Pelacuran—Aku Memiliki Hak Penuh Atas Tubuhku Pelacuran, begitu banyak orang menyebut nama tempat dimana banyak orang melakukan transaksi jual beli—tidak hanya tubuh, melainkan juga obat-obatan terlarang seperti narkotika. Tentu banyak yang mengenal tempat pelacuran seperti Dolly di Kota Surabaya. Tidak hanya Dolly, ternyata ada pula Sarkem di Kota Budaya (Yogyakarta), atau Saritem di Kota Kembang (Bandung). Setiap kota memiliki nuansa dan nama yang berbeda, seperti di ibu kota Jakarta yang memiliki banyak area untuk dapat melakukan transaksi yang dimaksud, bahkan beberapa bulan lalu yang terbongkar, salah satu apartemen mewah menjadi kawasan paling ramah bagi mereka untuk beraksi. Secara umum pelacuran merupakan praktik hubungan seksual yang dilakukan sesaat dan dengan siapa saja untuk imbalan berupa uang. Menurut Purnomo dan Siregar (dalam Suyanto, 2013) yang dimaksud dengan pelacuran adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lelaki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan diluar pernikahan. Demikian pula di kota yang memiliki julukan Kota Khatulistiwa (Pontianak), memiliki tempat pelacuran yang tidak terlihat secara kasat mata. Memang sih, semua kawasan terlihat sama saja jika kita tidak menyelami lebih dalam kawasan tersebut. Misalnya kawasan Alun-Alun Kapuas atau masyarakat Pontianak mengenalnya sebagai “Korem”. Sejatinya kawasan ini merupakan kawasan yang menawarkan arena belanja (pasar malam), bermain dan bersantai. Namun di sisi lain Korem juga merupakan kawasan pelacuran berbagai kalangan, dari orang muda hingga orang tua, baik pelacur perempuan, waria juga laki-laki. Kawasan padat pengunjung ini menyediakan arena bersantai yang cocok dan menarik. Selain di tepian sungai kapuas, juga berada strategis di kawasan perhotelan. Ber-jaja, Bukan Serta-Merta Dunia Menjadi Suram Penulis ingin menghubungkan jenis pelacuran yang ada di Kota Pontianak dengan pendapat Noeleen Heyzer yang membedakan tiga tipe pelacur menurut hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran (Suyanto, 2013). Pertama, pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Sering kali mereka beroperasi di pinggir jalan atau masuk dari satu bar ke bar yang lain. Di Kota Pontianak tipe pelacur ini, mereka ber-jaja (bertransaksi jual beli tubuh mereka secara langsung) di sekitar kawasan Korem (Alun-alun kota Pontianak). Mereka duduk santai menunggu pelanggan di warung-warung dengan sedikit pencahayaan. Secara kasat mata mereka terlihat berdandan dengan warna yang terang seperti gincu merah menyala, alis tebal, dan celak terang. Sebagian untuk pelacur dari kalangan waria ber-jaja (menjual tubuh-red) di kawasan jalan Sui Jawi Pontianak, mereka nongkrong di pinggir jalan untuk menunggu pelanggan yang akan menggunakan jasa mereka. Namun sedikit terdeteksi pelacur dari kalangan gay, mereka kerap ber-jaja di kawasan yang sedikit lebih elit, seperti di kawasan Cafe dan Bistro yang notabene berdekatan dengan hotel. Kalangan gay biasanya ngucing (sebutan aktivitas untuk pelacur laki-laki) di kawasan tak terduga dan jarang pengunjung. Namun tidak menutup kemungkinan juga mereka ada di kawasan padat pengunjung seperti di Korem. Kedua, pelacur yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hierarkis. Biasanya si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya. Fenomena pelacur di kota besar bersifat “sudah menjadi rahasia umum”, dalam artian tidak mengherankan lagi jika mereka bekerja sebagai penyedia jasa atau pelaku jasa. Di Kota Pontianak tipe pelacur kedua ini jarang ditemukan karena kebanyakan mereka bekerja secara mandiri atau tanpa mucikari. Namun tidak dapat dipungkiri, mereka ada di beberapa titik di Pontianak. Beberapa salon, tempat karaoke, bar atau warnet biasanya menjadi tempat mereka berkedok, tapi tidak semua warnet atau salon berkedok penyedia jasa. Mereka yang bernaung di bawah pengawasan “mami” ini beroperasi di atas jam sepuluh malam. Ketiga, pelacur yang dibawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Fenomena pelacur high class di Pontianak sangat tepat tergolong dalam tipe pelacur yang ini. Pelacur yang bekerja di bawah naungan seperti panti pijat dan hotel sangat jarang terlihat secara terang-terangan. Jam operasi mereka pun tidak akan terbatas pada jam tertentu, dalam artian unlimited. Melacur Tak Berarti Menjual Harga Diri Saptari menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur (Suyanto, 2013). Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur. Terkait fenomena pelacur di Kota Pontianak, faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab mereka menjadi pelacur. Hampir semua dari pelacur di Kota Pontianak berasal dari berbagai daerah kabupaten, bahkan ada yang berasal dari pulau Jawa dan Batam. Mereka rata-rata berasal dari kampung/desa. Awalnya mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) sebelum menjadi pelacur, karena merasa gaji yang didapat tidak sesuai dengan kerja keras yang mereka lakukan, mereka kemudian tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan sehingga mereka memilih menjadi pelacur. Di sisi lain ada pula diantara mereka yang memang memilih menjadi pelacur dari awal (tanpa menjadi PRT), mereka ini berasal dari kalangan muda. Setelah tamat sekolah menengah pertama (SMP) mereka memilih menjadi pelacur karena himpitan ekonomi keluarga yang tidak mampu lagi membiayai untuk sekolah. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. Faktor kedua ini juga terjadi pada fenomena pelacur di Kota Pontianak. Mereka yang bekerja di bar dan tempat karaoke yang menyediakan jasa “plus-plus” (++), atau hotel yang menyediakan jasa pelacur. Mereka yang melacur bukan lagi karena masalah himpitan ekonomi atau dalam artian mereka berasal dari kalangan orang miskin—tidak. Melainkan mereka sudah hidup cukup, namun mereka lebih mementingkan life style sebagai hal utama. Mereka ini bisa saja berasal dari kalangan mahasiswa/i, atau pegawai kantoran. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan. Faktor ketiga ini sangat erat kaitannya dengan faktor pertama. Mereka yang menjadi pelacur dipaksa melacur karena terhimpit utang piutang, bahkan tidak segan si germo memaksa dengan kekerasan. Hal ini berarti mereka menjadi pelacur untuk membayar utang. Atau contoh lain yaitu mereka yang menjadi korban human trafficking dan masih anak-anak atau berada di bawah umur (<18 tahun). Mereka dipaksa untuk menjadi pelacur untuk melayani manusia-manusia yang haus akan nafsu birahi (seks). Sejauh ini fenomena pelacur di Kota Pontianak masih belum terlihat adanya faktor ketiga ini. Namun tidak menutup kemungkinan mereka ada, hanya saja mereka tidak akan mau mengakui hal itu terjadi dalam diri mereka. Pelacur Bukan Seorang Tunasusila Pelacuran merupakan suatu realitas sosial yang kemudian (dilihat) menjadi masalah bagi lingkungan sosial masyarakat. Masalah sosial adalah suatu fenomena yang mempunyai berbagai dimensi yang terkandung didalamnya. Menurut Weinberg (Soetomo, 2010) masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Di Kota Pontianak titik-titik hotspot bagi perempuan pekerja seks boleh dikatakan “aman”. Dalam artian adalah para pekerja seks sudah mendapatkan perlindungan secara internal oleh pengelola tempat (hotel, indekos, penginapan, wisma, dll). Realitas pekerja seks tidak bisa serta merta dilihat dari satu perspektif saja. Apabila perspektif agama yang digunakan dalam melihat pekerja seksual, tentu hal itu jelas salah karena tidak ada satu agama pun di Indonesia yang menghalalkan kegiatan prostitusi. Kemudian dari sisi sosialnya kegiatan seksual dikatakan sebagai suatu masalah sosial. Namun di sisi lain orang lain tidak bisa meng-judge bahwa pekerja seks (pelacur) adalah seorang tunasusila. Tunasusila dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan adat istiadat di lingkungan tertentu. Kajian Julia O’Connel Davidson tentang anak perempuan yang diperdagangkan di Cina (Suyanto, 2013) menyebutkan bahwa di Cina permintaan akan seks komersial sangatlah besar karena industri seks ini menawarkan peluang memperoleh penghasilan yang lebih besar, baik kepada para pelacur maupun mucikari. Jadi, pekerja seks yang kemudian terjun dalam dunia tersebut tidak bisa disebut sebagai suatu tindakan yang amoral, karena permintaan dalam industri tersebut sangat tinggi. Tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Bagi perempuan yang memiliki pendidikan buruk, tidak memiliki soft skill yang memadai serta termarginalisasikan secara sosial ekonomi, peluang kerja yang ditawarkan industri seksual ini cenderung sangat menggoda.Penulis melihat bahwa kasus yang terjadi di Cina, tidak jauh berbeda dengan kasus yang terjadi di Kota Pontianak maupun di kota besar lainnya. Bahwasanya mereka yang bekerja di kawasan industri seksual bukan serta-merta tidak memiliki moral dan harga diri, justru sebaliknya mereka bekerja untuk kelangsungan hidup anak-anak dan anggota keluarga mereka. Daftar Pustaka: Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] "Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do (West and Zimmerman: 1987) – something we perform" (Butler: 1990). Sejak sepuluh tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir di semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Berbicara mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperi rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai payudara.[1] Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi sosial. Jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin,maskulin, ataupun keduanya, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Sehingga muncul seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini–mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[2] Sifat-sifat biologis melahirkan perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah kembali, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.[3]
Kaum perempuan melakukan hal-hal dalam ranah domestik seperti mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. “one is not born, but rather becomes a woman” dalam pemikiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensialis abad ke-20 apa yang dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi”, dikonstruksi secara sosial. “Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do” (West and Zimmerman: 1987) – “something we perform” (Butler: 1990). Hal demikian dibolak balikkan oleh budaya, ketika bayi perempuan dikonstruksi menjadi perempuan coba kita lihat di lingkungan sekitar bahwa ketika bayi perempuan lahir maka ia akan dibungkus pakaian berwarna merah muda dan diberi boneka hingga ia dewasa menjadi seorang insinyur dapat saja ditertawakan karena tidak sesuai dengan diri perempuannya padahal dapat saja ia menjadi insinyur bahkan dapat menjadi insinyur seperti laki-laki yang lain, pemikiran yang memandang ketidaknormalan hal tersebut sungguh tidak relevan bila dihubungkan dengan gender maka peran gender sangat penting ketika aktivis perempuan dengan lantang menyuarakan perlunya kesetaraan bagi perempuan. Perempuan dapat juga layak bergerak dalam bidang politik, hukum, budaya, dan sosial. Hal-hal yang selama ini berbau perempuan seperti mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat perempuan” padahal itulah yang dalam sejarah ini dikonstruksi secara sosial atas dominasi-dominasi kekuataan dan kekuasaan maskulin. Karena urusan mendidik anak anak, merawat kebersihan rumah tangga dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Jenis pekerjaan tersebut bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.[5] Bahkan dalam perkembangan zaman di Jerman terdapat houseman dimana seorang ayah berperan juga dalam merawat anak dan rumah tangga untuk keseimbangan peran antara ayah dan ibu sehingga ibu tidak terus menerus bergulat dalam domestic area. Bahkan dalam sebuah kartu pos anti hak pilih “The Suffragette Madonna” tertulis “Poor man, thinking that nurturing a child is a sign of weakness or inferiority.” Karena selama ini produk sejarah melahirkan bahwa yang kuat kemudian diagungkan, “prehistoric times when physical force was very important, those who are strongest had all the right and power” (Simone de Beauvoir, The Second Sex). Yang demikian adalah proses pembentukan citra baku yang dimulai sejak beratus abad yang lalu di saat peradaban manusia ditegakkan berdasarkan prinsip the survival of the fittest.[6] Prinsip ini lebih banyak mempertimbangkan proses fisik sebagai pra-syarat penguasaan struktural sosial. Sebagai akbatnya, perempuan secara fisik tidak setegar laki-laki, menjadi termarginalisasi dari sektor “persaingan budaya”. Dalam proses sosialisasi di kemudian hari, hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan “kelaki-lakian” (masculine) atau apa yang kemudian disebut dengan sistem “patriarki”.[7] Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam kosa kata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari sanalah muncul yang disebut dengan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[8] Dalam pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai pengalaman hidup, menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan ketrampilan. Gender dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan bergerak. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya.[9] Catatan Belakang: [1] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 7 [2] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 2 [3] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 9 [4] Nina Rosenstand, 2002, “The Human Condition an Introduction to Philosophy of Human Nature”, New York: Mc-Graw Hill, p. 187 in a thesis from Ukaulor, Chidimma Stella, 2012, “Feminism In The Philosophy Of Simone De Beauvoir: A Critical Analysis”, Awka : Nnamdi Azikiwe University, p. 18 [5] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 11 [6] Herbert Spencer, the Origin of Sosiology, (Oxford, 1976) dalam buku Bainar, 1998, “Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan”, Yogyakarta : PT Cidesindo, hal 12 [7] Christ Weedon, Feminist Practices and Post Structuralist Theory (London : Blackwell, 1989) dalam Ibid. [8] Sri Yuliani, “Pengembangan Karir Perempuan Di Birokrasi Publik; Tinjuan dari Perspektif Gender” (Surakarta: Jurnal Pust Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No. 16 Tahun XIV Tahun 2004) [9] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 5. Daftar Pustaka : Bainar, 1998, “Wacana Perempuan dalam keindonesian dan Kemodernan”, Jakarta: Pustaka CIDESINDO David Graddol, Joan Swann, 2003, “Gender Voices”, Pasuruan: Penerbit Pedati Eckert, Penelope and McConnell-Ginet, “An Introduction To Gender”, New York : Cambridge University Press Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ukaulor, Chidimma Stella, 2012, “Feminism In The Philosophy Of Simone De Beauvoir: A Critical Analysis”, Awka: Nnamdi Azikiwe University Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki catatan kelam mengenai tingginya angka pernikahan anak. Sebenarnya jika ditilik lebih dalam, pernikahan anak dapat menimbulkan berbagai dampak yang serius bagi anak itu sendiri maupun bagi hubungan sosial. Apakah rahim seorang anak sudah siap untuk melakukan reproduksi? Bukankah masih rentan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit. Sebenarnya apakah gadis di bawah umur itu sudah siap secara mental? Bukankah di usia antara 14 tahun sampai 18 tahun seorang remaja masih ingin mencari jati diri yang sesungguhnya, emosi yang masih labil akan berpengaruh terhadap pola asuh yang mereka tanamkan pada anak-anak hasil pernikahan ini. Tuntutan sosial yang tinggi mungkin akan mengeruhkan problem ini, masyarakat berkespektasi bahwa seseorang jika sudah menikah berarti memiliki tingkat kedewasaan secara pemikiran untuk menjalani kehidupan, apakah semua itu terbukti? Tidak. Banyak pasangan muda yang stres kemudian menelantarkan bayi mereka, meningkatnya kasus KDRT dll. Kita semua tahu bahwa menikah muda bagi sebagian masyarakat Indonesia bukan merupakan suatu hal yang tabu. Jika wanita sudah menstruasi, kemudian sudah bisa melakukan pekerjaan domestik, dan sudah dirasa mampu untuk menjadi seorang ibu, usia seakan bukan sebagai masalah untuk menjalin suatu kontrak sosial ini. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030 mendatang. Pernikahan anak dapat mengambil hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pernikahan anak juga berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan. Ini merupakan suatu temuan yang sangat mencengangkan. Apakah kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap bangsa ini hanya akan berpangku tangan? Ini bukan sebuah prestasi namun sebuah ironi. Dimana letak keseriusan pemerintah dalam mengatasi problem ini? Dengan angka sebesar itu, bagaimana nasib pendidikan mereka? Bukankah relitasnya akan sangat sulit bagi mereka untuk melanjutkan pendidikanya, mereka akan sibuk untuk mengurus rumah tangga, mengurus urusan domestik dll. Walaupun ada opsi untuk melanjutkan pendidikan dengan program kejar paket A, B atau C, Itu seakan menjadi suatu harapan yang utopis. Menurut saya yang mendorong tingginya angka pernikahan anak di usia dini adalah faktor ekonomi, kebanyakan mereka berasal dari latar belakang keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, mereka berasumsi jika seorang anak perempuan sudah menikah setidaknya beban keluarga akan semakin berkurang karena akan ditanggung oleh suami mereka. Namun pada kenyataannya apakah seperti itu, malah bisa jadi menambah permasalahan baru ketika pasangan muda ini belum mapan secara ekonomi dan akhirnya dapat mengakibatkan berbagai konflik baru muncul. Jika direnungi lebih mendalam, hal ini disebabkan ketika subordinasi perempuan ditopang melalui hegemoni maskulinitas yang beroperasi di tataran keluarga sebagai unit ekonomi. Sedangkan dalam kasus pernikahan anak peran keluarga sangat dominan, represi dari kepala keluarga--yang biasanya adalah kaum laki-laki--sebagai penentu kebijakan dalam skala rumah tangga sangat kuat--dalam pengambilan keputusan untuk menikahkan anaknya di usia yang masih belia, dengan harapan supaya cepat meringankan beban ekonomi keluarga. Bahkan realitasnya di berbagai daerah hal ini bisa ditentukan oleh suatu otoritas yang berupa aturan aturan adat atau sabda dari kepala suku yang menganjurkan untuk segera menikah. Jadi segalanya tidak dapat dilepaskan dari adanya kontrol otoritas baik berupa power dari pihak yang memiliki kuasa maupun karena faktor ekonomi. Hal ini menjadi faktor penentu atau struktur kunci yang menentukan posisi perempuan bersifat sosio-ekonomi, dikarenakan adanya semacam stigma bahwa perempuan merupakan individu yang selalu bergantung terhadap laki-laki. Tidak hanya itu, persepsi bahwa rumah itu identik dengan perempuan dan dunia tempat bekerja itu identik dengan laki-laki, hal ini semakin mendukung tesis awal saya, jika seorang wanita sudah bisa menjalankan fungsi domestiknya maka sudah layak untuk menikah walaupun usianya belum memadai. Bila kita analogikan menggunakan pemikiran Michael Foucault, ini semua tidak bisa lepas dari kontrol otoritas yang berupa uang. Ketika relasi kekuasaan ini berasal dari ekonomi, kemudian akan menjalar kepada relasi kekuasaan yang menyetuh ranah tubuh, dan dibumbui akan hubungan seksual yang terjalin. Jika kita hubungkan dengan seks bisa diartikan sebagai hubungan ekonomi, karena sudah memberi nafkah lahir, maka timbal baliknya suatu kewajiban untuk memberikan nafkah batin berupa seks. Ketika hubungan seks sudah masuk dalam tataran ekonomi seperti diatas, dapat kita analogikan bahwa satu-satunya yang dapat dipertukarkan hanya tubuh itu sendiri, tubuh perempuan dijadikan sebagai komoditi, atau benda, bahkan sebagai mesin; mesin reproduksi, mesin hasrat yang identik dengan pekerja, sedangkan laki-laki sebagai pasar, atau permintaan, dan perempuan sebagai penyedia. Nah, problem pernikahan anak ini tidak bisa kita lepaskan dari problem power berupa ekonomi kemudian berimbas juga terhadap status kepemilikan tubuh perempuan itu sendiri. Mungkin bisa saja analogi ini berlaku pada mereka yang menjadi aktor dalam pernikahan anak. Kita harus menguatkan genggaman untuk bersatu memperjuangkan permasalahan ini, karena ini bukan sekadar permasalahan hukum, namun ini sebuah permasalahan kemanusiaan yang dibentengi oleh sosial, ekonomi dan kultural. Dibutuhkan usaha ekstra untuk merobohkan hegemoni besar yang telah menempel kuat pada masyarakat Indonesia, sehingga angka pernikahan anak di indonesia dapat menurun. Daftar Pustaka: http://print.kompas.com/baca/2015/06/20/Pernikahan-Dini-Memicu-Masalah (Diakses pada Senin, 16 November 2015, pukul 14:37) Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] "Prehistoric times when physical force was very important. Those who’re the strongest had all the rights and power." (The Second Sex, Simone de Beauvoir) Makna Gender Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin dan maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini–mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[1] Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Di Inggris abad ke sembilan belas, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tetapi pandangan yang lebih kemudian menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Kini keadaan serupa juga terdapat di beberapa bagian negara berkembang. Di Bangladesh misalnya, banyak perempuan muslim menganggap tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan pekerjaan yang dibayar. Namun ada banyak perempuan muslim lainnya terpaksa bekerja–seringkali sebagai pembantu rumah tangga–sebagai upaya pertahanan ekonomi. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (sex) biologis tertentu.[2] Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam kosa kata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari situlah muncul ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[3] Salah satu akibat ketidaksetaraan gender adalah marginalisasi, terutama terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, lembut, halus. Sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak memiliki kesempatan sama dengan laki-laki. Hak-haknya untuk diperlakukan sama dengan laki-laki dipinggirkan, bahkan tergusur dan tidak menjunjung rasa kemanusiaan. Perempuan dianggap warga kelas dua. Seperti yang dituliskan oleh Simone De Beauvoir, The Second Sex, dimana perempuan yang termarginalkan oleh kontruksi sosial menjadikan mereka hanya bergerak di ranah privat dan bahkan sosio-kultural Indonesia saat ini menunjukkan ketidakadilannya dengan hanya memberikan kuota 30% perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hal itu diatur dalam UU Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Mengingat apa yang diperjuangkan oleh feminis bahwa perempuan juga berhak bergerak dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Kehidupan perempuan yang hanya berada di rumah dan keluarga, menjadikannya makhluk yang pasif dan tidak bergerak di ranah public, hal tersebut bukan karena perempuan tidak mampu tetapi lebih karena tidak adanya alternatif lain. Maka perjuangan feminis harus terus didengungkan terutama dengan ikut terlibat dalam bidang politik dan hukum. Karena perempuan juga mampu terjun dalam kehidupan publik layaknya laki-laki, seperti berkontribusi dalam bidang politik dan sosial. Perkembangan kesetaraan gender di negara Jerman bahkan dikenal dengan adanya housema, dengan begitu maka gerak-gerak kepentingan keluarga tidak akan dilingkari pada ibu saja namun juga pada ayah, demikian juga dengan gerak-gerak di ranah publik perempuan dan laki-laki sama-sama dapat dipantaskan. Pengantar Teori Feminis Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori ini terpusat pada perempuan dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama studinya, titik tolak seluruh penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, dalam proses penelitiannya, perempuan menjadi “sasaran” sentral; artinya, mencoba melihat dunia dengan sudut pandang perempuan. Ketiga, teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan perempuan, yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan–dan dengan demikian, menurut mereka, untuk kemanusiaan.[4] Feminist Legal Theory (FLT) atau Feminist Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran hukum selama beberapa dekade terakhir. Hal ini tampak dari selalu diselipkannya pembahasan yang berkaitan dengan FLT dalam sebuah buku, seminar atau diskusi yang membahas tentang teori hukum. Pemikiran awal dari FLT itu sendiri muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum, tepatnya pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum pada masa itu dan dimulainya kritik-kritik mereka pada teori-teori hukum yang tidak memiliki kontribusi pada permasalahan hukum yang ada, yang berkaitan dengan perempuan.[5] Mereka mempertanyakan mengapa kurikulum Fakultas Hukum tidak berisikan materi-materi yang membahas adanya kesenjangan dalam pembayaran upah buruh perempuan, tentang perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, aborsi, dan lain-lain. Kenyataannya kemunculan FLT di dunia Barat (Amerika khususnya) memang bersamaan dengan bangkitnya reaksi feminist legilator terhadap masalah-masalah hukum, khusus yang berkaitan dengan perempuan. FLT yang memunculkan suatu metode analisis khas feminis dalam hukum, banyak digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang sangat luas dalam bidang hukum. Pengkajiannya antara lain dengan mengkritisi hukum dari sudut feminis sebagai suatu kajian yang utama. Pembongkaran atau kritik yang diajukan dapat menggunakan antara lain teori dekonstruksi[6] yang mencoba menguraikan atau menginterpretasikan makna hukum dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang feminis. Teori Hukum Feminis Berbicara mengeni ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Objek yang bernama hukum itu menjadi begitu luas karena ia bersentuhan dengan sejumlah besar aspek kehidupan manusia, sebut saja: manusia sendiri, masyarakat, negara politik, sosial ekonomi, sejarah, psikologi, filsafat dan aspek-aspek hidup yang lain. Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an, bersamaan dengan berkembangnya gerakan Critical Legal Studies (CLS) di Amerika. Sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum, arus utama teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan CLS. Karena itu dalam beberapa pembahasan tentang Jurisprudence, teori hukum feminis dimasukkan sebagai salah satu bab di dalam pembahasan CLS.[7] Pihak yang mengemukakan Feminist Legal Theory menyatakan bahwa bahkan CLS sekalipun menyoroti keberlakuan hukum semata dari sudut pandang laki-laki, demikian pula pemikiran-pemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal teori adalah lahan laki-laki, adalah laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum.[8] Selanjutnya, hukum dan hasil putusannya merefleksikan nilai-nilai laki-laki atau nilai-nilai maskulin. Laki-laki yang membangun dunia hukum itulah yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu pun sudah sedemikian melekatnya sehingga dianggap nilai yang umum dan absolut dengan meniadakan adanya nilai yang lain.[9] Dalam kaitannya dengan hukum studi feminis lahir untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas, dan studi hukum seharusnya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi amat terlebih asas keadilan. Bagaimana mencapai tujuan bersama ini, merupakan upaya dan langkah-langkah yang diuji coba puluhan tahun di mancanegara, yang telah memunculkan berbagai aliran. Namun satu hal yang dihadapi bersama adalah kemapanan studi hukum yang telah berusia berabad-abad dan yang sebenarnya juga telah melahirkan berbagai teori dan aliran, sedangkan studi feminis baru muncul dibilang setengah abad lalu.[10] Biasanya para ahli feminisme pada peminatnya untuk belajar berpikir dengan cara feminis, atau yang disebut dengan think like a feminist. Walaupun diantara para pakarnya tidak ada keseragaman metode, namun pada dasarnya mereka mencoba menempatkan perempuan sebagai fokus kajian dan bukan terpinggirkan oleh pengkajian hukum tertentu. Dalam positivisme hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan semacamnya. Pertanyaan tentang adil, tapi selama dia masih berlaku, maka hukum itu tetap harus dipatuhi. Bagi para penganut positivisme hukum, kepastian hukum akan tercapai bukan hanya karena hukum dibentuk oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti sistem perundang-undangan yang berlaku, tapi juga bila hukum bisa bekerja sama–dalam kerangka ilmiah–dengan berbagai sains positif (ilmu alam dan ilmu sosial yang cara kerjanya didasarkan pada metode ilmu alam) untuk melegitimasi berbagai perilaku yang ada di masyarakat. Margot Stubbs mencatat bahwa positivisme hukum sebenarnya berangkat dari pengandaian liberalisme klasik tentang masyarakat sebagai kumpulan individu yang otonom dan memiliki hak-hak yang sama. Lalu untuk mewujudkan kepentingan bersama, para individu tersebut secara bebas mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara dan hukum. Konsekuensinya, negara dan hukum harus netral, objektif, dan tidak berpihak pada individu manapun:
Penganut teori Positivisme Hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara pria dan perempuan) yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, seseorang dianggap cukup membaca misalnya KUHPerdata, UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974, dan KUHPidana. Berbeda dengan para pemikir hukum feminis bahwa hal demikian dianggap peraturan hukum yang memarginalkan perempuan. Penilaian seperti ini hanya mungkin dilakukan karena para feminis melihat kaitan antara hukum dengan relasi kuasa yang tak setara antara perempuan dan pria. Bagi para feminis, hukum yang diyakini netral dan objektif oleh teori Positivisme Hukum sebenarnya tidak mungkin ada. Sebab disadari atau tidak–berbagai hukum tersebut dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi pria daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti itu justru membenarkan ketidak-setaraan pria dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Misalnya, walaupun pasal 139 KUHperdata memungkinkan suami istri mengadakan perjanjian kawin[12] dan dengan demikian memungkinkan istri mandiri secara ekonomi dari suaminya, namun kemandirian ini segera disangkal oleh pasal 140 KUHperdata yang menyatakan “perjanjian kawin” tersebut tidak boleh mengurangi segala hal yang disandarkan kepada suami sebagai suami. Barang tentu yang dimaksud oleh Pasal 140 Kuhperdata dengan “hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami” adalah pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami istri” dan dengan demikian “suami wajib menjadi wali istrinya untuk mengahadap ke hakim (melakukan perbuatan hukum)”. Selain itu juga dinyatakan, bahwa “suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya (kecuali dinyatakan lain dalam perjanjian kawin) tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya”. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan persetujuan istrinya. Bahkan suami boleh menjual atau memindah-tangankan harta persatuan (harta yang diperoleh bersama selama perkawinan) tanpa persetujuan istri (pasal 124 KUHperdata) Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara patriarki lainnya, KUHPidana di Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh seksualitas belaka. Hal ini nampak misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah tentang perkosaan (pasal 285) yang mengisyaratkan korban harus bukan isteri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk “hubungan seksual” yang keputusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5 Februari diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.[13] Dengan mengutip feminis Catherine MacKinnon, Nursyahbani Katjasungkana menganggap perumusan tersebut sebenarnya didasarkan pada cara pandang pria “heteroseksual” tentang hubungan seks, karena mensyaratkan terjadinya “penetrasi penis ke vagina”.[14] Dengan kata lain, kekerasan seksual terhapad perempuan yang tidak dalam bentuk “penetrasi penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan, mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa.[15] Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.[16] Maka begitulah, bagaimana perkosaan dirumuskan dari perspektif pelaku (pria). Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik-cabik? Hal ini terjadi karena ilmu hukum (yang ditulis dalam perspektif teori Positivisme Hukum) memang tidak mampu dan tidak mau menafsirkan diskriminasi gender–suatu tafsir yang mau mengungkap relasi kuasa yang tidak setara antara perempuan dan pria–yang terjadi di masyarakat.[17] Teori hukum feminis memberi sumbangannya dengan mengidentifikasi nilai-nilai dasar tersebut dalam implementasi hukum. Tove Stang Dahl, yang menekankan pentingnya women-centered-policy-consideration atau pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan, menyebut dua nilai dasar ini diidentifikasin sebagai nilai-nilai dasar yang utama yaitu equality (persamaan/kesetaraan), harkat martabat, integritas, self-determination (menentukan sendiri), dan self-realization. Tove Stang Dahl juga berpendapat bahwa pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan memberikan panduan untuk pengorganisasian bahan hukum, untuk mengevaluasi dan mengadakan perubahan hukum, dan penerapan hukum, bersama-sama dengan pertimbangan kebijakan lainnya, yang semua merupakan dan diakui sebagai sumber hukum. Secara politis, nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah mendasari visi dan prioritas, dan dengan demikian strategi untuk memajukan kepentingan perempuan. Jadi menerapkan perspektif perempuan terhadap ketentuan hukum berarti menelaah ketentuan hukum sambil mengingat pengalaman dan kepentingan perempuan. Tujuan penelaahan ketentuan hukum adalah untuk memahaminya secara total. Memahami atau verstehen dalam bahasa Jerman, merupakan metodologi dalam Humaniora. Memahami ketentuan hukum yang menyebabkan dan mengakibatkan perempuan mengalami ketiadadilan dan diskriminasi, memerlukan studi terhadap hukum dan pengalaman perempuan yang menyeluruh. Artinya kita harus mencari dan mengidentifikasi hubungan-hubungan dalam sistem hukum yang berlaku, dalam sistem sosial yang berlaku, dalam berbagai bidang seperti latar belakang sejarahnya, ekonomi, agama, politik, budaya, psikogi, maupun biologi dan sebagainya.[18] Catatan Belakang: [1] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 2 [2] Ibid [3] Sri Yuliani, “Pengembangan Karir Perempuan Di Birokrasi Publik; Tinjuan dari Perspektif Gender” (Surakarta: Jurnal Pust Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No. 16 Tahun XIV Tahun 2004) [4] George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, “Teori Sosiologi Modern”, Jakarta : Prenada Media, hal 404 [5] D. Kelly Weisberg, “Feminist Legal Theory”, Temple University Press, Phildelphia, 1993. [6] Teori Dekonstruksi menurut Gayatri Chakravorty Spivak adalah adanya upaya pembongkaran pemikiran, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan dan upaya untuk memperlihatkan adanya ketidak-koherensian dan ketidakajegan (Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Femini, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003). [7] Niken Savitri, 2008, ”HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [8] Margareth Davies, hlm,. 167 [9] Niken Savitri, 2008, “HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [10] Gandhi Lapian, 2012, “Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Jakarta : Pustaka Obor [11] Margot tubbs, 1993, “Feminism and Legal Positivsm” dalam D. Krlly Weisberg (ed), Feminism Legal Theory, Phildelphia, Temple University Press, hlm 455-456 [12] Perjanjian kawin adalah suatu oerjanjian yang memungkinkan suami istri secara individual mengelola harta kekayaan masing-masing [13] Harkristutu Harkrisnowo, “Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap perempuan” dalam Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tidak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta, Kelompok Kerja Convention Watch dan Pusat Kajian Wanita dan Jender UI, 2000, hlm. 85 [14] Nursyahbani Katjasungkana, 2001, “Aspek Hukum Kekerasan Terhapap Perempuan” dalam Potret Perempuan: Tinjuan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, Yogyakarta, PSW Umy dan Pustaka Pelajar, hlm 92-93. [15] Sulityowati Irianto, 2006, “Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 9 [16] Niken Savitri, 2008, “HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP”, Jakarta : Refika Aditama, hlm. 27 [17] Ibid [18] Gandhi Lapian, 2012, “Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender”. Jakarta : Pustaka Obor Indonesia. Hlm 230 Daftar Pustaka: Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media Julia Cleves Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Jakarta : Refika Aditama Ristina Yudhanti, 2014, Perempuan dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta : Thafa Media Sulisyowati Irianto, 2006, Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |