembali bagaimana history itu muncul? Adakah niatan tulus untuk memosisikan perempuan dan laki-laki setara, sama-sama berkontribusi membangun sejarah? Bagaimana seandainya Sarah tak mendorong Ibrahim menikahi Hajar, atau Hajar yang enggan membesarkan Ismail, maka mungkin hingga kini tak kan ada sejarah kurban. Untuk itu, sekecil apapun perempuan menorehkan sejarah, saya meyakini itulah kontribusi terbaik perempuan bagi peradaban kita. Selamat Hari Raya Kurban. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |