Ada satu masa di mana seorang bapak tak dapat menggantikan peran Ibu kepada anaknya. Masa menyusui atau memberi ASI (air susu ibu) namanya. Pemberian ASI biasa berlangsung antara enam bulan hingga dua tahun. Peran ibu sangat penting saat ini. Selain masa pendidikan awal setelah dalam kandungan, sentuhan dan bahasa lembut ibu kepada sang bayi akan memberi ikatan batin yang kuat diantara keduanya. Lepas dari soal menyusui, perhatian di setiap detail perkembangan anak menjadi bahan pelajaran penting, berharga, dan menarik bagi kedua orang tua, bapak dan ibu. Kenyataan di atas ingin menegaskan bahwa soal menjaga, merawat, dan mengikuti setiap perkembangan anak bukan hanya tugas perseorangan, tapi hak dan kewajiban kedua orang tua. Bapak dan ibu berhak mengetahui dan mengalami masa-masa berharga di setiap tahapan perkembangan anak. Kewajiban menjaga, merawat, melindungi dan memberi jaminan kehidupan yang layak pun dibebankan kepada bapak dan ibu. Sayangnya, hingga kini, sebagian dari masyarakat kita masih berpandangan bias. Hak dan kewajiban menjaga anak sejak kecil hingga dewasa dianggap hanya menjadi tugas alami (kodrat) seorang Ibu. Adapun bapak hanya bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Ini pandangan keliru yang tak kunjung selesai karena begitu mengakarnya budaya patriarki dalam masyarakat kita. Pengurangan Jam Kerja Perempuan Implikasi dari pandangan bias di atas melahirkan banyak efek negatif, dimana perempuan yang cenderung menjadi korbannya. Belum juga selesai berbagai perlakuan diskriminatif pada perempuan, kini perempuan kembali dihadapkan pada wacana pengurangan jam kerja. Mungkin saja Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden, bermaksud berpihak pada perempuan dengan mengusulkan wacana ini. Sayangnya, niat baiknya kali ini didasari argumen yang keliru. Menurutnya, dengan mengurangi jam kerja perempuan selama dua jam, perempuan yang sudah berkeluarga akan punya lebih banyak waktu untuk mengurus anaknya di rumah. Pernyataan JK bermasalah dalam beberapa hal. Pertama, berangkat dari pandangan umum yang mengganggap hanya perempuan yang butuh dan perlu mengurus anak. Padahal, setiap perkembangan anak mesti disaksikan dan dialami oleh kedua orang tuanya agar tak satu pun momen berharga hilang. Melalui momen kebersamaan, ikatan emosional antara kedua orang tua dan anak dapat terbangun dengan baik, sehingga proses pendidikan keluarga pun mulai terinternalisasi kepada sang anak. Di Swiss, pemerintah bahkan memberikan cuti kerja bagi para bapak untuk menjaga anaknya. Tampak keputusan pemerintah Swiss ini berangkat dari kesadaran tentang pentingnya kebersamaan kedua orang tua dengan anaknya. Kedua, saat ini, tak semua bapak bekerja di luar rumah, sementara Ibu di rumah. Banyak keluarga yang mengalami sebaliknya. Entah karena alasan komitmen bersama ataupun karena kebetulan ibu lebih berkesempatan bekerja di luar rumah dibanding bapak. Dalam kasus ini, tentu ibu tak perlu mempercepat kepulangannya sebab sang anak aman bersama bapak. Ketiga, siapa yang bisa menjamin bahwa perempuan yang meninggalkan kantor lebih awal, benar pulang ke rumah untuk menjaga anaknya? Bukan tak mungkin ada yang memilih mengambil pekerjaan tambahan atau malah nongkrong bersama temannya. Keempat, jika diberlakukan secara umum, pengurangan jam kerja bagi perempuan dapat menurunkan “daya tawar” perempuan, khususnya di perusahaan-perusahaan global. Saat prinsip “waktu adalah uang” yang dikedepankan, maka mengurangi dua jam sama saja membuang “mesin uang”. Masuk akal jika perusahaan tak mau merugi dengan mempekerjakan perempuan. Kelima, namun paling penting, efek negatif wacana ini semakin membuka lubang diskriminasi dan pelemahan pada perempuan. Seolah-olah perempuan tak mampu mengatur setiap sisi kehidupannya sehingga perlu diberi “subsidi”, agar tak menanggung beban yang tak mereka sanggupi. Lagi-lagi pandangan yang keliru, sebab perempuan adalah makhluk dan khalifah (pemimpin) yang diberi kemampuan sama dengan laki-laki oleh Tuhan. Pandangan kesetaraan inilah yang seharusnya kita perjuangkan untuk memutus pandangan bias relasi antara perempuan dan laki-laki menuju relasi yang seimbang dan proporsional. Revolusi Mental Revolusi mental yang menjadi semangat pemerintahan kabinet Jokowi-JK harus diturunkan pada kebijakan-kebijakan yang inovatif, kreatif, dan revolusioner. Wacana pengurangan jam kerja perempuan jelas mementahkan semangat revolusi mental. Bukannya maju, tapi mundur ke zaman sebelum reformasi. Semangat revolusi mental sebaiknya berkonsentrasi pada perlindungan dan dukungan peningkatan kinerja perempuan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendukung kerja-kerja perempuan. Misalnya, memastikan di setiap tempat kerja dan ruang publik tersedia fasilitas seperti, ruang menyusui, toilet khusus perempuan penyandang disabilitas, ruang bermain anak sekaligus kumpul keluarga yang bisa digunakan pada jam istirahat kantor dan memberi cuti haid. Jika kita percaya bahwa setiap momen bersama keluarga itu berharga, maka menyediakan waktu cuti bagi laki-laki dan perempuan agar secara bergantian menikmati waktu kebersamaan bersama anaknya, juga dapat menjadi alternatif. Faktor pendukung lain yang diperlukan perempuan adalah pemerintah memastikan keamanan fasilitas umum, khususnya di jalan dan di angkutan umum. Di tempat-tempat inilah kejahatan fisik dan psikis terhadap perempuan masih mengerikan. Perbaikan fasilitas umum dan tindakan tegas pada pelaku kejahatan di jalan, tentu akan mendukung peningkatan kinerja perempuan. Tak ada alasan terpaksa terlambat ke kantor karena khawatir berdesak-desakan di kereta, misalnya. Pulang malam pun tak menjadi momok yang mengerikan karena khawatir dirampok di ojeg, termasuk di angkutan berkelas semacam taksi. Jika pemerintahan Jokowi-JK masih memegang prinsip revolusi mental, kebijakan yang dikeluarkan tentu datang dari hasil kajian yang holistik, merdeka, serta berpekspektif keseimbangan dan keadilan untuk semua pihak. Bukankah revolusi mental memang ingin menghancurkan mental-mental lemah dan terbelakang yang menghinggapi negara kita akhir-akhir ini? “(3/12) Seorang wanita paruh baya di Sumedang, Jawa Barat tak kuasa membendung emosi karena mendapati salah seorang keluarganya tewas.” Demikian salah satu kutipan pembuka dari rangkuman berita tentang minuman keras (miras) oplosan yang lagi-lagi merenggut nyawa yang dimuat di news.liputan6.com. Berita ini menjadi salah satu dari sejumlah rentetan kabar tewasnya para lelaki dalam beberapa hari terakhir akibat menenggak miras oplosan. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, tercatat tujuh pria tewas karena pesta miras oplosan, sedangkan pada 27 Agustus lalu tiga pria asal Garut, Jawa Barat menjadi korban dan enam orang diberitakan tewas di Bantul, Yogyakarta setelah pesta miras oplosan pada 11 Desember lalu. Akibat rentetan peristiwa tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah yang diwakilkan Satuan Polisi Pamong Praja menyisir dan menciduk para pembuat miras oplosan, beberapa pabriknya sudah ditutup, razia juga dilakukan terhadap warung-warung yang menjual minuman berbahan dasar methanol tinggi ini. Miras oplosan umumnya minuman beralkohol dengan kandungan ethanol atau methanol yang dicampur spirtus. Spirtus, zat yang biasa dipakai dalam pembakaran dalam industri, ketika dicampur dengan minuman methanol atau ethanol yang berkadar alkohol hingga 40%-60% sudah barang tentu membuat peminumnya tewas dalam jangka waktu dua hari. Alkohol yang masuk ke tubuh, mengalami dehidrogenase (ADH) berubah menjadi asam frostat begitu diolah oleh hati. Hati akan bekerja keras mengolah zat ini, dan asam frostat yang dihasilkan menyebabkan gangguan irama jantung, shocked hingga kehilangan kesadaran. Dari penjabaran di atas, bisa kita lihat bahwa meminum miras oplosan sama saja dengan bunuh diri. Tetapi apakah mereka yang meminumnya sadar betul risiko yang akan mereka hadapi ketika meneguk minuman tersebut? Saya yakin sekali sesungguhnya, para peminum miras oplosan ini sadar akan akibat yang ditimbulkan dari minuman ini. Tetapi mereka tetap melakukan. Bagaimana peristiwa ini dimaknai dalam perspektif feminisme? Jika kita cermati seluruh korban tewas dari tragedi miras oplosan ini adalah laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menjadi jantan dan perkasa. Patriarki menyematkan beban tanggung jawab yang diluruhkan pada seluruh darah dan daging manusia biasa ini. Ditambah, paradigma modern memperlombakan kejantanan pria. Lihat saja iklan-iklan obat kuat yang bertebaran di surat kabar ataupun pinggir jalan raya. Berimpitan tempat dengan penjual batu nisan dan pasang reklame. Laki-laki dipaksa untuk menjadi yang paling jantan nan perkasa, pemberani, memberangus emosi dan tak takut mati. Laki-laki yang tewas karena miras ini adalah korban dari praktik patriarki yang menuntut mereka untuk selalu perkasa dan tak takut mati. Mereka sesungguhnya tahu bahwa dampak miras oplosan mampu memisahkan tubuh dengan ruh mereka, tetapi tetap dilakukan atas nama “tes kejantanan”, barang siapa paling jantan, dia tidak mati bunuh diri. Sama halnya dengan praktik merokok sebagai solidaritas peer group laki-laki. Beberapa teman saya mengaku hanya merokok ketika sedang berkumpul bersama teman-temannya. Rokok adalah simbolisasi dari maskulinitas dan kejantanan. Siapa yang menolaknya dianggap “tidak macho”. Ketika kejantanan dan kelaki-lakian mereka dipertanyakan, maka taruhan atas harga diri mereka juga di ujung tanduk. Eksistensi pria diukur dari maskulinitasnya. Maka mereka berlomba untuk menantang maut, membunuh emosi dan perasaan. Menjadi mesin yang jauh dari sifat lemah lembut dan kasih sayang. Karena kedua sifat tersebut tidak memiliki nilai maskulin. Benar jika lelaki berpikir dengan rasio, tetapi rasio itu membawa mereka pada jurang perlombaan maskulinitas yang tiada berujung bahkan hingga setelah mereka menikah. Maraknya penjual obat kuat dan pengobatan alternatif penyakit lemah syahwat adalah salah satu indikator. Feminisme mengembalikan esensi manusia menjadi manusia. Tidak peduli apakah jenis kelaminnya perempuan, laki-laki, kelamin ganda, transgender, transeksual, ataupun memilih tidak berkelamin/bergender. Feminisme menguliti dan melihat manusia menjadi seorang manusia dan memperlakukannya sebagai manusia. Feminisme, melalui perspektif pengetahuan pengalaman perempuan tumbuh bersama tubuhnya dengan pendekatan ethics of care, mencoba melepaskan jubah tanggung jawab dan keperkasaan pada diri laki-laki agar laki-laki bisa bangga menjadi dirinya yang penuh cinta dan kasih sayang tanpa merasa bersalah atau malu. Laki-laki diajarkan untuk berkasih dan tidak tunduk pada pacuan hidup. Feminisme mengulurkan tangan pada laki-laki untuk bersama-sama memproduksi cinta dan kasih pada sesama. Agar semua manusia bisa dianggap dan diperlakukan sebagai manusia. Lelaki tidak harus berlomba menjadi jantan, kami (perempuan) menerima lelaki yang mampu bekerja sama dan membagi kasih, kami tidak melihat kejantananmu. Perempuan melihat kasih dan sayangmu seutuhnya. Lomba Kejantanan yang kalian lakukan hanya untuk saling dipamerkan pada sesama laki-laki. Dan yang tersisa dari tragedi miras ini adalah para janda yang ditinggal suami yang tewas akibat menenggak miras oplosan. Mereka masih belum terbebas dari kemiskinan. Ditambah dengan gelar janda yang kini harus mereka semat. Beban hidup luruh pada pundak mereka. Ketika suami berlomba pesta kejantanan berujung maut, tinggallah para janda dan anak-anak mereka yang meneruskan kemiskinan dan kesengsaraan hidup mereka. Sumber: http://health.liputan6.com/read/2146759/indonesia-darurat-miras http://news.detik.com/read/2014/12/12/014701/2775176/1536/satu-lagi-korban-miras-oplosan-di-bantul-tewas http://www.tempo.co/read/news/2014/08/27/058602711/Keracunan-Miras-Oplosan-Tiga-Warga-Garut-Tewas Kopi, saya suka sekali kopi. Pembaca di sini pasti ada juga yang menyukai kopi seperti saya. Kopi berasal dari kata Kahwah kemudian menjadi Koffee dan Coffee, dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai kopi. Kopi pertama kali diperkenalkan ke Nusantara oleh Kolonial Belanda pada tahun 1830 dan menjadi komoditas ekspor utama bersama teh, gula dan indigo (nila). Kopi sempat menjadi primadona ekspor hingga tahun 1890 dan sampai sekarang pun Indonesia masih menjadi eksportir kopi nomor 2 terbesar di dunia. Jenis kopi yang pertama kali di tanam di Nusantara adalah Arabica, akibat wabah penyakit tanaman kopi yang melanda pada tahun 1860-an membuat jenis biji kopi beralih dari Arabika menjadi Robusta yang lebih resisten dari penyakit tanaman ini. Kopi dan kedai kopi bisa menjadi tolok ukur keamanan dan gairah politik serta demokrasi suatu negara. Berbeda dengan teh yang diminum dalam suasana formal. Bahkan Jepang punya tradisi upacara minum teh. Kopi diminum pada saat santai dan informal. Sekarang kita bisa dengan mudah menemukan kedai kopi dan café yang menyajikan kopi yang enak untuk sekadar bercengkerama atau melakukan lobi-lobi politik. Kopi juga pada bahasa sehari-hari bisa menjadi kata kerja yaitu ‘ngopi’ yang merujuk pada istirahat atau coffee break. Minum kopi telah menjadi kultur bagi beberapa masyarakat Indonesia hingga kini. Tengok saja Belitung, pulau asal gubernur Jakarta sekarang yang kita sapa dengan panggilan Ahok, memiliki julukan pulau dengan 1001 kedai kopi. Kopi Tarik Aceh yang terkenal, atau Kopi Papua yang menjadi primadona di lidah internasional, atau sebut saja kopi termahal di dunia, Kopi Luwak pun berasal dari Indonesia. Kebiasaan minum kopi juga dipakai menjadi nama grup lawak legendaris kita, Warkop, kepanjangan dari Warung Kopi. Menandakan betapa akrabnya masyarakat kita dengan budaya minum kopi. Di sepanjang jalan Margonda-Depok lebih dari 10 kedai kopi berupa kafe atau coffee shop berjajar saling menawarkan produk terbaiknya. Aktivitas meminum kopi identik untuk berkumpul, mengerjakan tugas bagi sebagian mahasiswa dan berbincang atau berdiskusi politik. Bandingkan jumlah kedai kopi di masa sekarang dengan masa orde baru yang populer dengan slogan stabilitas politik dan ekonominya, kedai kopi justru tidak sebanyak sekarang, karena kedai kopi sebagai ruang publik tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya. Terlebih kita tidak bisa sembarangan bicara dan berkumpul di masa itu. Bisa kita asumsikan pertumbuhan kedai kopi berbanding lurus dengan kondisi keamanan dan gairah politik demokrasi suatu negara. Karena, kedai kopi jadi sarana berkumpul yang asyik untuk membicarakan politik, melakukan rapat ataupun lobi-lobi politik. Tapi bagaimana jika kopi dilekatkan dengan nilai-nilai maskulin? Kopi hitam selalu diidentikkan dengan laki-laki jantan dan macho sedangkan perempuan lebih lekat dengan latte, minuman susu berkopi (bukan kopi-susu melainkan susu-kopi). Begitu pula kedai kopi, kedai kopi identik dengan tempat berkumpul dan mengobrolnya bapak-bapak. Karena kedai kopi ini ruang publik, sedangkan para ibu-ibu, perempuan tersisih di ranah domestik. Ibu-ibu tidak minum kopi hitam di kedai kopi dan tidak membicarakan politik. Banyak lobi-lobi politik dan ide tentang peraturan atau kebijakan berasal dari pertemuan tidak formal di kedai kopi. Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa UI misalnya, selama tiga tahun saya berkuliah, tiga kali calon dan ketua BEM terpilih adalah laki-laki. Dimana perempuan? Sosialisasi gender memisahkan pergaulan perempuan dan laki-laki. Perempuan diletakkan di ruang domestik dan laki-laki di ruang publik. Laki-laki menguasai kedai kopi, melakukan lobi-lobi politik di sana, mencetuskan ide siapa mengusung siapa dalam rapat-rapat dan perkumpulan tidak sengaja mereka di ruang publik, di kedai kopi. Alhasil laki-laki yang sering nongkrong di kedai kopi menguasai panggung politik karena mereka membicarakan dan melakukan, sedangkan perempuan tersisih menjadi sekretaris atau seksi konsumsi. Semua karena perempuan tidak hadir di warung kopi. Kebijakan untuk dipilih dan memilih dalam demokrasi Indonesia dipastikan bersifat aseksual. Sayangnya ada beberapa hambatan bagi perempuan untuk mencapai posisi puncak, salah satunya perempuan harus sering melakukan lobi politik yang tidak selalu berada di kantor, ruang sekretariat, kelas. Lobi politik ada di ruang publik dan hambatan berupa glass ceilling yang menyulitkan perempuan masuk ke posisi puncak dan mengambil keputusan adalah ketidakhadirannya dalam lobi-lobi di ruang publik tersebut. Untuk mencalonkan seseorang mejadi ketua dalam kelompok yang didominasi laki-laki maka mereka akan melakukan lobi-lobi politiknya dalam aktivitas bersama yang bersifat maskulin seperti bermain futsal bersama, bermain dotA berjamaah, sampai nonkrong di kedai kopi. Dan akibat berbagai kegiatan tersebut dicap dan diberi nilai “milik laki-laki” serta merta perempuan tersisih dan terhambat kesempatannya untuk meraih posisi puncak. Apalagi jika ditambah dengan peraturan perempuan tidak boleh keluar malam, padahal banyak lobi-lobi dan diskusi politik dilakukan di malam hari karena itu kedai kopi pun biasa buka hingga pagi hari. Tetapi perempuan tidak boleh keluar pada malam hari, sehingga perempuan lagi-lagi melewatkan kesempatanya untuk berpolitik. Jika tidak ada stimulus affirmative action bagi perempuan untuk masuk ke ranah politik, bisa diprediksi akan semakin sulit perempuan terjun ke politik. Padahal kita tahu betapa pentingnya partisipasi perempuan dalam membuat kebijakan berdasarkan pengalaman kebertubuhannya. Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Dunia teknologi dikenal sebagai dunia laki-laki. Kebanyakan definisi teknologi memiliki bias laki-laki. Sebagaimana dikatakan Judy Wajcman seperti dikutip Salim Alatas dalam “CyberFeminisme: Mencari Hubungan Teknologi, Media Baru dan Feminisme”, bahwa munculnya cyberfeminisme telah memberikan suara ke aliran baru dari teori gender yang mencakup ide-ide utopis cyberspace menjadi area bebas gender (gender-free) yang menjadi kunci bagi pembebasan perempuan. Cyberfeminis, menurut Wajcman, mengklaim bahwa internet menyediakan dasar teknologi untuk membentuk masyarakat baru dan keragaman subjektivitas yang inovatif. Teknologi digital memfasilitasi kaburnya batas-batas antara manusia dan mesin serta batas-batas laki-laki dan perempuan, yang memungkinkan pengguna untuk memilih identitas mereka, penyamaran mereka dan menganggapnya sebagai identitas alternatif. Eksplorasi identitas ini kemudian menantang pengertian tentang subjektivitas dan mensubversi fantasi maskulin yang dominan. Teknologi yang didominasi oleh laki-laki akan berkonspirasi untuk mengurangi pentingnya teknologi perempuan, seperti hortikultura, memasak, perawatan anak dan sebagainya dan kemudian mereproduksi stereotip perempuan sebagai bodoh dan tidak mampu secara teknologi. Kekuatan abadi dari identifikasi antara teknologi dan kejantanan (manliness), tidak melekat dalam perbedaan jenis kelamin biologis. Ini lebih merupakan hasil dari sejarah dan budaya konstruksi gender. Stereotip ini memengaruhi pilihan karier perempuan termasuk pemilihan bidang studi yang tidak merata dan menjadi hal yang identik. Terdapat penggolongan bidang studi di kampus, bahwa jurusan tertentu bersifat maskulin dan yang lainnya feminin, sehingga timbul pandangan bahwa perempuan yang menggeluti bidang teknik adalah perempuan tomboy. Sejak saya duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saya diperkenalkan dengan komputer, jaringan, multimedia, hardware, sofware yang kita kenal sebagai teknologi. Kemudian, saya melanjutkan studi saya di perguruan tinggi di bidang teknologi informasi. Hal itu membuat saya harus berinteraksi dengan perangkat teknologi dan mengamati perkembangan teknologi setiap hari. Saya tidak ingin ketinggalan pengetahuan mengenai perkembangan terbaru new media dengan teman-teman di kampus. Sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Informatika Universitas Gunadarma yang terkenal dengan IT-nya, saya merasa sebagai kaum minoritas. Lingkungan tersebut membuat saya menjadi kaum minoritas bukan karena jurusan yang saya pilih tidak eksis, melainkan karena hanya terdapat kurang lebih 250 perempuan dari 1000 mahasiswa teknik informatika di angkatan saya dan hanya ada 10 perempuan dari 45 mahasiswa di kelas. Persentase jumah perempuan di jurusan teknik ini sangat berbanding jauh dengan jurusan lain seperti ekonomi, akuntansi dan psikologi. Hal tersebutlah yang membangun opini publik bahwa teknologi adalah ruang laki-laki dan mengamini bahwa komputer adalah alat bagi laki-laki. Dalam hal perbandingan kemampuan, saya tentu percaya diri dan meyakini bahwa saya bisa melakukan apa yang selama ini laki-laki lakukan. Seperti merakit komputer, membangun jaringan wireless, membuat aplikasi. Saya percaya bahwa setiap orang bisa karena belajar, seperti halnya bayi ketika belajar berjalan membutuhkan proses. Jawaban atas perempuan menjadi kaum minoritas dalam dunia teknologi adalah soal pilihan dan soal perspektif yang telah terbangun sejak dahulu sebagai konstruksi sosial. Laki-laki tahu bahwa kekuatan bersumber dari penguasaan teknologi yang membuat manusia lebih mudah menyelesaikan tugas, teknologi sebagai alat bantu dan mereka mencoba menguasainya sehingga berusaha menutup ruang-ruang tersebut bagi perempuan. Indikasi tersebut dilihat sejak proses pembedaan mainan anak-anak. Anak laki-laki ketika kecil diberikan mainan mobil, pesawat, robot sehingga mereka terbiasa dengan perangkat “keras” kemudian anak perempuan diberi mainan boneka dan orang tua mereka tentu tidak akan menukar mainan anak perempuan dan laki-lakinya. Mainan seharusnya bebas nilai, tidak ada kepemilikan gender tertentu seperi halnya warna dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bebas nilai, astronomi, teknologi informasi, hukum, teknik bukan hanya ilmu laki-laki namun juga perempuan, begitu juga ilmu memasak, tata busana, psikologi bukan hanya milik perempuan. Hasil penelitian dari UNESCO untuk kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia menggambarkan bahwa perempuan belum dibesarkan dan dilatih untuk bergelut di bidang teknologi. Mitos Dewa Teknologi Hefaistos (bahasa Yunani: φαιστος, Hēphaistos) dalam mitologi Yunani adalah dewa teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi. Dalam mitologi Romawi dia dikenal sebagai Vulkanus. Hefaistos adalah putra dari Zeus dan Hera. Dia adalah dewa yang pincang. Dia beperan sebagai pandai besi bagi para dewa dan sering membuat berbagai alat dan senjata yang sangat berguna bagi para dewa. Hefaistos disembah di semua pusat industri dan manufaktur di Yunani terutama di Kota Athena. Bengkel dan pusat pemujaannya terletak di pulau Lemnos. Simbolnya adalah palu, landasan besi dan penjepit. Dia juga kadang-kadang digambarkan sedang memegang kapak. Ada kuil Hefaistos yang terletak di dekat agora di kota Athena. Hefaistos banyak membuat benda-benda ajaib untuk para dewa bahkan sebagian besar benda berkekuatan khusus dalam mitologi Yunani diceritakan dibuat oleh Hefaistos, diantaranya adalah helm dan sandal bersayap Hermes, perisai Aigis, korset Afrodit, tongkat Agamemnon, baju perang Akhilles, lonceng perunggu Herakles, kereta perang Helios, bahu Pelops, busur dan anak panah Eros, Pandora dan kotaknya, serta Talos. Hefaistos dalam budaya populer membuat mesin tiruan dari burung hantu Bubo dalam film tahun 1981, Clash of the Titans. Tokoh Hefaistos juga muncul dalam beberapa episode dari seri televisi Hercules: The Legendary Journeys dan Xena: Warrior Princess. Sebuah Planet minor yang ditemukan pada tahun 1978 oleh astronom Uni Soviet, Lyudmila Chernykh, diberi nama 2212 Hephaistos. Mitos teknologi berpihak terhadap laki-laki, dewi-dewi dalam mitos kebanyakan digambarkan memegang profesi feminin. Mitos hefaistos sebagai dewa teknologi menunjukkan superioritas laki-laki dalam profesi. Mitos tersebut memengaruhi partisipasi perempuan dalam industri teknologi. Perusahaan IT Kebanyakan dari kita tentu mengenal dan mempunyai akun google, yahoo, facebook, twitter, blogspot, kaskus, path. Tahukah kita siapakah pencipta jejaring sosial tersebut? Mereka adalah kaum laki-laki. Larry Page (Google), Jerry Yang Chih-Yuan (Yahoo), Mark Zuckerberg (Facebook), Andrew Darwis (Kaskus), Dave Morin bersama Shawn Fanning dan Dustin Mierau (Path), Jack Dorsey bersama Noah Glass, Evan Williams dan Biz Stone (Twitter), Evan Williams (Blogspot). Kemudian perusahaan yang bergerak dibidang IT seperti yang kita kenal Microsoft dan Apple juga didirikan oleh laki-laki, yaitu Bill Gates dan Steve Jobs. Begitu juga kebanyakaan dari perusahaan telekomunikasi di Indonesia direktur utamanya adalah laki-laki. Kita tentu ingat pesawat terbang pertama di Indonesia yang dibuat oleh mantan presiden B.J. Habibie dan tim diberi nama Gatotkaca. Kemudian sebagian saham maskapai Garuda Indonesia dimiliki oleh Chairul Tanjung. Meskipun perusahaan industri didominasi laki-laki, kita perlu bangga terhadap ibu Susi Pudjiastuti yang menjadi CEO maskapai Susi Air, yang membuktikan eksistensi perempuan di bidang teknologi. Jumlah perempuan di industri teknologi begitu minim, menurut Pusat Nasional untuk Perempuan dan Teknologi Informasi, hanya ada 6 persen perempuan yang menjadi kepala eksekutif dari 100 perusahaan teknologi. New York Times menemukan bahwa hanya 8 persen dari startups usaha yang didukung dan didirikan oleh perempuan. Saya memperhatikan RRT akhir-akhir ini, industri perdagangan di bidang teknologi mereka berkembang pesat dan kebanyakaan pekerja atau bisa saya sebut buruh teknologinya adalah perempuan. Perempuan banyak dipekerjakan sebagai perakit komputer, tukang solder dan packaging barang. Mereka hanya menginginkan pekerja perempuan karena dinilai perempuan dapat bekerja lebih teliti dan rapi. Bukan hanya di bidang teknologi namun di bidang konveksi perempuan juga banyak menjadi buruh pabrik. Dalam proses penggunaan teknologi seperti media sosial saya tentu tidak meragukan bahwa perempuan perkotaan turut terlibat. Media online lainnya yang sangat fleksibel adalah e-banking, online shop, online ticket reservation. Media online tersebut membantu memperbaiki pelayanan publik jauh lebih baik dan cepat. Tentunya perempuan bisa memanfaatkan itu untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan perempuan, seperti online shop untuk bisnis ekonomi kreatif. Pemanfaatan teknologi yang tidak arif Hari ini semua orang menggunakan teknologi yang fungsinya memudahkan komunikasi jarak jauh, lintas negara dan benua. Dengan hadirnya teknologi wifi, internet, cloud computing, robotic, media sosial, dll, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup manusia agar lebih baik. Boleh jadi teknologi itu diciptakan oleh laki-laki namun perempuan juga dapat merasakan manfaatnya secara menyeluruh. Seperti halnya perempuan kini dapat mengakses informasi dengan cepat karena adanya internet, semua pekerjaan domestik perempuan dapat dipermudah dengan adanya mesin cuci, pemanggang makanan, penyedot debu dan perangkat rumah tangga lainnya. Teknologi menjadi sebuah kegagalan modernitas jika ia tidak dapat menyelesaikan masalah sosial yang ada. Mulai dari masalah pertahanan negara, kemiskinan, pengangguran, sampah, transportasi dsb. Seharusnya teknologi bisa menyelesaikan itu. Fenomena yang ada berkaitan dengan pengaruh besar teknologi terhadap eksistensi manusia di lingkunganya. Siapa yang menguasai teknologi maka dia menguasai pasar, maka dia menguasai ekonomi, maka dia di level stratifikasi teratas. Salah satu contoh yang banyak terjadi di lingkungan mahasiswa adalah berkaitan dengan handphone. Handphone menjadi ukuran kelas seseorang. Sebagai seorang mahasiswi teknik saya pernah menanyakan kepada seorang teman mengenai alasan dia membeli hp merk Apple. Saya bertanya “kenapa kamu memilih membeli handphone itu, padahal gak bisa bluetooth kalau berbeda brand, kan jadi susah kalau mau transfer file?”. Kemudian teman saya menjawab “karena sedikit yang pakai handphone ini, kalau aku pakai terlihat eksklusif”. Saya cukup kecewa mendengar jawaban teman saya seperti itu, padahal dia bisa menjawab dengan lebih baik, misal dengan menyebutkan spesifikasi kamera, memori maupun prosesor yang digunakan sehingga lebih terasa rasional. Kemudian saya banyak bertanya kepada teman-teman saya yang lainnya, jawabannya hampir sama yaitu eksklusivitas pada merk handphone tertentu. Jika ditanyakan lebih lanjut apa yang mereka lakukan setiap harinya dengan hp yang rata-rata harganya 4-5 juta itu, jawabannya adalah akses media sosial sepanjang hari. Bahkan suatu ketika saya pernah pergi makan dengan teman-teman dan masing-masing sibuk dengan gadget yang membuat komunikasi face to face terasa jauh dibandingkan dengan komunikasi di dunia maya. Belum lagi merenggangnya interaksi antara orang tua dan anak, kakak dan adik karena penggunaan teknologi handphone yang tidak arif. Belum selesai dengan penggunaan handphone, kita beralih dengan penggunaan mobil yang berdampak pada kemacetan, kemudian plastik yang membuat munculnya fenomena sampah. Pemanfaatan teknologi yang tidak arif bukan hanya berdampak terhadap penurunan kualitas manusia namun juga berdampak pada alam. Manusia sudah menumpang hidup dengan alam namun merusaknya dengan alasan teknologi dan modernitas. Seharusnya teknologi menjadi alat pembantu bagi manusia bukan sebaliknya teknologi yang memperbudak manusia. Bukan teknologi yang tidak adil namun manusia selalu ingin menguasai. Kita tidak bisa memungkiri perubahan sosial yang ada bahwa teknologi menjadi sebuah kebutuhan, yang harus dilakukan adalah memfungsikannya secara maksimal dan mengontrol diri dari perbudakan teknologi. Pemanfaatan teknologi yang dilakukan secara tidak arif akan berdampak negatif terhadap manusia, terhadap ekologi dan terhadap keseimbangan alam. Daftar Referensi: https://salimalatas.wordpress.com/2013/11/02/cyberfeminisme-mencari-hubungan-teknologi-media-baru-dan-feminisme/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2014, 23.00 Wib) http://nacculla.wordpress.com/2013/12/04/dewa-dewi-dalam-mitologi-yunani/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2014, 23.00 Wib) Pagi itu berlalu seperti biasa, bangun pagi, mandi, berangkat ke kantor, buka laptop, cek email kantor, buka browser, cek Facebook, Twitter, Tumblr, LinkedIn. Semua saya lahap pagi-pagi karena saya bukan orang yang bisa tertib untuk membuka media sosial sore hari sekitar satu atau setengah jam sebelum jam pulang kantor. Scrolling down salah satu media sosial yang membuat seorang mahasiswa Harvard yang di DO menjadi salah satu laki-laki terkaya di dunia, sampailah saya pada satu artikel yang dibagikan oleh teman media sosial saya; “Wapres Ingin Jam Kerja Pegawai Perempuan Dikurangi Dua Jam.” (Kompas.com, Kamis, 27 November 2014). Saya sadar yang terjadi pada wajah saya saat itu adalah mengerutkan kening sambil tersenyum dengan mengangkat sudut bibir kanan saya. Sinis? Memang. Kebijakan berat sebelah manalagi yang akan ditetapkan oleh negara? Setelah ada tes keperawanan yang menjadi kebijakan internal di Kepolisian, sekarang perempuan harus mau dikurangi jam kerjanya untuk menjadi satu-satunya pihak yang akan disalahkan jika anak salah didik? Banyak hal yang muncul di kepala saya mengenai wacana itu (untung saja ini baru wacana), salah satunya keadilan. Menurut saya, ini bukan hanya diskriminasi antara pegawai perempuan dan laki-laki. Tapi, ini juga tidak adil untuk para perempuan sendiri. Pegawai perempuan yang jam kerjanya dikurangi dua jam adalah perempuan yang sudah memiliki anak pastinya, lalu bagaimana dengan perempuan yang masih single atau yang menikah dan belum memiliki anak? Hal lain yang ada di pikiran saya adalah mengapa tanggung jawab atas pendidikan anak itu hanya dilimpahkan kepada ibu? Dengan konsekuensi jika ada kegagalan disana, perempuan menjadi orang pertama bahkan mungkin satu-satunya pihak yang akan disalahkan. Dalam artikel yang saya sebutkan diatas, tidak ada dituliskan sama sekali bahwa bapak juga memiliki peranan penting dalam hal masa depan dan pendidikan anak. Saya sebagai perempuan, jelas menolak jika wacana tersebut dijadikan kebijakan oleh negara. Tidak perlu ada perbedaan jam kerja hanya karena takut masa depan anak bangsa akan tercecer entah kemana. Ketakutan itu akan lebih baik diatasi dengan memberikan jaminan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak bangsa. Kualitas guru dan sekolah yang diperbaiki, infrastruktur sekolah di kota sampai di pelosok dibenahi dan diperhatikan dengan baik, kurikulum sekolah segera ditetapkan dan meminimalisasi perubahan-perubahan kurikulum (yang selalu menjadikan anak-anak sekolah sebagai kelinci percobaan untuk kurikulum baru) tiap tahunnya. Jika memang masih dirasa jam kerja perlu dikurangi, maka kurangilah jam kerja orang tua, kedua orang tua dan bukan hanya jam kerja ibu. Bagi saya, tidak ada istilah pendidikan dan masa depan anak adalah tanggung jawab ibu seorang, bapak dan ibu memegang peranan yang sama pentingnya untuk anak; memberikan perhatian, pendidikan, menyiapkan masa depan, dan lain sebagainya. Kecuali para ibu sebagai single parent. Dua peran sekaligus yang ia mainkan di dalam keluarga, dan pasti semua akan dia berikan untuk anak tercinta; kenyamanan, rasa aman, pendidikan, masa depan, segalanya. Satu contoh dari sekian banyak ibu single parent hebat di sekitar kita, Rima Novianti, Komisaris PT Multi Terminal Indonesia. Seorang ibu single parent dengan 4 orang anak. Ia tetap bisa meluangkan waktu untuk keempat anaknya, meski dari jam 5 pagi pun ia sudah harus sampai dan mengatur kegiatan di pelabuhan. Orang tua hanya perlu menjadi smart worker disini, bukan untuk didiskriminasi jam kerja atau peranannya dalam keluarga. Dalam sudut pandang saya, saya sebagai perempuan hanya ingin adanya kesetaraan, sama, seimbang dengan laki-laki. Tak perlu muluk untuk ingin melebihi laki-laki, cukup mendapat posisi yang seimbang yang juga didukung oleh pemerintah saja sudah menjadi hal baik untuk perempuan di Indonesia ini. Semoga saja wacana ini akan tetap menjadi wacana semata, dan jika wacana ini dijadikan kebijakan oleh negara maka jelaslah sudah negara kita ini memang negara yang setengah-setengah, seperti meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai butir pertama dalam Pancasila, namun pada praktiknya isu-isu agama yang melanggar hak asasi manusia tidak pernah mencerminkan butir pertama dari Pancasila itu. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |