Pelacuran—Aku Memiliki Hak Penuh Atas Tubuhku Pelacuran, begitu banyak orang menyebut nama tempat dimana banyak orang melakukan transaksi jual beli—tidak hanya tubuh, melainkan juga obat-obatan terlarang seperti narkotika. Tentu banyak yang mengenal tempat pelacuran seperti Dolly di Kota Surabaya. Tidak hanya Dolly, ternyata ada pula Sarkem di Kota Budaya (Yogyakarta), atau Saritem di Kota Kembang (Bandung). Setiap kota memiliki nuansa dan nama yang berbeda, seperti di ibu kota Jakarta yang memiliki banyak area untuk dapat melakukan transaksi yang dimaksud, bahkan beberapa bulan lalu yang terbongkar, salah satu apartemen mewah menjadi kawasan paling ramah bagi mereka untuk beraksi. Secara umum pelacuran merupakan praktik hubungan seksual yang dilakukan sesaat dan dengan siapa saja untuk imbalan berupa uang. Menurut Purnomo dan Siregar (dalam Suyanto, 2013) yang dimaksud dengan pelacuran adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lelaki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan diluar pernikahan. Demikian pula di kota yang memiliki julukan Kota Khatulistiwa (Pontianak), memiliki tempat pelacuran yang tidak terlihat secara kasat mata. Memang sih, semua kawasan terlihat sama saja jika kita tidak menyelami lebih dalam kawasan tersebut. Misalnya kawasan Alun-Alun Kapuas atau masyarakat Pontianak mengenalnya sebagai “Korem”. Sejatinya kawasan ini merupakan kawasan yang menawarkan arena belanja (pasar malam), bermain dan bersantai. Namun di sisi lain Korem juga merupakan kawasan pelacuran berbagai kalangan, dari orang muda hingga orang tua, baik pelacur perempuan, waria juga laki-laki. Kawasan padat pengunjung ini menyediakan arena bersantai yang cocok dan menarik. Selain di tepian sungai kapuas, juga berada strategis di kawasan perhotelan. Ber-jaja, Bukan Serta-Merta Dunia Menjadi Suram Penulis ingin menghubungkan jenis pelacuran yang ada di Kota Pontianak dengan pendapat Noeleen Heyzer yang membedakan tiga tipe pelacur menurut hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran (Suyanto, 2013). Pertama, pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Sering kali mereka beroperasi di pinggir jalan atau masuk dari satu bar ke bar yang lain. Di Kota Pontianak tipe pelacur ini, mereka ber-jaja (bertransaksi jual beli tubuh mereka secara langsung) di sekitar kawasan Korem (Alun-alun kota Pontianak). Mereka duduk santai menunggu pelanggan di warung-warung dengan sedikit pencahayaan. Secara kasat mata mereka terlihat berdandan dengan warna yang terang seperti gincu merah menyala, alis tebal, dan celak terang. Sebagian untuk pelacur dari kalangan waria ber-jaja (menjual tubuh-red) di kawasan jalan Sui Jawi Pontianak, mereka nongkrong di pinggir jalan untuk menunggu pelanggan yang akan menggunakan jasa mereka. Namun sedikit terdeteksi pelacur dari kalangan gay, mereka kerap ber-jaja di kawasan yang sedikit lebih elit, seperti di kawasan Cafe dan Bistro yang notabene berdekatan dengan hotel. Kalangan gay biasanya ngucing (sebutan aktivitas untuk pelacur laki-laki) di kawasan tak terduga dan jarang pengunjung. Namun tidak menutup kemungkinan juga mereka ada di kawasan padat pengunjung seperti di Korem. Kedua, pelacur yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hierarkis. Biasanya si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya. Fenomena pelacur di kota besar bersifat “sudah menjadi rahasia umum”, dalam artian tidak mengherankan lagi jika mereka bekerja sebagai penyedia jasa atau pelaku jasa. Di Kota Pontianak tipe pelacur kedua ini jarang ditemukan karena kebanyakan mereka bekerja secara mandiri atau tanpa mucikari. Namun tidak dapat dipungkiri, mereka ada di beberapa titik di Pontianak. Beberapa salon, tempat karaoke, bar atau warnet biasanya menjadi tempat mereka berkedok, tapi tidak semua warnet atau salon berkedok penyedia jasa. Mereka yang bernaung di bawah pengawasan “mami” ini beroperasi di atas jam sepuluh malam. Ketiga, pelacur yang dibawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Fenomena pelacur high class di Pontianak sangat tepat tergolong dalam tipe pelacur yang ini. Pelacur yang bekerja di bawah naungan seperti panti pijat dan hotel sangat jarang terlihat secara terang-terangan. Jam operasi mereka pun tidak akan terbatas pada jam tertentu, dalam artian unlimited. Melacur Tak Berarti Menjual Harga Diri Saptari menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur (Suyanto, 2013). Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur. Terkait fenomena pelacur di Kota Pontianak, faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab mereka menjadi pelacur. Hampir semua dari pelacur di Kota Pontianak berasal dari berbagai daerah kabupaten, bahkan ada yang berasal dari pulau Jawa dan Batam. Mereka rata-rata berasal dari kampung/desa. Awalnya mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) sebelum menjadi pelacur, karena merasa gaji yang didapat tidak sesuai dengan kerja keras yang mereka lakukan, mereka kemudian tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan sehingga mereka memilih menjadi pelacur. Di sisi lain ada pula diantara mereka yang memang memilih menjadi pelacur dari awal (tanpa menjadi PRT), mereka ini berasal dari kalangan muda. Setelah tamat sekolah menengah pertama (SMP) mereka memilih menjadi pelacur karena himpitan ekonomi keluarga yang tidak mampu lagi membiayai untuk sekolah. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. Faktor kedua ini juga terjadi pada fenomena pelacur di Kota Pontianak. Mereka yang bekerja di bar dan tempat karaoke yang menyediakan jasa “plus-plus” (++), atau hotel yang menyediakan jasa pelacur. Mereka yang melacur bukan lagi karena masalah himpitan ekonomi atau dalam artian mereka berasal dari kalangan orang miskin—tidak. Melainkan mereka sudah hidup cukup, namun mereka lebih mementingkan life style sebagai hal utama. Mereka ini bisa saja berasal dari kalangan mahasiswa/i, atau pegawai kantoran. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan. Faktor ketiga ini sangat erat kaitannya dengan faktor pertama. Mereka yang menjadi pelacur dipaksa melacur karena terhimpit utang piutang, bahkan tidak segan si germo memaksa dengan kekerasan. Hal ini berarti mereka menjadi pelacur untuk membayar utang. Atau contoh lain yaitu mereka yang menjadi korban human trafficking dan masih anak-anak atau berada di bawah umur (<18 tahun). Mereka dipaksa untuk menjadi pelacur untuk melayani manusia-manusia yang haus akan nafsu birahi (seks). Sejauh ini fenomena pelacur di Kota Pontianak masih belum terlihat adanya faktor ketiga ini. Namun tidak menutup kemungkinan mereka ada, hanya saja mereka tidak akan mau mengakui hal itu terjadi dalam diri mereka. Pelacur Bukan Seorang Tunasusila Pelacuran merupakan suatu realitas sosial yang kemudian (dilihat) menjadi masalah bagi lingkungan sosial masyarakat. Masalah sosial adalah suatu fenomena yang mempunyai berbagai dimensi yang terkandung didalamnya. Menurut Weinberg (Soetomo, 2010) masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Di Kota Pontianak titik-titik hotspot bagi perempuan pekerja seks boleh dikatakan “aman”. Dalam artian adalah para pekerja seks sudah mendapatkan perlindungan secara internal oleh pengelola tempat (hotel, indekos, penginapan, wisma, dll). Realitas pekerja seks tidak bisa serta merta dilihat dari satu perspektif saja. Apabila perspektif agama yang digunakan dalam melihat pekerja seksual, tentu hal itu jelas salah karena tidak ada satu agama pun di Indonesia yang menghalalkan kegiatan prostitusi. Kemudian dari sisi sosialnya kegiatan seksual dikatakan sebagai suatu masalah sosial. Namun di sisi lain orang lain tidak bisa meng-judge bahwa pekerja seks (pelacur) adalah seorang tunasusila. Tunasusila dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan adat istiadat di lingkungan tertentu. Kajian Julia O’Connel Davidson tentang anak perempuan yang diperdagangkan di Cina (Suyanto, 2013) menyebutkan bahwa di Cina permintaan akan seks komersial sangatlah besar karena industri seks ini menawarkan peluang memperoleh penghasilan yang lebih besar, baik kepada para pelacur maupun mucikari. Jadi, pekerja seks yang kemudian terjun dalam dunia tersebut tidak bisa disebut sebagai suatu tindakan yang amoral, karena permintaan dalam industri tersebut sangat tinggi. Tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Bagi perempuan yang memiliki pendidikan buruk, tidak memiliki soft skill yang memadai serta termarginalisasikan secara sosial ekonomi, peluang kerja yang ditawarkan industri seksual ini cenderung sangat menggoda.Penulis melihat bahwa kasus yang terjadi di Cina, tidak jauh berbeda dengan kasus yang terjadi di Kota Pontianak maupun di kota besar lainnya. Bahwasanya mereka yang bekerja di kawasan industri seksual bukan serta-merta tidak memiliki moral dan harga diri, justru sebaliknya mereka bekerja untuk kelangsungan hidup anak-anak dan anggota keluarga mereka. Daftar Pustaka: Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dede Rabuansyah
7/6/2017 07:07:33 pm
Keren. Kak Nick. Benar banget memandangnya jangan hanya satu perpekstif. Sukses buat kak Nick yg sedang di Thailan. Go Prestasi Kak Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |