Rosawati (Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan KNPI PK Kesambi Kota Cirebon) [email protected] Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, berdasarkan Instruksi ini maka setiap institusi pemerintah harus mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat, baik pada tahap perncanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya. Kemudian, INPRES ini ditindak lanjuti dengan keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Daerah, yang selanjutnya direvisi dan diganti dengan Peraturan Dalam Negeri No 67 Tahun 2011. Dengan dikeluarkannya Permendagri ini maka tidak ada alasan lagi bagi setiap daerah untuk mengabaikan pengarustamaan gender dalam pembangunannya. Sebagai ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang dilandasi oleh Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing tahun 1995 merupakan suatu lompatan besar pemerintah terhadap upaya penghapusan yang menuju pada kesetaraan gender di segala kehidupan. Landasan Aksi Beijing menyebutkan bahwa isu kesenjangan gender yang dialami perempuan ditengarai terjadi pada 12 bidang kehidupan perempuan yaitu gender dan kemiskinan, pendidikan, kesehatan (terutama reproduksi), ekonomi dan ketenagakerjaan, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, hak asasi perempuan, proses pengambilan keputusan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, lingkungan hidup, media dan anak perempuan. Sejalan dengan itu pula semakin banyak kebijakan yang pro gender. Misalnya tentang UU Perkawinan menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selain itu, untuk mempercepat implementasi PUG dalam pembangunan daerah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh daerah dalam implementasi PUG selama ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, 1) Membuat dasar hukum yang kuat sebagai dasar pelaksanaan implementasi PUG di daerah, mengingat hingga saat ini belum semua daerah memiliki peraturan daerah tentang PUG dalam pembangunan di daerah. 2) Meningkatkan pemahaman dan komitmen pejabat di daerah mengenai PUG dan PPRG. 3) Membuat kelembagaan yang khusus menangani PUG sehingga implementasi PUG dapat berfungsi secara optimal. 4) Meningkatkan kapasitas SDM pelaksana PPRG di seluruh SKPD yang ada di daerah, mengingat PUG harus diimplementasikan di setiap sektor pembangunan di daerah. 5) Menyusun Data Terpilah dan mengintegrasikan penyusunan Data Terpilah dalam pendataan semua sektor pembangunan daerah, sehingga dapat dilakukan analisis gender secara memadai sebelum menyusun program dan kegiatan di seluruh sektor tersebut.[1] Data di atas sebagai dasar banyaknya program pengarusutamaan gender di daerah yang harus dibentuk. Diantaranya, program pemberdayaan perempuan yang banyak dimasukkan dalam program kerja organisasi seperti PEKKA, KNPI, ORMAS, dan LSM. Kemampuan perempuan sebagai sumber instrumen baru dalam pembangunan perlu meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan harus mendalami apa yang sebenarnya mereka hadapi, agar mereka dapat berperan aktif dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk secara maksimal berfungsi sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan di semua bidang dan dalam segenap tingkat kegiatan pembagunan. Demikian pula dalam kegiatan yang tergolong dalam kegiatan perumusan kebijakasanaan dan pengambilan keputusan. Berperan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki dalam pembangunan berarti perempuan harus dapat mengejar berbagai ketertinggalannya dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan, sehingga dapat memberikan jawaban atas permasalahan perempuan di Indonesia. Sayangnya program pemberdayaan perempuan belum menyentuh semua elemen perempuan di ranah domestik, ketergantungan terhadap tugasnya di keluarga membuat sebagian perempuan kurang bisa membagi waktu dan membuat skala prioritas yang adil. Sehingga yang terjadi justru hanya orang-orang itu saja yang berkecimpung di program pemberdayaan perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Dra. Lilis Sri Sulistiani, MM., Dosen Ilmu Administrasi Unsoed yang mengatakan bahwa program pemberdayaan perempuan kebanyakan hanya program turunan dan kurang berinovasi sesuai apa yang terjadi dan dihadapi perempuan di daerah, berbeda di daerah pasti berbeda pula masalah teknis yang dihadapi. Beberapa program tersebut salah satunya adalah pengembangan potensi ekonomi mikro, program yang berjalan tidak berkelanjutan dan tidak ada pengawasan yang masif dari pihak pemerintah dalam menyukseskan tujuannya. Tujuan pemberdayaan sendiri merupakan serangkaian proses yang bertujuan memandirikan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu pemerintah memberikan mekanisme pemberdayaan yang diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan hingga akar permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, program penanggulangan kemiskinan yang telah banyak masuk ke dalam program kerja tidak sepenuhnya dapat memberikan manfaat bahkan tidak diakses oleh masyarakat miskin, khususnya perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan menyebutkan sedikitnya pemanfaatan program pemberdayaan perempuan di tingkat kecamatan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat, dimana kepala keluarga identik sebagai peran yang melekat pada laki-laki dan umumnya bantuan atau program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan ditujukan dengan unit kepala keluarga. Padahal kemiskinan tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta yang menyatakan bahwa tidak kurang dari 6 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan dan sebagian besar diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan.[2] Bila saja perempuan di sektor domestik dapat diberdayakan maka kesejahteraan bisa tercapai secara maksimal. Program pemberdayaan perempuan berkontribusi dalam menjawab persoalan yang dihadapi perempuan sektor domestik, yang lagi-lagi terjadi adalah aktor yang sama dalam pelaksanaan program pemberdayaan tersebut sehingga kurang banyak menyentuh kalangan perempuan yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi pada sektor domestik. Oleh karenanya perlu adanya peran yang besar yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sebagai aktor dalam program pemberdayaan perempuan tersebut agar dapat menyentuh seluruh perempuan di sektor domestik. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dan upaya meningkatkan partisipasi pada seluruh elemen masyarakat juga perlu dilakukan dengan memberikan kesempatan perempuan yang tidak tersentuh program dapat mengaksesnya. Seperti pelatihan usaha mikro atau pertemuan yang melibatkan perempuan dalam acara rapat warga, agar aparatur desa atau kelurahan mengetahui apa yang menjadi permasalahan yang dihadapi warganya khususnya perempuan. Dengan demikian akan terciptanya kontribusi perempuan yang berarti dan menghasilkan kebijakan yang responsif gender serta anggaran berbasis gender. Catatan Belakang: [1] http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/pengarusutamaan-gender-dalam-kebijakan-pembangunan. Diakses pada 12 april 2015 [2] www.pekka.or.id. 2008 profit program pemberdayaan perempuan kepala. Diakses pada 12 april 2015. Setyaningsih Bilik Literasi Solo [email protected] Judul buku : Ketika Ibu Melupakanku Penulis : Dy Suharya dan Dian Purnomo Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan : Pertama, November 2014 Tebal : x+186 halaman ISBN : 978-602-03-0943-9 “Kita hanya mempunyai seorang Ibu” (Albert Camus, Orang Asing). Apakah seorang Ibu bisa melupakan anak-anaknya? Kita terlalu sering mendengar kabar tragis dan miris. Ada Ibu tega membuang anak di tempat sampah, Ibu meninggalkan anak di rumah sakit, Ibu yang menjual anak, bahkan Ibu yang membunuh anak di tengah dalih himpitan ekonomi dan sosial. Waktu melukis Ibu tidak lagi dalam imajinasi termuliakan. Ibu yang ingat, baik, dan tabah tiba-tiba menghilang dari hari-hari di dunia. Dy Suharya dalam buku Ketika Ibu Melupakanku yang digarap bersama Dian Purnomo, memiliki Ibu lain yang memang lupa. Kehendak melupakan itu bukan pilihan, apalagi keinginan yang digerakkan akal dan batin. Melupakan menjadi ketentuan takdir karena Ibu dari Dy (Tien Suhertini) divonis sakit Demensia Alzheimer pada tahun 2009. Namun, betapa sering manusia terlambat, sakit ini dideteksi sekitar 10-15 tahun setelah Ibu bergelut dengan gejala-gejala Alzheimer. Penderita Alzheimer mengalami penurunan kemampuan kognitif, kehilangan daya ingat, dan perubahan emosi. Selama mengalami gejala penyakit yang tidak disadari oleh keluarga, Ibu Tien merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengakui keberadaan diri di lingkungan sekitar. Di usia senja, anak-anak telah kabur membentuk keluarga sendiri dan tersisa si bungsu Dy sebagai anak satu-satunya di dalam rumah. Ibu sering mencari pengakuan dengan cara mengadukan masalah-masalah kecil. Kontrol emosi terlampau lemah dan semakin membuat Ibu berjarak. Ibu yang dulu mendoakan anak-anak agar berhasil dalam hidup, malah seperti minder. Tiba-tiba, Ibu beranggapan bahwa riwayat anak-anak bersekolah tinggi, menjadikan mereka berjarak dan merasa lebih pintar. Ibu merasa tak dihargai. Keluarga Dy pun merasa bahwa ini kelumrahan usia senja dan bukan tanda-tanda sakit. Mereka terkadang merasa Ibu tampak menyebalkan dan kekanakan karena sering menghindar saat terjadi masalah. Ibu memang memiliki kebiasaan mengaji dan berzikir sehari-harinya, tapi tetap tidak terhindar dari sakit. Dy menghindar dengan menciptakan rumah sendiri. Ia lebih senang tinggal di Columbus Ohio, Washington D.C, New York, dan Perth Australia, demi kebutuhan kerja dan kuliah. Di rumah Jakarta, Dy merasa tidak menemukan teman, pengakuan, dan segenap cinta yang ia butuhkan. Dy adalah anak yang menciptakan rumah sendiri yang jauh dari rumah orang tuanya. Pada akhirnya panggilan untuk pulang datang meski dalam bentuk ganjil, vonis sakit sang Ibu. Barangkali, sakit tidak selalu membawa derita dan kesedihan. Penyakit Ibu Tien justru menyatukan ikatan keluarga yang sempat retak. Kakak-kakak Dy berkumpul lebih akrab kembali untuk membawakan makanan, bercakap, dan saling merawat. Ayah Dy (Yaya Suharya) menjadi lebih terbuka untuk menunjukkan kasih seorang suami kepada istri. Namun, pengorbanan demi menyatunya keluarga ini tidaklah murah. Meski Ibu Tien dikelilingi orang terkasih, ia hampir kehilangan kemandirian diri. Segala sesuatu harus dibantu orang lain dan paling menyedihkan adalah ingatan yang menghilang. Ibu Tien hanya mengingat nama Dy di akta kelahiran, Kusuma Dewi. Seorang Alzheimer tidak berhak memiliki ingatan dan kenangan yang teralami detik demi detik dalam hidupnya. Jurnal Cinta Kasih Buku ini bukan sekadar ingatan personal Dy Suharya atas sakit dan Ibu. Buku ini ada sebagai panduan kesehatan publik agar mengerti Alzheimer. Dy dan Dian tersadar melengkapi buku dengan cerita dari orang-orang yang mendampingi sosok-sosok terkasih penderita Alzheimer. Penulis juga memberikan daftar website dan rumah sakit, termasuk langkah pencegahan dan gejala umum Alzheimer. Di halaman depan buku ada sambutan dari Menteri Kesehatan RI yang saat itu dijabat oleh dr. Nafsiah Mboi. Ia mengatakan, “Saya menyambut baik terbitnya buku ini diiringi dengan ucapan selamat dan apresiasi kepada penulis buku ini Dy Suharya yang juga seorang pegiat Alzheimer. Buku ini bagus, inspiratif, layak dibaca, dan memuat pesan moral.” Meski novel ini berlabel inspirasi dan Dy Suharya berhasil menjadi pegiat kemanusiaan atau aktivis Alzheimer bagi masyarakat, terasa bahwa Dy Suharya menyembunyikan sebentuk ‘penyesalan’ mendalam. Dengan bergiat sebagai fasilitator, dosen pemasaran sosial, penggagas, dan juga direktur eksekutif Alzheimer Indonesia (ALZI) di Jakarta, Dy perlahan melakukan penebusan. Dy menyadari bahwa dia terlampau terlambat untuk tahu bahwa Ibu telah direnggut Alzheimer. Dy tidak ingin orang lain mengalami keterlambatan seperti dirinya. Sedang Dian Purnomo yang saat ini bergelut sebagai Project & Training Coordinator di OnTrackMedia Indonesia (OTMI) di Jakarta. ALZI dan OTMI bekerja sama memberikan penerangan kepada masyarakat Indonesia tentang penyakit Alzheimer. Dian bertemu keluarga Dy dalam rangka membuat video dokumenter kado ulang tahun ke-50 kedua orang tua Dy. Buku ini adalah cara Dian membahasakan apa yang dirasakan Dy, memiliki Ibu Alzheimer, bertaut dengan jurnal kesehatan dan cinta kasih yang merupakan tulisan tangan Yaya Suharya dalam merawat, menjaga dan menemani istrinya. Buku Ketika Ibu Melupakanku adalah jalan tidak ingin lupa dan penegasan bahkan ilham kemanusiaan bisa lahir dari seorang Ibu Alzheimer. Lola Loveita (Mahasiswi Jurusan Filsafat, FIB UI) [email protected] “Even in my childhood, the word "emancipation" enchanted my ears; it had a significance that nothing else had, a meaning that was far beyond my comprehension, and awakened in me an ever growing longing for freedom and independence—a longing to stand alone.”[1] –Raden Ajeng Kartini Lebih dari seratus tahun yang lalu seorang perempuan di negeri ini menuliskan surat-surat yang berisi pergelutannya sebagai perempuan yang hidup di tengah kondisi jaman yang mengalienasi. Namanya Kartini. Sebagai salah satu pejuang perempuan di Indonesia Kartini paling familiar dengan saya semenjak Taman Kanak-kanak. Setelah beranjak dewasa dan mengenyam pendidikan di sekolah, bapak dan ibu guru selalu melekatkan nama Kartini dengan sebuah kata: emansipasi. Makna emansipasi di dalam gagasan Kartini lebih kental dipahami di dalam konteks pendidikan. Baginya, pendidikan akan membebaskan perempuan dari belenggu yang membodohinya dan dengan begitu memajukan perempuan. Dari situ saya bertanya apakah hari ini belenggu itu sudah terpatahkan? Kartini dan Kerinduan Akan Kebebasan Hidup di tengah Kolonialisme dan Feodalisme, Kartini kecil beruntung karena dapat mengenyam pendidikan, tidak seperti anak-anak pribumi kebanyakan saat itu. Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Kartini diberikan kesempatan untuk bersekolah. Kartini bersekolah sampai dengan usia 12 tahun karena setelah itu di dalam budaya Jawa, perempuan masuk ke dalam tahap remaja putri sehingga harus dipingit, yaitu tinggal di dalam rumah tanpa berhubungan sedikitpun dengan dunia luar sampai ia dilamar dan dinikahkan oleh seorang laki-laki. Melalui pendidikan, terutama buku-buku, Kartini memahami konsep-konsep akan kebebasan dan kesetaraan. Kartini begitu terpengaruh dengan peradaban Eropa.[2] Ide mengenai emansipasi memang datang dari berbagai revolusi yang terjadi di Eropa. Meski gagasannya bernuansa pro-kesetaraan, Kartini hidup di tengah-tengah budaya yang sangat patriarkis. Hal itu yang menyebabkan kesedihan dan kegelisahannya akan nasib para perempuan yang juga ia rasakan sendiri, misalnya di dalam hal pendidikan dan pernikahan. Tubuhnya memang bagaikan dipenjara di dalam rumah dengan tembok-tembok pagar tetapi kegelisahan-kegelisahan dan berbagai gagasannya ia terbangkan melalui surat-suratnya. Gugatan-gugatannya terhadap sistem yang ada ia tuangkan melalui surat-surat. Kartini paham betul bahwa perempuan begitu dirugikan oleh sistem yang telah memangkas hak-haknya. Pemahaman itu menjadi dasar bagi impiannya untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi perempuan. Baginya, pendidikan akan memandirikan dan membebaskan perempuan. Pemahaman dasar Kartini mengenai pendidikan dipengaruhi oleh modernisasi. Sepanjang pemikirannya ia seperti memeras apa-apa yang baginya baik dari budaya Timur dan Barat. Berangkat dari pengalaman eksistensialnya, Kartini ingin perempuan memiliki kebebasan dan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Pendidikan bagi perempuan bukan hanya di lingkup formal tetapi juga di dalam keseharian sebagai ibu rumah tangga. Kartini mengatakan “Dan betapakah ibu bumi putra itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu sendiri tiada berpendidikan?”[3] Kartini percaya bahwa seorang perempuan akan menjadi seorang ibu dan memiliki peran penting di dalam pendidikan. Perempuan sebagai ibu harus diberikan kebebasan dan kemandirian utamanya di dalam pendidikan agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya. Dengan begitu perempuan berperan penting dalam membangun peradaban dan memajukan bangsa. Perempuan dan Pendidikan di Indonesia Seratus tahun setelah Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk perempuan, tentu ada kemajuan terkait permasalahan kultural dan struktural di bidang pendidikan dan keseteraan gender di Indonesia. Tetapi nyatanya itu tidak cukup dan masih jauh dari harapan. Angka buta huruf pada perempuan masih jauh lebih tinggi dari laki-laki. Ada 14.9 juta masyarakat Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf dan 70% dari mereka adalah perempuan.[4] Kemajuan di dunia pendidikan dapat dilihat misalnya semenjak tahun 1990 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan signifikan angka partisipasi sekolah, tetapi dibandingkan dengan laki-laki pada taraf SMA perempuan masih tertinggal 4-5%.[5] Penyebab dominan yaitu masalah ekonomi dan menikah muda. Tentunya kedua hal itu menghambat akses untuk bersekolah. Kendala akses ini yang menyebabkan ada 5% anak-anak Indonesia putus sekolah.[6] Di antara 5% itu ada perbedaan jumlah yang begitu signifikan antara perempuan dan laki-laki terkait alasan menikah muda. Perempuan yang putus sekolah dengan alasan menikah muda atau mengurus rumah tangga mencapai 27.78% sedangkan laki-laki angkanya 3.55%.[7] Bukan hanya kekurangan murid perempuan, dunia pendidikan di Indonesia juga kekurangan pendidik perempuan. Di dalam struktur pendidikan laki-laki masih menguasai posisi-posisi atas. Permasalahan lain yang juga penting adalah banyaknya sumber bacaan sekolah yang seksis. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan terlihat masih lebih dekat dengan laki-laki. Kita bisa lihat sejarah dunia pendidikan didominasi oleh laki-laki dalam arti nama-nama perempuan banyak yang tidak muncul. Begitu pula yang terjadi di dunia filsafat. Misalnya, pada waktu itu di perkuliahan yang saya ikuti, Gadis Arivia menginstruksi seluruh mahasiswa untuk menuliskan nama-nama filsuf perempuan dari zaman Yunani sampai dengan hari ini. Hasilnya tidak ada yang bisa menulis sampai dengan sepuluh nama, bahkan tujuh. Artinya, pengetahuan tentang filsuf perempuan (baru namanya saja, belum pemikirannya) sangatlah memprihatinkan, padahal ada ratusan nama filsuf perempuan dari 600 SM sampai dengan hari ini.[8] Mary Wollstonecraft sendiri menggaungkan feminisme dimotivasi oleh kerinduan akan pendidikan. Ia mengkritik konsep pendidikan Jean Jacques Rousseau yang tidak memihak pada perempuan. Perempuan seringkali dianggap tidak lebih rasional dengan laki-laki padahal nyatanya perempuan mampu menyumbangkan karya-karya yang penting di bidang keilmuan, khususnya sains. Bagi Wollstonecraft inferioritas yang dialami terjadi karena kualitas pendidikan yang tidak setara. Intan, Jaenab dan Susi: Kartini, Aku Mau Sekolah Intan, Jaenab dan Susi adalah sedikit dari anak-anak perempuan yang bersekolah di SDN Puncak Manggah, Desa Cimahpar, Sukabumi, Jawa Barat. Mereka duduk di kelas 4, 5 dan 6 SD. Bulan Januari lalu saya mengenal mereka ketika singgah selama 25 hari di sana. Mereka adalah perempuan-perempuan kecil yang pintar dan semangat bersekolah. Di SDN Puncak Manggah tahun lalu hanya ada dua anak beruntung yang melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP. Sebagaimana yang disebutkan di atas, faktor ekonomi dan menikah muda menjadi alasan dominan. Ditambah lagi soal jarak ke SMP atau SMA terdekat yang jauh dan tidak ada kendaraan umum. Kebanyakan anak laki-laki yang bersekolah di SMP harus memiliki motor. Medan yang naik-turun, licin dan berbatu mau tidak mau harus diterobos karena jika tidak, mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyewa tempat tinggal di dekat sekolah. Anak-anak perempuan di sana bukannya tidak mau atau tidak mampu mengendarai motor tetapi mereka tidak dimampukan karena stereotip. Adalah anomali jika melihat perempuan naik motor mengangkang. Perempuan di sana kebanyakan memakai rok, sebagian besar ibu-ibu menggunakan kain yang dililit-lilit. Ayah dari anak-anak perempuan itu mungkin bisa mengantarkan mereka ke sekolah tetapi kesibukan di sawah yang sangat menyita waktu dan tenaga menyulitkan itu untuk terjadi, sehingga pilihan yang paling mungkin adalah dengan menyewa kos-kosan atau tinggal di asrama dekat sekolah. Bagi anak-anak Desa Puncak Manggah kendala yang ada untuk bersekolah berlapis-lapis dan bagi perempuan lapisannya lebih tebal. Di tengah persoalan itu yang paling menyebalkan adalah pertanyaan-pertanyaan warga, orang tua murid dan bahkan anak-anak perempuan sendiri,“buat apa perempuan sekolah?”. Pertanyaan itu mungkin merupakan lapisan yang paling dasar yang menjadi alasan mengapa banyak sekali dari mereka yang berhenti sekolah dan menikah di usia yang sangat dini. Pemahaman bahwa setelah lulus SD anak-anak perempuan tinggal di rumah saja, memasak di tungku, menunggu dilamar oleh laki-laki, menikah, dihamili dan mengurus anak sangat banyak ditemukan di antara mereka. Bahkan, lucunya, saya mendengar dari beberapa warga, jika perempuan di atas 20 tahun seperti saya belum menikah, akan dianggap “tidak laku”. Saya bersyukur tidak semua anak-anak perempuan di sana memiliki pemahaman itu. Sebentar lagi Intan, Jaenab dan Susi akan lulus SD. Mereka mempunyai mimpi untuk lanjut bersekolah, bahkan sampai ke perguruan tinggi! Saya sempat iseng bertanya, “kalo nanti pas lulus ada yang ngelamar gimana?” mereka dengan yakin menjawab, “nggak mau atuh, Teh!.” Mendengar optimisme seperti itu, semoga mereka tidak hanya ingin sekolah, tetapi pada akhirnya cukup beruntung untuk dapat bersekolah sampai ke perguruan tinggi dan mengubah paradigma di desanya. Kartini Hari Ini Progresivitas pemikiran Kartini terhadap kesetaraan merupakan sumbangan yang besar bagi kemajuan perempuan Indonesia di bidang pendidikan. Di setiap ruang dan waktu yang berbeda, ada keperluan-keperluan yang berbeda pula yang mewarnai strategi para perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Pada saat itu bagi Kartini senjata untuk melawan subordinasi perempuan adalah pendidikan. Mustahil tanpa itu. “Perempuan adalah soko guru peradaban”, katanya. Kartini mungkin ada di dalam antinomi. Di tengah memperjuangkan kesetaraan, Kartini berada dalam budaya dan adat yang begitu mendeterminasi. Pemahaman akan peran perempuan masih sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut. Pendidikan perempuan yang mengarah kepada peran menjadi ibu rumah tangga belum mencerminkan adanya pembagian peran yang adil di dalam keluarga. Seakan-akan mutlak bagi perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak, sedangkan laki-laki sama sekali lepas dari hal itu. Meski begitu Kartini adalah salah satu perempuan yang telah menciptakan revolusi dan membuka jalan bagi perempuan untuk berpendidikan. Terima kasih Kartini, pada hari ini perempuan memiliki kesempatan untuk bersekolah, meski setelah seratus tahun lebih lamanya kesetaraan itu belum juga mewujud, dalam pendidikan, ekonomi, hukum, dan lainnya. Tetapi semangat perjuangan Kartini masih hidup sampai hari ini dan selalu bermultiplikasi, supaya Intan, Jaenab, Susi dan semua anak-anak perempuan Indonesia tidak terkurung di dalam bilik-bilik tanpa lubang, tanpa tahu bahwa di luar ada pilihan. [1] Kartini, Raden Adjeng. Letters of A Javanese Princess. Trans. Agnes Louise Symmers.1921. London: Duckqorth&Co. Hal 4. [2] Ibid hal xiii. [3] Pane, Armijn. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka, 1979. Hal 85. [4] Laporan MDGs 2010. Rahayu, Ruth Indiah. “Ketika Anak Perempuan Bisa Sekolah: Adakah Kesetaraan Gender?” Jurnal Perempuan: Sekolah Mahal 70. Jakarta: YJP Press, 2011. hal 22 [5] Ibid hal 32. [6] Ibid hal 33. [7] Ibid Hal 33. [8] Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: YJP Press, 2003. Hal 315-321. Hari ke-21 dalam bulan April adalah hari dimana Kartini bangkit kembali. Kebangkitan Kartini disertai dengan ritus-ritus pemanggilan arwah Kartini pada tanggal sakral tersebut. Perempuan Indonesia mengenakan kebaya dan menggulung rambutnya (serupa) Kartini. Sedangkan kebiasaan pemanggilan arwah sering dilakukan oleh masyarakat adat untuk berbagai alasan seperti, meminta rekomendasi tanggal baik untuk pernikahan, meminta kesuburan dan keselamatan untuk tanah mereka. Upacara pemanggilan arwah ini dilakukan keluarga, Mereka mendatangi makam leluhur yang berada diatas bukit, di makan itu mereka membakar rumput dan menyebar sesaji. Seringkali kita menganggap masyarakat adat yang kental dengan tradisi pemanggilan arwah masih terkungkung dalam dunia imajiner. Kemudian pertanyaan adalah, perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April sesungguhnya berisi harapan seperti apa? Raden Ajeng Kartini lahir tahun 1880. Ayahnya Bupati Jepara, seorang bangsawan progresif yang mengirim anaknya sekolah ke Belanda supaya mereka bisa mencicipi pendidikan modern, kebijakan pendidikan kolonial Belanda pada waktu itu sangat kaku, sesuai dengan kebijakan kolonial Belanda yang memang rasis: hanya Bangsawan tinggi Jawa yang boleh berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada pejabat tinggi kolonial Belanda. Seperti yang digambarkan Pramoedya dalam Novel Gadis Pantai, Priyayi sangat pandai dan mengajari anak-anaknya dalam ilmu umum terutama pandai dalam bahasa Belanda serta disekolahkan dan setiap hari tetap belajar dengan rajin. Pada sistem Jawa masa priyayi cenderung bersifat feodalis kepada masyarakat bawah dan masyarakat bawah cenderung mentalitas berorientasi kepada atasan, hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan hingga merendahkan diri. Kartini yang dilahirkan sebagai anak seorang priyayi pun harus menuruti kemauan orangtuanya untuk menjalani ritual pingitan dan akhirnya menikah dengan bupati Rembang. Kartini meninggal waktu melahirkan anak pertamanya, tahun 1904. Kartini mempunyai cita-cita untuk membangun sekolah pondokan untuk anak perempuan seperti dia, dan ia ingin mengambil ijasah guru di Belanda, namun hingga akhir hayatnya impian tersebut belum dapat ia wujudkan. Soekarno dalam bukunya yang berjudul Sarinah pernah mengatakan bahwa feodalisme membuat perempuan seperti perpaduan antara seorang dewi dan seorang tolol. Perempuan dirumahkan karena dianggap mutiara yang harus dijaga dan mereka (Laki-laki) bisa menguasai ruang publik dengan bebas. Selama itu Kartini menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Surat-surat Kartini yang emosional, penuh pembrontakan, cerdas, dan hidupnya yang tragis terus membakar semangat perempuan-perempuan Indonesia untuk (berpenampilan) seperti dia. Kini namanya menjadi milik publik. Kartini bukan hanya menyumbangkan pemikirannya namun juga namanya yang dibesarkan oleh tulisan-tulisannya. Arwah Kartini dalam Teks Surat-surat Kartini memiliki kekuatan tersendiri disamping dengan adanya intervensi politik dari pemerintah untuk memasukkan dalam silabus pelajaran di tingkat sekolah dasar. Surat-surat Kartini yang dikirmkannya kepada sahabat penanya Zeehandelaar, Ovink-Soer, Abendanon, de Booij, J.M.P Van Kol-Porey berisi pergulatan batinnya sebagai kaum priyayi, sebagai perempuan dan sebagai orang yang terdidik. Menulis adalah senjata yang kuat untuk mengubah nasib perempuan dalam tradisi patriarki. Helene Cixous mengatakan bahwa perempuan harus menulis, perempuan harus memasukkan dirinya kedalam teks, kedalam dunia dan kedalam sejarah. Kartini telah melakukannya sejak masih kanak-kanak, Ketika kata "emansipasi" belum ada bunyinya. Teori-teori emansipasi tergantung pada suatu keyakinan bahwa posisi perempuan bias berubah dalam kerangka masyarakat yang ada, dimana teori-teori pembebasan mencakup transformasi kerangka social itu sendiri. Konsep emansipasi merupakan konsep sentral pada gelombang awal dan pertama feminisme dalam kampanya-kampanye mereka untuk memperjuangkan hak yang sama[1] Pada tingkat gagasan, Kartini sangat ideal. Ide-ide pembebasan dan kesetaraan telah ia kemukakan. Namun ternyata kita hari ini belum berhasil menerjemahkan gagasan tersebut dalam praktik bernegara dan bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena sejarah sosiologi kita adalah sejarah feodalisme. Para pengambil keputusan masih banyak yang cenderung memakai referensi nilai kebudayaan yang bias gender. Qasim Amin dalam bukunya Sejarah Penindasan Perempuan mendefinisikan kemerdekaan sebagai sebuah independensi pemikirian, kehendak, dan tingkah laku, selama tidak melebihi batas keabsahan dan mampu memelihara standar moral masyarakat.[2] Hal itu berarti kemerdekaan tidak melebihi batas dan standar moral masyarakat (patriarki). Padahal akar masalah dari kesenjangan relasi gender berpusat di lingkungan. Lingkungan melakukan jutifikasi atas tindakan-tindakan perempuan yang mereka anggap telah menyalahi standar moral masyarakat. Begitu juga Kartini yang selama hidupnya dikurung dalam sangkar emas tradisi priyayi Jawa. Ketika tingkah laku dan kehendak tidak bisa merdeka, Kartini mencoba mengisi ruang-ruang kosong dengan pemikiran-pemikirannya melalui teks. Model perjuangan para pahlwan tidak harus serupa. Tjoet Nja’ Dhien harus berperang mengangkat senjata karena kondisi dan kompetensi Tjoet Nja’ Dhien memungkinkan mengambil tindakan perang. Lain hal dengan Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri, Dewi Sartika mendapat dukungan dari pamannya Bupati Martanagara yang mempunyai cita-cita yang sama. Kemudian Kartini menulis, bercerita, dan bahkan melampiaskan kemarahannya dengan pena. Pemikirannya menjadi senjata Kartini dan teks menjadi temannya selama hidup. Keinginan Kebebasan dan Kemerdekaan Kartini tuangkan kedalam teks. Akhirnya melalui teks, Pengalaman Kartini (Perempuan) dilegitimasi sebagai sebuah Pengetahuan dan didokumentasikan dalam sebuah judul besar “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Perjuangan kartini melalui gagasan-gagasanya ini mengingatkan saya pada sosok fisikawan yang sangat berjasa dalam dunia sains, Stephen Hawking. Stephen menderita penyakit amyotrophic lateral sclerosis yang menyerang sel saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan. Tubuh Hawking lumpuh tapi tidak dengan otaknya. Dalam tubuh yang terpenjara oleh penyakit, Hawking tetap berfikir bebas dan revolusioner dalam bidang sains kemudian mendokumentasikannya dalam buku “A Brief History of Time”. Itulah mengapa gagasan menjadi sebuah penting bagi kemaslahatan umat. Perjuangan Pendidikan Belum Usai “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.[3] Isi surat-surat Kartini tentu bukan sekedar deskripsi situasi di lingkungannya pada zaman itu. Surat-surat kartini memiliki kekuatan isi mengenai ide pendidikan untuk perempuan yang menjadi hutang peradaban. “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”[4] Pendidikan bagi Kartini bukan hanya sebatas pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pembangunan sumber daya manusia kini menjadi sangat penting untuk menghadapi tantangan kemajuan teknologi. Namun lagi-lagi peradaban (laki-laki) mempunyai sumbangsih besar terhadap ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan. Perempuan hebat lainnya kini hadir di tengah-tengah ketertinggalan 6,2 Juta perempuan yang buta aksara. Seperti Butet Manurung yang mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anak di rimba, Jambi. Kemudian turut hadir juga institusi formal yang memfasilitasi perempuan dibidang keahlian dasar untuk modal agar perempuan bisa survive. Contohnya adalah Sekolah Perempuan adalah sekolah alternatif bagi perempuan yang didirikan oleh Institut Mosintuwu sejak tahun 2010, Institut KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif) Perempuan dan masih banyak lainnya. Mengutip dari pernyataan Anies Baswedan bahwa “Mendidik adalah tugas orang terdidik” yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan Kabinet Kerja Jokowi-JK. Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan gender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP. Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki.[5] Hasil wawancara Jurnal Perempuan dengan Prof. Dr. Fasli Jalal PhD, Wakil Menteri Pendidikan Nasional periode 2009-2014, Fasli Jalal mengatakan bahwa hasil dari penelitian menujukkan bahwa 72% dari alasan perempuan tidak sekolah disebabkan faktor ekonomi. Kemudian 8% karena kawin muda, dan 12% karena sekolah tidak ada atau jauh terpencil.[6] Tradisi menikahkan anak perempuan di usia kanak-kanak masih sering terjadi. Kecenderungan perempuan untuk menghentikan karirinya demi menikah juga bisa ditelusuri dari pandangan misoginis yang melihat perempuan sebagai penyebab dosa (the original sin of being female) atau “Dosa asal semenjak ia dilahirkan”. Melalui kaca mata sosiologi, terdapat banyak pendapat yang mengatakan bagi kebanyakan perempuan, menjadi seorang ibu dan istri adalah hal terpenting dalam hidup mereka. Seperti Anne Wilson Achaef dalam bukunya Women’s Reality: An emerging Female System in A White Society. Menurutnya the perfect marriage atau perkawinan yang sempurna adalah dambaan bagi semua perempuan.[7] Konsep ini terlahir dari proses pembelajaran yang diterima perempuan sejak kecil dari lingkungan. Apakah pendidikan cukup untuk mengangkat martabat perempuan? Dalam konteks masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh ideologi patriarki, proses pembongkaran kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hal yang mudah. Hegemoni perayaan hari Kartini setiap tahun belum relevan dengan cita-cita luhur kartini. Feodalisme masih berlaku dengan wujud yang berbeda. Kesenjangan pendidikan terawat dengan baik. Tidaklah heran jika Arwah Kartini masih menghantui dunia pendidikan Indonesia. Catatan Belakang: [1] Humm, Maggie. Ensiklopedia Feminisme, Fajar Pustaka Baru.2002 [2] Leli Nurohmah, Mendefinisikan Kemerdekaan bagi Perempuan, Swara Rahima, No. 19 Th. VI Agustus 2006 [3] Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901 [4] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902. [5] Lembar Fakta Pendidikan untuk Anak Perempuan di Indonesia. [6] Wawancara, “Minimnya Kesadaran Pendidikan untuk Perempuan”. Jurnal Perempuan No.70 Th. 2011. [7] Wafiroh, Nihayatul. “Menikah atau Kuliah?”. Swara Rahima No. 22 Th. VII Agustus 2007. Daftar Pustaka: R.A Kartini. 2014. Emansipasi: surat-surat Kartini Kepada Bangsanya 1899-1904. Jalasutra Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Cetakan ketiga. Jakarta: lentera Dipantara. Soekarno. 1963. Sarinah. Cetakan Pertama. Panitia Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Soekarno. Lembar Fakta Pendidikan untuk Anak Perempuan di Indonesia. Diakses di http://www.unicef.org/indonesia/id/Facts_Sheet_on_Girls_Education_IND_.pdf. pada 20 April 2015 pukul 15.00 Johanna G.S.D. Poerba (Mahasiswi Prodi Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] Jika mengingat Kartini maka kata-kata berikut yang muncul di pikiran penulis: kebebasan, belenggu tradisi, dan sosok laki-laki. Terlahir sebagai seorang perempuan di tengah masyarakat Jawa masa kolonial adalah sebuah kondisi yang tak menguntungkan bagi seorang Kartini. Pada masa itu perempuan, khususnya mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, hanya memiliki satu tujuan dalam hidup yaitu menjadi Raden Ayu. Itu berarti menikah dan mengabdikan diri pada pria yang menjadi suami mereka. Sosok laki-laki, terlepas dari nilai negatif atau positif di mata Kartini, pada nyatanya memberikan sumbangan pada pemikirannya. Mungkin selama ini kita hanya mengenal Kartini hanya sebatas korban dari budaya patriarki yang dipaksakan padanya oleh laki-laki. Kemudian ia lalu memberontak dan menjadi pejuang emansipasi. Padahal pada kenyataannya kisah dan pemikiran Kartini tidak sesederhana itu. Mengenai gelar yang disematkan pada Kartini yaitu sebagai pejuang emansipasi perempuan, ini seringkali masih menjadi perdebatan diantara mereka yang mempelajari sejarah. Tetapi marilah kita meletakkan perdebatan panjang ini ke samping untuk sementara. Mari menggeser fokus sebentar dan membicarakan kisah Kartini dari sudut pandang yang lain yaitu peran seorang Ayah dan pandangan Kartini akan kesetaraan bagi laki-laki. Bermula dari Ayah Dalam kumpulan surat Kartini pada sahabat-sahabatnya yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dan juga yang dibahas didalam tulisan Pramoedya, terungkaplah bahwa pembentukan karakter dan gagasan dalam diri Kartini adalah juga jasa dari sang Ayah, R. M. Adipati Ario Sosroningrat. Adapun jika ditelusuri, cara pandang Bupati Jepara yang modern pada masanya ini diturunkan dari kakek Kartini yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hal yang umum di kalangan Bumiputera dan kakek Kartini berhasil melihat kekurangan itu dan belajar mengatasinya. Ia memberikan pendidikan bagi anak-anaknya dan menanamkan pemahaman akan pentingnya pendidikan dalam benak mereka. Alhasil ayah Kartini dan juga pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat yang juga merupakan Bupati Demak, menurunkan nilai tersebut pada anak-anak mereka. Kartini sempat mengecap pendidikan bersama saudara-saudaranya. Namun pintu itu tertutup baginya ketika ia menginjak usia dua belas tahun. Meskipun demikian, akses Kartini pada pengetahuan tak sepenuhya tertutup karena kemudian ia sering bertukar pikiran dengan teman-teman penanya. Sebutlah Zeehandelaar, Ovink-Soer, Abendanon, de Booij, dan lainnya. Dalam surat-surat tersebut terbaca keinginan terbesar Kartini yaitu pembebasan. Pembebasan pribadinya dan juga pembebasan bagi kaum perempuan yang dirasanya senasib dengannya. Cita-cita ini tentunya dimaksudkannya bagi seluruh perempuan bukan hanya bagi perempuan yang berdarah biru sebab meskipun para perempuan yang tak berstatus bangsawan bebas untuk bekerja dan keluar masuk rumah, tetap saja pendidikan adalah mimpi bagi mereka dan budaya patriarki sebagai belenggu pada kaki mereka. Ayah Kartini, meskipun di satu sisi menjadi yang paling berpengaruh dengan meletakkan fondasi dari terbukanya pikiran Kartini, juga merupakan sosok yang menahan Kartini untuk melebarkan sayapnya. Ia belum mampu lepas dari nilai-nilai tradisi yang telah ia serap dari usia dini. Ia sempat melarang Kartini melanjutkan studinya dan ia pulalah yang “mengunci” Kartini dari dunia luar. Tentu saja jika Bupati Jepara ini mampu memberikan kebebasan sepenuhnya pada Kartini (yang berarti mendobrak budaya patriarki yang sudah lama sekali berlaku) maka ialah yang akan dijuluki sebagai pahlawan emansipasi bukan putrinya. Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli pernah menulis sebuah buku berjudul Kartini: Pribadi Mandiri. Di dalam buku ini terdapat khusus sebuah bab yang berjudulkan Dilema Seorang Ayah. Tentu jika kita tidak tergesa-gesa dan mau melihat dari sudut pandang lain maka kita akan menyadari bahwa Adipati Ario Sosroningrat di satu sisi adalah juga korban tradisi dan budaya patriarki. Selaku seorang Ayah, ia pasti ingin mengabulkan keinginan putrinya yang cemerlang namun di sisi lain ia mendapat tekanan dari keluarga dekat dan juga beberapa pejabat Belanda di Jawa yang memandang negatif pendidikan bagi perempuan. Meskipun demikian, menurut Kartini sosok ayahnya sajalah yang mampu mengerti hasrat dan mimpinya akan kebebasan. Oleh karena itu besarlah kasih Kartini pada sang Ayah dan kasih inilah yang menurutnya mampu untuk memadamkan keinginannya menggapai cita-cita. Menggugat Patriarki Setiap orang yang mendukung terwujudnya kesetaraan gender tentu akan berupaya mengusik keberadaan budaya patriarki. Hal yang sama dilakukan oleh Kartini. Memasuki usia kepala dua, ia sudah mengkritik banyak hal seperti poligami, posisi perempuan dalam rumah tangga, hak pendidikan dan pengambilan keputusan bagi perempuan. Mungkin untuk saat ini, perbincangan mengenai kesetaraan gender dapat kita temui dengan mudah. Publik tampaknya sudah lebih awam dengan istilah kesetaraan gender meski belum menjangkau semua kalangan. Menjadi hal yang spesial ketika seorang perempuan Jawa yang belum mengenyam pendidikan tinggi dan terkurung dalam kungkungan adat yang begitu kental dapat berpikir begitu kritis. Lagi hal yang ia kritik adalah sesuatu yang sudah dipandang “biasa” dan mendarah daging. Ketika Kartini membicarakan persoalan poligami, ia berbicara sebagai pembela, saksi, dan juga korban. Poligami seperti sudah menjadi hal yang dibenarkan pada masa itu. Kartini menyaksikan hal itu menimpa adik perempuannya, Kardinah, dan juga dilakukan oleh Ayah yang ia kagumi (mungkin ia menggugat sosok ayahnya secara tersirat). Bahkan ia pun nyatanya terjerat poligami ketika akhirnya menikah. Perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat, yang didukung adat-istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu.[1] Seperti sebelumnya telah disinggung, Kartini juga mempermasalahkan posisi perempuan dalam rumah tangga. Pada jamannya, keputusan keluarga adalah keputusan laki-laki selaku kepala keluarga. Perempuan dipandang tidak penting keberadaannya kecuali sebagai partner dalam reproduksi dan pengasuh anak. Bahkan pernikahan pun dapat dilaksanakan meskipun si mempelai perempuan tidak ada di tempat saat upacara pernikahan dilangsungkan. Hal inilah yang disayangkan Kartini karena menurutnya sepantasnya laki-laki memperlakukan istri mereka sebagai sahabat dan rekan yang sederajat posisinya. Kesetaraan itu Ditujukan bagi Semua Pihak Keras sekali Kartini mengkritik laki-laki Jawa dan budaya patriarki yang melingkupi masyarakat Jawa saat itu. Meskipun demikian, ia sadar bahwa musuh dari ketidakadilan yang menimpa perempuan bukanlah laki-laki melainkan suatu sistem budaya bernama patriarki. Hal ini tercermin dalam suratnya pada Zeehandelaar. “Lagi pula hendaklah aku menghapuskan pembatas antara laki-laki dan perempuan yang diadakan orang dengan amat telitinya, sehingga menggelikan. Yakinlah aku, bila pembatas itu lenyap, hal itu akan menguntungkan laki-laki terutama.”[2] Masih sering penulis temui orang-orang dengan persepsi yang salah akan istilah kesetaraan gender di masa ini. Mendengar konsep feminisme dan kesetaraan gender, ada yang memandangnya sebagai ancaman atau upaya para perempuan untuk mengungguli dan menindas kaum laki-laki. Penyebab dari adanya kesalahpahaman ini adalah ketidaktahuan atau informasi yang salah. Sayang keterbatasan akses pada informasi atau kemalasan seringkali menjadi penghalang bagi orang-orang ini untuk memahami dengan betul apa itu kesetaraan gender. Penting bagi kita untuk belajar dari pemikiran Kartini ini. Ia mengerti bahwa dasar dari pemikiran laki-laki yang merendahkan perempuan merupakah hasil doktrinasi semenjak usia dini. Pada masanya (mungkin masih banyak juga diterapkan pada masa ini), anak laki-laki dididik untuk tampil perkasa. Tidak boleh menangis, kuat secara fisik maupun mental. Ketika seorang anak laki-laki menyimpang dari didikan yang diajarkan oleh orangtuanya (celakanya seringkali ibu mereka juga turut mengajarkan ini) maka ia akan dicela “Lemah! seperti anak perempuan saja.” Akibatnya, laki-laki yang tumbuh dengan didikan ini terbiasa dengan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang tak sederajat, lebih lemah, dengan dirinya. Mereka kemudian merasa berkewajiban untuk menjadi seorang pemimpin, pelindung, dan menanggung kehidupan perempuan dan keluarganya. Meletakkan beban dua orang di atas satu pundak. Kita dapat melihat betapa banyaknya laki-laki yang juga berinisiatif menentang patriarki dan terinspirasi oleh semangat Kartini. Oleh karenanya, menumpas patriarki bukan berarti membela perempuan dengan membabi buta dan menyudutkan laki-laki tanpa memandang duduk persoalan. Karena sejatinya kesetaraan atau keadilan gender adalah kerjasama diantara laki-laki dan perempuan. Catatan Belakang: [1] Th. Sumarna, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993, hlm.19 [2] Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang / R.A.Kartini, Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 65 Daftar Pustaka: Pane, Armijn. 1992. Habis Gelap Terbitlah Terang / R.A.Kartini. Jakarta: Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara. Sumartana, Th. 1993. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Soebadio, Haryati dan Saparinah Sadli. 1990. Kartini Pribadi Mandiri. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Soebadio, Haryati. 1990. Peranan Kartini untuk Masa Depan. Dalam Aristides Katoppo (Ed.). Satu Abad Kartini: Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tondowidjojo, John. 1993. Mengenang R.A.Kartini dan Tiga Saudara dari Jepara. Surabaya: Yayasan Sanggar Binatama. Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] “Ibu Kita Kartini, Pendekar Bangsa Pembela Kaumnya Untuk Merdeka” (Ibu Kita Kartini – W.R. Soepratman) Tanggal 21 April, setiap tahunnya, kita peringati sebagai hari Kartini. Lagu-lagu dikumandangkan, salon-salon penuh untuk menyewa baju kebaya dan berbagai baju daerah lainnya, sale besar-besaran khusus perempuan di minggu Kartini. Kartini.. Kartini… mungkin banyak yang mengenalmu, tau perjuanganmu, tapi belum tentu tau berarti memahami. Saya mencoba mengenal kamu dalam sebulan terakhir ini melalui beberapa literatur, browsing di internet, dan melihat papan sale pinggir jalan. Apakah ini yang kamu mau? Kisah Tragis Kartini Apa yang kita kenal dari wilayah Jepara selain Kartini dan ukirannya yang terkenal? Kartini lahir di Jepara dengan gelar Raden Ayu karena ayahnya, RM Adipati Sosroningrat adalah seorang Bupati Jepara yang naik pangkat gara-gara menikah lagi dengan seorang anak Raja Madura. Menurut Biografi “Panggil aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer, Kartini berasal dari rahim istri pertama Adipati Sosroningrat yang bernama Ngasirah, anak seorang mandor gula di Majong. Dua saudari yang dipingit bersama Kartini di usianya yang ke-12 tahun adalah saudari-saudari tiri dari ibu kedua Kartini. Menurut Pram juga, Kartini dibesarkan oleh kasih sayang sang ayah karena ibu kandungnya entah dicerai entah pergi meninggalkan rumah dan ia diasuh oleh “emban” atau bisa jadi oleh ibu keduanya. “yang mengasuh Kartini pada masa kecil adalah konflik rumah tangga dan konflik permaduan” demikian ditulis Pram. Kartini bisa dibilang beruntung, bisa dibilang dikutuk. Statusnya sebagai priyayi yang membuat dia bisa mengenyam bangku sekolah rendah Belanda. Tidak.. tidak…. seperti sekarang kita sekolah dididik agar menjadi pintar. Kartini pergi ke sekolah dengan harapan agar dia mempelajari etiket, tata krama, dan bahasa Belanda. Tidak tersedia cita-cita lain bagi seorang perempuan priyayi Jawa selain menjadi seorang Raden Ayu. Status Priyayi kemudian mengutuknya ketika berumur 12 tahun. Kartini, si calon Raden Ayu harus dipingit, melalui surat-suratnya kita bisa melihat kepedihan Kartini yang harus dipisahkan dari sekolah yang ia cintai. Tapi walaupun ayahnya sangat revolusioner dan salah satu dari empat Bupati Jawa yang mampu berbahasa Belanda, hal tersebut tidak cukup untuk membuat ayahnya melolosakan diri dari cengkram tradisi Feodalisme. Tapi tenang, tidak ada tembok yang mampu mengekang ide yang tumbuh berkembang. Kartini hidup dibalik tembok bersama dengan segala yang dia baca. Pemikiran Kartini bergerak seiring dengan kemajuan modernitas. Kita bisa melihat buah pikirannya yang jauh melampaui jaman ketika ia tinggal melalui surat-suratnya kepada Estella H. Z Heehandelar. Ia pula menulis surat pengumuman di sebuah majalah perempuan Belanda Holandsce Lelie untuk mencari teman pena, “Seorang gadis modern berani, dan independen yang berjuang demi masyarakat luas” menjadi syaratnya. Dan ditemuinya pula Nyonya Henri Hubertus van Kol serta Marie C.E.Ovink-Soer, semua melalui pucuk-pucuk surat. Sekarang kita kembali lagi ke kisah tragis Kartini. Goenawan Mohamad menyebut Kartini sebagai tokoh epik sekaligus tragis. Kartini menggugat ketidakadilan yang terjadi padanya. Dan ia sekaligus menjadi korban. Kartini mengeluhkan tentang Poligami, padahal ia adalah anak dengan dua ibu, sekaligus menjadi istri dari suami yang telah memiliki tiga istri sebelumnya, Kartini meninggal di usia yang amat muda 25 tahun tanpa pernah mengecap pengalaman sebagai Ibu, ia terlanjur meninggal ketika melahirkan. Polemik Kartini sebagai Pahlawan Nasional Pemilihan Kartini sebagai pahlawan ditetapkan oleh Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964. Pernah pula Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar Guru Besar UI mengkritik perihal pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dalam “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979) yang dijadikan propaganda menentang Feminisme oleh peneliti INSIST Tiar Anwar Bachtiar[1]. Menurutnya, Kartini ada ketersinggungan dengan Snouck Hurgonje yang ingin memperkecil peran islam di Nusantara karena Kartini menyebut-nyebut nama Snouck dalam surat-suratnya kepada Ny. Abendanon. Selain dari Pram, saya menemukan Literatur yang cukup baik yang bercerita tentang Kartini dari Buku Angle of Vision karya Andi Achdian. Dalam bab berjudul ‘Kartini’, dibahas biografi Singkat Kartini dan gerak zaman yang melingkupinya. Tak luput pula bagaimana polemik pemilihan Kartini sebagai tokoh Sejarah. Jika Pram dalam bukunya menulis bahwa Kartini adalah contoh terbaik dalam didikannya (politik etis) yang bisa diberikan kepada Pribumi jajahannya[2] hal ini dituduhkan karena dekatnya Kartini dengan orang-orang Belanda, dan Kartini juga mencicipi pendidikan modern ala Eropa. Pada Desember 2010 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dipertanyakan ‘Kepahlawanan Kartini’ melalui seminar berjudul “Menakar Bobot Kepahlawanan” yang dilakukan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia. Kartini seringkali hanya merepresentasikan budaya Jawa, perjuangannya hanya sebatas Ide dan surat-surat, berbeda seperti yang dilakukan Dewi Sartika yang membentuk sekolah Keutaman Istri ataupun Rohana Kudus seorang jurnalis perempuan. Dengan cukup bijak, Sejarahwan UI ini mengungkapkan bahwa polemik Kartini sebagai pahlawan bukanlah dilihat dengan ‘menakar’. Pahlawan muncul dalam bentuk lain: Inspirasi bagi seorang individu dalam masyarakatnya dengan cara memahami persoalan bukan sekedar mengangkat citra dangkal konsepsi kita tentang Pahlawan.[3] Kartini dalam Feminisme Poskolonial Kartini sering diidentifikasi sebagai Wanita Jawa yang sebagaimanapun ia berontak, akhirnya tunduk juga menikah dan dimadu. Sesuai yang tertera dalam Serat Candrarini bahwa status perempuan Jawa yaitu, 1) Setia pada Lelaki, 2) Rela dimadu, 3) Mencintai Sesama, 4) Trampil pada pekerjaan, 5) Pandai berdandan dan merawat diri, 6) Sederhana, 7) Pandai memahami kehendak laki-laki, 8) Menaruh perhatian pada mertua, 9) Gemar membaca buku berisi nasihat[4]. Kemudian Kartini ditarik pula sebagai ikon Feminis, seperti yang diungkapkan W.R. Soepratman dalam lagunya, “Pendekar kaumnya, untuk merdeka”. Kartini dibelenggu budaya dan tradisi, ia ingin bebas, merdeka dan menginginkan penduduk pribumi merasakan hal yang sama. Gadis Arivia dalam “Poskolonialisme dan Feminisme, dimanakah Letak Kartini?” dalam buku Feminisme Sebuah Kata Hati memposisikan Kartini sebagai seorang Feminis Liberal yang memperjuangkan hak dan menitikberatkannya pada ide. Kedekatan dan kepeduliannya dalam surat-suratnya dianggap sebagai keributan terhadap ego rasional dirinya bukan pemecahan kesunyian kaumnya yang dianggap sebagai the other[5]. Kartini dalam pendekatan Feminis poskolonial menyuarakan subaltern-nya, sosok perempuan dunia ketiga yang terjerat antara tradisi dan modernitas. Statusnya sebagai perempuan priyayi jawa dan keinginananya menjadi perempuan Eropa yang tidak dipingit dan mampu bersekolah[6]. Ingat Kodrat, ya? Katakanlah bagaimana jika Kartini tidak dipilih oleh Belanda sebagai ikon propaganda keberhasilan politik etis. Bukan tidak mungkin Soekarno, bahkan kita tidak mengenal usaha dan ide-ide perempuan yang terlampau maju melebihi jamannya. Katakanlah jika kita memilih ikon lain untuk menggantikan Kartini merayakan harinya. Baik Belanda maupun Orde Baru yang memposisikan Kartini sebagai dua citra perayaan yang berbeda. Sebagai produk pendidikan sukses dan sebagai representasi budaya Jawa. Kartini tertinggal hanya sebagai ikon. Kartini sebagai ikon yang terus menerus dimaknai oleh zaman. Padahal yang ia inginkan adalah cita-cita perempuan yang tidak sebagai istri. Perempuan harus keluar dari pingitan yang membelenggunya melalui kaki-tangan budaya atau pemaksaan kewajiban kemampuan memasak, mengurus anak, dan mengurus rumah. Begitu saya browse di google “merayakan hari Kartini” hingga kini, kita masih menghabiskannya dengan pawai kebaya atau alternatifnya adalah lomba memasak. Semua yang menjadi domestifikasi perempuan. Beberapa tulisan yang memaknai hari Kartini meminta perempuan Indonesia sebagai Kartini, bekerja tapi, ingat kodrat ya, kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga. Sekali lagi, siapapun yang membaca ini dan masih berpikiran Kartini menginginkan itu, anda sungguh-sungguh ahistoris. Catatan Belakang: [1] Tiar Anwar Bachtiar menulis “Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah” sumber asli dari web insistnet.com sudah tidak bisa diakses lihat salinannya di Jurnal Islamia Republika-INSIST (April 2009) [2] Pramoedya Ananta Toer. 2012. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara hal 12 [3] Andi Achdian. 2012. “Kartini” dalam Angel of Vision. Jakarta: LOKA Publishing [4] Wasito Raharjo Jati “Wanita, Wani Ing Tata:Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme” dalam Jurnal Perempuan: Budaya, Tradisi, dan Adat” No 84 Vol. 20 No.1 Febuari 2015 hlm 92 [5] Gadis Arivia. 2006. “Poskolonialisme dan Feminisme, dimana Letak Kartini?” dalam Feminisme Sebuah Kata Hati. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan [6] Pramoedya Ananta Toer, Opcit, hal 63 Sumber Internet: http://kvltmagz.com/kartini-dan-korupsi/ diakses pada 14 April 2015 pukul 23.34 http://lakilakibaru.or.id/2011/05/feminisme-kartini-dan-maskulinitas-baru/ diakses pada 14 April pukul 12.05 http://www.eramuslim.com/berita/nasional/pakar-sejarah-kesan-kartini-seorang-feminis-adalah-taktik-belanda.htm diakses pada 14 April 2015 pukul 23.55 http://ciricara.com/2014/04/21/cara-unik-merayakan-hari-kartini/ diakses pada 15 April 11.48 Indriyani Sugiharto (Mahasiswi Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada) [email protected] Sewaktu saya duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) ada tanggal dimana saya disulap ibu dengan dandanan mirip dia di foto pernikahannya lengkap dengan kebaya, gelung dan make up menor untuk berangkat ke sekolah, yaitu tanggal 21 April. Pasalnya, setiap tanggal itu saya tidak mengenakan seragam merah putih atau pramuka tetapi kebaya. Satu hari sebelum tanggal 21 April, guru selalu mengingatkan murid-muridnya “Jangan lupa bilang ibu besok Kartinian, ya?” Betapa senang hati saya bila tanggal itu tiba. Disamping rasa girang saya bisa memakai kebaya dengan rambut digelung, pada tanggal 21 April kegiatan belajar mengajar juga dikosongkan. Seharian saya dan teman-teman hanya sibuk memperhatikan baju dengan banyak ornamen kelap-kelip yang kami pakai satu sama lain. Pada waktu itu saya masih SD jangankan bertanya, rasa ingin tahu apakah yang dimaskud ibu guru dengan istilah Kartinian-pun tidak ada. Pesan guru yang seolah ditujukan pada ibu-ibu kami pun menjadi salah satu hal yang membuat saya acuh pada makna dari tanggal 21 April yang terjadi bertahun-tahun pada pemahaman saya. Kartinian adalah hari dimana seorang ibu akan bertugas untuk mendandani anaknya seperti pengantin dengan adat jawa. Sewaktu saya duduku di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kebiasaan tahunan untuk memakai baju adat setiap tanggal 21 April masih berjalan. Namun ada yang berubah dalam kebiasaan menyambut tanggal 21 April dibandingkan tahun-tahun sebelumnya di SD. Guru mulai memberitahu makna tanggal 21 April yaitu perayaan menyambut Hari Kartini. Waktu itu saya hanya menanggapi sebatas “Oh gitu”, namun salah seorang teman di kelas yang dianggap pintar sedikit cerewet bercerita kenapa kita harus merayakan tanggal 21 April sebagai hari Kartini. Menurutnya, Kartini adalah tokoh emansipasi. Sejak kecil telinga saya memang akrab dengan kata emansipasi. Kata tersebut lebih sering terdengar oleh saya pada bulan April, khususnya di pertengahan bulan April.
Tambah teman saya, karena Kartini kami perempuan sekarang bisa bersekolah. Tidak mempedulikan dan tidak juga mengerti apa arti dari kata emansipasi, pada waktu itu saya tidak sepakat dengan alasan teman yang menyatakan saya bisa sekolah karena Kartini. Saya tidak mengenal Kartini, begitupun orang tua saya. Saya pun sampai berpikir memangnya kalau saya mau bayar SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) saya minta Kartini? Tidak. Sekarang saya berstatus sebagai seorang mahasiswa. Saya mulai mengingat lagi pernyataan teman saya yang mengatakan karena Kartini perempuan bisa sekolah. Pada waktu itu saya tidak tahu sebenarnya apa hubungan menjadi perempuan dan sekolah? Saya hanya bisa bertanya pada diri sendiri setelah satu persatu teman perempuan saya menikah pada usia yang sangat dini. Mengapa Tina tidak kuliah malah jadi SPG (Sales Promotion Girl)? Mengapa Ayu yang bekerja di Korea setelah lulus SMA terlihat tidak bahagia? Saya pun tidak tahu pasti apakah mereka benar-benar memilihnya atau mungkin mereka memang tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Terlepas dari itu, selama di Universitas tidak ada lagi kebiasaan memakai baju adat ke kampus pada tanggal 21 April. Kebiasaan menyambut Hari Kartini diubah dengan beberapa undangan seminar atau diskusi dengan topik perempuan. Namun saya juga tidak mengatakan bila sekarang saya sudah mengerti betul siapa Kartini dan kenapa kita harus merayakan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. “Ibu kita Kartini, Putri Sejati?” Telah banyak artikel yang saya temukan mengenai betapa besar Kartini berjasa bagi bangsa Indonesia khususnya perempuan. Telah banyak juga saya temukan artikel yang mempertanyakan mengapa harus Kartini? Mengapa tidak Tjoet Nja’ Dhien? Mengapa tidak Dewi Sartika? atau lainnya.
Kartini dianggap membukakan jalan bagi perempuan-perempuan di Indonesia pada kesetaraan gender, khususnya dalam pendidikan. Melalui kumpulan surat-suratnya yang dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” terlihat ketidaksepakatannya pada tata cara dan aturan yang mengikat perempuan jawa.
Ketidaksepahaman Kartini atas aturan tersebut cukup beralasan karena dia harus menjalani masa pingitan yang telah membelenggunya, serta tidak diizinkannya Kartini melanjutkan sekolah di Belanda oleh ayahnya. Bahkan demi melarang keinginannya untuk bersekolah, akhirnya dia dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang dan meninggal saat melahirkan anak pertamanya Raden Mas Soesalit. Beberapa mengatakan kisah hidup seorang Kartini yang begitu poupuler tak lepas dari lingkungan yang turut membentuk karakternya, serta pertemanannya dengan orang-orang kolonial dan kaum elite pribumi semasa sekolah, oleh karena itu dia bisa menguasai bahasa Belanda dan mendapatkan pendidikan model barat yang sekuler dan sosialis.[4] Hal tersebutlah yang menjadikan kecurigaan beberapa pihak bahwa Kartini sengaja dipilih oleh Belanda, salah satunya karena ayahnya yang memegang pemerintahan di Jepara. Bila bicara mengenai tokoh perempuan yang berjuang pendidikan, banyak yang mempertanyakan mengapa Dewi Sartika (1884-1947) atau Rohana Kudus yang bahkan sempat mendirikan sekolah-sekolah tidak sepopuler Kartini?
Hampir semua dari kita pernah diajarkan lagu “Ibu Kita Kartini” sewaktu kecil. Banyak juga dari kita yang sudah hafal. Saya kemudian berpikir, apakah karena kalimat Ibu kita Kartini, Puteri sejati maka pada tanggal 21 April sewaktu SD saya selalu memakai kostum kebaya dengan gaya Kartini serta menganggap ke-sejati-an seorang pahlawan perempuan harus memakai kebaya dengan gelung rapi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi saya seorang pahlawan perempuan harus turun ke medan perang membawa senjata, apalagi naik kuda. Kartini-Kartini dalam Pendidikan, Gizi dan Lingkungan Hidup Dalam sebuah program magang di Rumpun Tjoet Nja’ Dhien, LSM dengan fokus pada isu Pekerja Rumah Tangga yang kebetulan sama dengan nama tokoh perempuan dari Aceh, kemudian saya mengenal Kartini. Kartini yang saya kenal disini biasa dipanggil Lek Jum. Lek Jum merupakan salah satu pegiat sekaligus peserta “sekolah mingguan” bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sewaktu magang, saya hampir seminggu tiga kali bertemu dengannya. Di malam senin, rabu dan jumat dia selalu bersiap dengan pulpen dan catatan di tangan untuk mengikuti kelas bahasa Inggris bersama saya dan satu teman magang dari Amerika. Sedangkan di hari minggu Lek Jum akan datang paling awal untuk mengikuti “sekolah mingguan” di Sekolah PRT. Terdapat beberapa kelompok atau serikat Pekerja Rumah Tangga di Jogja, Lek Jum bergabung dalam Serikat PRT Tunas Mulia. Ilmu yang dia dapatkan dari kelas bahasa Inggris dan sekolah PRT kemudian akan dilanjutkan ke teman-teman PRT di Serikat PRT Tunas Mulia yang tidak bisa bergabung dalam “sekolah mingguan”. Lek Jum yang tidak pernah lelah membagi ilmunya dan berjuang membela hak-hak Pekerja Rumah Tangga adalah Kartini. Kartini lain yang saya kenal bernama Boi dan Ina. Saya biasa menyebutnya Mama Boi dan Mama Ina karena mereka merupakan ibu angkat saya selama menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kepulauan Alor. Selama hampir dua bulan menjalankan KKN saya tinggal dan diangkat menjadi anak oleh satu keluarga. Rumah yang saya tinggali dihuni oleh sekitar lebih dari sepuluh anggota keluarga besar Bapak Djasa Samiun. Mama Boi dan Mama Ina adalah istri dari ayah angkat saya Djasa Samiun. Walaupun secara pribadi saya tidak setuju pada poligami, namun ada yang menarik perhatian saya pada keluarga ini. Menurut keterangan kakak angkat saya, selama menikah lebih dari 30 tahun tidak pernah terjadi perselisihan serius diantara ayah dan mama-mama kami. Beberapa hari menjadi anak angkat, saya mulai paham akan pola komunikasi dan pembagian kerja dalam keluarga angkat saya. Ayah saya yang mengalami cedera kaki dan susah berjalan tidak dapat melakukan kerja berat. Mama Boi sehari-hari mengurus kebun sayur pribadi mulai dari mencangkul, menanam, menyirami sampai memanen. Sedangkan Mama Ina bertugas mengolah semua bahan makanan sehari-hari dari hasil kebun. Setiap Selasa Mama Boi dan Mama Ina berangkat pagi buta ke Pasar tumpah yang hanya ada seminggu sekali untuk menjual sayuran atau melakukan barter dengan penjual lain. Walaupun keluarga kami tidak punya cukup uang untuk membeli ayam atau daging tapi Mama Boi dan Mama Ina terus menanam sayur yang dipetiknya setiap pagi dan sore hari agar anak-anak dan cucunya bisa terus kenyang. Mama Ina dan Mama Boi yang berjuang demi untuk memenuhi gizi anak cucunya adalah Kartini. Satu lagi Kartini yang pernah saya temui adalah Aleta Baun. Saya yakin beberapa sudah akrab dengan nama tersebut. Aleta Baun dikenal sebagai perempuan yang memimpin perjuangan mengusir penambangan marmer yang ada di Nausus dan Anjaf, bukit yang dikeramatkan oleh suku Mollo. Bagi suku Mollo yang tinggal di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, air, hutan, tanah dan batu adalah bagian dari identitas mereka. Keberanian yang ada pada diri Aleta Baun mengilhami suku Amanatun dan Amanuban untuk bergabung dalam perjuangan melawan kerusakan alam tersebut. Melalui festival tahunan Ningkam Haumeni, suku Mollo, Amanatun dan Amanuban bersatu untuk bersumpah melawan segala bentuk penambangan yang akan merusak alam dan kebudayaan mereka.[6] Pertengahan tahun 2014 saya dan tiga teman berkesempatan datang dalam festival Ningkam Haumeni di Fatu Nausus, Timor Tengah Selatan. Festival yang diisi dengan banyak kegiatan mulai dari diskusi dengan topik pangan, menanam sayur dan ubi serta berbagai acara adat di lokasi bekas tambang marmer digelar selama beberapa hari. Kegiatan yang dilakukan oleh ketiga suku tersebut mengingatkan mereka akan perjuangan sebelumnya dalam melawan pertambangan. Banyak hal yang membuat saya kagum, mulai dari warna warni tenun khas timor yang mereka pakai sampai komitmen mereka yang hanya makan dari hasil di tanah mereka. Selama beberapa waktu tinggal disana, saya disuguhkan dengan pangan lokal yaitu jagung, sorgum, madu dan jeruk hutan. Aleta Baun adalah Kartini. Catatan Belakang: [1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. [2] Surat R. A Kartini kepada Estelle Zeenhandelaar, 18 Agustus 1899. [3] Surat R.A Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899. [4] Iffati Aulia Rachmaingati, “Bukan Kartini Biasa” , diakses dari https://morfobiru.wordpress.com/2012/09/19/bukan-kartini-biasa/, pada 14 April 2015 pukul 20.00 WIB. (Peringkat dua kompetisi esai AKAMIGAS tahun 2010 dalam rangka memperingati Hari Kartini) [5] Tiar Anwar Bachtiar, “Mengapa Harus Kartini?” , diakses dari http://insistnet.com/mengapa-harus-kartini/, pada 14 April 2015 pukul 22.00 WIB. [6] Nunuy Nurhayati, “Sumpah Darah di Baukit Keramat”, Tempo, edisi 23 September 2012. Andi Misbahul Pratiwi (Asisten Redaksi Jurnal Perempuan) [email protected] Judul : Mengupas Seksualitas Penulis : Musdah Mulia Penerbit : Opus Press Tahun terbit : 2015 Tempat terbit : Jakarta Tebal buku : Xix + 235 hlm. Bagi kebanyakan orang topik diskusi mengenai seksual adalah hal yang ditabukan. Kata ‘seks’ dinilai sebagai sesuatu hal yang harus disembunyikan, tidak diperbincangkan dan dianggap tidak penting. Isu seksualitas kerap dipandang tabu untuk diperbincangkan sehingga tidak heran jika banyak orang, termasuk kalangan terpelajar belum mengetahui secara benar organ-organ seksual dan fungsi-fungsinya, kesehatan reproduksi dan pentingnya pemenuhan hak-hak seksual manusia. Namun tidak untuk Musdah Mulia, perempuan pertama dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Departemen Agama (1999) dan menerima penghargaan International Women of Courage mewakili Asia Pasifik dari Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice atas upayanya mempromosikan demokrasi dan HAM pada tahun 2007 dalam peringatan International Women Days di Gedung Putih US. Musdah Mulia melalui buku ini menjelaskan secara menyeluruh mengenai seksualitas mulai dari hak-hak seksual dan reproduksi, kekerasan seksual dan bagaimana islam memandang seksualitas. Buku ini juga disertai pengantar pemahaman istilah seks, interseks, gender, transgender, seks dan seksualitas yang sering mengalami diskursus. Buku ini memiliki keberpihakan terhadap perempuan dan kaum minoritas dengan kerangka feminisme dan pendekatan Islam yang humanis. Terbukti dengan adanya beberapa bab dalam buku ini yang menjelaskan tentang permasalahan yang sering dialami oleh perempuan seperti kesehatan reproduksi, sunat perempuan, dan aborsi dalam pandangan Islam. Tidak tertinggal juga oleh Musdah Mulia untuk membahas tentang konsep memanusiakan penderita HIV/AIDS. Buku ini menjadi panduan yang bagus untuk mengetahui seksualitas dengan segala dimensi dan problematikanya. Sangat mudah dipahami karena ditulis dengan bahasa yang lugas dan sederhana.
Hak-Hak seksual Seksualitas merupakan suatu ekspresi hasrat erotik atau berahi manusia yang dikonstruksikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan melibatkan faktor politk, ekonomi, nilai budaya dan ajaran agama. Sebab, seksualitas merupakan esensi kemanusiaan paling nyata karena menunjukkan jati diri manusia yang paling dalam. Seksualitas tidak bekerja secara alami dalam diri manusia, melainkan harus dipelajari dengan seksama karena terdapat pengetahuan tentang unsur-unsur anatomi tubuh, nilai-nilai etika, hak-hak manusia, kesehatan reproduksi, dan nilai-nilai spiritual yang dalam. Masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai hal negatif, bahkan tabu dibicarakan. Akibatnya banyak hal positif dari seksualitas yang disembunyikan dan diingkari. Hal itu membuat manusia tidak mengerti tentang pentingnya pemenuhan hak-hak seksual. Perempuan dan laki-laki memiliki hak atas tubuhnya. Mereka berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan hal yang positif. Perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Fakta bahwa perempuan secara alamiah memiliki kemampuan fungsi reproduksi berupa berupa menstruasi, kehamilan, melahirkan dan menyusui telah diartikan bahwa tubuh perempuan dianggap berbahaya dan tidak dapat dikontrol, bahkan sama sekali tidak dapat dipahami secara rasional. Konstruksi sosial mengenai relasi seksual juga masing sangat didominasi paradigma heteronomativitas dan ideologi patriarki yang sarat dengan ketidakadilan gender. Akibatnya, berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, anak-anak dan kelompok difabel tetap terjadi di masyarakat. Stigma dan prejudice terhadap kelompok orientasi seksual minoritas pun masih menguat. Semua itu membuat kasus-kasus perkawinan anak-anak, perkosaan, trafficking (perdagangan perempuan), prostitusi, poligami, perceraian, penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya semakin merebak dalam masyarakat. Hak seksual adalah bagian integral dan merupakan unsur terpenting dari Hak Asasi Manusia (HAM). setiap orang memiliki hak atas seksualnya yang tidak dapat diabaikan sedikit pun tanpa mengenal pembedaan dalam identitas kelamin, identitas gender, dan orientasi seksualnya. Karena itu, negara dan masyarakat berkewajiban membantu terpenuhinya hak seksual tersebut serta mempromosikan prinsip nondiskriminasi, prinsip nonkekerasan, dan prinsip kesetaraan bagi semua orang termasuk kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasioanl menyatakan bahwa pemenuhan hak seksual manusia didasarkan pada tujuh prinsip utama. Prinsip hak seksual sebagai hak asasi manusia yaitu, (1) Prinsip perlindungan demi tumbuh kembang anak-anak, (2) Prinsip nondiskriminasi, (3) Prinsip kenikmatan dan kenyamanan, (4) Prinsip kebebasan yang bertanggungjawab, (5) Prinsip penghargaan, (6) Prinsip Kbebasan manusia, (7) Prinsip pemenuhan hak. Dalam mempromosikan hak-hak seksual dalam kehidupan bermasyarakat ada 3 hal yang menjadi hambatan. Pertama, hambatan kultural atau budaya. Budaya patriarki di masyarakat masih memandang perempuan sebagai objek seksual. Kedua, hambatan struktural berupa kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok transgender serta mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Ketiga, hambatan interpretasi ajaran agama. Umumnya, interpretasi agama yang tersosialisasi luas di masyarakat masih belum ramah terhadap perempuan dan kelompok transgender. Kekerasan seksual terhadap perempuan Kekerasan terhadap perempuan mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di arena publik maupun didalam rumah tangga. Konsideran deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan secara tegas bahwa akar masalah kekerasan terhadap perempuan adalah ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut menjadi hambatan yang serius bagi kesejahteraan dan kemajuan perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat dikelompokkan kedalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik dan di ranah publik. Akar penyebab kekerasan terhadap perempuan didorong oleh beberapa faktor. Pertama, ketimpangan gender. Sejumlah studi menunjukkan bahwa KDRT berkaitan erat dengan posisi subordinasi perempuan dalam kehidupan keluarga. Dalam masyarakat masih kuat anggapan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri hanyalah ibu rumah tangga. Posisi tidak setara ini dibakukan dalam undang-undang perkawinan 1974. Kedua, perlidungan hukum yang belum memadai. sejumlah kebijakan dan perundang-undangan juga menguatkan subordinasi perempuan. Misalnya, UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat (1) dan (2): “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya”. Aturan seperti ini jelas menempatkan istri sangat tergantung secara ekonomis kepada suami, dan sebagai konsekuensinya, berada dibawah kekuasaan suami. Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarki. Budaya patriarki memberikan stigma terhadap perempuan sehingga posisi perempuan menjadi lemah. Tubuh seksual perempuan dianggap ancaman berbahaya bagi kemurnian laki-laki dan menjadi alasan untuk membenarkan aniaya verbal dan fisik terhadap perempuan. Tubuh perempuan sebagai sasaran objek yang mudah dieksploitasi. Keempat, pemahaman agama yang bias mengenai status perempuan dalam keluarga. interpretasi dan tafsir agama misoginis seperti inilah yang justru banyak disosialisasikan. Konsekuansinya, tafsir agama yang lebih ramah terhadap perempuan dituduh menentang pendapat arus utama yang sudah mapan di masyarakat. Islam dan perilaku seksual Dalam sumber klasik Islam, para ulama membagi keberadaan al-mukhannats (perilaku menyerupai perempuan) kedalam dua kategori. Pertama mukhannats khalqi atau yang kodrati dan yang kedua adalah mukhannats bi al-qashdi atau yang disengaja. Para ulama zaman klasik menyatakan bahwa terhadap al-mukhannats tidak boleh direndahkan atau dihukum. Celaan dan hukuman hanya boleh dikenakan terhadap mukhannats bi al-qashdi. Penting dikemukakan bahwa para ulama mengidentifikasi mukhannats bi al-qashdi sebagai kecenderungan seks yang dibuat-buat, bukan hasil konstruksi sosial. Pemahaman para ulama tersebut mungkin dianggap terlalu sederhana. Homo seksual, dalam pemahaman sekarang sesungguhnya memiliki kompleksitas persoalannya sendiri. Ia tidak sekedar menyangkut persoalan perilaku fisik dan seksual, melainkan juga soal medis, psikologis, dan kultural. Hukum islam selalu tertuju kepada perbuatan yang dikerjakan manusia dengan pilihan bebas, bukan sesuatu yang kodrati dimana manusia tidak dapat memilih. Orientasi seksual adalah kodrat, sementara perilaku seksual adalah hasil konstruksi sosial. Karena itu, hukum Islam lebih berbicara tentang perilaku seksual buakan orientasi seksual. Berkaitan dengan perilaku seksual, Islam menegaskan pentingnya hubungan seks yang aman, nyaman dan bertanggung jawab serta penuh rasa kasih sayang. Islam mengecam semua perilaku seksual yang mengandung unsur pemaksaan, kekerasan, kekejian, ketidaknyamanan, tidak sehat dan tidak manusiawi. Seperti berzina, melacur, incest (hubungan seksual orang tua dan anak), fedofili, seks dengan hewan dan semua bentuk perilaku seks yang berpotensi menularkan penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya. Meskipun seseorang memiliki orientasi heteroseksual, namun ketika perilaku seksualnya penuh kekerasan dan berpeluang menularkan penyakit berbahaya maka yang bersangkutan dipandang menyalahi hukum Islam. Keyakinan bahwa Tuhan mahakuasa dan maha pencipta seharusnya membuat umat beragama menjadi lebih hormat dan lebih empati kepada sesama manusia, apa pun jenis kelamin biologisnya, jenis kelamin sosialnya (gender) dan orientasi seksualnya. Kebhinekaan adalah bukti kebesaran Tuhan. Berbagai kajian terhadap isi Al-Quran menyimpulkan bahwa Al-Quran hanya menyebut dua jenis identitas gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Sementara literatur fikih menyebut ada empat varian, yaitu perempuan, laki-laki, khunsa (orang yang memiliki alat kelamin ganda, umumnya mereka senang berpenampilan sebagai perempuan) dan mukhannits (laki-laki secara biologis, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian kelamin). Dalam bahasa Arab tidak dikenal kosa kata untuk orientasi seksual homo. Homoseksual berkaitan dengan orientasi seksual, sedangkan khunsa berhubungan dengan identitas gender. Dalam kitab-kitab fikih istilah homoseksual sering diartikan sama dengan sodomi. Jika yang dikutuk dalam fikih adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi, maka itu tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang. Sebab, sodomi bukan hanya dilakukan oleh kelompok homoseksual melainkan dilakukan juga oleh kelompok heteroseksual. Islam sangat vokal menyuarakan ancaman bagi semua manusia, apapun orientasi seksualnya (homo, hetero, biseksual, aseksual) jika mereka mempraktikan perilaku seksual yang tidak manusiawi. Kesadaran untuk tidak melakukan stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap sesama manusia dengan alasan apapun adalah pesan utama kenabian dan menjadi esensi ajaran semua agama. Kesadaran itu tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditumbuhkan dan dibangun melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan nonformal di masyarakat dan pendidikan dalam keluarga. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |