Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI. Kordinator Fasilitas dan Keuangan untuk SGRC UI) [email protected] Siapa bilang Mahasiswa zaman sekarang kurang membaca dan hanya bisa melakukan seks bebas? Siapa bilang Mahasiswa sekarang hanya bisa berbicara di media sosial tanpa melakukan hal yang berarti bagi bangsa dan negara? Memang tidak bisa dipungkiri derasnya informasi dan kemajuan teknologi menjadi tools yang bisa mengancam sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan diri. Saya dilahirkan di tahun 1994 yang lebih dikenal sebagai generasi Y[1], saya lahir ketika internet sudah diciptakan dan populer. Saya besar dengan kenyataan bahwa akses internet sekarang sudah menjadi bagian dari hak asasi manusia. Saya tidak lagi mengetahui beberapa dan banyak hal dari ensiklopedia, saya dan semua taman-teman generasi Y disuplai informasi dari media sosial terutama google. Google telah kami hormati dengan menambahkan gelar ‘mbah’ karena situs pencari ini sudah mirip dukun. Ditengah derasnya arus informasi, seringkali kami menyerap segala informasi dengan membabi buta. Kami akui, kami belajar tentang seks secara otodidak dari internet, situs cerita stensil, dan video porno. Kami tumbuh besar, belajar dan tau tentang seks melalui internet. Namun kemudian begitu kami sampai di Universitas kami mulai tau mitos dan hal ilmiah tentang seks. Kami menyadari bahaya internet sebagai sarana yang bisa meracuni dengan memberikan informasi yang hanya berdasarkan desas-desus, namun dengan informasi yang kami akses dari jurnal, skripsi, artikel dan analisis melalui metode yang kami dapatkan dari berbagai displin ilmu kami tertarik untuk membahas seks. Ya, seks. Sekumpulan Mahasiswa Universitas Indonesia yang bisa saling terbuka dan mau memahami permasalahan tentang seks bergabung untuk belajar. Kami terlalu malu untuk bicara pada orang tua karena orang tua menganggap belajar tentang seks sama juga menjerumuskan anaknya pada seks bebas. Ketidaktahuan kami itu membuat kami seringkali melakukan seks bebas. Salah satu Mahasiswa UI, Ferena Debineva, setelah mengikuti “Camp Seksualitas” menyadari bahwa anak muda butuh wadah untuk belajar tentang seksualitas. Ia dan kawan-kawannya berdiskusi lebih lanjut dan sepakat untuk membentuk Support Group and Resource Center for Sexuality Studies yang kemudian dikenal dengan SGRC. SGRC adalah studi klub yang membahas tentang seksualitas. Keingintahuan kami tentang alat-alat reproduksi , pengetahuan tentang homoseksual ataupun berbagai orientasi seksual kami bahas bersama dengan rujukan data dari perpustakaan digital yang kami punyai. Kami saling berbagi pengalaman mengenai tubuh dan kesehatan reproduksi. Kami tidak berhenti sampai di sana, koleksi perpustakaan kami, hasil hunting jurnal dan artikel Ilmiah internasional dari berbagai prespektif ilmu kami sebarkan melalui ask.fm (http://ask.fm/SGRCUI), sebuah media sosial yang kini lebih banyak digunakan oleh anak-anak muda dalam rentang usia 13-25 tahun. Media sosial ini sengaja kami pilih untuk edukasi tentang seksualitas karena sasaran kami adalah anak muda yang kami rasa perlu belajar tentang tubuh, gender, dan seksualitasnya. Sehingga dia bisa bertanggung jawab dan mendapatkan informasi yang benar mengenai seks. SGRC juga memiliki media sosial lain berupa twitter (https://twitter.com/SGRCUI), akun ini dirancang untuk menjalin jaringan terhadap organisasi-organisasi dan menyasar relasi yang lebih luas. Baru-baru ini kami mengadakan lomba selfie via twitter untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap homoseksual, biseksual, dan transgender. Terkadang kami melakukan cuitan berupa pemaparan dari jurnal dan artikel ilmiah yang kami baca tentang seksualitas dan gender melalui akun twitter. SGRC juga melakukan pertemuan dwimingguan yang diberi nama “Arisan”. Hingga kini “Arisan” telah dilaksanakan sebanyak 9 kali sejak berdirinya SGRC di pertengahan Mei 2014 lalu. Dalam “Arisan” kami mengadakan diskusi dengan ‘mengocok’ nama anggota sebagai pembicara dan materi yang akan dibicarakan, tentu saja mengenai seksualitas dan gender. Kami harus menggunakan referensi dan metode ilmiah dalam setiap presentasi “Arisan”. Pemateri juga akan mendapatkan uang seperti arisan pada umumnya. Di bulan Mei ini, SGRC ikut dalam perayaan IDAHOT (International Day Against Homophobia and Transphobia) Indonesia. Acara perayaan IDAHOT ini bekerjasama dengan SuaraKita, Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan, dan Magdalene.co http://magdalene.co/. SGRC melaksanakan rangkaian acara yang dilaksakan secara tematik selama dua minggu. Kegiatan tersebut berupa “Kontes Foto Selfie”, “Walk for Fun”, dan “Movies Screening” selama 13 – 23 Mei 2015. Kontes foto selfie berguna untuk melihat kepedulian kita terhadap orientasi seksual yang beragam dan memperlakukan manusia sebagai manusia tidak karena orientasi seksual di media sosial, kontes ini mendapat atensi cukup besar dan kami berhasil memilih lima foto paling kreatif sebagai pemenang. Sedangkan untuk “Walk for Fun” bertujuan untuk ‘kopi darat’ (baca: berkumpul) sekaligus untuk kesehatan dengan berjalan-jalan sore di Universitas Indonesia. “Walk for Fun” dilakukan pada tanggal 17 Mei 2015. Dibagian penutup, kami mengadakan Screening dan Diskusi Film Part of Hearts dengan menghadirkan sutradara dari film tersebut, Paul Agusta. Kegiatan kami bisa dikatakan berjalan sukses karena peserta acara mencapai 70 orang. SGRC mencoba membuka tabu masyarakat terhadap seksualitas dan memberikan informasi kepada anak muda terhadap tubuh dan seksualitasnya. SGRC adalah bentuk kepedulian mahasiswa terhadap rasa keingintahuan anak muda terhadap seks dan terbatasnya akses informasi yang benar untuk belajar tentang seksualitas. Jika pembaca ingin mengetahui lebih banyak tentang SGRC UI bisa mengontak kami di askfm, twitter, dan melalui email [email protected] Catatan Belakang: [1] Generasi Y, yang biasanya juga disebut sebagai generasi millenium, merupakan generasi yang muncul setelah Generasi X. Ungkapan Generasi Y itu mulai dipakai pada editorial koran besar di Amerika Serikat bulan Agustus tahun 1993. Suatu ketika seorang teman saya me-retweet salah seorang kenalannya yang fotonya diunggah ke akun @uicantik. Karena iseng saya mencoba ikut membuka tautan itu dan kebetulan saya juga tertarik terhadap konsepsi cantik. Ditampilkanlah foto-foto mahasiswi yang berambut lurus panjang dan atau pendek, ada juga yang berjilbab, berkulit putih, berwajah oval, beralis tebal, ditambah bibir berwarna merah muda dengan make up cenderung Ulzzang[1]. Akun-akun media sosial yang mengunggah tentang kecantikan atau kerupawanan wajah mahasiswa-mahasiswinya kini menjadi fenomena yang merebak di seluruh kampus di Jabodetabek. Pada awalnya, kepopuleran akun mahasiswi rupawan dimulai dari kampus-kampus besar seperti Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI). Hingga kini bahkan ada survei khusus untuk menghitung populasi mahasiswi cantik di seluruh kampus di Jabodetabek Perempuan sebagai objek memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Followers dari akun mahasiswi cantik tersebut cukup banyak sama seperti atensi masyarakat kita yang baru saja terbelalak karena terungkapnya profesi sampingan artis ibu kota sebagai penjaja seks dengan tarif tinggi. Isu-isu tersebut menggeser isu yang lebih krusial seperti solidaritas anti kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh perempuan Yogyakarta. Kegiatan seperti itu sayangnya tidak mendapat atensi dari massa maupun media. Dibandingkan membahas perempuan sebagai subjek yang melakukan solidaritas melawan kekerasan, media dan kita (sebagai konsumen media) lebih memilih memosisikan perempuan sebagai objek berita dengan menyorot tubuh perempuan dalam kriteria cantik. Masih ingat berita yang menyajikan tentang penjual warteg cantik, pengemis cantik, Polwan cantik? melihat tingginya minat kita terhadap berita-berita tentang pekerja yang cantik menyeret perspektif kita untuk menilai perempuan (masih) karena tubuhnya. Hal ini membuktikan bahwa patriarki telah bermutasi dan berubah bentuk. Perempuan masuk ke ruang publik tetapi yang disorot bukanlah apa yang mereka lakukan tetapi tubuhnya. Perempuan dihargai karena wajahnya bukan karena apa yang telah dia kerjakan. Akun @uicantik di twitter dan instagram adalah contoh lain dalam ruang lingkup kampus bagaimana kita masih menggunakan kecantikan untuk mengobjektifikasi perempuan. Akun tersebut hanya memberikan cara untuk memasukkan foto seseorang untuk diunggah yaitu dengan mengirim surel dari pihak ketiga. Di sini masalah mulai terlihat, siapa saja bisa mengunggah foto siapa saja yang mereka kenal. Akibatnya, foto yang diunggah tidak diketahui oleh si pemilik wajah. Beberapa dari merekan ada yang tidak keberatan fotonya masuk di akun @uicantik tapi ada juga yang mengeluh karena fotonya diunggah, akun media sosialnya diikuti oleh orang-orang tidak dikenal, dan pemilik foto menjadi tidak nyaman. Ada dua tanggapan terhadap kehadiran akun @uicantik ini, perempuan yang senang fotonya diunggah, berarti penampilannya masuk dalam kriteria ‘cantik’ dan perempuan yang menolak akun @uicantik karena menurutnya akun tersebut membuat wajahnya menjadi konsumsi publik. Mengapa fenomena akun mahasiswi cantik ini dimulai dari kampus – kampus ternama? Dimulai dari UGM dan kemudian UI lalu kampus-kampus lain di Jabodetabek. Saya mencoba memahami fenomena kepopuleran akun @uicantik. Kampus UI yang dikenal mempunyai prestise ‘pintar’ dimana mahasiswa di dalamnya telah lolos seleksi cukup ketat dan dipilih sebagai yang terbaik. Sedangkan nilai ‘cantik’ di sini adalah nilai tambah dari sifat pintar. Dan lagi, UI juga dikenal sebagai kampus kelas menengah terkait stigma bahwa kuliah di UI mahal sehingga ada tiga stratifikasi yang melekat pada mahasiswi ini: pintar, kaya, dan cantik. Pada awalnya saya menganggap akun cantik-cantik ini sebagai hiburan bahkan beberapa kali saya mendapat broadcast pesan singkat berupa list mahasiswa paling tampan di fakultas tertentu seperti fakultas Teknik dan Ilmu Komputer lengkap dengan fotonya. Tapi kemudian saya sadar bahwa seseorang, baik laki-laki atau perempuan tidak berhak dinilai hanya karena wajahnya. Saya tidak menolak akun @uicantik atau @uiganteng karena akun seperti itu bisa menjadi salah satu ajang ekspresi diri dan hiburan dengan syarat: (1). Meminta izin langsung dari pemilik wajah dan (2). Memperluas kriteria cantik. Mengunggah wajah tanpa diketahui oleh pemiliknya melanggar hak privasi seseorang atas kepemilikan wajah dan tubuhnya. Akun yang awalnya bertujuan untuk senang-senang bisa jadi punya masalah serius karena mengunggah foto seseorang tanpa izin. Menggunakan foto orang lain untuk kepentingan pribadi sangat tidak baik karena orang tersebut diposisikan sebagai objek. Kemudian kegiatan memperluas kriteria cantik di media sosial inilah yang saya sorot. Akun @uicantik membuat standar terhadap kecantikan perempuan dan saya khawatir perempuan justru akan terobesi menjadi cantik seperti yang didefinisikan oleh pemilik akun anonim ini dibanding berprestasi dalam kuliah baik di bidang akademis atau organisasi. Saya sebagai mahasiswa sadar bahwa masa depan bangsa ini ada di depan saya, pada kita, mahasiswa Indonesia. Tongkat estafet perjuangan untuk membuat Indonesia lebih baik ada pada kita semua dan kita harus menerimanya. Mahasiswa adalah agen perubahan dan harus mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sebagai perempuan dan mahasiswa saya tidak mau terjebak dengan memfokuskan diri untuk menjadi cantik saja. Indonesia butuh perempuan yang bukan sekadar cantik namun juga bisa berkontribusi untuk bangsa dan perdamaian dunia. Catatan Belakang: [1] Ulzzang adalah gaya make up imbas dari Korean Wave memfokuskan pada kulit flawless seperti porselen dengan alis lurus innocent dan bibir warnamerah muda. Gaya make up ulzzang kini dipopulerkan oleh brand make up asal Korea Selatan dengan produk unggulannya seperti BB Cream, Lip Tint dan pensil alis berwarna coklat. Sumber Internet: http://suaramahasiswa.com/mempertanyakan-arti-rupawan/ http://trendezia.blogspot.com/2015/03/menyoal-akun-cantik-di-kalangan-kampus.html http://www.koran-sindo.com/read/955131/149/mahasiswi-ui-paling-cantik-1422081505 http://pizna.com/2014/12/top-12-mahasiswi-tercantik-ui-versi-pizna.html |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |