Tubuh merupakan keseluruhan struktur fisik organisme manusia, yang terdiri atas bentuk tubuh yang kasat mata dan tidak. Karena dalam tubuh manusia ada serangkaian antara jiwa dan raga; bukan hanya ada tangan, hidung, kepala, kaki, mata, rambut, rahim, vagina, penis, jantung, dan lain-lain tapi mencakup seisi jiwa baik itu pikiran, perasaan, hati dan atas apa yang tak terlihat oleh mata namun bisa dirasakan dalam satu naluri manusia. Semua itu ada dalam satu rangkaian yang terbentuk menjadi satu yaitu tubuh. Pengertian secara umum saja tentunya tidaklah cukup, karena dalam pandangan Nietzche—salah seorang yang menginspirasi bagi Foucault—dalam Listiyono, ia menyatakan bahwa tubuh tidak hanya dapat dimanfaatkan dan dialami dalam banyak cara, bahwa hasratnya dapat diubah oleh interpretasi budaya, bahwa setiap aspek tubuh dapat secara menyeluruh dimodifikasi oleh teknik-teknik yang sesuai, yaitu tubuh yang lunak, yang dapat ditundukkan, dan dapat ditempa.[1] Hal tersebut juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh Foucault, bahwa tubuh akan menjadi sebuah kekuatan yang berguna, jika tubuh itu produktif dan berada dalam ketundukan.[2] Tubuh juga secara langsung terlibat dalam bidang-bidang politis, karena adanya hubungan kuasa yang menyentuh tubuh, maksudnya ialah mereka menginvestasikannya, menandainya, melatihnya, memaksanya, melaksanakan tugas-tugas, melaksanakan berbagai tata tertib yang dimunculkan. Dan tanpa disadari hal ini juga secara langsung berhubungan dengan sistem ekonomi, karena tubuh sebenarnya berguna dan produktif. Tetapi bukan hal yang mudah untuk menjadikan tubuh itu bekerja produktif, berguna, dan membuat tubuh bekerja secara efisien kecuali ia berada di dalam perangkap sebuah sistem penundukan atau otoritas sebuah negara. Foucault dalam Listiyono, mengatakan bahwa tujuan dari disiplin otoritas adalah untuk membentuk suatu tubuh yang patuh dan dapat ditundukkan, dimanfaatkan, ditransformasikan, diperbaiki, dan dapat ditingkatkan gunanya. Tubuh yang patuh ini juga merupakan tubuh yang produktif.[3] Seperti apa yang dikemukakan oleh James S. Coleman, dengan konsep hak untuk mengontrol sumber yang tidak bisa dipindahtangankan, yakni tindakan seseorang itu sendiri yang kaitannya dengan hubungan kekuasaan bisa ditetapkan sebagai berikut: yaitu adanya hubungan kekuasaan satu pelaku atas pelaku lain terjadi, ketika yang pertama memiliki hak untuk mengontrol tindakan-tindakan tertentu dari pelaku yang lain.[4] Seperti halnya negara bisa dijadikan sebagai salah satu pelaku pemilik kontrol pertama dalam mengontrol atau mengendalikan tubuh manusia atau masyarakat terutama perempuan. Walaupun tubuh tersebut secara struktur adalah milik individu yang tidak bisa dipindahkan hak kepemilkannya, namun tetap saja negara bisa mengontrol karena negara punya otoritas akan tubuh untuk menundukkan. Seperti misalnya mengatur tubuh masyarakat terutama perempuan dalam berpakaian, alat kontrasepsi/KB, kehamilan, seksualitas, pernikahan, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya telah dipatuhkan oleh peraturan-peraturan ataupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. Sehingga kekuasan dianggap sebagai salah satu bentuk tindakan yang membelenggu, walaupun pada dasarnya semuanya berjalan efisien dan teratur tapi tetap saja keberlangsungan itu berada pada pusat otoritas yang membelenggu. Tubuh yang ada adalah milik setiap individu atau privat, bukan milik kelompok atau publik, karena yang berhak mengatur dan menjaga tubuh adalah pemiliknya bukan orang lain. Namun tidak demikian, kenyataan yang ada pada saat ini banyak kegelisahan-kegelisahan yang terjadi akan kekuasaan tubuh. Semua tubuh-tubuh manusia terutama perempuan telah dijadikan objek dengan istilah lain tubuh yang dipatuhkan adalah tubuh yang ditundukkan, dikuasai, dikekang, tidak diberikan kebebasan atau hak kuasa pada tubuh, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu peluang dalam industri ekonomi-politik oleh pemilik modal dan penguasa. Semua telah dikontrol dengan begitu saja dan tanpa disadari. Ternyata kontrol yang diberlakukan oleh pemilik modal dan negara sangat bias gender, ketidakadilan gender berakibat pada ketidakadilan dalam seksualitas seseorang. Seolah perempuan yang sepenuhnya salah dalam hal ini, jika dilihat menggunakan kacamata feminis liberal. Perempuan dianggap yang pertama kali menyebabkan semua permasalahan itu datang. Karena akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.[5] Maka dalam pandangan feminis liberal ini perempuan perlu diperjuangkan sepenuhnya sama dengan laki-laki baik itu hak suara, pendidikan maupun kesamaan dalam hukum. Jadi wanita memiliki kebebasan individual dan secara penuh. Kebebasan yang dimaksud berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Saat gender secara sosial dikonstruksi, maka seks pun demikian, dimana definisi laki-laki dan perempuan pun berdasarkan aspek biologisnya dan berpengaruh pada perannya, laki-laki dominan dan perempuan tunduk secara seksual. Sebuah teori feminis seksual dapat melihat seksualitas dengan sebuah teori keadilan gender, artinya laki-laki memang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (kuasa laki-laki).[6] Di sini kita bisa melihat bagaimana terjadi diskriminasi atas seksualitas, perempuan dianggap inferior dalam seks karena tidak memiliki kekuasan, yang dianggap memiliki kekuasaan hanyalah laki-laki (superior). Seharusnya di dalamnya ada relasi kuasa baik antara laki-laki maupun perempuan, baik berkaitan dengan seks, kekuasaan tubuh, ekonomi, politik, pendidikan, pengetahuan, dan sebagainya. Sehingga tidak terjadi ketimpangan antara keduanya. Hal tersebut ternyata senada dengan apa yang telah dikemukakan oleh feminisme radikal; yang meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan.[7] Sistem seks dan gender ini menunjukkan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dan bahwa perbedaan itu bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior sehingga memunculkan kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Jika kelompok feminis liberal memandang kesalahan tersebut berada dan berawal pada perempuan, namun berbeda dengan kaum feminis radikal yang melihat problemnya adalah patriarki[8], yaitu seluruh kekuasaan laki-laki atas perempuan.[9] Feminis radikal menganggap bahwa dalam kaitannya dengan reproduksi dan seksualitas perempuan, reaksi terhadap pandangan bahwa laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Artinya penindasan terhadap perempuan disebabkan oleh jenis kelamin laki-laki itu sendiri dengan ideologi patriarkinya. Cara pemikiran feminis radikal dalam menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan. Dengan sendirinya perempuan kemudian menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif (inferior). Walaupun berbdea cara pandang antara feminis liberal dan radikal, tapi pada intinya adalah untuk menyelamatkan perempuan dari ketertindasan dan subordinat perempuan dari kuasa yang mematuhkan tubuh. Sedangkan dalam pengertiannya seks atau gender yang merupakan suatu serangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentrasformasi seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia.[10] Artinya seks (jenis kelamin) itu merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.[11] Misalnya laki-laki memiliki penis, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, vagina, alat untuk menyusui. Sigmud Freud dalam Joachim Scharfenberg menyatakan bahwa energi terbesar yang menggerakkan sejarah manusia adalah libido dan hasrat seksual manusia.[12] Hal ini juga berkaitan dengan cara pandang seseorang atau nilai kepribadian. Seperti halnya pandangan mengenai kepribadian manusia itu sendiri. Freud berpendapat bahwa pikiran manusia itu terdiri dari tiga bagian, yakni kesadaran, keprasadaran, dan ketidaksadaran. Kesadaran mengacu pada pengalaman-pengalaman mental yang dirasakan pada saat sekarang. Seperti misalnya isi mental yang sekarang tidak ada di dalam kesadaran, tapi akan dengan mudah masuk dalam alam keprasadaran. Sedangkan ketidaksadaran merupakan bagian terbesar dari pikiran yang menjadi sumber insting dasar manusia, seperti seks dan agresi.[13] Freud juga mengemukakan tiga struktur mental atau psikis yang sudah ada sejak manusia itu lahir, yang nantinya akan memengaruhi hasrat atau libido itu sendiri, yaitu id, ego dan superego[14] dengan tiga hal tersebut memiliki cara kerja masing-masing yang berbeda namun tetap berkaitan. Dalam pengertiannya id diartikan sebagai dorongan-dorongan biologis dan berada di dalam ketidaksadaran, karena id bekerja sesuai dengan proses prinsip kenikmatan (pleasure principle), hasrat, keinginan/rasa ingin memiliki, ketertarikan dan mencari kepuasan segera. Sedangkan ego dapat diartikan sebagai pikiran yang beroperasi menurut prinsip kenyataan (reality principle) yang memuaskan dorongan-dorongan id menurut cara-cara yang diterima masyarakat. Yang terakhir adalah superego, superego ini terbentuk melalui proses identifikasi dalam pertengahan masa kanak-kanak, yang merupakan bagian dari nilai-nilai dan beroperasi melalui prinsip moral. Misalnya jika dianalogikan, ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang cantik, kemudian ia melihatnya secara langsung, lalu hati dan pikirannya tertarik, terpikat, sehingga muncul hasrat dan keinginan untuk berkenalan ketika melihat perempuan cantik tersebut, inilah yang dinamakan dengan id. Sedangkan ego, ketika laki-laki tersebut melihat perempuan cantik itu, ia berpikir apakah akan menemui perempuan cantik itu atau tidak, sehingga menimbulkan rasa kebingungan di dalam hati dan pikirannya. Lalu dengan rasa kebingungan tersebut muncullah superego yang berperan sebagai alat pertimbangan, jika perempuan cantik itu saya datangi atau temui ditakutkan ia sudah memiliki pacar, atau suami, sehingga akan ada kemungkinan pacar atau suaminya marah, tapi di sisi lain jika tidak ditemui akan timbul perasaan menyesal karena tidak berkenalan dengan perempuan cantik itu. Atau analogi lain: misalnya ada seorang anak yang melihat kue diatas meja, ia memiliki rasa atau hasrat ingin memiliki, mengambil dan memakan kue tersebut, tapi ia tidak tahu itu kue siapa, hal inilah yang dinamakan dengan id. Sedangkan ego muncul dalam keadaan ketika ia sudah melihat kue yang ada di atas meja, ia mulai berpikir, kira-kira kue tersebut kue siapa, ia terus mempertanyakan pada dirinya sendiri sehingga ia merasa kebingungan. Setelah ia merasa kebingungan muncullah rasa superego, jika kue tersebut saya ambil maka saya akan berdosa, karena saya mengambil kue yang bukan seharusnya menjadi hak saya, namun jika kue tersebut tidak saya ambil saya akan kelaparan. Kurang lebih demikian jika dianalogikan menggunakan contoh yang sederhana terkait dengan hasrat tersebut. Jadi, ketiga hal tersebut memiliki peran yang signifikan, maka libido dalam tubuh manusia sebagai pangkal tumbuhnya hasrat seksualitas seseorang yang kemudian berpangkal pada kuasa tubuh. Foucault mengungkapkan bahwa seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani menempatkan hasrat seks menjadi bagian dari aktivitas yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, dan manajemen kesehatan (dietetics). Foucault menunjukkan bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestise yang tinggi. Selain itu seks juga bisa diartikan sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan, karena itu untuk terbebas dari dominasi seksual dan gender, maka harus dilakukan revolusi seksual, seks harus dibebaskan dari konstruksi. Perempuan harus memahami bahwa dirinya memiliki hasrat seksual dan bebas mengekspresikannya. Hal tersebut juga mampu mereduksi tingkat pemerkosaan. Kenapa? Karena dengan adanya seks sukarela akan tersedia untuk lebih banyak orang, sehingga mengurangi “kebutuhan” untuk pemerkosaan, dan mengurangi penyerangan seksual yang memalukan karena perempuan telah sadar akan hasrat seksualnya, maka hubungan seksual akan dilakukan berdasarkan ketertarikan seksual bukan keterpaksaan seksual yang akan mengakibatkan kekerasan seksual, baik secara fisik maupun nonfisik. Seks juga harus dilakukan secara bebas, artinya bahwa seks dilakukan dengan cara yang benar, bertanggung jawab dan tidak melanggar norma-norma, sehingga seks tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak benar dan dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Terutama hubungan seksualitas harus dilakukan ketika memang sudah ada ikatan yang sah (pernikahan). Daftar Pustaka: Coleman, James S. 2001, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, terj. Imam Muttaqien, dkk, Nusa media, Bandung. Fakih, Mansour 2013, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. MacKinnon, Catharine A. 1989, “Sexuality, Pornography, and Method: Pleasure under Patriarchy”, The University of Chicago Press, Vol. 99, No. 2 (Jan., 1989), pp. 314-346, dalam http://www.jstor.org/stab le/2381437, diakses pada 12 Maret 2016. Putnam Tong, Rosemarie 2008, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta. Rueda, Marisa dkk 2007, Feminisme Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta. Santoso, Listiyono, Sunarto, dkk 2006, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, AR-RUZZ, Yogyakarta. Scharfenberg, Joachim 2003, Sigmund Frued: Pemikiran dan Kritik Agama, AK Group, Yogyakarta. Semiun, Yustinus 2013, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued, Kanisius, Yogyakarta. Soenardjati Djajanegara 2000, Kritik Sastra Feminis; Sebuah pengantar, Pustaka Gramedia, Jakarta. Walby, Sylvia, 2014, Teorisasi Patriarki, Jalasutra, Yogyakarta. Catatan Belakang: [1]Listiyono Santoso, Sunarto, Dkk, Epistimologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2006), Cet. Ke-II, hlm. 179. [2] Ibid. [3] Ibid. hlm. 183. [4] James S. Coleman, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, diterjemahkan oleh; Imam Muttaqien, dkk, (Bandung; Nusa media, 201), Cet. Ke-IV, hlm. 89. [5]Sudrajat dalam buku Soenardjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah pengantar (Jakarta: Pustaka Gramedia, 2000), hlm. 20. [6]Catharine A. MacKinnon, Sexuality, Pornography, and Method: “Pleasure under Patriarchy”, The University of Chicago Press, Vol. 99, No. 2 (Jan., 1989), pp. 314-346, dalam http://www.jstor.org/stab le/2381437, diakses pada 12 Maret 2016. [7]Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Bandung: Jalasutra, 2004), Cet. Ke-1, hlm.69. [8]Patriarki merupakan bentuk cara pandang yang umum dan membudaya di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah ideologi atau budaya patriarki. Ideologi ini merupakan sebuah sistem yang dikendalikan oleh laki-laki. Pemahaman atas laki-laki dan perempuan di sini, tidak mengacu pada jenis kelamin namun lebih pada peran gender. Lihat dalam Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Cet. Ke-15, hlm. 8-10. Sedangkan Menurut Walby, patriarki merupakan sistem struktur dan praktek sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi, melakukan oprasi, dan mengeksploitasi kaum perempuan. Patriarki bisa dibedakan menjadi dua bentuk yaitu patriarki domestik (patriarki privat) dan patriarki publik. Patriarki domestik bermuara pada wilayah rumah tangga sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriaki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Sylvia Walby, Teorisasi Patriarki, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), hlm. 34. [9]Marisa Rueda, dkk. Feminisme Untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hlm.120 [10]Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Bandung: Jalasutra, 2008), Cet. Ke-4, hlm.73. [11] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,…, Ibid, hlm. 8. [12]Joachim Scharfenberg, Sigmund Frued: Pemikiran dan Kritik Agama, (Yogyakarta: AK Group, 2003), Cet. Ke-1, hlm. 101. [13]Yustinus Semiun, OFM, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Frued, ( Yogyakarta: Kanisius, 2013), Cet. Ke- 5, hlm. 12. [14] Ibid, hlm. 12.
sartina
17/4/2016 06:40:23 pm
RAHASIA MENHASILKAN UANG BERLIMPAH========= Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |