Perempuan itu telah menjanda selama 3 bulan, maka kampung X pun geger begitu juga kampung Y. Berita tersebar dengan cepat seperti aroma parfum yang menyengat, begitulah jika perempuan berubah status dari istri menjadi janda. Pintu-pintu rumah tetangga mulai dirapatkan, si empunya rumah yang perempuan takut kalau suaminya tergoda. Anak-anak lelaki dewasa mulai di wanti-wanti oleh ibunya, “Jangan bergaul dengan dia, dia janda baru, awas kalau kamu main ke rumahnya,” begitu ancam ibunya. Jauh sebelumnya, sebelum proses perceraian berlangsung si perempuan yang akan menjadi janda itu habis-habisan diceramahi sanak saudara yang perempuan “Jangan cerai, sudah bertahan saja, meski suamimu tidak kerja dan pemalas tapi dia lebih baik dari si A” atau “Kamu nekat cerai? Memangnya nanti mau makan darimana?” Perempuan seringkali dijatuhkan oleh perempuan. “Mengapa perempuan itu tidak menggunakan bahasa perempuan? Mengapa bahasa yang mereka gunakan bahasa laki-laki? Suara laki-laki. Hasil pemikiran laki-laki. Yang mana bahasa mereka? Mereka hanya bisa menyudutkan perempuan. Memalukan!” Itulah petikan dari cerpen “Sepotong Kaki” dari Oka Rusmini. Dan saya pun mau tak mau sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Oka. Saudara perempuan saya menjanda, dan yang paling pertama menghakiminya adalah saudara perempuan saya yang lainnya. Sebenarnya kenapa mereka mampu menyakiti perempuan? Mungkin hanya karena mereka takut tersaingi, takut lelakinya diambil si janda, takut si janda kekurangan sandang, pangan dan papan yang akhirnya akan merepotkan mereka. Rasa takut atau khawatir mungkin itu salah satu penyebab kenapa kita mudah menghakimi orang lain. Dalam kasus ini janda adalah ancaman, maka perempuan-perempuan merasa terteror dengan sendirinya. Padahal tahu apa mereka-mereka yang di luar pernikahan itu, apakah mereka memahami derita si perempuan ketika masih tinggal satu rumah dengan suaminya? Betapa melelahkannya proses menjadi janda, sidang perceraian, datang berulang kali ke pengadilan, perseteruan dengan dua keluarga, hak asuh anak yang seringkali dianggap kurang adil bagi perempuan. Belum lagi jika hukumnya bisa dibeli. Untuk hal ini proses menjadi janda atau duda mungkin sama melelahkannya, namun laki-laki masih seringkali lebih dianggap benar, tidak terlalu disalahkan oleh keluarganya dan tidak ditekan pada pasca perceraian. Baru saja lewat masa idah (dalam islam) maka si janda sudah disuruh menikah lagi oleh ibunya, oleh saudara-saudara perempuannya, oleh sepupu-sepupu yang perempuannya pula. Semua itu mereka lakukan karena mereka terlampau ketakutan bahwa si janda akan “kedaluwarsa” dan tidak ada yang berminat lagi dengan si janda yang tentunya juga akan merepotkan mereka lagi. Berduyun-duyun disodorkanlah si duda dari kampung sebelah, dengan iming-iming duda keren tidak beranak dan kaya. Belum habis luka itu akibat perceraian, belum sempat rasa bebas dirasakan karena bercerai layaknya seperti lepas dari penjara, namun penjara penghakiman sudah menanti di depan mata, dan yang lebih menyakitkan lagi hal itu dilakukan oleh orang yang mengaku bernama perempuan, memiliki payudara dan vagina yang sama dengan yang si janda miliki. Jika perempuan mampu menyetarakan diri dengan laki-laki, tidak merasa harus mendapat perlindungan secara fisik, status, ekonomi dan lainnya, apa perempuan-perempuan itu masih terus ditakut-takuti? Ketidakmampuan perempuan berpikir bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab atas hidup, menjadikan mereka bergantung, menggantungkan diri pada laki-laki. Berpikir bahwa laki-laki saja yang mampu menopang kehidupan keluarga, menjadikan perempuan ketakutan, semakin khawatir dan terus akan menghamba pada siapa saja yang mampu menyelamatkannya. Di sisi lain, ketakutan perempuan kebanyakan itu seringkali diekspresikan dengan cara menekan orang lain, termasuk perempuan-perempuan lain di sekitarnya. Menjadi janda adalah dilema bagi perempuan, dilema sebuah kebebasan dan tekanan-tekanan baru yang akan muncul. Bernafas lega itu hanya satu dua detik saja, setelahnya harus mempersiapkan segala bentuk jawaban untuk beragam pertanyaan. Selama beberapa hari kemarin media sesak oleh pemberitaan muktamar baik NU maupun Muhammadiyah. Wajar saja, dua Ormas besar Islam ini sejak didirikan memang selalu mewarnai kontestasi sosial dan politik nasional, menjadi bagian dari pelopor kemerdekaan Indonesia melalui para dedengkotnya. Saya kira telah banyak yang memberi ulasan (yang terkesan kompetitif) dari masing-masing simpatisan maupun kader mengenai teduh atau gaduhnya muktamar yang kesemuanya lumayan membuat jenuh. Diskursus Islam Nusantara versus Islam Berkemajuan seperti sebelumnya pun ramai menguap begitu saja ketika muktamar tengah berlangsung. Hal yang paling membuat saya gatal adalah karena seluruh pemberitaan juga ulasan ternyata belum ada yang membubuhi analisis gender dalam perhelatan muktamar kali ini. Seolah-olah muktamar berjalan normal sedemikian adanya, jikapun ada celah kecacatan yang diwacanakan, pastilah terkait mekanisme jalannya acara atau unsur politis yang terjadi di dalamnya. Meskipun demikian, ternyata ada sedikit media online yang mereproduksi suara-suara kader perempuan di masing-masing Ormas ini dalam pemberitaannya. Norma Sari (ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah) beberapa hari lalu mencoba menyentil isu keanggotaan formatur dalam muktamar Muhammadiyah dan dimuat oleh beberapa media online. Kemudian kader Muslimat NU, Hj. Nihayatul Wafiroh menyinggung tentang persoalan-persoalan gender yang diharapkan bisa hadir dalam pembahasan muktamar kemarin. Jika diamati, sejak perhelatan tema muktamar digulirkan melalui diskursus Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan rata-rata opini yang bergulir didominasi oleh kader laki-lakinya. Masing-masing saling mengkritik dengan semanis mungkin terkait tema yang ditawarkan, muaranya sebenarnya satu, yaitu menuju pada “Respon Peradaban Global” saat ini. Bagaimana masing-masing dari keduanya menawarkan konsep ber-Islam yang mampu bersinergi sekaligus menjawab tantangan globalisasi. Ada juga yang gencar mewacanakan akan merancang blue print tentang konsep Ekonomi Islam, hal ini relevan karena kita akan bergelut dengan AEC di penghujung nanti. Mengacu pada road map ASEAN Community, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi penting untuk dihadapi yakni masalah keamanan, ekonomi dan budaya. Dalam persoalan budaya sendiri terdapat salah satu agenda penting yang harusnya senantiasa dirawat, yakni keadilan gender! Namun, menjadi paradoks ketika ormas-ormas yang kian progresif tersebut ternyata tidak satupun melibatkan perempuan dalam calon formaturnya. NU menetapkan 9 orang formatur yang tentu saja semuanya adalah para ulama laki-laki, demikian pun Muhammadiyah memilih dan menetapkan 13 calon formatur yang seluruhnya adalah kader laki-laki, meskipun dalam bakal calon formatur sebelumnya terlibat empat kader perempuan. Dimanakah kader-kader perempuan mereka? Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke muktamar jika sekadar ingin mengamati betapa masih keringnya kesetaraan gender di dalam ormas. Lihatlah pada struktur kepengurusan dari masing-masing Ormas, hampir tidak ada perempuan dalam struktural pimpinannya. Di Muhammadiyah misalnya, hanya terdapat satu perempuan yang secara ex-officio diwakili oleh ketua umum PP Aisyiyah, itu pun di bagian pemberdayaan perempuan dan anak, dan satu lagi di dalam unsur pembantu, yakni majelis DIKTInya. Biasanya konter dari isu tidak adanya keterwakilan dalam anggota tetap formatur di Muktamar ini berupa penyataan sudah adanya ruang tersendiri untuk mewadahinya. Misalnya pendapat Norma Sari yang dijawab oleh ketua umum Muhammadiyah, Din Syamsudin (dimuat di media online yang sama) yakni perempuan telah terwadahi di Aisyiyah. Dalih bahwa perempuan telah disediakan ruang di organisasi atau badan otonomnya ini justru mengindikasikan bahwa Ormas islam yang merancang agenda dakwahnya sesuai konteks perkembangan zaman ini diam-diam masih mengenderkan sebuah “ruang”. Bahwa ada wilayah laki-laki dan wilayah perempuan. Lebih menggelikan lagi ialah ketika pola yang dibangun di dalamnya membentuk suatu struktur layaknya pola keluarga. Misalnya, Muhamamdiyah berperan sebagai ayah, sementara Aisyiyah sebagai ibu yang kemudian melahirkan Pemuda Muhammadiyah sebagai anak laki-laki dan Nasyiatul Aisyiyah sebagai anak perempuan. Kemudian contoh lain adalah NU sebagai ayah, Muslimat NU sebagai ibu yang kemudian melahirkan GP Ansor (Gerakan Pemuda Ansor) sebagai anak laki-laki dan Fatayat NU sebagai anak perempuan. Jika demikian, kita lalu bisa mengidentifikasi lebih lanjut jenis relasi seperti apa yang terjalin diantara mereka, meminjam tawaran Scanzoni, apakah (1) Property Owner (2) Head Complement (3) Senior-Junior Complement, ataukah (4) Equal partnership. Untuk mengukurnya kita pun bisa melihat aktivitas dakwah politik dan kulturalnya. Mungkin kita akan sepakat bahwa memang peran ayahlah yang terlalu dominan di kancah struktural maupun kultural, dialah yang berperan sebagai kepala keluarga. Dengan begitu relasi yang dibangun masihlah lebih kepada Senior-Junior Complement. Sementara istri dibatasi pada isu-isu perempuan, celakanya lagi ketika gender masih diyakini sebagai ranah perempuan (semata). Sebenarnya bukannya tidak pernah ada perbincangan terkait perihal gender di masing-masing Ormas maha penting ini. NU dalam Munas di NTB tahun 1997 pernah menghadirkan perdebatan ini, PB NU yang sekarang menjabat adalah salah satu yang berada di pihak kepeloporan perempuan, sementara masih ada yang bersikeras meruangkan wilayah antara perempuan dan laki-laki, setidaknya ketika berlangsungnya forum itu terdapat (beberapa) perwakilan dari Muslimat dan Fatayat yang dengan tegas menjelaskan betapa butuhnya suara mereka didengar dalam perkumpulan yang luhur tersebut. Berkat Gus Dur yang mendorong keras ulama-ulama NU waktu itu akhirnya persoalan kepemimpinan perempuan dapat diterima sebagai keputusan yang didokumentasikan dalam Makanah Al-Mar’ah Fil Islam (Kedudukan Perempuan dalam Islam). Begitu pun Muhammadiyah, sejak 1975 pernah mengangkat isu gender dan lebih spesifiknya lagi tentang kepemimpinan perempuan dalam muktamarnya. Tidak berbeda jauh dengan NU, pro dan kontra masih menyelimuti forum tersebut dan karena panjangnya perdebatan tersebut, akhirnya baru di tahun 2010 saat muktamar di Malang ada keputusan tentang diperbolehkannya kepemimpinan perempuan, dan terbitlah buku Adabul Mar’ah fil Islam (Adab Perempuan dalam Islam) yang mana topik didalamnya adalah hasil perhelatan muktamar tahun 1975. Sayang sekali, masih terdapat bias yang disajikan dalam dokumen-dokumen tersebut baik Makanah Al Mar’ah Fil Islam maupun Adabul Mar’ah Fil Islam. Meskipun demikian, telah ada lompatan besar dalam perihal kesetaraan gender di masing-masing Ormas ini, yakni terbukanya peluang perempuan untuk terjun ke ranah struktural. Melalui muktamar tahun ini, kita akhirnya dapat melihat bahwa Ormas islam masihlah dalam tahap ingin menampilkan sosok perempuan pemimpin namun belum ingin mengakui kepemimpinan perempuan. Padahal Ormas sebesar NU dan Muhammadiyah yang visi misinya mendorong penuh kemajuan bangsa, tentu saja dalam program-program dakwahnya memerlukan perspektif gender, apalagi pengaruh globalisasi yang demikian masifnya hari ini membuat urusan perempuan tidak dapat diruangkan secara khusus dan masih dibatasi dengan nomenklatur “Pemberdayaan Perempuan” karena seluruh faktor dalam kehidupan dan kultur sosial kita memerlukan perspektif feminis kaum perempuan. Bukan hal mudah mendorong Ormas keagamaan untuk mengaplikasikan (bukan sekadar mewacanakan) prinsip kesetaraan itu, bukan karena tidak ada kader dengan semangat pembaharuan di dalam keduanya, namun individu-individu yang masih terjerat tafsir agama konservatif juga kultur dalam Ormas itu sendiri menjadi tameng yang tak kalah kokoh. Betapa pun revolusionernya pesan Alquran dan As Sunnah (yang menjadi instrumen utama dalam sumber hukum islam) dalam menjunjung nilai kesetaraan gender hanya akan ditepis dengan kuatnya keyakinan literal dalam interpretasi ayat. Hal ini seperti yang terjadi pada gerakan-gerakan perempuan yang berbasis keagamaan pada masa orde lama dimana mereka berada di garis keras menentang kelompok perempuan progresif seperti Gerwani, karena Gerwani (sebelum terkooptasi oleh kepentingan politik) mengusung wacana-wacana progresif yang menurut mereka membelot terhadap teks Alquran dan As sunnah, salah satunya yang paling gencar saat itu ialah poligami. Aisyiyah, Muslimat NU dan juga beberapa gerakan perempuan berbasis agama lainnya, menentang usulan Gerwani terkait aturan monogami, meskipun secara individu beberapa dari mereka mendukung. Pakem bahwa perempuan yang indah ialah yang menurut, dan telah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi pendamping (jika bukan pengekor) laki-laki adalah pedoman yang tak bisa dilanggar. Kalaupun ingin berjuang cukuplah di ranah-ranah kultural dan privat, itulah wanita muslim yang sejati, calon bidadari surga. Setidak-tidaknya dari seluruh pemberitaan atau yang lebih mirip membanding-bandingkan antara satu sama lain, kini kita menemukan sebuah persinggungan antara keduanya, yakni baik NU maupun Muhammadiyah masihlah belum usai dalam urusan menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Anggaplah muktamar kali ini sebagai penanda (lagi) untuk kader-kader perempuan persyarikatan agar lebih giat memproklamirkan eksistensinya. Di sinilah energi dari kader-kader muda memiliki potensi lebih dalam memutus kultur patriarkat tersebut. Daftar Pustaka: Dr. Jamal Ma’mur, MA. 2015. Rezim Gender Di NU. Pustaka Pelajar. Ruhaini Dzuhayatin, Siti. 2015. “Rezim Gender dan Implikasinya Terhadap Perempuan Di Muhammadiyah”. Disampaikam dalam diskusi publik “Pandangan Muhammadiyah terhadap Perempuan” 4-7 April 2015 di UIN Sunan Kalijaga. PP Muhammadiyah. 2010. Adabul Mar'ah Fil Islam. Suara Muhammadiyah. Wieringa, Saskia. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/02/078688518/tak-ada-calon-pimpinan-perempuan-aisyiyah-meradang http://www.antaranews.com/berita/510959/din-keterwakilan-perempuan-muhammadiyah-di-aisyiyah http://islamnesia.com/2015/08/aktivis-perempuan-nu-berharap-isu-gennder-diangkat-di-muktamar/ "Kamu tidak boleh keluar rumah kalau enggak pakai jilbab ya Nad”, kata Ibu saya. Ini bukan ucapan pertama yang ibu saya katakan. Sudah lebih dari enam tahun yang lalu, tepatnya setelah saya kelas dua SMP, ibu saya selalu meminta saya memakai jilbab. Ini bukan pertama kalinya juga ibu saya berkata dengan halus, biasanya disusul bentakan, makian, dan lebih banyak saya tidak boleh keluar rumah sama sekali karena saya tidak mau menutup aurat saya.Ibu bilang aku dilahirkan dengan kulit kuning langsat yang mulus bagus, jadi sebaiknya ditutup. Terkadang ibu juga bilang bahwa rambut saya yang panjang bisa menimbulkan fitnah. Kebanyakan dia bilang bahwa tubuh perempuan itu aib. Maka dikutiplah ayat-ayat dari kitab suci yang menegaskan bahwa perempuan muslim harus menutup auratnya. “Apa yang salah dengan membiasakan diri memakai jilbab?” kata orang-orang di luar sana. Tapi mereka menghujat saya karena saya memakai jilbab namun masih berkata kasar, mereka juga melabeli saya perempuan kerdus (kerudung dusta) karena saya sering copot-pasang jilbab. Padahal saya tidak berdusta pada siapapun, apalagi pada Tuhan. Saya jujur bahkan pada diri saya sendiri. Saya benar-benar tidak mau menggunakan jilbab dan semakin lama saya menggunakan jilbab, jilbab ini terasa membakar kepala dan amarah saya. Pertengkaran dengan ibu saya juga tidak habis-habis. Segala umpatan dan makian keluar. Jilbab menjadikan saya dan ibu saya sama-sama monster yang memperjuangkan tubuh dan cara kami berekspresi. “Tapi aku cuma mau berpakaian seperti yang aku mau. Aku sudah belajar sejarah turunnya jilbab dan ibu sendiri tahu bahwa memakai jilbab tidak boleh dipaksa, seperti orang beragama seharusnya dengan hati dan iman, bukan karena dipaksa,” begitu penjelasan saya kepada ibu saya. Saya memberi penjelasan dengan lemah lembut bukan yang pertama kali. Saya sudah mencoba ratusan kali, secara tertulis maupun lisan, juga dengan meminta bantuan ayah dan saudara-saudara saya untuk memberi pengertian kepada ibu bahwa jilbab bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Seperti orang-orang lain di luar sana, dia berpikir bahwa saya kurang gigih, saya menjelaskan dengan cara yang salah, atau saya memang durhaka karena tidak mau mengikuti kemauannya. Saya mendapat fasilitas indekos walau sebenarnya rumah saya dengan kampus hanya berjarak 25 km, karena itu setiap minggu saya harus pulang ke rumah, bertemu ibu dan memakai jilbab di setiap situasi atau saya tidak diizinkan pulang atau keluar rumah. Hingga saya duduk di bangku kuliah semester enam, saya benar-benar tidak tahan lagi. Saya mulai ketakutan bahwa dunia akan bersikap seperti ibu saya. Saya tidak bisa marah kepada ibu yang menyayangi saya. Maka saya limpahkan semua ini pada jilbab. Tapi semua orang masih menuduh saya yang salah. Saya ketakutan. Saya takut masyarakat akan bersikap seperti ibu saya, memaksakan jilbab kepada saya. Saya takut pada masyarakat. Saya benci setengah mati pada jilbab. Saya tidak sudi memakai jilbab sama sekali, sampai saya mulai menyalahkan agama dan sangat membenci Tuhan yang melahirkan saya dari rahim ibu yang terobsesi dengan anak yang berjilbab. Saya terkena depresi berat. Saya dibawa ke psikolog dan berlanjut konsultasi ke psikiater. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Semua penyakit saya adalah kutukan. Setan terlalu banyak di tubuh saya yang membuat saya enggan memakai jilbab. “Perempuan memang bengkok, karena itu bisa hancur suatu negeri apabila dipimpin perempuan,” kata Ibu mencatut dari hadis Nabi yang sahih. Monster itu adalah tubuh perempuan. Kulitnya, rambutnya, semua harus disembunyikan. Laki-laki dan perempuan, mereka ketakutan atas tubuh perempuan. Be-irahinya harus ditekan. Monster itu bisa menerkam imanmu, monster ini bisa mengalihkanmu dari surga yang kau rindukan, tapi kau buat hidupku tiap hari seperti di neraka. Setelah belajar feminisme sekarang saya mengerti bahwa yang salah bukan saya, ibu saya, atau agama yang saya anut. Saya benci kenapa saya harus menutup aurat untuk calon suami yang saya bahkan belum pernah temui, saya harus menjaga tubuh saya yang aib ini dengan dibungkus dan menyamakan tubuh saya laksana daging mentah yang dijual obralan. Kenapa saya harus merelakan kebebasan diri saya terhadap pria yang mungkin belum saya kenal? Apakah semua laki-laki harus gila dihormati seperti itu? Saya rasa tidak. Ayah saya selalu membiarkan saya untuk menjadi apa pun dan mengenakan pakaian apa saja asal sesuai norma, tapi ibu saya yang melakukan semua itu. Ibu saya begitu repot-repot. Dari situ saya memahami bahwa bukan laki-laki yang salah, tetapi ada suatu sistem yang membuat nilai laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dan agama, yang menjadi alasan ibu saya untuk memaksakan jilbab kepada saya, menggunakan sistem tersebut. Sistem itu yang menekan saya sehingga saya mengalami neurosis. Sistem itu memang menguntungkan laki-laki, tapi justru ibu saya, perempuan yang menerapkan, menjaga dan mewariskan sistem itu turun temurun. Ibu saya menganggap saya, anak perempuannya, bukan bagian dari dirinya melainkan dirinya sendiri. Ibu saya seorang aktivis yang gigih memperjuangkan hak berjilbab di awal tahun 1990-an. Tapi ibu saya tidak memahami bahwa kini berjilbab dan tidak berjilbab adalah pilihan. Kini perempuan boleh memilih untuk berjilbab maupun tidak. Tapi ibu saya terlanjur tidak memisahkan dirinya dengan saya, ketika saya menolak jilbab, dia tidak bisa menerima dengan alasan apapun. Ibu saya berpikir bahwa saya harus cepat dinikahkan dengan seorang ustaz agar dia bisa membuat saya bertobat, mendapat hidayah dan mau mengenakan jilbab. Saya tahu saya tidak sendirian. Dan benar, saya menemukan beberapa teman yang mengalami kasus yang sama dengan saya, mengalami konflik ibu dan anak. Setiap ada kesempatan kami berusaha membahas ini di ruang publik dan kami jadikan diskusi. Konflik ibu dan anak tidak hanya terjadi pada saya dan teman saya, ini juga dapat terjadi pada anda atau teman dekat anda. Ada suatu sistem yang harus kita lawan bersama. Kami mau bergandengan tangan untuk bisa diperlakukan sebagai manusia. Manusia yang boleh memilih cara dirinya untuk berekspresi. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |