Unsiyah Siti Marhamah (Mahasiswa Islam dan Kajian Gender, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Kejadian 65’ sepertinya tak lekang oleh waktu untuk dibahas kembali baik dalam tataran akademis maupun sebagai cerita dalam wacana keseharian, termasuk novel dengan tema 65’. Peristiwa 65’ sungguh tragis, memakan jutaan orang, perlu dicatat mereka mempunyai nama. Sejarah yang menjadikan hitam dan putih bagi sebagian kalangan namun sangat meninggalkan luka pahit dan kesunyian bagi korban, keluarga korban dan bagi mereka yang menjunjung tinggi human rights. Saskia Melalui Novel The Crocodile Hole berusaha mengungkap kebenaran tragedi 1965 yang telah membuat perhatian dunia internasional sehingga muncul International People’s Tribunal (IPT) 1965. Dengan berbagai macam usaha akhirnya IPT 1965 telah mencapai puncaknya setelah setengah abad kejadian messacre ini berlalu. Penokohan pada novel ini berangkat dari cerita tentang identitas Tommy yang datang dari Belanda dan motif keberadaanya di Indonesia. Tommy adalah seorang narrator, investigator, sekaligus protagonis, meskipun disini ia bukan superior. Di tahun 1980, Tommy datang ke Indonesia untuk melakukan sebuah penelitian, tujuannya adalah untuk menulis beberapa artikel terkait sejarah di Indonesia terkhusus kasus 1965. Dalam perjalanan penelitiannya, ia banyak menemukan fakta-fakta yang ganjil dimana sejarah yang diketahui khalayak umum pada masa itu justru sama sekali bertentangan dengan apa yang diperolehnya dalam penelitian, terlebih menyoal Gerwani. Tommy adalah seorang peneliti yang mempunyai ambisi kuat untuk mengetahui bagaimana Gerwani apakah terlibat atau tidak dalam peristiwa 65’. Melalui bantuan beberapa orang Indonesia yang menemaninya saat berada di Indonesia, diantaranya Tante Sri, dia melakukan investigasi tentang peristiwa genosida terburuk pada masa itu dan perihal informasi atau stigma terhadap Gerwani. Tante Sri banyak menceritakan sejarah yang (di)rahasia(kan) di tahun yang disebut sebagai penindasan ideologi dan fantasi seksual, melalui informasi yang didapat dari orang-orang yang benar-benar mengalami masa kelam itu, sebut saja Galeng di penjara pada tahun 1965. Sempat beberapa tahun di penjara laki-laki sebelum akhirnya dipindahkan ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah tentang kelaparan dan penyiksaan yang tak tertahankan. Tante Sri sempat ditangkap kemudian selama beberapa tahun ia mendapat pukulan dan hajaran. Tante Sri dan Galeng, mereka berdua adalah orang-orang yang membela Soekarno, yang ketika itu Soekarno masih menjadi presiden secara resmi. Mereka mencetak dan mendistribusikan pamflet yang berisi pembelaan terhadap orang-orang yang benar, hingga suatu ketika Soekarno direhabilitasi. Komisi Tante Sri berharap pembunuhan dan penyiksaan akan segera terhenti, dan akan terjadi gencatan, sehingga kehidupan akan berjalan kembali normal. Bukankah Soekarno selalu melindungi mereka? sayangnya, bintang itu telah pudar. Kisah-kisah di penjara-penjara telah diceritakan kepada Tommy. Galeng dan Tante Sri menyatakan kepadanya fakta-fakta secara singkat dengan kalimat yang ringan (Wieringa, 2015). Diceritakan juga mengenai kejadian-kejadian di dalam penjara yang horor melebihi rumah hantu. Mereka telah mencium bau yang sama, yaitu bau busuk yang mengerikan, mendengar bunyian kunci dan bergaung suara hentakan boots prajurit. Di tahun 1980, Tommy mencium kekejaman yang terjadi pada 15 tahun yang lalu. Tommy menghirup bau busuk dari pipa pembuangan air kotor di kamar mandinya. Lalu, membawanya pada lubang kecil di lantai dimana ia biasa menyelesaikan urusan-urusannya. Seperti ada aroma besi yang baunya menyengat? Membuat pingsan? Bekas lumuran darah di lantai? Luka bernanah? Ada yang menarik dari novel Saskia, ialah fakta yang disampaikan melalui karya sastra. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui beberapa buku diantaranya Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Sumiyarsari menuliskan “Suasana penjara yang berada di Plantungan mengisahkan bagaimana para Tapol mereka telah kehilangan hak-hak asasinya, kemudian mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh, belum lagi mengalami pelecehan seksual. Apa yang dilakukan oleh para penjaga Tapol sungguh amoral, namun menutup-nutupinya dengan meningkatkan program-program keagamaan yang ada di sel tahanan agar terlihat menjunjung tinggi moral” (Sumiyarsi, 2010,:117). Selanjutnya, isi dari novel The Crocodile Hole menyoal pada masa orde baru, telah ditemukan organisasi perempuan sudah tidak sekuat organisasi senior mereka yaitu Gerwani. Seolah, organisasi perempuan yang ada telah dibatasi ruang geraknya, tidak lagi kritis dengan masalah-masalah politik, mereka cenderung dikotakkan dalam lingkup domestik semisal mendatangi pesta suami-suami mereka yang kala itu sebagai pejabat negara, kemudian perkumpulan ibu-ibu PKK dan arisan. Kesemuanya itu bagi Tommy sangat aneh, karena Gerwani yang dikenal sebagai organisasi perempuan yang diakui kuat secara internasional mengalami kemunduran dan kehilangan eksistensinya. Asumsi Tommy atas kejadian ini semua aialah adanya pengendalian organisasi perempuan oleh kekuasaan orde baru. Selain tentang Gerwani, novel ini juga menceritakan bagaimana ketidakterlibatan Gerwani dengan PKI. Meskipun anggota Gerwani adalah keluarga komunis, namun bukan menjadi alasan yang pasti bahwa anggota Gerwani juga PKI. Memang ada kecocokan antara ideologi Gerwani dan PKI, yaitu sama-sama memperjuangkan sosialisme. Artinya, menganggap bahwa perempuan bisa ke luar dari ranah domestiknya kemudian untuk mengekspresikan keinginan perempuan seperti misalnya masuk dalam anggota legislatif. Ketika itu beberapa pimpinan Gerwani menjadi anggota DPR, tujuan mereka adalah untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Dalam perjalanannya Gerwani ikut bagian dalam perjuangan politik PKI. Pada tahun 1961, hubungan antara Gerwani dan PKI dinyatakan secara terbuka hingga akhirnya salah seorang tokoh feminis pendiri Gerwis, yaitu S.K. Trimurti mengundurkan diri, karena diangkatnya tema-tema sosialis dan komunis (Hikmah, 2007:173), Sedangkan dalam novel The Crocodile Hole Tante Sri diceritakan sebagai salah satu informan Tommy yang selalu memberikan informasi atas apa yang dia butuhkan terkait Gerwani. Banyak anggapan bahwa Gerwani dituduh sebagai anggota PKI, namun faktanya sampai dengan dinyatakan organisasi terlarang, Gerwani masih belum secara resmi menjadi bagian dari organisasi perempuan PKI yang legal. Meskipun, sudah ada perencanaan untuk bergabung ketika terselengggara konferensi persiapan kongres V Desember 1965 (Hikmah, 2007:173). Hal senada juga dituliskan oleh Saskia bahwa meskipun kedekatan hubungan antara anggota Gerwani dan PKI, kemudian apa yang diusung oleh PKI sesuai dengan garis ideologi Gerwani, namun secara resmi Gerwani tidak pernah berafiliasi dengan PKI (Saskia, 1998.:23). Jadi bisa dikatakan secara ringkas bahwa hubungan Gerwani dan PKI adalah hubungan yang mendua dan rumit. Sedangkan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa 65, berdasarkan kisah hidup Sulami, beliau mengatakan “Pada bulan September tahun 1965 itu, DPP masih sempat bersidang tiga kali. Sama sekali tak pernah membicarakan terjadinya G30S. Dengan demikian, tidak juga ada surat instruksi apapun ke daerah, misalnya instruksi mengikuti latihan sukawati untuk ikut serta dalam gerakan itu. Jadi, organisasi kami tak ada sangkut pautnya dengan G30S. Semua kegiatan waktu itu tertuju pada persiapan kongres. Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu pun sepi, tidak ada orang lain kecuali saya bersama seorang aktivis bagian terjemahan dan dua orang supir, seorang pegawai Poliklinik Anak “Melati” milik DPP Gerwani, memang di hari-hari biasa kesibukan luar biasa karena panitia kongres ada disitu. Kami tahu kejadian itu pada jam enam, oleh salah seorang wakil DPP yang datang secara mengejutkan memberitahukan bahwa dini hari tadi telah terjadi penculikan dan pembunuhan atas beberapa anggota Dewan jenderal di lubang buaya, tempat latihan para sukawan pertahanan rakyat (Sulami, 1999: 2-3). Novel ini juga mengangkat tema seksualitas, dimana Tommy yang telah banyak diceritakan diatas, mempunyai hubungan asmara dengan seorang perempuan bernama Dede. Hubungan mereka tak banyak diketahui namun bagi orang-orang yang dekat dengannya mengetahui hal demikian. Mereka cenderung menyetujuinya. Disinilah terdapat pesan dibalik novel yang banyak menceritakan mengenai kebenaran sejarah juga mengambil langkah untuk mengangkat hal yang tabu seperti masalah seksualitas. Namun, itu adalah dahulu, kini para penulis bebas berekspresi menuliskan apa yang ingin mereka tulis. Novel The Crocodile Hole berdasarkan riset ilmiah Prof. Saskia E Wieringa di tahun 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Gerwani. Hasil penelitian ini pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Sudah selayaknya dibaca sebagai pengetahuan kebenaran sejarah agar masyarakat mampu mengambil pelajaran dari masa lalu yang sangat kelam. selain itu sastra digunakan sebagai salah satu medium untuk mencapai kebenaran. Seperti halnya yang dikatakan bahwa : “Sastra adalah jalan keempat ke kebenaran... setelah jalan agama, jalan filsafat dan jalan ilmu pengetahuan.” (Andries Teeuw) Tak ayal lagi pembelajaran atas kejadian massacre yang luar biasa, yang tak kalah penting adalah pelurusan sejarah bahwa fitnah yang ditujukan kepada anggota Gerwani adalah murni rekayasa kepemimpinan Soeharto kala itu. Gerwani sebelum 65 dikenal sebagai gerakan perempuan yang sangat kuat, pro terhadap perjuangan perempuan dan politis sehingga dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban negara. Keinginan pemimpin diktator untuk menguasai Indonesia secara keseluruhan mengundangnya untuk melakukan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Untuk itu gerwani telah mencapai kehancuran baik dari segi ideologi maupun politiknya pasca genosida pada 30 September 1965. Berdasarkan data forensik terbaru kejadian 65 yang telah menghabiskan nyawa lebih dari tiga juta orang, kemudian ratusan ribu terluka baik secara psikis maupun fisik. Semoga sejarah tidak berulang, Allohuma firlahum. Daftar Pustaka : Wieringa, Saskia E. 2015. The Crocodile Hole. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 1998. Kuntilanak Wangi: Organisasi-organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta : Kalyana Mitra. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 2010. Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia. Yogyakarta : Galang Press. Sumiyarsi Siwirini C. 2010. Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Yogyakarta : Pusdep Universitas Sanata Dharma. Hikmah Diniah. 2007. Gerwani bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia. Yogyakarta : CarasvatiBooks. Sulami. 1999. Kisah nyata wanita di penjara 20 tahun karena tuduhan makar dan subversi, perempuan, kebenaran dan penjara. Jakarta : Cipta lestrari. Majalah BHINNEKA. 2015. Surabaya : Yayasan Bhinneka Nusantara. Isu gender, ekologi dan kemiskinan tidak dapat dilihat secara terpisah di era yang sudah menjelang posmodern ini. Kompleksitas permasalahan yang terjadi di Indonesia hari ini tidak dapat memaksa kita untuk menutup mata atas ketidakadilan terhadap perempuan, atas eksploitasi sumber alam dan situasi kemiskinan yang melanda wilayah-wilayah, dari pelosok desa hingga perkotaan. Perjuangan Kartini di masa lalu sudah semestinya dilanjutkan, untuk membebaskan belenggu kebodohan, untuk keluar dari lingkar kemiskinan, dan untuk keberlangsungan ekologi dan generasi. Berbicara tentang isu perempuan, terutama perempuan pedesaan, tidak terlepas dari isu lingkungan dan isu kemiskinan. Masih hangat dalam ingatan kita tentang perjuangan sembilan perempuan asal Rembang, Jawa Tengah, yang membekam kaki mereka dengan semen. Sembilan perempuan tersebut adalah korban eksploitasi lingkungan yang terjadi di wilayah mereka, pegunungan Kendeng. Mereka yang hidup miskin (dimiskinkan) dan menjadi penonton atas eksploitasi di tanah mereka sendiri. Wajar jika mereka ingin lepas dari jerat yang menghancurkan alam yang menjadi sumber bagi hidup mereka. Apa yang bisa mereka lakukan? Demo di depan istana, menyemen kaki mereka, pertanda protes, berharap suara mereka di dengar. Keputusan tetap berasal dari atas. Perempuan di Indonesia sudah sejak lama ditindas oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Eksploitasi alam adalah salah satunya, lewat pembangunan perusahaan-perusahaan secara masif yang kian menggusur kebudayaan asli—notabenenya identik dengan perempuan. Alam memiliki hubungan erat dengan perempuan, banyak kebudayaan nusantara yang menunjukkan bahwa perempuan menjaga alam bak menjaga anak mereka sendiri, seperti pada kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat. Perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan kenseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (Tong 1998, h.359). Sembilan perempuan Rembang menyuarakan pembebasan alam tempat mereka bernaung, mencari makan dan melahirkan, membangun generasi-generasi penerus bangsa. Rembang merupakan tempat R.A. Kartini mengembuskan napas terakhir, tidak ada salahnya sembilan Srikandi dari Rembang itu disebut sebagai Kartini masa kini. Kegigihan dan keberanian mereka untuk membela kaumnya yang tak berdaya akibat tangan-tangan penguasa; patriarki. Pergolakan emansipasi era kini tidak hanya dapat dilakukan dengan berdemo, berjemur di tengah terik matahari; melainkan melalui tulisan-tulisan bagi kaum tertindas dan tak berdaya. Namun bagaimana mereka dapat menulis jika pendidikan saja mereka tidak punya. Banyak kartini-kartini di Kalimantan yang hanya bisa terdiam bisu karena ketidakberdayaan. Sawah dan ladang mereka dijadikan lahan sawit, hutan mereka dijadikan lahan sawit dan lahan tambang. Environmentalis yang berorientasi manusia menekankan bahwa kita akan membahayakan diri kita sendiri jika kita membahayakan lingkungan. Dalam esainya yang secara luas dimuat dalam berbagai antologi, “The Land Ethic”, Aldo Leopold menulis bahwa kita harus memikirkan alam sebagai “mata air energi yang mengalir melalui siklus tanah, tumbuhan, dan binatang” (Tong 1998, h. 363). Leopold percaya bahwa bumi adalah suatu sistem kehidupan, suatu persimpangan elemen yang saling berkait dan saling bergantung dengan sangat rumit, yang berfungsi sebagai keseluruhan organisme, jika terdapat satu elemen saja yang sakit maka keseluruhan sistem akan sakit juga, dan satu-satunya cara untuk mengobatinya adalah dengan merawat dan menyembuhkan bagian yang sakit. Tangan-tangan lembut perempuan merupakan tangan penjaga dan perawat alam yang paling magis. Oleh karena itu isu ekologi dan isu perempuan tidak dapat dipandang sebagai suatu masalah yang terpisah. Tangan-tangan ganas penguasa menjadikan hutan tempat satwa bernaung menjadi lahan produktif perkebunan sawit di berbagai daerah di Kalimantan dan Sumatra. Lewat campur tangan penguasa jugalah lahan pertanian Rembang rata menjadi pabrik pengolahan semen. Lalu dimana lagi perempuan-perempuan miskin mencari makan untuk menghidupi anak-anak mereka, jika tanah mereka telah di rampas.
Pandangan ekofeminisme merupakan varian yang relatif baru dari etika ekologis, istilah ekofeminisme sendiri muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Françoise d’Eaubonne yang berjudul Le Féminisme ou la mort. Dalam buku ini diungkapkan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam (Tong 1998, h. 366). Perusakan alam sama dengan kekerasan terhadap perempuan, terdapat kaitan erat antara pemenuhan kebutuhan (ekonomi) dengan rusaknya lingkungan. Lebih dari sebagian penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada alam. Jika alam rusak dan sumber pangan tidak lagi menjangkau rakyat kecil maka tidak menutup kemungkinan bencana kelaparan akan mewabah di pelosok-pelosok negeri. Pada sejarah masa lalu, R.A. Kartini juga mengalami konflik batin dan ketakutan di awal, hingga akhirnya tumbuh tekad dan keberanian untuk merampas kemerdekaan kaumnya (perempuan—Jawa) yang pada waktu itu dikekang dan dibatasi untuk menimba ilmu, bahwasanya perempuan hanya menunggu dipinang dan dimadu saja. Perlawanan Kartini melalui surat-suratnya yang dibukukan berjudul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" tahun 1911, Kartini berbicara tentang kondisi perempuan pribumi, dan juga kondisi sosial yang terjadi saat itu, di mana perempuan benar-benar termarginalkan. Pada tahun 1922, buku itu terbit dalam versi bahasa melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, dan pada tahun 1938 menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis versi Armijn Pane. Pemikiran Kartini mengubah maindset orang-orang Belanda zaman itu terhadap perempuan Jawa. Perhatiannya terhadap status perempuan di Indonesia juga menjadi perhatian bagi negara-negara luar. Sejarah pergerakan Kartini melalui tulisan ini patut kita lanjutkan dalam generasi sekarang dan generasi ke depan. Bukti perjuangan Kartini-Kartini dari berbagai daerah patut kita apresiasi dan dukung, seperti Mama Aleta Ba’un (Mama=sebutan untuk ibu) dan yang baru-baru ini sembilan Srikandi Rembang. Jika perempuan dapat melahirkan generasi-generasi baru, tanah tidak akan dapat melahirkan tanah, lalu ke mana generasi-generasi itu akan tinggal? Berbagai eksploitasi terjadi di depan mata kita; mulai dari eksploitasi alam dan perusakan lingkungan hingga kepada eksploitasi manusia dan berbagai kekerasan sebagai akibat dari situasi politik. Arus globalisasi sudah merambah dan cukup mengusik kehidupan tenteram di pedesaan, bahkan mungkin “desaku yang indah dan asri” akan menjadi kenangan masa lalu bagi negeri ini, ketika yang berdiri pabrik-pabrik, yang berkicau burung-burung raksasa dan alam tinggal menangis. “Karena kita tidak bergembira bukan karena memotong padi; kita bergembira karena memotong padi yang kita tanam sendiri”—Multatuli. Witriyatul Jauhariyah (Mahasiswi Jurusan Islam dan Kajian Gender Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Einer Wegener dan Gerda Wegener adalah sepasang seniman (pelukis) dan ilustrator terkenal di Kopenhagen Denmark. Karyanya memukau banyak orang sebab menyuguhkan lukisan yang membawa imajinasi ke dalam dunia nyata. Pernikahan mereka sangat bahagia sebab mereka saling mendukung dalam karier masing-masing. Kehidupan yang mereka jalani pada awalnya berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Hingga pada suatu hari Gerda melukis dengan tema “Portraits of Lili” (seorang penari balet yang ia beri nama Lili). Karya Gerda ini mendapat respons positif dari masyarakat Copenhagen pada tahun 1920-an. Ketika temannya yang berprofesi sebagai penari balet (Ulla Paulson/Amber Heard) tidak dapat berpose menjadi modelnya, Gerda meminta bantuan Einer untuk berperan sebagai Lili dan mengenakan baju balet lengkap dengan atribut serta makeup-nya untuk menyempurnakan lukisannya itu. Einer setuju dengan permintaan istrinya, ia mencoba menjadi seorang wanita penari balet hingga akhirnya ia merasa nyaman dengan menjadi seorang perempuan. Di situlah awal munculnya daya tarik Einer terhadap perempuan, ketika berperan sebagai Lili ia merasa menjadi diri yang sesungguhnya, ia menyadari sisi feminin dalam dirinya. Berpenampilan sebagai seorang perempuan menjadikan dirinya bebas dan merasa menikmati kehidupan yang ia impikan selama ini. Krisis identitas dalam diri Einer menghadirkan gejolak dalam pernikahan Gerda. Rasa haru tak terbendung ketika Gerda memberi kebebasan kepada Einer menikmati perannya sebagai seorang perempuan, walaupun dalam hati kecilnya ia kecewa dan ingin suaminya kembali menjadi Einer seorang pria sejati. Rasa cinta yang dimiliki Gerda mengalahkan egoismenya dan rela melepaskan Einer menjadi perempuan seutuhnya demi kebahagiaan pasangannya. Einer kemudian melakukan operasi pergantian kelamin tetapi operasi tersebut gagal karena infeksi menyerang tubuhnya, dia mati dengan bahagia karena berhasil bermetamorfosisis menjadi seorang perempuan seutuhnya. Operasi yang dilakukan Einer ini adalah operasi pergantian kelamin pertama yang dilakukan di dunia. Film ini diperankan oleh pemenang Academy Award Eddie Redmayne (Einer Wegener/Lili Elbe) dan Alicia Vikander (Gerda Wegener) dan disutradarai oleh Toom Hooper serta dirilis pada 27 September 2015. Film ini berangkat dari kisah nyata hasil adaptasi novel yang diambil dari buku harian yang ditulis Lili Elbe kemudian diterbitkan pada tahun 1933 dengan judul Man Into Woman. Novel ini menceritakan tentang perempuan transgender (Lili) dalam memperjuangkan identitas gendernya. Keberanian dan semangatnya menjadi inspirasi bagi para transgender dan komunitas pergerakan transgender di seluruh dunia sampai saat ini. Kasus yang terjadi pada Einer (Lili) merupakan salah satu bentuk dari ragam variasi seksualitas. Seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi (WHO,2002). Seksualitas menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk perilaku yang beraneka ragam. Seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual. Maka tidak ada istilah normal atau abnormal dalam perspektif seksualitas. Seksualitas berbeda dengan seks, ia merupakan sesuatu yang kompleks dan sensitif. Ruang lingkupnya lebih luas, meliputi perilaku, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan norma serta orientasi. Sifatnya yang sensitif karena menyangkut hal yang pribadi, sementara kompleksitasnya meliputi aspek kehidupan seperti keluarga, agama, pendidikan, gender, hukum dan lain-lain. Jika menggunakan kacamata Judith Butler (Teori Queer) dalam kasus Einer, maka hal ini lazim terjadi. Sebab menurut Butler baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair (fuid), tidak alamiah, dan berubah-ubah. Oleh karena itu, kasus transgender bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan atas tindakan performatif (Butler 1990, h. 96). Dalam teori performativitas, gender adalah drag (sebuah pertunjukan), dimana mereka mencoba mempertunjukkan agar terlihat seperti laki-laki atau perempuan (yang secara anatomis berbeda dengan dirinya). Pertunjukan itu mereka ulang-ulang, sederhananya jika seseorang ingin dikatakan sebagai laki-laki maka harus mempraktikkan ekspresi maskulin, jika tidak maka ia dikatakan bukan laki-laki. Padahal perilaku maskulin tidak selalu diasosiasikan dengan identitas laki-laki. Lebih jauh Butler berpendapat bahwa tidak ada identitas gender dibalik ekspresi gender, identitas gender terbentuk melalui pengulangan ekspresi gender sehingga hasilnya terlihat seperti asli (Butler seperti dikutip Hendri Yulius dalam Jurnal Perempuan 87 Vol. 20 N0. 4 Nov 2015, h. 130). Senada dengan Butler, Suryakusuma (seperti dikutip Hendri Yulius dalam Jurnal Perempuan 87 Vol. 20 N0. 4 Nov 2015, h. 123) dalam esainya “Konstruksi Sosial Seksualitas: Sebuah Pengantar Teoritis” memetakan studi seksualitas dalam dua pendekatan umum, yaitu esensialis dan non esensialis. Pendekatan esensialis melihat bahwa seksualitas manusia adalah sesuatu yang bersifat ahistoris, alamiah, tidak dapat berubah (externally unchanging), asosial, dan merupakan bawaan sejak lahir (given). Pendekatan ini banyak diadopsi oleh ilmu kedokteran, psikologi dan psikiatri. Maka tak heran jika transgender atau transeksual, diidentifikasi sebagai sebuah penyimpangan atau deviasi sosial dan penyakit. Sementara pendekatan non esensialis melihat bahwa subjek merupakan produk dari konstruksi sosial yang kompleks, karenanya ia tak dapat direduksi ke dalam satu kategori monolitik ilmiah. Pendapat ini dipengaruhi oleh aliran antropologi strukturalis, psikoanalisis dan marxisme, karenanya kasus yang terjadi pada transgender atau transeksual tidak dianggap sebagai penyimpangan. Mereka berkesimpulan bahwa seksualitas tidak terlepas dari konstruksi sosial. Untuk itu studi seksualitas adalah bagian dari ilmu sosial sekalipun masih merupakan sesuatu yang asing. Sementara Michael Foucault (filsuf yang mempunyai kontribusi besar dalam kajian seksualitas) berpendapat bahwa seksualitas merupakan produk wacana yang diciptakan oleh kuasa tertentu (power-knowledge relations), ia telah melepaskan seksualitas dari determinisme biologis. Apa yang dianggap normal dan abnormal saat ini merupakan produk dari praktif diskursif yang diciptakan oleh kekuasaan. Sebagai contohnya, konsep ketabuan dan abnormalitas selalu berubah-ubah. Artinya bisa jadi transgender dikeluarkan dari kategori gangguan jiwa. Baginya, setiap orang dilahirkan sebagai biseksual. Pendidikan seksual dan lingkungannya akan membentuk mereka menjadi heteroseksual, homoseksual atau biseksual. Maka dalam hal ini, yang disebut sebagai heteroseksual bukanlah manipulasi gen, akan tetapi akibat dari proses sejarah dan kebudayaan. Melihat kasus Einer Wegener (Lili Elbe) jika dianalisis menggunakan kacamata Foucault, maka Einer adalah korban dari produk wacana yang diciptakan oleh kuasa tertentu. Laki-laki diidentikkan dengan ekspresi maskulin sementara perempuan diidentikkan dengan ekspresi feminin. Di luar kategori itu maka dianggap sebagai suatu penyimpangan atau dalam bahasa psikologi adalah gangguan kejiwaan. Oleh kerana itu harus direhabilitasi agar kembali normal. Padahal menurut Butler, laki-laki tidak harus berekspresi maskulin, ia bebas berekspresi maskulin dan feminin sebab ekspresi gender adalah konstruksi sosial yang sifatnya relatif dan berubah-ubah. Bisa jadi seorang laki-laki menggunakan busana apapun sesuai dengan keinginannya tanpa mempertimbangkan jenis kelaminnya. Begitu pula dengan perilaku seksualnya, ia bebas memilih pasangannya apakah sesama jenis atau berbeda. Maka dalam kategori ini, tidak ada yang disebut sebagai homoseksual atau heteroseksual. Film ini bergenre biografi dikemas dalam kisah drama yang apik dan menarik, serta alurnya mudah dipahami. Film ini juga menyedot perhatian dunia sebab mengusung misi khusus yaitu isu gender dan menggunakan media untuk berbicara tentang hak asasi manusia. Di sisi lain pemeran utama dalam film ini menyajikan kompleksitas emosi yang menyiksa secara menawan, sehingga memberi sentuhan performa yang cantik dan sayang untuk dilewatkan. Selamat Menikmati Perbedaan! Pada mulanya membaca Lelaki Harimau, novel karya Eka Kurniawan, saya tidak mempunyai ekspektasi apapun. Pengetahuan saya tentang penulis pun tidaklah terlalu banyak—saya tahu gaya tulisannya surealis itu saja. Namun dari obrolan yang sering muncul dengan kawan-kawan penikmat sastra, Eka Kurniawan adalah sedikit dari novelis laki-laki yang berkualitas. Sapardi Djoko Damono misalnya menilai tidak ada novelis laki-laki Indonesia sebaik Pramoedya Ananta Toer. Maka membaca novel ini lebih kepada memuaskan hasrat penasaran saya terhadap karya yang menjadi perbincangan khalayak ramai mengingat beberapa waktu lalu masuk nominasi Bookman Prize. Pada bagian awal terasa alur penceritaan yang lambat. Eka Kurniawan bertutur secara perlahan dengan kalimat-kalimat yang panjang. Diksi yang dia pakai tidaklah rumit, kata yang muncul terdengar sederhana, apa adanya mudah dipahami. Misalnya ketika Eka Kurniawan mengeksplorasi seksualitas—adegan persetubuhan—dia memilih kata “menungging” dan “menyodok”. 'Di sana Nuraeni menungging, serupa kuda, dan Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya' (h.70). Tanpa mempertontonkan kecanggihan metafora, diksi Eka tetap renyah. Malahan gaya tuturnya yang tidak rumit menjadikan setiap detail cerita (ter)baca dengan jelas. Meskipun demikian dia bercerita secara runut, fokus pada karakter yang hendak dia ceritakan. Pembaca akan dibawa menyelami masing-masing karakter yang muncul dalam setiap babak cerita. Tidak ada tokoh yang muncul dalam novel ini secara tiba-tiba tanpa diketahui jalinan hubungan antar tokoh. Semua tokoh memiliki peran dalam membangun cerita utuh Lelaki Harimau. Perempuan-perempuan Korban Monster Patriarki Tema besar dalam Lelaki Harimau adalah dendam dan amarah, selayaknya harimau kelaparan yang siap menerkam mangsanya, begitu kira-kira kesan awal ketika membaca beberapa ulasan dan tanggapan tentang novel ini. Saya pribadi mempunyai persepsi yang berbeda setelah merampungkan novel ini dua kali. Setidaknya kepekaan saya terhadap isu perempuan membawa saya untuk mendalami narasi perempuan yang terkandung dalam Lelaki Harimau. Memang dengan judul dan tokoh utamanya Margio—satu dari sekian karakter laki-laki, novel ini terasa aroma maskulinitas yang menyengat—Eka Kurniawan pun, penulis adalah laki-laki. Lalu bagaimana narasi perempuan dalam novel ini? Tentunya menarik untuk dilihat lebih mendalam. Setidaknya saya telah menghitung tokoh perempuan dalam Lelaki Harimau berjumlah 7. Tujuh perempuan tersebut mengelompok dalam 2 keluarga besar. Nuraeni, Mameh, dan Marian ada dalam keluarga Komar bin Syueb—ayah dari Margio, tokoh utama. Sementara lainnya, Kasia, Laela, Maesa Dewi, dan Maharani merupakan istri dan anak-anak dari Anwar Sadat. Dalam cerita utuhnya keluarga Komar bin Syueb dan Anwar Sadat terlibat dalam konflik yang rumit. Kedua keluarga dari kasta yang berbeda ini dipertemukan dalam kondisi yang menyenangkan namun berakhir dalam sebuah tragedi. Nuraeni, ibu dari Margio adalah istri yang dinikahi Komar bin Syueb. Pria ini adalah laki-laki desa yang gagal dalam perantauan lalu kembali ke desa dan kemudian menikah. Lewat perjodohan—gaya menikah dalam tradisi lama yang sebenarnya masih bisa dijumpai saat ini—Syueb menikahi Nuraeni. Kehidupan rumah tangga yang dialami Nuraeni pasca menikah dengan Komar bin Syueb tidak berjalan membahagiakan. Lelaki dengan penghasilan pas-pasan—hanya tukang cukur pinggiran—tidak bisa diharapkan Nuraeni mampu membahagiakannya. Setidaknya masalah ekonomi dan tabiat Komar yang tidak menjadi suami yang baik membawa petaka yang berkepanjangan. Kemiskinan struktural biasanya memang membawa dampak dalam kehidupan rumah tangga. Nuraeni kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Perlakuan kasar yang diterimanya semakin menjadi-jadi karena Nuraeni kerap melawan. Perlawanan dari perempuan yang tidak sepenuhnya merdeka sejak pertama kali memutuskan menikah.
Sementara Kasia, perempuan dari hartawan desa yang mempunyai warisan tanah yang luas dipersunting Anwar Sadat. Pelukis yang terobsesi dengan Raden Saleh dan memiliki karya-karya patung yang murahan. Menikahi Kasia karena hartanya dan kemudian dia pensiun sebagai seniman amatiran. Nasib Kasia agaknya sedikit beruntung dari Nuraeni. Dirinya tidak menerima perlakuan kasar suaminya. Namun kelakuan suaminya tidak kalah menjijikkan dari Komar bin Syueb. Anwar Sadat adalah tipikal lelaki ongkang-ongkangan, main serong dan merendahkan perempuan.
Baik Nuraeni maupun Kasia sama-sama menjadi korban dari lelaki yang tidak lebih adalah parasit dalam rumah tangganya. Keduanya menjalankan kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia yang membuat mereka beradaptasi dan akhirnya masing-masing memiliki mekanisme bertahan yang tangguh. Nuraeni sudah mempan dengan perilaku berangasan dan kasar suaminya. Nuraeni menciptakan dunianya sendiri dan melupakan suami yang kerjanya hanya muntap seisi rumah. Dia sering mengobrol di dapur bersama temannya, panci, yang membuatnya sering dinilai sinting, pun oleh anak-anaknya. Sementara Kasia yang harus menerima kenyataan suaminya tukang main perempuan punya penilain sendiri terhadap rumah tangganya. Tidak penting seberapa banyak Anwar Sadat meniduri perempuan, asalkan tidak beranak pinak dengan pelampias nafsunya. Sikap ini mungkin dilatarbelakangi oleh Kasia yang merupakan perempuan mandiri. Profesi bidan desa yang telah dijalaninya bertahun-tahun membuatnya terlalu remeh mengurusi perilaku miring suaminya. Terlebih dia mandiri secara ekonomi, sementara Anwar Sadat hanya seniman gagal yang tidak bisa dibanggakan. Dengan demikian pengalaman Nuraeni dan Kasia tidak lagi sekadar fiksi, namun juga mewujud dalam fakta sosial yang dekat. Ada banyak Nuraeni dan Kasia di luar Lelaki Harimau. Mereka, perempuan rumah tangga, terdomestikasi, korban KDRT. Ataupun Kasia, perempuan berkarier mapan namun mempertahankan rumah tangganya yang kacau, mengalah pada laki-laki sundal. Pengalaman Nuraeni dan Kasia lekat dengan isu-isu perempuan, dulu dan sekarang. Isu-isu Perempuan dalam Lelaki Harimau Dengan menjajarkan dua tokoh perempuan yang mendapat sorotan utama dalam narasi Lelaki Harimau, Nuraeni dan Kasia, novel ini menjejalkan beberapa tema kunci dalam isu-isu perempuan. Memang isu-isu perempuan yang muncul begitu kasar. Jika pembaca tidak peka dan dekat dengan isu feminisme, cerita Nuraeni dan Kasia terasa banal. Sekadar bumbu drama–kisah kehidupan tragis rumah tangga—yang mengalir mengantarkan kisah Margio, si Lelaki Harimau memangsa korbannya. Bagi saya tokoh utama dalam novel ini adalah Nuraeni dan Kasia, dua perempuan yang dinarasikan sebagai korban lelaki parasit dan sundal. Lewat tokoh Nuraeni selain isu KDRT juga tentang pernikahan anak. Komar bin Syuaeb yang kala itu hampir berusia 30 tahun menikahi Nuraeni di usia 16 tahun. Laiknya tradisi yang masih berlangsung dari dulu sampai sekarang, Nuraeni terjerumus dalam pernikahan anak melalui mekanisme perjodohan–tentang pernikahan anak bisa dilihat dalam edisi terakhir Jurnal Perempuan. Faktor penyebab terjadinya pernikahan anak salah satunya adalah kemiskinan, narasi yang dilakoni Nuraeni. Petaka pernikahan anak selalu berlanjut dalam episode kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan dan pernikahan anak menjadi variabel jitu yang melahirkan kekerasan dan kehidupan rumah tangga neraka. Kekerasan dalam rumah tangga banyak rupanya, salah satunya adalah marital rape, atau pemerkosaan dalam rumah tangga juga menu utama yang menjadi turunan KDRT. Sebagaimana yang dialami Nuraeni berikut ini.
Kisah Nuraeni juga menuturkan bahwa keluar dari wilayah domestik tidak selamanya membuat perempuan merdeka. Keluar dari jerat Komar bin Syuaeb, Nuraeni bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pikirnya selain menghindari neraka di rumah, dia mencari penghiburan sekaligus menjadi mandiri. Namun Nuraeni harus mengalami pelecehan seksual disaat dirinya terbebas dari wilayah domestik.
Pelecehan seksual yang dialami Nuraeni relevan dengan teori patriarki yang disampaikan Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy. Anggapan bahwa dengan keluar dari wilayah domestik dan beralih ke ruang publik perempuan akan terbebas dari opresi patriarki tidak sepenuhnya benar. Di ruang publik monster patriarki berubah bentuk, bukan lagi suami atau laki-laki dalam keluarga, tapi majikan ataupun atasan bisa lebih kejam mengeksploitasi perempuan. Persis yang menimpa Nuraeni, perlakuan Anwar Sadat majikannya tidak lebih dari monster patriarki yang malih wujud. Sementara itu Kasia tidak banyak membawa isu perempuan yang diceritakan. Yang menonjol dari sosok Kasia adalah sosok perempuan mandiri, mapan secara finansial, yang mempertahankan pernikahannya. Isu perselingkuhan mewarnai kehidupan rumah tangga Kasia, yang ditutupinya bertahun-tahun. Pengorbanan yang harus ditanggungnya atas nama rumah tangga. Epilog: Monster Patriarki Bernasib Tragis Perempuan-perempuan dalam Lelaki Harimau adalah perempuan-perempuan yang ditindas, perempuan-perempuan yang dikalahkan, dan perempuan-perempuan yang dinistakan. Mereka adalah korban dari monster patriarki yang kasat mata. Monster patriarki itu adalah suami yang melakukan kekerasan terhadap istri, atau ayah yang mencabuli anak, atau pun majikan yang melecehkan bawahannya secara seksual. Permasalahan yang selama ini menjadi isu advokasi perempuan terwakili dalam kisah perempuan-perempuan Lelaki Harimau. Jelas dan bernas! Meskipun diawali dengan kekalahan dan ketertindasan, perempuan-perempuan ini beroleh kemenangan yang tampaknya diberikan karena keberpihakan penulis. Komar bin Syueb, suami ongkang-ongkangan yang ringan tangannya membuat Nuraeni menanggung memar lahir batin akhirnya mati, sekarat dengan dosa-dosanya. Sampai-sampai mayatnya ditolak lubang makamnya sendiri. Sementara Anwar Sadat, lelaki cabul tukang serong, tidak lebih baik, malahan lebih nahas. Kematiannya dinistakan sedemikian rupa. Kepalanya terputus dari badannya, diterkam macan ngamuk. Kematiannya dirayakan dengan kubangan darah yang menggenapi kengerian nasibnya. Baik Nuraeni dan Kasia, sama-sama dingin menanggapi kematian dua monster ini. Demikian fiksi yang dinarasikan Eka Kurniawan dalam tuturan yang mengalir pelan namun pasti mengarah pada nasib tragis. Mungkin saja secara adaptif Eka Kurniawan mencuplik isu-isu perempuan lalu mengemasnya dalam bumbu dendam Lelaki Harimau. Tampaknya Eka Kurniawan secara tidak langsung melahirkan mitos baru. Monster Patriarki bernasib tragis. Hantu Anwar Sadat dan Komar bin Syueb akan membayangi siapapun (monster) patriarki. Jangan coba-coba menjadi Anwar Sadat ataupun Komar bin Syueb! Petuah yang tidak bertele-tele, mengerikan! Atem Kornadi (Departemen Sosiologi Pascasarjana FISIP, Universitas Padjajaran Bandung) [email protected] Abstrak Dramatisasi perjuangan perempuan dan anak guna memperoleh keadilan dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat alot dan berliku. Isu Kekerasan seksual yang sedang marak diperbincangkan di Indonesia saat ini telah menempatkan perempuan dan anak sebagai korban dalam rentang masa yang sangat lama dan cenderung menjadikan mereka sebagai pihak yang selalu disalahkan. Negara masih tampak merangkak dalam menyelenggarakan upaya perlindungan dan belum mampu menjamin seutuhnya keamanan perempuan dan anak, begitu juga produk hukum yang ada saat ini belum bisa menjawab kegelisahan mereka. Terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam menyikapi permasalahan kekerasan seksual, hal itu tidak terlepas dari nilai budaya patriarki yang membentuk hierarki kekuasaan laki-laki dengan memosisikan perempuan dalam relasi yang berhak dikuasai termasuk dalam hal seksualitasnya dan akan menyebar ke dalam relasi kekuasaan yang lebih luas seperti dalam lingkup keluarga hingga negara. Tulisan ini mencoba menganalisis kompleksitas permasalahan dalam menyikapi kekerasan seksual yang menjerat perempuan dan anak-anak melalui gagasan secara deskriptif dengan berbagai tinjauan. Kata Kunci: Kekerasan seksual, Perempuan dan anak, Perlindungan, Hukum Pendahuluan Negara merupakan sebuah asosiasi yang direfleksikan melalui otoritas kekuasan suatu kepemimpinan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan badan-badan kelengkapan negara lainnya yang secara hukum maupun moral berkewajiban melakukan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan itu negara harus mampu menciptakan Kehidupan rakyat yang damai, sejahtera dan memberikan perlindungan dari tindakan ataupun upaya-upaya yang dapat mengancam keselamatan bagi setiap warganya, tanpa terkecuali juga berlaku bagi anak-anak. Negara yang diwakili oleh pemerintah sebagai perangkat primer dalam penyelenggaraannya harus mampu mencegah, menekan bahkan menghapuskan setiap tindakan-tindakan yang dapat mengancam keselamatan anak baik secara fisik maupun psikis. Sebagai negara yang telah berkomitmen dalam deklarasi A world fit for Children (WFC) pada 27th United Nation General Assembly Special Session on Children pada tahun 2001, berarti pemerintah Indonesia telah menyatakan diri bahwa negara siap mengupayakan dan melaksanakan program-program yang memiliki tujuan utama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dapat menghancurkan kehidupan anak. Seperti yang terkandung dalam bidang-bidang yang menjadi perhatian khusus dalam deklarasi tersebut yang meliputi 4 pokok seperti, promosi hidup sehat, (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap pelecehan, eksploitasi dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS).[1] Bentuk-Bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia sangat beragam, mulai dari penyiksaan, eksploitasi hingga kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual terhadap anak memang tengah menjadi sorotan di Indonesia, meski kasusnya bukanlah yang tertinggi dibanding beberapa negara-negara lain. Akan tetapi bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia merupakan fenomena gunung es, banyak kasus-kasus yang tidak muncul ke permukaan, ini bisa saja dikarenakan ada kaitannya dengan kondisi sosial budaya masyarakat, yang menganggap kejahatan seksual sebagai aib keluarga dan tidak perlu diungkapkan kepada siapapun termasuk melaporkannya kepada yang berwenang. Pandangan dari perspektif lainnya belum ada kejelasan hukum yang secara tegas mendeklarasikan perlindungan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Selama ini kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak masih ditangani di bawah dasar hukum perlindungan perempuan dan anak dan tidak spesifik pada kasus kekerasan seksual. Hal ini memperlihatkan bahwa negara masih mengesampingkan perhatiannya dalam menanggulangi anak-anak korban kekerasan seksual. Payung hukum yang selama ini digunakan untuk mengatasi masalah kejahatan anak masih sangat minim, misalnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, muncul sebagai buah hasil dari reaksi masyarakat yang menyoroti maraknya tindakan kejahatan anak yang terjadi pada tahun 2000-an. Akan tetapi setelah terbitnya undang-undang tersebut kejahatan terhadap anak tidak berhenti begitu saja bahkan cenderung meningkat dan lebih mengarah pada tindakan-tindakan kejahatan seksual, dan belum ada aturan yang spesifik menangani hal tersebut. Tindakan-tindakan kejahatan seksual pada anak seiring waktu seolah tiada berhenti, misalnya kasus yang terjadi pada tahun 2014 yang membuat gempar masyarakat Indonesia yakni adanya tindak kejahatan seksual pada murid yang terjadi di Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh beberapa petugas kebersihan bahkan menyeret guru berkebangsaan Kanada yang diduga juga turut terlibat.[2] Kemudian yang tidak kalah menghebohkan ialah kasus pembunuhan yang disertai pelecehan seksual yang menimpa bocah perempuan bernama Angeline di Denpasar Bali pada tahun 2015 yang diduga dilakukan oleh seorang pembantu,[3] namun pada akhirnya turut menyeret ibu angkat korban sebagai tersangka. Kejadian ini ikut mengguncang keselamatan anak di Indonesia. Badan hukum maupun perlindungan anak seakan mendapat tamparan besar bahwa kenyataan yang menimpa anak-anak di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa diatasi dan ini menjadi alarm yang akan selalu mengingatkan bahwa perlindungan terhadap anak belum terselenggara dengan baik dan menjamin sepenuhnya keamanan anak. Perlindungan hukum ataupun upaya-upaya penanganan terhadap kasus kejahatan dan juga korban kekerasan seksual yang dinilai masih kurang optimal ini dapat menjadi alasan banyak keluarga yang enggan melaporkan kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak mereka. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada jumlah data yang kurang akurat terkait kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak sehingga semakin sulit untuk ditindaklanjuti. Menyadari masih kurangnya payung hukum yang mengatur secara spesifik mengenai kekerasan seksual inilah maka keberadaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual membawa sedikit angin segar bagi perempuan dan anak-anak di Indonesia. Akan tetapi RUU ini masih menjadi diskursus yang cukup panjang di parlemen dan hingga saat ini belum menemukan titik terang untuk mencapai kesepakatan pengesahan. Beranjak dari kondisi inilah tulisan ini ingin mencoba mendiskusikan terkait bagaimana upaya negara dalam merefleksikan perlindungan terhadap kasus kekerasan seksual yang difokuskan pada kejahatan-kejahatan seksual yang menimpa anak-anak selama ini di Indonesia melalui pendekatan deskriptif yang lebih menjelaskan melalui tinjauan-tinjauan teoritis dan berdasarkan fenomena-fenomena yang ada. Kekerasan Seksual: Kejahatan yang Berkepanjangan Mengekang Perempuan dan Anak Sejak Berabad-abad yang lalu setiap manusia yang terlahir secara biologis dengan organ reproduksi yang berjenis kelamin perempuan sudah rentan mendapatkan pelecehan, bahkan pada peradabannya perempuan sering diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu laki-laki. Tindakan pelecehan seksual ini sudah berlangsung sejak lama, misalnya adanya budak perempuan yang dianggap seperti barang yang harus tunduk dan siap melakukan apa saja yang diperintah oleh tuan atau pemiliknya. Di zaman Romawi kuno, banyak budak-budak perempuan yang harus merelakan tubuhnya hanya untuk memenuhi keinginan berahi tuannya. Para pria pemilik budak wanita dapat secara bebas melakukan hubungan seksual dengan budaknya, sehingga kadang-kadang pria kaya membeli budak wanita yang cantik dengan tujuan menikmati tubuhnya. Banyak budak yang dibebaskan jika sudah tua, itu pun jika mereka dapat hidup sampai usia tua.[4] Fenomena-fenomena seperti itu di zaman modern ini hanya mengalami pergeseran makna mengingat perempuan hingga saat ini masih merupakan objek yang selalu diposisikan sebagai subordinat laki-laki. Bentuk-bentuk kekerasan atau kejahatan seksual mudah terjadi begitu saja, terlebih lagi cenderung terjadi di lingkungan terdekatnya. Kejahatan-kejahatan seksual tidak hanya terjadi dalam bentuk-bentuk prostitusi ataupun perdagangan perempuan dan anak (human trafficking) akan tetapi kejahatan seksual semakin masif terjadi di lingkungan kesehariannya. Guna memahami tindakan kekerasan atau pelecehan seksual lebih jauh, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual? Atau definisi dari kekerasan seksual itu sendiri melalui pandangan-pandangan konseptual. Kekerasan seksual adalah semua bentuk ancaman dan pemaksaan seksual (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono 2015). Dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual apabila terdapat ancaman (verbal) dan atau pemaksaan (tindakan). Jadi kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan-tindakan kejahatan yang dialami secara fisik namun dapat berupa ucapan yang termasuk mengancam yang menimbulkan ketakutan dan memberikan dampak secara psikologi. Begitu juga yang dimaksud kekerasan seksual terhadap anak ialah pemaksaan, ancaman, atau keteperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan) pencabulan, dan pemerkosaan (Paramastri et al. 2010). Dampak yang kemudian ditimbulkan dari tindakan kekerasan seksual tersebut dapat berupa dampak fisik, psikologi dan sosial. Dampak fisik seperti luka-luka atau robeknya selaput dara bagi perempuan dan di bagian-bagian lainnya, sedangkan dampak psikologi meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri serta dampak sosial seperti perlakuan sinis masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya (Orange dan Brodwin 2005, Paramastri et al. 2010). Setiap daerah di Indonesia tanpa terkecuali rawan terjadi tindak kekerasan seksual terkhusus pada perempuan dan anak. Kompleksitas isu yang terkait dengan permasalahan perempuan memang masih terdapat kenyataan adanya nilai budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan gender, meski diakui saat ini di Indonesia pergerakan-pergerakan pengarusutamaan gender sedang berkembang, akan tetapi tetap saja masih berlangsung ketimpangan gender dalam kehidupan bersama yang membuat perempuan mengalami bentuk-bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi secara seksual. Permasalahan ini dapat dikatakan karena terdapat hierarki berdasarkan jenis kelamin yang mempolitisasi seksualitas berupa dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan sebagai subordinat di lingkungan manapun mereka sehingga dalam kategori sosial menguntungkan laki-laki. Latar belakang budaya patriarki yang cukup mendasar turut mengambil andil dalam permasalahan ini yang turut memengaruhi produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Hal ini akan menimbulkan pemahaman bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas keluarga. Bahkan dalam melakukan tindakan-tindakan kekerasan, dominasi kekuasaan tersebut masuk dalam relasi gender dan seksualitas. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Zgouride dan Zgouride (2000) ‘…the work place, and politics is sexism, or prejudice and discrimination of gender. Fundamental to sexism is the assumption that men are superior to women’. Topik ini sebenarnya sudah disoroti sejak dulu oleh kelompok-kelompok feminis, terutama feminis radikal yang menyoroti dua konsep utama, yaitu patriarki dan seksualitas. Istilah patriarki pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada suatu sistem sosial politik tertentu dimana seorang ayah, berkat posisinya dalam rumah tangganya bisa mendominasi anggota jaringan keluarga luasnya dan menguasai produksi ekonomi dari kesatuan kekerabatan tersebut. Kemudian istilah ini diambil alih oleh para feminis radikal pada tahun 70-an; feminis radikal yang mengacu ke aspek sistemik dari subordinasi perempuan sebagai akibat adanya patriarki; patriarki tidak hanya memaksa perempuan menjadi ibu, tetapi juga menentukan kondisi keibuan mereka. Ideologi patriarki yang mengobjekkan seksualitas perempuan bisa tampak dalam kekerasan seksual yang muncul sehari-hari dalam gejala pemerkosaan, pornografi, iklan dan media massa. Meskipun tidak ada kesepakatan terkait arena utama terjadinya dominasi laki-laki tersebut dalam ideologi (saptari dan Holzner, 1997). Sama halnya dengan perempuan yang rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak-anak menempati posisi yang hampir serupa dan lebih cenderung mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sangat kompleks. Kondisi lingkungan tidak lagi mampu menjamin terhindarnya anak-anak terhadap kekerasan seksual, seiring adanya interaksi langsung antara anak dengan orang-orang dewasa sehingga risiko-risiko terjadinya kekerasan seksual sulit terhindarkan. Lingkungan-lingkungan yang seharusnya melindungi anak-anak pun beralih menjadi tempat yang paling berisiko terjadinya praktik kriminal ini. Seperti di sekolah yang lumrahnya tempat penyelenggaraan pendidikan baik berupa moral maupun intelektual tidak lagi menjamin hal tersebut. Lingkungan sekolah kini justru menjadi sangat berpotensi bagi munculnya tindakan kekerasan seksual karena hubungan antara orang dewasa dan siswa akan lebih sering terjadi tanpa adanya pengawasan dari pihak keluarga. Selain itu bentuk relasi kekuasaan antara guru dan murid terkadang juga sangat menjerat. Cukup sulit menelusuri sumber yang memicu terjadinya kekerasan seksual, karena faktor-faktor yang menyebabkan praktik-praktik kriminal tersebut sangat beragam, namun untuk melacak sumbernya boleh meminjam gagasan Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud setiap manusia memiliki libido (nafsu berahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Namun demikian tuntutan untuk melampiaskan libido yang bersarang pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat direalisasikan oleh manusia, penyebabnya karena adanya norma-norma sosial, seperti norma agama, kesusilaan, dan hukum (Yuwono, 2015). Terhalangnya manusia untuk merealisasikan libido inilah yang membuatnya semakin terpenjara dalam diri manusia dan selalu memberontak untuk dilampiaskan hingga keinginan berahi tersebut sangat sulit dikendalikan. Banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk mengendalikan hasrat tersebut, seperti melakukan perjalanan, berolahraga, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini merupakan pengalihan yang bersifat positif. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah ketika manusia tidak mampu menampung hasrat dari libido tersebut dan tidak mampu mengalihkannya dalam bentuk-bentuk aktivitas positif. Maka yang terjadi ialah pengalihan dalam tindakan-tindakan negatif baik dengan menyalurkannya pada bentuk-bentuk berbayar (prostitusi) atau yang lebih parah dalam tindakan-tindakan kriminal (pemaksaan). Pelampiasan dalam bentuk negatif inilah yang dijadikan jalan pintas oleh pelaku-pelaku kekerasan seksual dalam masyarakat yang seakan tak pernah henti mengintai dan siap menerkam perempuan dan anak-anak. Realitas Kekerasan Seksual pada Anak Anak merupakan generasi bangsa yang negara wajib melindungi, memberikan hak-haknya untuk tetap hidup damai, aman dan sejahtera. Di Indonesia peraturan yang mengatur perihal anak terdapat dalam beberapa cakupan, namun masih tampak tumpang tindih. Secara hukum ruang lingkup dari kekerasan seksual terhadap anak masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, maka dalam pandangan hukum pidana ini yang dimaksud dengan kekerasan seksual terhadap anak adalah kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada orang berusia di bawah 16 tahun. Pendefinisian tentang anak juga memiliki perbedaan terutama dalam penetapan usia, yang disesuaikan dengan konteksnya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut definisi World Health Organization (WHO), batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2014). Perkembangan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Akhir-akhir ini kejahatan yang menyangkut pelecehan seksual anak semakin mencuat sejak tahun 2000-an ditambah lagi media-media semakin mem-blow up tindakan-tindakan kekerasan seksual tersebut ke permukaan, sehingga tindakan kriminal jenis ini yang dulunya sangat jarang didengar dan bahkan tabu untuk dibicarakan bertransformasi menjadi konsumsi publik yang tak terhindarkan. Pusat data dan informasi nasional perlindungan anak Indonesia mencatat, selama periode 2010-2014 terjadi lebih dari 21 juta kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut sebanyak 42 hingga 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya kasus kekerasan fisik dan penelantaran anak. Data kejahatan seksual terhadap anak juga mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada 2010 tercatat 2.046 kasus diantaranya 42 persen merupakan kejahatan seksual, pada tahun 2011 terjadi 2.462 kasus, diantaranya 58 persen merupakan kejahatan seksual, 2012 meningkat lagi menjadi 2.637 kasus diantaranya 62 persen merupakan kejahatan seksual. Peningkatan cukup besar terjadi pada 2013 yaitu 3.339 kasus dengan jumlah kejahatan seksual sebesar 62 persen. Kemudian pada tahun 2014 (Januari-April) telah terjadi 600 kasus dengan jumlah korban 876 orang, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak (www.cnnindonesia.com). Sedangkan selama tahun 2015 kasus pelecehan seksual didominasi terjadi pada anak-anak. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) seperti yang diungkapkan oleh Arist Merdeka Sirait selaku ketua Komnas PA bahwa terhitung sejak Januari hingga Agustus lalu, tercatat dari 1.726 kasus yang melibatkan anak-anak, terdapat sekira 58 persen perkara pelecehan seksual. Berarti ada sekira 1.000 kasus pelecehan seksual seperti sodomi, pemerkosaan, inses, dan lain-lain. Selebihnya kasus kekerasan fisik serta penelantaran (news.okezone.com). Bentuk-bentuk kekerasan seksual banyak terjadi namun pada kenyataannya masih banyak yang tidak mengenalinya bahkan termasuk penegak hukum itu sendiri. Sangat penting untuk diketahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki cakupan sangat luas diantaranya, pemerkosaan, sodomi, seks oral, sexual gesture (serangan seksual secara visual termasuk eksibisionisme), sexsual remark (serangan seksual secara verbal), pelecehan seksual, pelacuran anak dan sunat kelentit pada anak perempuan (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid 2010, Yuwono, 2015). Sedangkan khusus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan sendiri hasil pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998-2013) mencatat terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi,[5] yakni:
Kekerasan seksual yang terjadi tidak lagi mengenal waktu dan tempat, tindakan-tindakan kejahatan tersebut bisa terjadi di mana dan kapan saja. Pelaku juga sulit dideteksi, kejahatan seksual justru tidak lagi mengenal istilah tetangga, keluarga dan orang asing, semuanya berpotensi melakukan tindakan kejahatan tersebut dan orang terdekat memiliki potensi yang lebih tinggi yang biasanya terjadi di lingkungan keluarga. Maria Advianti Wakil Ketua KPAI pernah mengungkapkan bahwa anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 persen di lingkungan sekolah dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat. Bahkan 78,3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.[6]6 Sama halnya apabila kita melihat fakta di lapangan atau fakta yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan bahwa kasus kekerasan seksual justru banyak terjadi di kehidupan pribadi (personal), yakni kekerasan seksual yang terjadi sering dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti yang dijelaskan sebelumnya, baik itu tetangga, saudara, bahkan sekalipun keluarga kandung termasuk ayah, kakak dan adik dan orang-orang terdekat lainnya tanpa terkecuali. Fakta seperti ini tidak bisa menutupi lagi bahwa lingkungan keluarga yang dianggap sebagai tempat yang paling nyaman dan tempat berlindungnya semua anggota keluarga justru akan dengan sangat cepat berubah menjadi lingkungan yang justru menghancurkan anggota keluarga itu sendiri terutama perempuan dan anak. Sementara laki-laki dalam lingkungan keluarga lebih superior oleh karenanya menjadi subjek yang paling dominan dalam melakukan kekerasan tersebut. Jika dipandang dari aspek sosiologis, kekerasan seksual biasa terjadi di lingkungan domestik (rumah tangga) dan juga lingkungan publik atau tempat kerja. Anak-anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual tidak terlepas dari pola relasi antara laki-laki dan perempuan maupun orang dewasa dan anak-anak yang berlaku baik pada masyarakat sederhana (pedesaan) maupun masyarakat kompleks (masyarakat modern/perkotaan). Dari aspek sosiologis, kejahatan seksual yang menimpa perempuan dipandang tidak terlepas dari fakta sosial adanya nilai dan norma yang masih bias gender yang secara struktural menempatkan kekuasaan pada laki-laki. Hal ini membuat posisi tawar perempuan—yang terkadang menjadi orang yang “dirumahkan”—menjadi lemah karena semua berjalan atas kepentingan laki-laki. Begitu juga anak, yang di dalam lingkungannya baik lingkungan keluarga, pendidikan, maupun sosial tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang di sekitarnya dan juga dirinya sendiri. Sehingga pola kekerasan seksual yang menjerat anak-anak akan didominasi atas ketidakberdayaan anak-anak untuk menentang tindakan-tindakan kekerasan seksual tersebut yang cenderung dilakukan oleh orang-orang dewasa dan atau sesama anak-anak yang cenderung pernah menjadi korban atas tindakan yang sama sebelumnya, sehingga pola-pola tersebut kembali diterapkan kepada teman yang dianggap bisa dikendalikan. Hukum Versus Kejahatan Seksual Anak di Indonesia Di dalam aturan hukum Indonesia khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah kekerasan seksual dapat ditemui pada pasal 285 KUHP, dalam pasal ini ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun. Namun istilah kekerasan seksual lebih sering dijelaskan dengan istilah perbuatan cabul yang diatur dalam pasal 289 sampai dengan pasal 296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Dalam pengertian tersebut, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/ kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul, yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo, 1995). Pendefinisian kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang dimasukkan ke dalam permasalahan asusila ini sebenarnya menjadi permasalahan dasar yang akan menggiring pemahaman-pemahaman bahwa kejahatan-kejahatan seksual seperti pemerkosaan atau pencabulan akan lebih dipandang sebagai tindakan kejahatan terhadap moral yang seharusnya lebih tepat disebut sebagai kejahatan kriminal.[7] Kesalahan dalam penetapan istilah maupun makna tersebut tidak boleh dianggap sepele, karena perbedaan kata inilah yang kemudian akan membentuk pola pemikiran masyarakat dalam memahami istilah dan tertanam mendasar menjadi asumsi-asumsi masyarakat secara berkepanjangan yang akan sulit digeser. Tidak heran jika pandangan dengan istilah kejahatan kesusilaan yang bahkan didukung dalam KUHP ini menjadi bumerang sendiri untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual, karena dengan pendefinisian “kejahatan asusila” inilah yang membuat korban kekerasan seksual, dalam konteks ini perempuan dan anak, menjadi lebih memilih menutup mulut dan sulit melaporkan tindakan kejahatan yang telah mereka alami. Sehingga pencarian keadilan bagi korban kekerasan seksual akan sulit ditegakkan. Pengategorian ini tidak melihat secara mendalam permasalahan utamanya secara utuh mengenai apa sebab maupun bagaimana akibat terjadinya tindakan-tindakan kriminal tersebut yang merugikan korbannya baik secara fisik, psikologi dan sosial. Pandangan mengenai “asusila” pada masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang mengikat, karena masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai dan budaya ini, yang kemudian selalu dikaitkan dengan masalah moral. Dalam konteks pendefinisian kekerasan seksual sebagai kejahatan asusila, maka tidak hanya pelaku yang mendapatkan label “tidak bermoral” akan tetapi secara tidak langsung turut menggiring korban yang mendapatkan perlakuan tindakan kejahatan asusila tersebut mendapat label yang serupa. Sebagai contoh terjadi pemerkosaan yang dialami oleh remaja perempuan, jika digunakan istilah kejahatan kesusilaan yang dipandang sebagai tindakan tidak bermoral, maka kejahatan yang dialami korban akan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena takut munculnya cap perempuan tidak bermoral dan bahkan menyeret keluarganya menjadi keluarga yang tidak bermoral. Dengan kata lain dalam hal ini seakan-akan korbanlah yang disalahkan. Kekhawatiran-kekhawatiran seperti inilah yang kemudian menyebabkan korban maupun keluarga menjadi bungkam karena dianggap bukan lagi sebagai permasalahan kejahatan tetapi permasalahan aib keluarga yang harus ditutupi. Alasan-alasan seperti ini jugalah yang dapat membebaskan pelaku dari jeratan hukum, karena korban lebih memilih menutupi kasus tersebut dibanding melaporkannya ke pihak berwenang, maka pelaku akan merasa bebas mengulangi tindakan kekerasan seksual tersebut. Sedang korban yang tidak hanya terluka secara fisik namun juga psikis akan mengalami tekanan yang berkepanjangan bahkan mengalami traumatik mental, kemungkinan yang lebih parah apabila korban memilih bunuh diri karena tidak lagi mampu menampung kekhawatiran dan label yang akan diterimanya sebagai perempuan yang tidak bermoral. Oleh karenanya untuk dapat melihat pemahaman kesusilaan ini tidak hanya dari sudut pandang pemahaman individu saja namun akan lebih baik didasarkan atas pemahaman umum secara mendalam dan utuh. Sehingga pemaknaan istilah kekerasan seksual (tindakan kriminal) dan kejahatan kesusilaan dipahami masyarakat secara utuh yang kemudian kasus kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak tidak lagi tersandung dengan masalah nilai dan moral, melainkan kasus yang dianggap seutuhnya sebagai tindakan kriminal. Masalah Penanganan kasus kekerasan seksual pada anak tidak sebatas mengenai pengategorian kekerasan seksual tersebut termasuk kejahatan asusila atau krimanal saja, namun hukum Indonesia masih tampak setengah hati dalam menindak kasus-kasus kekerasan seksual yang menyangkut anak. Adanya diskriminasi tersebut tampak dalam menyikapi laporan atau pengaduan, yakni di dalam KUHP dikenal adanya istilah delik aduan dan delik murni (biasa).[8] Delik aduan yakni kasus kejahatan yang terjadi akan diproses apabila adanya pengaduan dari pelapor. Untuk konteks pelapor ini sendiri belum jelas aturannya lalu siapa yang berkewajiban menjadi pelapor, apakah anak selaku korban itu sendiri, orang terdekat dan siapa? hal ini turut mengundang permasalahan. Dengan begitu dalam kasus kekerasan seksual yang dialami anak akan sangat sulit terselesaikan, mengingat penanganan kasus mensyaratkan adanya laporan. Jadi apabila tidak ada laporan, maka kasus tersebut tidak ditangani atau ditutup. Nah, yang jadi permasalahan siapa yang akan melaporkan kasus tersebut? Haruskah korban yang melaporkannya, yang secara mental pasti sudah tertekan dan status anak-anak yang disandangnya belum cukup mampu memahami kekerasan yang dialaminya, belum lagi apabila korban mendapatkan ancaman-ancaman dari pelaku. Kemudian haruskah saksi yang melapor, lalu bagaimana jika tidak ada saksi atau saksi enggan melapor, lalu haruskah orang tua atau keluarga, bagaimana jika yang melakukan kekerasan seksual justru orang tua atau keluarga mereka sendiri maka sangat kecil kemungkinan tindakan tersebut akan dilaporkan. Walaupun kasus-kasus tersebut cenderung dilaporkan namun persoalan-persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan kemungkinan yang akan dialami dalam kasus kekerasan seksual anak. Maka delik aduan yang diberlakukan untuk kasus kekerasan seksual anak harus ditinjau kembali karena memperlihatkan bahwa hukum yang ada masih setengah hati dan tampak belum menanggapi dengan serius permasalahan anak. Berbeda dengan kasus kekerasan yang dialami oleh orang dewasa yang langsung dianggap delik murni, yakni akan diproses meskipun tidak adanya aduan atau laporan. Guna menemukan titik terang dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual yang telah mengalami fase cukup panjang ini, maka tindakan-tindakan preventif, advokatif dan penghapusan kekerasan seksual harus gencar disuarakan dan dilakukan. Adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan tawaran hukum yang harus dengan sigap dirumuskan, RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual ini merupakan salah satu langkah yang paling solutif untuk menyikapi permasalahan kekerasan seksual di Indonesia. Mendukung hal itu Komnas Perempuan sedang berjuang untuk mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan masuk dalam prolegnas tahun 2016, hal ini guna mewujudkan masa depan bangsa Indonesia yang bebas dari bentuk-bentuk kekerasan terkhusus kekerasan seksual. Dalam upaya mendorong RUU ini agar masuk dalam prolegnas jangka menengah dan prioritas prolegnas 2016,[9] maka Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:
Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi: pelecehan seksual, kontrol seksual, pemerkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan perlakuan dan penghukuman lain yang tidak manusiawi yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan (www.cnnindonesia.com). RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini nantinya harus disinkronkan dengan produk hukum lain yang terkait misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusn Kekerasan dalam Rumah Tangga dan lainnya, serta materi-materi lainnya yang tidak hanya menyangkut masalah penanganan pelaku namun juga materi yang terkait dengan penanganan korban, sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini memiliki aturan yang jelas dan rinci serta nantinya tidak terjadi tumpang tindih seperti banyak permasalahan rumusan undang-undang yang terjadi selama ini. Penutup Tindakan kejahatan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak maupun perempuan jangan pernah diperlakukan sebagai tindakan yang berbeda, cukup dipahami bahwa kekerasan dalam bentuk apapun yang merugikan anak-anak maupun perempuan merupakan tindakan kriminal yang semua orang berkewajiban memutus rantai tindakan tersebut. Jangan sampai ada sikap diskriminatif dalam menyikapi permasalahan ini, baik kekerasan seksual pada anak maupun perempuan, bukan lagi suatu fenomena yang baru, bentuk kekerasan atau pelecehan seksual ini sudah mengalami fase yang sangat lama dan tercatat dalam gulungan sejarah yang cukup panjang yang hingga saat ini selalu mendampingi kehidupan anak-anak dan perempuan dan selalu siap menggiring mereka kedalam lembah pelampiasan nafsu. Permasalahan kekerasan seksual ini sudah sangat kompleks oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini seharusnya tidak lagi terkendala hal-hal substantif yang tidak perlu diperdebatkan, namun aktualisasi dan penetapan kebijakan yang lebih terfokus. Apapun bentuk kekerasan seksual atau persetubuhan dengan anak di bawah usia 16 tahun menurut hukum sudah masuk ranah tindak pidana namun juga tidak semestinya dibatasi atau diukur dengan ketentauan KUHP saja tetap juga perlu diukur secara biologis dan psikologis. Dengan menggunakan kedua ukuran ini dan dikombinasikan dengan ketentuan KUHP diharapkan anak mendapatkan perlindungan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual (Yuwono, 2015), dan diharapkan dapat diterapkan pada kasus kekerasan yang dialami perempuan yang memiliki permasalahan serupa. Dengan demikian berpijak dari pemikiran Yuwono (2015) satu hal yang dapat mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak, yakni apabila ada kesadaran dan kontrol kolektif, seperti yang tersirat dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002 pasal 20 yang berbunyi: negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan terhadap anak. Bunyi dalam pasal tersebut telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara termasuk pemerintah hendaknya saling melindungi dengan cara mengontrol satu sama lain, tanpa adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang menyangkut kepentingan individu semata. Kontrol kolektif yang merupakan perangkat normatif dari KUHP ini harus dijadikan pijakan guna memerangi tindakan-tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak dan perempuan. Hanya saja fakta masih maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia saat ini memperlihatkan bahwa perangkat kontrol kolektif yang diamanatkan ini berhenti hanya sekadar rumusan saja dan belum menunjukkan adanya kontrol kolektif secara nyata. Ini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab masing-masing, apakah diri kita sendiri sudah memiliki kesadaran akan kontrol kolektif? Jadi kesadaran akan kontrol kolektif dijadikan sebagai senjata yang amunisinya ialah produk-produk hukum seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang disinkronkan dengan undang-undang lain yang terkait yang diharapkan secara bertahap dapat menghentikan bahkan menghapus tindakan kekerasan seksual yang merenggut perempuan dan anak-anak. Daftar Pustaka Paramastri, Ira et al. 2010, “Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children” dalam Jurnal Psikologi Vol.37 No. Juni 2010 (pp: 1-12). R. Soesilo 1995, KUHP Serta Komentar-Komentarnya, Politeia, Bogor. Saptari, Ratna dan Holzner, Brigtte 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan sebuah Pengantar Studi Perubahan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Yuwono, Ismantoro Dwi 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Zgourides, George D And Zgourides, Christie S. 2000, Cliffs Quick Review Sociology, IDG Books Worldwide, United States Of America. Cnn Indonesia. “Komnas Perempuan Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. 20 Februari 2015: 13:02 WIB.http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151108105400-12-90170/komnas-perempuan-dorong-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/ Okezone.com. “Selama 2015, 1.000 Kasus Pelecehan Seksual terhadap Anak” 22 Februari 2015: 12:39 WIB. http://news.okezone.com/read/2015/10/06/337/1226763/selama-2015-1-000-kasus-pelecehan-seksual-terhadap-anakPusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Catatan Belakang: [1] Paramastri, et al,. 2010. Jurnal Psikologi Volume 37, No.1, Juni 2010:1-12 Early Prevention Toward Sexual Abuse On Children. [2] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/04/150402_vonis_jis_bantleman [3]http://regional.kompas.com/read/2015/06/10/21470601/Polisi.Sebut.Angeline.Alami.Kekerasan.Seksual.Sebelum.Dibunuh [4]https://id.wikibooks.org/wiki/Romawi_Kuno/Sosial/Perbudakan ,Banyak dari para budak, terutama di Spanyol dan Prancis selatan, bekerja di ladang dan menggarap lahan pertanian miliki orang kaya. Ada pula budak yang bekerja di rumah orang kaya. Mereka biasanya bertugas sebagai pengasuh anak, juru masak, pelayan, pembersih, pengurus kuda, pencuci, pengajar, dan akuntan. Para budak jenis ini ada yang memiliki keluarga, Anak-anak yang terlahir dari budak seringkali dijual dan dijauhkan dari orang tua mereka. Para budak ini juga sering dipukuli dan jarang memperoleh makanan yang layak. [5] Dokumen Komnas Perempuan:http://www.komnasperempuan.go.id/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan/#more-14183 [6] KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ [7] Lihat,Kekerasan Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan Tulisan yang diolah dari dokumen Komnas Perempuan berjudul “Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani” dan Jurnal Perempuan edisi 71 tentang “Perkosaan dan Kekuasaan. [8] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4edef75d5869e/adakah-delik-aduan-yang-tetap-diproses-meski-pengaduannya-sudah-dicabut [9] Komnas Perempuan mendesak DPR segera memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2016: http://www.suara.com/news/2015/11/24/090655/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-didesak-masuk-prolegnas Siti Khuzaimah (Mahasiswi Pascasarjana Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) [email protected] Judul : Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik Penyunting : Andy Dermawan Cetakan : Pertama, 2006 Percetakan : Yogyakarta, Kurnia Alam Semesta Tebal : xiii + 206 halaman: 14,5 cm x 21 cm ISBN : 979-8598-30-X Penulis : Alimatul Qibtiyah Akhir-akhir ini, isu LGBT ramai di setiap sudut kota. Spanduk-spanduk bergelantungan dengan tulisan “LGBT, Haram!”, “Tolak LGBT”, “Kawasan ini bebas dari LGBT”. Apa sebenarnya motif penulisan kata-kata tersebut? Apakah hanya spanduk yang dibuat sebagai kampanye selayaknya pencalonan wakil ketua legislatif? Ataukah spanduk yang dibuat untuk mewakili aspirasi masyarakat yang sarat makna? Selain itu, demo terjadi di mana-mana. Kerusuhan mewarnai situasi kampanye LBGT. Semangat membara dan berapi-api tampak di setiap wajah para pendemo. Lagi-lagi pertanyaan saya, apa yang mereka inginkan? Karena penasaran, akhirnya saya terpaksa bertanya kepada kelompok tersebut. Apa sih maksud dari tulisan di spanduk itu? Dan siapa sih LGBT itu?
Dengan sigapnya, seseorang di antara mereka menjawab, “Kami menolak LGBT, LBGT adalah perbuatan terkutuk, tidak manusiawi dan haram. Mereka itu banci-banci yang tidak bermoral. Mereka bukan manusia, tidak waras, berkelakuan seperti binatang.” Pernyataan para pendemo semakin membuat saya kebingungan. Bukan karena jawaban mereka, tapi berasal dari mana jawaban-jawaban itu muncul? Jawaban itu di dapatkan dari kamus Bahasa Indonesia atau dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya. Jika saya menggarisbawahi kata “haram”, maka menurut hemat saya ada kaitannya dengan keagamaan. Urusan halal dan haram diatur dalam undang-undang syariat Islam yang terkristal dalam bentuk fikih. Tapi apakah benar agama telah menyatakan menolak LGBT? Sebatas pengetahuan saya, agama yang saya anut sejak lahir tidak pernah mengajarkan tentang LGBT, hanya saja dalam Alquran disinggung kisah nabi Luth. Namun, mereka (para pendemo) dengan getolnya menyuarakan bahwa LBGT bertentangan dengan agama. Dari sinilah pertentangan dan kecamuk dalam hati mulai muncul. Saya terpaksa mempertanyakan ajaran agama yang selama ini saya yakini kebenarannya. Hingga usia 20 tahun, bu nyai dan pak kiai di pondok belum pernah menyinggung persoalan LBGT. Kitab-kitab yang dipelajari cukup beragam, namun tidak diketemukan catatan kecil tentang LBGT. Untungnya kini alat canggih bisa membantu saya menemukan kepanjangan kata LGBT yaitu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. LGBT adalah orientasi seksual yang dimiliki manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Ternyata LGBT memiliki arti yang sederhana. Hanya orientasi seksual, bukan barang berbahaya seperti narkotik jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Narkotik dapat berupa obat yang berfungsi menenangkan saraf dan menghilangkan rasa sakit seperti ganja dan opium. Narkotik berupa obat-obatan yang dapat dikonsumsi manusia. Sedangkan LGBT hanyalah orientasi seksual yang sangat abstrak dan tidak dapat dilihat secara kasat mata. Jadi menurut hemat saya LGBT berbeda dengan narkotik yang membahayakan (jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang) dan tidak bisa dihukum haram. Selebihnya kata “menolak”. Jika yang mereka tolak adalah sebuah orientasi seksual yang abstrak, bagaimana cara mengetahuinya? Jangan-jangan yang mereka tolak bukan orientasi seksual seperti apa yang saya pikirkan, tapi segelintir orang yang disebut banci. Pertanyaan saya selanjutnya, bukankah yang disebut banci adalah manusia? Jika memang selama ini yang disebut banci adalah manusia, apakah patut manusia menyebut sesamanya dengan sebutan banci? Jika merunut penciptaan manusia, setidaknya ada tiga tahapan kejadian yaitu nutfah (saripati berupa sperma), ‘alaqah (segumpal darah), dan mudghah (segumpal daging). Kemudian Tuhan menciptakan manusia dari jiwa yang satu, dijadikan daripadanya pasangan baginya...Tuhan menjadikan (manusia) dalam perut ibu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kerajaan. LGBT dalam hal ini berarti bukan manusia, melainkan orientasi seksual yang bisa jadi bagian dari ciptaan Tuhan (given). Ironis, para pendemo menyuarakan “Tolak LGBT”, “LGBT haram”. Maksud dari “tolak” dan “haram” ditujukan kepada manusia dan tindakan para LGBT. Jika yang ditolak adalah tindakan manusia yang menyimpang itu masuk akal. Tindakan menyimpang dalam hal ini dapat disandingkan dengan korupsi, keduanya sama-sama amoral. Namun, jika yang ditolak orientasi seksual, bagaimana hal itu bisa terjadi? Penyimpulan ini sungguh tergesa-gesa. Akibat keterbatasan pengetahuan dan pemahaman yang kurang tepat, semua tindakan para pendemo jadi salah kaprah. Sangat disayangkan jika masyarakat di sekitar kita semena-mena mengadili dan mengartikan LGBT secara buta. Tindakan semacam itu dapat mencederai nilai kemanusiaan itu sendiri. Ahli hukum pun jika tidak mempelajari kasus dengan benar, maka ia rentan mendekonstruksi kebenaran. Sama halnya dengan masyarakat yang mencampuradukkan LGBT dengan pengertian banci, perbuatan amoral, dan menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Saya khawatir, jangan-jangan selama ini masyarakat belum pernah belajar tentang pendidikan seksual. Sehingga argumen-argumen yang disampaikan dan disosialisasikan semuanya ngawur. Kesalahan pemahaman terhadap LGBT dapat berakibat fatal, namun belum banyak disadari pentingnya belajar seksualitas. Seksualitas adalah suatu aspek penting dalam kehidupan yang menekankan aspek fisik, sosial, emosi, spiritual, budaya, ekonomi, dan etnik yang dialami manusia. Cakupan dari seksualitas meliputi perkembangan seksual, penciptaan manusia, perbedaan anatomi seksual laki-laki dan perempuan, hasrat seksual, orientasi seksual, hubungan seksual, masturbasi, aborsi, alat kontrasepsi, perzinaan, khitan, dan mut’ah (hal 1). Sebuah karya Alimatul Qibtiyah berjudul Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik, setidaknya komprehensif menyediakan informasi penting seputar pendidikan seksualitas. Perlu dipahami bahwa pendidikan seks berbeda dengan pendidikan seksualitas karena cakupannya lebih luas. Tidak hanya berhubungan dengan reproduksi, seksualitas juga berkaitan dengan kebiasaan/adat-istiadat, agama, seni, moral, dan hukum. Kehadiran buku ini dapat mengonter kenyataan sebagian masyarakat muslim yang menolak membicarakan persoalan seksualitas. Sebenarnya jika mau jujur, agama Islam menjunjung tinggi kesantunan mempelajari pengetahuan apapun, terlebih soal seksualitas. Sehingga dengan hadirnya buku ini dapat memberi informasi bagi remaja muslim agar terhindar dari dampak negatif atas kesalahpahaman seksualitas. Selebihnya juga dapat mendorong pendidikan dalam dunia Islam untuk merumuskan pendidikan seksualitas yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Secara formal, pendidikan seksualitas dapat mengubah perilaku, baik menunda atau mengurangi perilaku seksual dini, orang yang tidak setuju dengan hubungan seks di luar pernikahan akan terhindar dari tertularnya penyakit HIV dan kehamilan yang tidak diinginkan. Membahas persoalan seksualitas tidaklah mudah, terutama di kalangan/institusi keluarga. Orang tua merasa ragu dan malu menjawab pertanyaan anak-anak remaja tentang seksualitas (hal 65). Padahal sering ditemui anak-anak kecil yang bertanya tentang adik bayi di dalam perut ibunya. Anak-anak pun sebenarnya berhak mendapat pendidikan seksualitas sejak dini, tentunya sesuai dengan porsinya bukan menggunakan bahasa orang dewasa yang sudah mereka pahami. Islam mengakui bahwa seksualitas adalah sesuatu yang natural dalam kehidupan manusia. Islam secara positif melihat seksualitas dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Seks dan seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, bahkan merupakan rahmat Allah. Islam mengatur kesucian hubungan anak manusia melalui pernikahan. Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan seksualitas dimulai sejak dini. Buku ini terdiri dari 3 bab. Bab I pendahuluan, berisi tentang diskursus seksualitas dan pendidikan seksualitas dalam kajian Islam. Bab II tentang penciptaan dan perkembangan manusia dalam konsep Islam. Bab III tentang Islam dan problematika poligami. Bab IV tentang pendidikan seksualitas dalam Islam. Bab V tentang pendidikan seksualitas pada penciptaan dan perkembangan manusia, disertai dengan contoh aplikasi kurikulum penciptaan dan perkembangan manusia, aplikasi kurikulum tentang poligami Islam dan kumpulan materi pembelajaran. Kritik terhadap buku ini, kurikulum pendidikan seksualitas dalam Islam pada tulisan ini belum terimplementasi. Oleh karena itu, materi dalam buku ini belum dapat diuji dan diukur tingkat keefektifannya. Topik-topiknya perlu dikembangkan seperti persoalan aborsi, hubungan seksual, alat kontrasepsi dan lain-lain. Kurikulum ini ada baiknya jika dimulai pada tingkat SMP agar para remaja lebih dini mengenal pendidikan seksual secara benar. Buku ini sangat relevan dibaca, dipelajari oleh para ilmuwan, civitas akademik, maupun siswa/i yang hendak belajar seksualitas. Khususnya para santri yang sudah belajar seksualitas dari kitab kuning (‘uquddulujjain), buku ini dapat dijadikan referensi pengetahuan baru yang sesuai dengan ajaran Islam. Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] Sarinah! Katakan pada mereka Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu Tentang perjuangan nusa bangsa Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal Ia sebut kau inspirasi revolusi Sambil ia buka kutangmu Petikan dari “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”, (Rendra 1974: 212) Ketika kita mengingat pembantaian massal 1965 politik Orde Baru memainkan kekuasaannya dengan memanipulasi sejarah, doktrinasi bahwa semua yang berbau komunis adalah jahat. Menurut Mariana (2015: 119), rezim orde baru melakukan teror sebagai upaya “penundukan” agar kekuasaannya dapat dilanggengkan, dengan menyatakan adanya “musuh negara” yakni penganut ideologi komunisme. Dalam upaya untuk mewujudkan negara yang bebas dari ancaman ideologi kiri maka muncul kebijakan tumpas kelor[1]. Semua organisasi “keluarga komunis”[2], seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani telah disiksa dan dikalahkan. Presiden Soeharto tampil ke atas singgasana kekuasaannya dengan menciptakan kampanye kekerasan yang tak ada tolok bandingannya di masa lalu, dan dikuatkannya pula dengan tuduhan pesta seksual yang dilakukan para anggota Gerwani (Wieringa, 1999: xl). Setelah ketegangan dari adanya pembasmian Gerwani kontrol pemerintah semakin meningkat, Kowani (Kongres Wanita indonesia) ditunjuk oleh pemerintah Orde Baru untuk menjadi organisasi payung bagi semua kelompok wanita, dari organisasi profesional, sosial, keagamaan sampai organisasi-organisasi fungsional (Suryakusuma, 2011: 17). Di masa demokrasi terpimpin, Kowani didorong menjadi organisasi radikal oleh Gerwani dan Hurustiati Subandrio (istri menteri luar negeri saat itu, Dr.Subandrio). Sejak Mei 1966, pada saat pembasmian kaum komunis, para pemimpin organisasi-organisasi perempuan yang berkaitan dengan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) meningkatkan jumlah wakil mereka dalam pengurus eksekutif Kowani (Reeve, 1983: 330). Namun penunjukan Kowani sebagai organisasi semua kelompok wanita menjadikannya mati dalam perjuangan perempuan. Kowani mendapatan pengesahan resmi dari pemerintah dalam Panca Dharma Wanita, yaitu: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 3) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 4) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna. Bagaimana perjuangan independen kaum perempuan tidak mati, mereka membiarkan dirinya dicetak mengikuti budaya “ikut suami” (Suryakusuma, 2011: 17). Panca Dharma Wanita tersebut sangat membatasi perempuan, domestifikasi dan depolitisasi perempuan dengan hanya mengurusi suami, anak dan rumah tangga sama sekali tidak memberikan perempuan ruang untuk menikmati dan melakukan hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia. Keadaan tersebut juga sangat “bapakisme” dan “patronistik”. Menurut Langenberg (1986: 9-10), pengertian tentang bapak adalah dasar dari seluruh struktur stratifikasi sosial di Indonesia. Setiap patron adalah bapak, setiap klien mempunyai seorang bapak. Dengan demikian, paham “bapakisme” merasuki perilaku aparat negara pada semua tingkat, dan semua hubungan adalah hubungan “bapak-anak buah”. Pada masa Orde Baru masalah wanita–atau dalam peristilahan Orde Baru disebut “kegiatan peningkatan peranan wanita”–di Indonesia disegregasikan ke dalam dan dikoordinasi oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) (Suryakusuma, 2011: 18). Namun peningkatan peranan perempuan ini adalah “peran ganda” karena negara mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan negara dan juga perempuan wajib dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Ya, memang perempuan harus berpartisipasi dalam sosial dan politik namun Orde Baru yang membungkus dirinya secara liberal tak khayal hanya menjadikan perempuan sebagai alat yang berperan dengan citra “ibu rumah tangga” dan “istri”. Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol pemerintah. Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi[3]. Keduanya adalah organisasi fungsional, dengan keanggotaan otomatis mengikuti hierarki suami. Yang paling menjijikan di organisasi pemerintah tersebut adalah ketika pimpinan “fungsional” terletak pada kedudukan suami, apapun latarbelakang pendidikan, organisasi atau kecenderungan politik isteri. Lalu dimana letak peran perempuan yang sesungguhnya apabila harus “bapakisme” seperti ini!? Maka celakalah sistem kedudukan perempuan di masa Orde Baru ini karena sangat tidak berpihak pada kesetaraan. Orde Baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan pemerintah. Sehingga organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan, sulit karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Lagipula penyadaran yang ada mudah dibungkam dan menyuarakan pendapat bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan subversif karena bertentangan dengan pemerintah. Bagi kaum wanita, ini berarti hilangnya otonomi secara nyata. Mereka dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persekongkolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus-menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal (Wieringa, 1999: xlvii). Bahkan dengan watak patriarkal militer Presiden Soeharto telah menjadikan para perempuan aktivis kiri sebagai Tapol dan melemahkan organisasi perempuan lainnya (Mariana, 2015: 120). Setiap upaya untuk memaksa wanita kembali ke chador atau rumah adalah kebijakan yang reaksioner, apalagi menekan perempuan dengan peran ganda tanpa hak untuk memilih ruang geraknya. Hal demikian tidak menghargai revolusi yang hendak membebaskan rakyat dan menghapus eksploitasi dan kesengsaraan. Perempuan di mana pun harus bersatu untuk menguatkan dan meluaskan gerakan mereka menuju kemerdekaan (Saadawi, 2001: xxi). Masa Orde Baru adalah masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusiaan hingga rakyat menjadi tumbal kekuasaan, hal ini perlu untuk ditilik kembali mengingat perjuangan perempuan tidak mudah dan penuh dengan tumpah darah, masa itu menyulut api perlawanan untuk gerakan-gerakan perempuan masa kini. Panjang umur perjuangan! Daftar Pustaka: Mariana, Anna. 2015. Perbudakan Seksual Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru. Marjin Kiri. Tangerang Selatan. Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Komunitas Bambu. Jakarta. Wieringa, Saskia Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Garba Budaya dan Kalyanamitra. Jakarta. Catatan Belakang: [1] Istilah “tumpas kelor” diambil dari bahasa Jawa. Negara menganggap seluruh keluarga komunis harus ditumpas sampai ke akar-akarnya, mulai dari keluarga yang dipersangkakan hingga generasi anak, cucu, dst. Lihat Hersri Setiawan, Kamus Gestok, Galang Press, Yogyakarta, 2003. hlm 296. [2] Istilah “Keluarga komunis”, meliputi PKI dan ormas-ormas kaitannya, yaitu Gerwani (Gerakan Wanuta Indonesia), Pemuda Rakyat, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan HSI (Himpunan Sarjana Indoneia). Baca Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Peremuan di Indonesia, Garba Budaya dan Kalyanamitra, Jakarta, 1999. Hal xxxix [3] Dharma Wanita adalah organisasi isteri pegawai negeri, sedangkan Dharma Pertiwi adalah organisasi isteri anggota militer lihat Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, Komunitas Bambu, Jakarta, 2011. Hlm 19 Tubuh merupakan keseluruhan struktur fisik organisme manusia, yang terdiri atas bentuk tubuh yang kasat mata dan tidak. Karena dalam tubuh manusia ada serangkaian antara jiwa dan raga; bukan hanya ada tangan, hidung, kepala, kaki, mata, rambut, rahim, vagina, penis, jantung, dan lain-lain tapi mencakup seisi jiwa baik itu pikiran, perasaan, hati dan atas apa yang tak terlihat oleh mata namun bisa dirasakan dalam satu naluri manusia. Semua itu ada dalam satu rangkaian yang terbentuk menjadi satu yaitu tubuh. Pengertian secara umum saja tentunya tidaklah cukup, karena dalam pandangan Nietzche—salah seorang yang menginspirasi bagi Foucault—dalam Listiyono, ia menyatakan bahwa tubuh tidak hanya dapat dimanfaatkan dan dialami dalam banyak cara, bahwa hasratnya dapat diubah oleh interpretasi budaya, bahwa setiap aspek tubuh dapat secara menyeluruh dimodifikasi oleh teknik-teknik yang sesuai, yaitu tubuh yang lunak, yang dapat ditundukkan, dan dapat ditempa.[1] Hal tersebut juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh Foucault, bahwa tubuh akan menjadi sebuah kekuatan yang berguna, jika tubuh itu produktif dan berada dalam ketundukan.[2] Tubuh juga secara langsung terlibat dalam bidang-bidang politis, karena adanya hubungan kuasa yang menyentuh tubuh, maksudnya ialah mereka menginvestasikannya, menandainya, melatihnya, memaksanya, melaksanakan tugas-tugas, melaksanakan berbagai tata tertib yang dimunculkan. Dan tanpa disadari hal ini juga secara langsung berhubungan dengan sistem ekonomi, karena tubuh sebenarnya berguna dan produktif. Tetapi bukan hal yang mudah untuk menjadikan tubuh itu bekerja produktif, berguna, dan membuat tubuh bekerja secara efisien kecuali ia berada di dalam perangkap sebuah sistem penundukan atau otoritas sebuah negara. Foucault dalam Listiyono, mengatakan bahwa tujuan dari disiplin otoritas adalah untuk membentuk suatu tubuh yang patuh dan dapat ditundukkan, dimanfaatkan, ditransformasikan, diperbaiki, dan dapat ditingkatkan gunanya. Tubuh yang patuh ini juga merupakan tubuh yang produktif.[3] Seperti apa yang dikemukakan oleh James S. Coleman, dengan konsep hak untuk mengontrol sumber yang tidak bisa dipindahtangankan, yakni tindakan seseorang itu sendiri yang kaitannya dengan hubungan kekuasaan bisa ditetapkan sebagai berikut: yaitu adanya hubungan kekuasaan satu pelaku atas pelaku lain terjadi, ketika yang pertama memiliki hak untuk mengontrol tindakan-tindakan tertentu dari pelaku yang lain.[4] Seperti halnya negara bisa dijadikan sebagai salah satu pelaku pemilik kontrol pertama dalam mengontrol atau mengendalikan tubuh manusia atau masyarakat terutama perempuan. Walaupun tubuh tersebut secara struktur adalah milik individu yang tidak bisa dipindahkan hak kepemilkannya, namun tetap saja negara bisa mengontrol karena negara punya otoritas akan tubuh untuk menundukkan. Seperti misalnya mengatur tubuh masyarakat terutama perempuan dalam berpakaian, alat kontrasepsi/KB, kehamilan, seksualitas, pernikahan, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya telah dipatuhkan oleh peraturan-peraturan ataupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. Sehingga kekuasan dianggap sebagai salah satu bentuk tindakan yang membelenggu, walaupun pada dasarnya semuanya berjalan efisien dan teratur tapi tetap saja keberlangsungan itu berada pada pusat otoritas yang membelenggu. Tubuh yang ada adalah milik setiap individu atau privat, bukan milik kelompok atau publik, karena yang berhak mengatur dan menjaga tubuh adalah pemiliknya bukan orang lain. Namun tidak demikian, kenyataan yang ada pada saat ini banyak kegelisahan-kegelisahan yang terjadi akan kekuasaan tubuh. Semua tubuh-tubuh manusia terutama perempuan telah dijadikan objek dengan istilah lain tubuh yang dipatuhkan adalah tubuh yang ditundukkan, dikuasai, dikekang, tidak diberikan kebebasan atau hak kuasa pada tubuh, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu peluang dalam industri ekonomi-politik oleh pemilik modal dan penguasa. Semua telah dikontrol dengan begitu saja dan tanpa disadari. Ternyata kontrol yang diberlakukan oleh pemilik modal dan negara sangat bias gender, ketidakadilan gender berakibat pada ketidakadilan dalam seksualitas seseorang. Seolah perempuan yang sepenuhnya salah dalam hal ini, jika dilihat menggunakan kacamata feminis liberal. Perempuan dianggap yang pertama kali menyebabkan semua permasalahan itu datang. Karena akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.[5] Maka dalam pandangan feminis liberal ini perempuan perlu diperjuangkan sepenuhnya sama dengan laki-laki baik itu hak suara, pendidikan maupun kesamaan dalam hukum. Jadi wanita memiliki kebebasan individual dan secara penuh. Kebebasan yang dimaksud berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Saat gender secara sosial dikonstruksi, maka seks pun demikian, dimana definisi laki-laki dan perempuan pun berdasarkan aspek biologisnya dan berpengaruh pada perannya, laki-laki dominan dan perempuan tunduk secara seksual. Sebuah teori feminis seksual dapat melihat seksualitas dengan sebuah teori keadilan gender, artinya laki-laki memang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (kuasa laki-laki).[6] Di sini kita bisa melihat bagaimana terjadi diskriminasi atas seksualitas, perempuan dianggap inferior dalam seks karena tidak memiliki kekuasan, yang dianggap memiliki kekuasaan hanyalah laki-laki (superior). Seharusnya di dalamnya ada relasi kuasa baik antara laki-laki maupun perempuan, baik berkaitan dengan seks, kekuasaan tubuh, ekonomi, politik, pendidikan, pengetahuan, dan sebagainya. Sehingga tidak terjadi ketimpangan antara keduanya. Hal tersebut ternyata senada dengan apa yang telah dikemukakan oleh feminisme radikal; yang meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan.[7] Sistem seks dan gender ini menunjukkan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dan bahwa perbedaan itu bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior sehingga memunculkan kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Jika kelompok feminis liberal memandang kesalahan tersebut berada dan berawal pada perempuan, namun berbeda dengan kaum feminis radikal yang melihat problemnya adalah patriarki[8], yaitu seluruh kekuasaan laki-laki atas perempuan.[9] Feminis radikal menganggap bahwa dalam kaitannya dengan reproduksi dan seksualitas perempuan, reaksi terhadap pandangan bahwa laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Artinya penindasan terhadap perempuan disebabkan oleh jenis kelamin laki-laki itu sendiri dengan ideologi patriarkinya. Cara pemikiran feminis radikal dalam menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan. Dengan sendirinya perempuan kemudian menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif (inferior). Walaupun berbdea cara pandang antara feminis liberal dan radikal, tapi pada intinya adalah untuk menyelamatkan perempuan dari ketertindasan dan subordinat perempuan dari kuasa yang mematuhkan tubuh. Sedangkan dalam pengertiannya seks atau gender yang merupakan suatu serangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentrasformasi seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia.[10] Artinya seks (jenis kelamin) itu merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.[11] Misalnya laki-laki memiliki penis, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, vagina, alat untuk menyusui. Sigmud Freud dalam Joachim Scharfenberg menyatakan bahwa energi terbesar yang menggerakkan sejarah manusia adalah libido dan hasrat seksual manusia.[12] Hal ini juga berkaitan dengan cara pandang seseorang atau nilai kepribadian. Seperti halnya pandangan mengenai kepribadian manusia itu sendiri. Freud berpendapat bahwa pikiran manusia itu terdiri dari tiga bagian, yakni kesadaran, keprasadaran, dan ketidaksadaran. Kesadaran mengacu pada pengalaman-pengalaman mental yang dirasakan pada saat sekarang. Seperti misalnya isi mental yang sekarang tidak ada di dalam kesadaran, tapi akan dengan mudah masuk dalam alam keprasadaran. Sedangkan ketidaksadaran merupakan bagian terbesar dari pikiran yang menjadi sumber insting dasar manusia, seperti seks dan agresi.[13] Freud juga mengemukakan tiga struktur mental atau psikis yang sudah ada sejak manusia itu lahir, yang nantinya akan memengaruhi hasrat atau libido itu sendiri, yaitu id, ego dan superego[14] dengan tiga hal tersebut memiliki cara kerja masing-masing yang berbeda namun tetap berkaitan. Dalam pengertiannya id diartikan sebagai dorongan-dorongan biologis dan berada di dalam ketidaksadaran, karena id bekerja sesuai dengan proses prinsip kenikmatan (pleasure principle), hasrat, keinginan/rasa ingin memiliki, ketertarikan dan mencari kepuasan segera. Sedangkan ego dapat diartikan sebagai pikiran yang beroperasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan-dorongan id menurut cara-cara yang diterima masyarakat. Yang terakhir adalah superego, superego ini terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak, yang merupakan bagian dari nilai-nilai dan beroperasi melalui prinsip moral. Misalnya jika dianalogikan, ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang cantik, kemudian ia melihatnya secara langsung, lalu hati dan pikirannya tertarik, terpikat, sehingga muncul hasrat dan keinginan untuk berkenalan ketika melihat perempuan cantik tersebut, inilah yang dinamakan dengan id. Sedangkan ego, ketika laki-laki tersebut melihat perempuan cantik itu, ia berpikir apakah akan menemui perempuan cantik itu atau tidak, sehingga menimbulkan rasa kebingungan di dalam hati dan pikirannya. Lalu dengan rasa kebingungan tersebut muncullah superego yang berperan sebagai alat pertimbangan, jika perempuan cantik itu saya datangi atau temui ditakutkan ia sudah memiliki pacar, atau suami, sehingga akan ada kemungkinan pacar atau suaminya marah, tapi di sisi lain jika tidak ditemui akan timbul perasaan menyesal karena tidak berkenalan dengan perempuan cantik itu. Atau analogi lain: misalnya ada seorang anak yang melihat kue diatas meja, ia memiliki rasa atau hasrat ingin memiliki, mengambil dan memakan kue tersebut, tapi ia tidak tahu itu kue siapa, hal inilah yang dinamakan dengan id. Sedangkan ego muncul dalam keadaan ketika ia sudah melihat kue yang ada di atas meja, ia mulai berpikir, kira-kira kue tersebut kue siapa, ia terus mempertanyakan pada dirinya sendiri sehingga ia merasa kebingungan. Setelah ia merasa kebingungan muncullah rasa superego, jika kue tersebut saya ambil maka saya akan berdosa, karena saya mengambil kue yang bukan seharusnya menjadi hak saya, namun jika kue tersebut tidak saya ambil saya akan kelaparan. Kurang lebih demikian jika dianalogikan menggunakan contoh yang sederhana terkait dengan hasrat tersebut. Jadi, ketiga hal tersebut memiliki peran yang signifikan, maka libido dalam tubuh manusia sebagai pangkal tumbuhnya hasrat seksualitas seseorang yang kemudian berpangkal pada kuasa tubuh. Foucault mengungkapkan bahwa seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani menempatkan hasrat seks menjadi bagian dari aktivitas yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, dan manajemen kesehatan (dietetics). Foucault menunjukkan bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestise yang tinggi. Selain itu seks juga bisa diartikan sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan, karena itu untuk terbebas dari dominasi seksual dan gender, maka harus dilakukan revolusi seksual, seks harus dibebaskan dari konstruksi. Perempuan harus memahami bahwa dirinya memiliki hasrat seksual dan bebas mengekspresikannya. Hal tersebut juga mampu mereduksi tingkat pemerkosaan. Kenapa? Karena dengan adanya seks sukarela akan tersedia untuk lebih banyak orang, sehingga mengurangi “kebutuhan” untuk pemerkosaan, dan mengurangi penyerangan seksual yang memalukan karena perempuan telah sadar akan hasrat seksualnya, maka hubungan seksual akan dilakukan berdasarkan ketertarikan seksual bukan keterpaksaan seksual yang akan mengakibatkan kekerasan seksual, baik secara fisik maupun nonfisik. Seks juga harus dilakukan secara bebas, artinya bahwa seks dilakukan dengan cara yang benar, bertanggung jawab dan tidak melanggar norma-norma, sehingga seks tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak benar dan dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Terutama hubungan seksualitas harus dilakukan ketika memang sudah ada ikatan yang sah (pernikahan). Daftar Pustaka: Coleman, James S. 2001, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, terj. Imam Muttaqien, dkk, Nusa media, Bandung. Fakih, Mansour 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. MacKinnon, Catharine A. 1989, “Sexuality, Pornography, and Method: Pleasure under Patriarchy”, The University of Chicago Press, Vol. 99, No. 2 (Jan., 1989), pp. 314-346, dalam http://www.jstor.org/stab le/2381437, diakses pada 12 Maret 2016. Putnam Tong, Rosemarie 2008, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta. Rueda, Marisa dkk 2007, Feminisme Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta. Santoso, Listiyono, Sunarto, dkk 2006, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, AR-RUZZ, Yogyakarta. Scharfenberg, Joachim 2003, Sigmund Frued: Pemikiran dan Kritik Agama, AK Group, Yogyakarta. Semiun, Yustinus 2013, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued, Kanisius, Yogyakarta. Soenardjati Djajanegara 2000, Kritik Sastra Feminis; Sebuah pengantar, Pustaka Gramedia, Jakarta. Walby, Sylvia, 2014, Teorisasi Patriarki, Jalasutra, Yogyakarta. Catatan Belakang: [1]Listiyono Santoso, Sunarto, Dkk, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2006), Cet. Ke-II, hlm. 179. [2] Ibid. [3] Ibid. hlm. 183. [4] James S. Coleman, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, diterjemahkan oleh; Imam Muttaqien, dkk, (Bandung; Nusa media, 201), Cet. Ke-IV, hlm. 89. [5]Sudrajat dalam buku Soenardjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah pengantar (Jakarta: Pustaka Gramedia, 2000), hlm. 20. [6]Catharine A. MacKinnon, Sexuality, Pornography, and Method: “Pleasure under Patriarchy”, The University of Chicago Press, Vol. 99, No. 2 (Jan., 1989), pp. 314-346, dalam http://www.jstor.org/stab le/2381437, diakses pada 12 Maret 2016. [7]Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Bandung: Jalasutra, 2004), Cet. Ke-1, hlm.69. [8]Patriarki merupakan bentuk cara pandang yang umum dan membudaya di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah ideologi atau budaya patriarki. Ideologi ini merupakan sebuah sistem yang dikendalikan oleh laki-laki. Pemahaman atas laki-laki dan perempuan di sini, tidak mengacu pada jenis kelamin namun lebih pada peran gender. Lihat dalam Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Cet. Ke-15, hlm. 8-10. Sedangkan Menurut Walby, patriarki merupakan sistem struktur dan praktek sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi, melakukan oprasi, dan mengeksploitasi kaum perempuan. Patriarki bisa dibedakan menjadi dua bentuk yaitu patriarki domestik (patriarki privat) dan patriarki publik. Patriarki domestik bermuara pada wilayah rumah tangga sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriaki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Sylvia Walby, Teorisasi Patriarki, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hlm. 34. [9]Marisa Rueda, dkk. Feminisme Untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hlm.120 [10]Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Bandung: Jalasutra, 2008), Cet. Ke-4, hlm.73. [11] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,…, Ibid, hlm. 8. [12]Joachim Scharfenberg, Sigmund Frued: Pemikiran dan Kritik Agama, (Yogyakarta: AK Group, 2003), Cet. Ke-1, hlm. 101. [13]Yustinus Semiun, OFM, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued, ( Yogyakarta: Kanisius, 2013), Cet. Ke- 5, hlm. 12. [14] Ibid, hlm. 12. Kebetulan minggu ini saya mendapat tugas untuk membuat refleksi kritis terhadap teori etika terapan yang saya dapatkan dari dosen di kelas. Tema besar yang sedang dibahas adalah equality and implication kemudian mengerucut terhadap problem realitas sosial yang ada dalam masyarakat pada umumnya. Saya tertarik untuk mengangkat isu tentang profesi mainstream perempuan sebagai sekretaris, karena setiap saya menemui atasan atau relasi pekerjaan selalu saya mendapati bahwa sekretarisnya adalah seorang perempuan. Sebenarnya fenomena profesi sekretaris sebagai profesi mainstream bagi perempuan tidak hanya kita temukan di Indonesia saja, namun di Amerika profesi ini bagaikan jamur yang tumbuh di musim penghujan. Seperti dapat kita lihat pada data sensus dari US bahwa tahun 2013 terdapat 4 juta orang yang berprofesi sebagai sekretaris dan 96 persennya adalah perempuan. Anehnya keadaan ini sama seperti 60 tahun yang lalu sejak artikel tersebut dirilis, meskipun sudah banyak perempuan yang memiliki gelar sarjana. Hal ini sebenarnya menunjukkan sebuah fenomena yang sangat unik. Ketika masyarakat mendapat paparan doktrinasi patriarki dengan intensitas tinggi maka berdampak pada munculnya efek kesadaran palsu bahwa yang layak menjadi sekretaris adalah perempuan dengan alasan bahwa perempuan lebih memiliki sifat-sifat rajin, kemudian secara psikologis lebih matang, dan memiliki tingkat agresivitas yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga sangat cocok untuk menempati posisi ini. Coba kita renungkan lebih dalam mengapa paparan doktrinasi ini sangat pelik dalam masyarakat. Masih ingat ketika kita sedang berulang tahun, jika kita seorang anak laki-laki, maka orang tua akan menghadiahi kita mainan berupa mobil-mobilan atau pedang-pedangan. Sedangkan jika anak perempuan yang berulang tahun, maka orang tuanya akan memberikan hadiah berupa boneka barbie atau seperangkat mainan alat-alat masak. Jadi secara tak sadar terjadi doktrinasi bahwa perempuan harus bersifat lemah lembut, bergulat dengan urusan domestik, kemudian berpenampilan layaknya boneka barbie sedangkan laki-laki harus tampil gagah bagaikan kesatria pada kisah Mahabharata, pembawa pedang di gelanggang pertempuran atau sebagai seorang yang memiliki kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan. Ini merupakan salah satu mekanisme doktrinasi yang sangat berhasil dalam menanamkan pola pikir patriarkis yang kemudian didukung oleh konstruksi sosial masyarakat yang membayangkan terdapat hierarki antara laki-laki dan perempuan. Imbasnya mungkin secara psikologis karena paparan doktrinasi yang begitu kompleks hingga kemudian berdampak pada munculnya ketimpangan relasi kuasa yang sangat mencolok ketika menjalin rumah tangga. Jika kita tarik relevansinya dengan contoh kasus yang saya jabarkan yaitu mayoritas profesi sekretaris diduduki oleh perempuan, tak lain karena pengaruh konstruksi sosial yang sangat kuat dan adanya mitos bahwa perempuan memang lebih layak menempati posisi tersebut karena memiliki kesabaran dan ketelatenan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat sejak kecil memang sudah ditanamkan nilai-nilai bahwa perempuan memang dikodratkan menjadi manusia yang lemah lembut, pelengkap dari kaum laki-laki. Mampukah mitos ini dihapuskan dari pola pikir masyarakat agar terbentuknya kesadaran untuk mencapai kesetaraan? Memang ini merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi umat manusia. Bukan hanya problem di negara-negara berkembang saja, di negara maju seperti Amerika yang merupakan pelopor pergerakan kesetaraan gender pun masih terjebak dalam jeratan pola pikir patriarkis. Menurut Steven Goldbreg, seorang sosiolog dari Amerika menyebutkan bahwa saat ini masyarakat berada di posisi kepungan patriarki, dia menyebutnya sebagai the inevitability of patriarchy, ketika terjadi banyak sekali bentuk agresi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan sehingga berdampak memengaruhi pandangan dalam diri perempuan itu sendiri. Seolah-olah memunculkan sebuah kesadaran palsu bahwa perempuan memang sangat layak untuk jadi sekretaris dan menempati posisi itu. Tak hanya itu, hal ini terjadi tanpa disadari oleh kaum perempuan sendiri. Mereka teredukasi secara politis dalam memainkan perannya dalam konteks ruang publik. Sehingga memang diperlukan formula yang jitu dan usaha yang keras agar kita sendiri tidak terjebak dalam kandang patriarki yang sempit dan berlumpur ini. Setelah teredukasi mengenai perannya dalam masyarakat, perempuan juga banyak yang terjebak dalam lumpur patriarki yang kemudian justru menjadi pelaku agresi itu sendiri atau menjadi perempuan patriarkis. Daftar Pustaka Kurtz, A. (2013, January 31). CNN money. Retrieved February 29, 2016, from CNN: http://money.cnn.com/2013/01/31/news/economy/secretary-women-jobs/ Singer, P. 2011. Practical Ethics, New York: Cambridge University Press. Pendahuluan: Bertolak dari Pertanyaan Memperhadapkan fenomena human trafficking pada narasi feminisme sembari membubuhi tanda tanya besar, bukanlah sesuatu yang keliru. Ia merupakan keniscayaan. Saya coba menjembatani kedua variabel universal ini dengan bertolak dari tesis seperti yang ditekankan oleh Willy Gaut, bahwasanya seiring dengan kian meningkatnya intensitas kasus, muncul hipotesis bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bahaya perdagangan manusia[1]. Lebih lanjut Willy menambahkan, kendatipun hipotesis ini masih perlu dibuktikan lebih intensif dengan merujuk pada lebih banyak data, kiranya tetap urgen untuk membentangkan analisis atas persoalan tersebut dengan berpijak pada pertanyaan: mengapa perempuan dan anak lebih rentan terhadap bahaya trafficking?[2] Bertolak dari realitas minor ini, saya ingin mengelaborasi lebih lanjut, dalam konteks yang kontekstual ini (baca: human trafficking), feminisme bicara apa? Proaktif ataukah sebaliknya, bungkam? Pengertian Umum Human Trafficking dan Feminisme Kendatipun, hemat saya, kedua variabel ini sudah begitu populer dalam keseharian perbincangan kita, kiranya tetap urgen untuk menegaskan diatas pijakan mana uraian ini berdiri. Di atas fondasi definisi macam apa? Human trafficking, dalam pengertiannya yang paling umum, termaktub dalam UU No. 21 tahun 2007. Di sana tersurat, “Yang dimaksudkan dengan perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam daerah dan di luar daerah maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Sedangkan untuk feminisme, dari sekian banyak definisi yang tersedia, Joann Wolski Conn, profesor perempuan dalam bidang spiritualitas Kristen pada Universitas Neumann, Aston, Pennsylvania melukiskannya dengan cukup jelas.
Fenomena Human Trafficking dan Jati Diri Feminisme Sebagaimana tercatat pada awal, dalam bagian ini, saya akan coba memperhadapkan fenomena human trafficking pada narasi feminisme. Pertanyaan kunci yang akan saya bahas ialah, dalam konteks human trafficking, feminisme bicara apa? Proaktif ataukah sebaliknya, bungkam? Dalam kenyataannya, perempuan rentan menjadi korban trafficking. Kerentanan ini tidak dapat dilepaspisahkan dari soal ketidakadilan gender (gender inequalities). Gender inequalities dalam praksisnya telah mendepak kaum perempuan menuju sebuah zona yang mandul, dalam arti ruang bagi perempuan dibatasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi mudah diperalat. Faktor-faktor yang memotori pendepakan menuju zona impoten itu perlu dijabarkan di sini.[5] Pertama, marginalisasi (penyingkiran, pendepakan) kaum perempuan baik dalam bidang karya, kehidupan keluarga, status sosial, peran politik, maupun keagamaan. Kedua, subordinasi (perendahan) kaum perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari laki-laki, sehingga muncul kesan bahwa perempuan merupakan sosok yang kurang berarti keberadaannya. Ketiga, stereotip (penyamarataan) yang negatif seperti wanita diidentikkan sebagai sosok pesolek yang mencari perhatian dan memancing daya tarik atau memantik nafsu laki-laki. Keempat, violence (kekerasan) yang dialami perempuan, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, dan menjadikan perempuan sebagai buruh kasar atau budak. Kelima, beban kerja yang terlalu berat, seperti menganggap perempuan bertanggung jawab terhadap segala bentuk pekerjaan domestik, misalnya mengurus rumah, mengasuh anak, dan mengelola kebun. Setelah mengalami 5 (lima) bentuk ketidakadilan ini, secara logis memberi jawaban mengapa perempuan rentan menjadi korban trafficking. Dalam banyak aspek mereka dilemahkan, sehingga dengan demikian gampang untuk direkrut, diangkut, ditampung, dijual atau dieksploitasi. Sampai pada titik ini, jati diri feminisme tentu ditantang. Bagaimana feminisme bersikap? Feminisme mesti mempresentasikan jati dirinya. Adapun upaya yang menjadi sasaran feminisme dalam menyudahi gender inequalities yang berujung pada trafficking, secara garis besar sebagai berikut. Pertama, feminisme membongkar kultur klasik. Feminisme berusaha untuk melihat kembali nilai-nilai tradisional secara baru atau praktik-praktik yang kelihatannya diterima begitu saja dari waktu ke waktu. Feminisme menentang nilai-nilai tradisional menyangkut kedua jenis seks, khususnya nilai-nilai maskulin dan kekuasaan pria dalam masyarakat patriarkat. Berkenaan dengan ini, muncul pula apa yang dikenal dengan istilah feminisme kultural atau ‘feminisme romantik’ atau ‘feminisme reformasi’[6]. Feminisme kultural atau romantik atau reformasi berupaya membongkar budaya patriarkat sebagai budaya yang cukup tua bertahan dalam masyarakat. Keunggulan moral kaum perempuan yang dikesampingkan oleh sebab dominasi egoisme dan otoritas kaum laki-laki, kembali dikedepankan. Feminisme kultural berjuang memanusiawikan masyarakat dengan menekankan sumbangsih khusus yang dapat diberikan oleh kaum perempuan demi menciptakan sebuah dunia yang lebih baik.[7] Kedua, perempuan mencari posisi baru. Anggapan bernada arogan bahwa sifat-sifat maskulin lebih penting dibandingkan sifat-sifat feminim, ditentang secara tegas oleh feminisme.[8] Sebaliknya, kaum feminis menekankan bahwa sifat maskulin dan feminin, masing-masing dapat dikembangkan oleh siapa saja tanpa mesti menjadi monopoli satu seks. Oleh karena itu, Feminisme berupaya keras membuat resosialisasi (pemasyarakatan kembali) masyarakat, tempat setiap orang diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengungkapkan semua potensi yang ada tanpa harus terikat atau terintimidasi. Melalui feminisme, perempuan berjuang menemukan posisi barunya dalam masyarakat. Atmosfer kebebasan membantu kaum perempuan dalam mengeskpresikan diri sebagai orang yang berani, kompetitif, profesional, dan kredibel. Upaya ini menangkal tendensi pengeksploitasian. Ketiga, feminisme membongkar stratifikasi sosial berbasis gender. Stratifikasi sosial merujuk pada aplikasi sistem yang mana orang-orang dalam suatu masyarakat dikategorikan atau diurutkan secara hierarkis, mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, atau sebaliknya.[9] Dalam masyarakat tertentu yang kental dengan budaya patriarkatnya, stratifikasi yang dibuat justru mengambil gender sebagai basisnya, sebagai referensinya. Hal ini berarti perempuan selalu berada di bawah laki-laki, lebih rendah dari posisi laki-laki. Feminisme hadir dan melayangkan kritik tajamnya terhadap stratifikasi sosial model ini. Feminisme menolak fakta bahwa kaum perempuan tidak mempunyai peluang yang sama dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, dan penghasilan. Kaum feminis mendesak agar setiap detail keputusan menyangkut nasib perempuan tidak boleh dibuat secara sepihak, apalagi oleh laki-laki saja. Kaum perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Oleh alasan ini, feminisme hadir dan menentang secara serius stratifikasi sosial berbasis gender yang kontradiktif dengan hakikat keadilan. Keempat, feminisme dan reformasi seksual. Bidang signifikan terakhir yang mendapat perhatian serius dari gerakan feminisme ialah kehidupan seksual. Dalam masyarakat patriarkat, relasi seksual antara laki-laki dan perempuan sangat didominasi oleh laki-laki. Konteks eskalasi (kenaikan atau pertambahan) konflik Poso yang mulai pecah pada bulan Desember 1998, mempresentasikan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan dalam serangan antarkelompok masyarakat berbeda agama, yang dapat kita ambil sebagai sampelnya.[10] Dalam praksis human trafficking, kerap juga terjadi pelecehan seksual di dalamnya dan feminisme menggugat praksis macam ini. Secara internasional, pengakuan akan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia baru diformulasi dan dilegitimasi dalam Konferensi Internasional tentang HAM di Wina (1993). Ihwal ini dapat dibaca dalam The Vienna Declaration and Program of Action (yang juga dikutip dan ditegaskan kembali dalam hasil-hasil Konferensi IV Dunia di Beijing):
Pernyataan tersebut di atas sekaligus menekankan bahwa kaum perempuan berhak atas perlindungan yang disediakan oleh sistem (instrumen dan mekanisme) internasional. Kendati demikian, hingga kini implementasi hukum internasional dimaksud belum terlalu efektif dan gagal serentak mandul memberikan proteksi dalam menyudahi ketidakadilan yang dialami kaum perempuan.[12] Di sini, dengan tegas saya menggarisbawahi, fenomena human trafficking merupakan anti-tesis terhadap hak asasi perempuan. Human trafficking mengindikasikan negasi akbar yang secara sistematis dan masif mengingkari perempuan dengan seperangkat hak asasinya, yang sejatinya egaliter dengan laki-laki. Dalam konteks ini, feminisme mesti angkat bicara. Feminisme yang adalah kita, mesti unjuk gigi, mengartikulasikan keberpihakan kita pada realitas minor-desolatif ini. Sebagai contoh sekaligus cemeti pemicu, saya merasa perlu untuk selayang pandang mencatat apa saja yang menjadi visi dan misi TRUK-F Divisi Perempuan[13], yang di dalamnya laki-laki juga terlibat. Dari sana, kita dipanggil untuk membaca konteks, merefleksikan konteks, terjun dalam konteks. Visi Truk-F Divisi Perempuan adalah hak-hak perempuan diakui dan dihargai secara utuh sehingga terciptalah kesamaan hak keadilan dan perdamaian di dunia. Sedang misinya adalah memperjuangkan pembebasan perempuan dari pelbagai bentuk kekerasan yang membelenggunya, memberdayakan kaum perempuan supaya mereka mengetahui hak-hak mereka dalam dan melalui komunitas berbasis gender, serta bersama kaum perempuan, berusaha memperjuangkan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Bertalian dengan fenomena human trafficking, selain mendampingi para korban, hingga enam tahun terakhir ini, TRUK-F Divisi Perempuan telah dan sedang menekuni beberapa kegiatan. Saya sebutkan tiga aksi konkret dari antara banyak lainnya.[14] Pertama, menangani TKI ilegal asal Flores yang dideportasi dari Malaysia (kerja sama dengan beberapa paroki di Flores Timur, Lembata, dan Ende) serta mencoba membuat pendataan terhadap mereka serta memberikan logistik dan obat-obatan. Kedua, melakukan sosialisasi tentang UU HAM, HAM dan Gender, serta UU PA (Perlindungan Anak). Ketiga, melakukan pendekatan dan dialog dengan para penentu kebijakan, baik aparat pemerintahan maupun aparat penegak hukum, agar dapat menerbitkan Perda (peraturan daerah) tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak. Dan sebagai contoh paling aktual, TRUK-F begitu proaktif dalam membongkar dan menyelesaikan kasus Toko Roti Kaigi di Maumere, kasus trafficking dan pelanggaran HAM yang menimpa sekelompok anak di bawah umur oleh majikan mereka, pemilik Toko Roti Kaigi itu sendiri. Penutup: Diskursus yang tak Berkesudahan Meskipun di Indonesia kajian feminisme tidak terlalu mendapat perhatian, upaya-upaya yang telah dirintis patut diapresiasi dan diperjuangkan dalam konteks kekiniannya.[15] Budaya patriarkat yang masih sangat kuat berakar di Indonesia yang menyebar di masing-masing daerah kita, perlu digugat dan dikritik agar tidak terus-menerus melahirkan kepincangan dalam hidup bersama. Sudah saatnya kultur klasik ini dibongkar dan kaum perempuan memperoleh banyak peluang untuk berekspresi. Dunia dan khususnya Indonesia memang sedang mengidealkan relasi yang seimbang, egaliter, dan adil, antara laki-laki dan perempuan, demi kehidupan bermasyarakat yang sejahtera dan damai. Berhadapan dengan fenomena human trafficking sebagai produk logis dari budaya patriarkat yang otoritatif, sebagai salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia (duri dalam daging HAM), feminisme mesti tampil dan angkat bicara. Human trafficking melukai hak asasi perempuan, feminisme dipanggil untuk secara proaktif, militan, cermat, dan profetik, menyembuhkan! Feminisme adalah kita, human trafficking adalah tantangan kita. Jika kita sepakat, dua tema akbar ini mesti terus menjadi diskursus yang tak berkesudahan. Daftar Pustaka Kamus Departemen Pendidikan Nasional 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-4, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tim Prima Tema 2006, Kamus Ilmiah Popular, Penerbit Gitamedia Press, Surabaya. Buku Azis, Asmaeny 2007, Feminisme Profetik, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta. Betan, Alfons 2004, Perempuan itu Tetap Hidup, Nusa Indah, Ende. Clifford, Anne M 2002, Memperkenalkan Teologi Feminis. Penerj. Yosef M. Florisan, Penerbit Ledalero, Maumere. Fakih, Mansour 1999, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hardiman, F. Budi 2001, Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta. Kleden, Paulus Budi 2003, Teologi Terlibat. Politik & Budaya dalam Terang Teologi. Penerbit Ledalero, Maumere. Notosusanto, Smita dan E. Kristi Poerwandari (penyut.) 1997, Perempuan dan Pemberdayaan, Obor, Jakarta. Suseno, Magnis Franz 1998, Kuasa dan Moral. Gramedia, Jakarta. Sutrisno, Mudji 2001, Humanisme, Krisis, Humanisasi, Obor, Jakarta. Buletin dan Jurnal Akademika. Wacana dan Praksis HAM di NTT. Vol. IV, No 2, 2009/2010. Jurnal Ledalero. Manusia Memperdagangkan Manusia. Vol. 13, No. 1, Juni 2014. Catatan Belakang [1] Lih. Willy Gaut, “Feminisasi Perdagangan Manusia. Masalah Perdagangan Manusia dalam Konteks Kekerasan terhadap Perempuan”, Jurnal Ledalero, Vol. 13, No. 1 (Juni, 2014), 65. [2] Ibid., 66. [3] Joann Wolski Conn, New Vitality : The Challenge from Feminist Theology, America, 156:217, 5 Oktober 1991 sebagaimana dikutip dalam Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, penerj. Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 29. [4] Seksisme merupakan sebuah keyakinan, konsep, atau perilaku yang secara sepihak memenangkan jenis kelamin tertentu, atau laki-laki atau perempuan, yang satu lebih unggul dari yang lain. Kendatipun laki-laki dapat saja diperlakukan sebagai jenis yang inferior, sejarah tetap membuktikan bahwa perempuan lebih banyak mengalami dampak negatifnya. Ibid., hlm. 443. [5] Bdk. Mansfour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 12-23. [6] Lih. Anne M. Clifford, op. cit., hlm. 39. [7] Bdk. Starhawk Miriam Simos, ‘Witchcraft and Women’s Culture’, dalam Carol Christ and Judith Plaskow (eds.), Womanspirit Rising: A Feminist Reader in Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1979), p. 263, sebagaimana dikutip dalam ibid. [8] Bernard Raho, Sosiologi. Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 113. [9] Ibid., hlm. 84. [10] Lih. Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, hlm. 21-29. [11] Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, “Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia” dalam Smita Notosusanto dan E. Kristi Poerwandari (penyunt.), Perempuan dan Pemberdayaan (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 16. [12] Ibid. [13] Siprianus Kantus dan Sr. Eustochia, SSpS, “Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) Divisi Perempuan. Profil dan Kiprah dalam Praksis HAM”, Akademika, 2:164, 2009/2010. Saya sengaja menggunakan data lama karena dengan begitu saya sekaligus menunjukkan bahwa betapa TRUK-F Divisi Perempuan telah berjuang sejak dulu. Perjuangan mereka panjang dan berlika-liku. [14] Ibid., hlm. 165-167. [15] Bdk. Asmaeny Azis, Feminisme Profetik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. v. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |