Pertama-tama saya ucapkan selamat kepada kawan saya, Maria Sucianingsih dan Asep Nanda yang telah melahirkan karya-karya fotografinya “Mengeja Asmat” bersama empat fotografer lainnya. Di dalam galeri Balai Soejatmoko selama enam hari sejak 17 Juni 2015, mereka menceritakan kembali pengalaman pendampingan yang mereka lakukan di suku Asmat melalui catatan visual. Saat potret Asmat dibawa ke ruang Balai Soejatmoko, kehidupan Asmat dan kota-kota di Pulau Jawa memang dua hal yang tidak dapat dibandingkan. Masyarakat Asmat masih hidup berdampingan langsung dengan alam dan dibesarkan oleh alam. Alam bebas adalah rumah mereka, tempat bermain, produsen sumber makanan dan dikonsumsi dengan berburu dan meramu. Alam sebagai rahim yang menjamin keberlangsungan hidup mereka secara langsung dan tempat tumbuh berkembang sejak masa anak-anak. Sedangkan kota-kota sudah disifatkan sebagai kota layak anak, kota kreatif, kota shalawat, kota budaya dan penyifatan lainnya. Pelayanan publik sudah sangat dekat dengan masyarakat, gedung-gedung bertingkat tinggi mulai tumbuh subur di kota-kota metropolitan, jalan kota mulai berubah menjadi hutan reklame, anak-anak semakin akrab dengan teknologi dan dunia maya sebagai ruang bermainnya dan keberadaan “Ruang Terbuka Hijau” ramah anak menjadi semakin minim. Hal-hal tersebut menjadi keniscayaan dari globalisasi dan modernisasi. Lewat foto-fotonya Maria Sucianingsih dan kawan-kawan ingin menyuarakan bahwa masih ada ketimpangan di Indonesia, baik dalam hal pemerataan pembangunan antara Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur pada khususnya. Alam dan Perempuan Sekilas foto-foto yang dipamerkan terlihat menyoal kegiatan, kehidupan sosial ekonomi, dan budaya Asmat. Namun, jika dilihat lebih mendalam ada nafas ekofeminisme dalam foto-foto yang dipamerkan. Perempuan-perempuan Asmat sangat dekat dengan alam, care giver dalam keluarga juga sebagai ibu dari alam yang merawat alam secara lebih baik dari laki-laki. Dan sebaliknya, alam merupakan ibu bagi penghuninya, rahim kehidupan yang secara langsung menyediakan kebutuhan manusia. Dalam foto yang berjudul “Lingkaran di Rumah Tuhan”, Maria mendapati anak-anak perempuan Asmat yang putus sekolah memiliki kesempatan belajar di bangku nonformal rintisan seorang misioner. Dari belakang jendela bidik, Maria melihat anak-anak perempuan Asmat dipercaya sebagai kunci berkembangnya suatu kampung sebab perempuan dipandang secara alami mampu mengenal alam. Dalam catatan visual yang menampilkan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan peserta program pendampingan yang dilakukan Delegatus Sosial (DELSOS), terlihat perempuan Asmat menjadi pelaku tunggal dalam menghidupi suku Asmat dengan upaya kesetaraan gender yang tengah mereka perjuangankan. Perempuan Asmat setiap harinya harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak mereka, mulai dari mencari ikan sampai pada mencari pohon sagu yang tua, menebang pohon sagu dari hutan, memasak dan menyajikan termasuk mengambil air sungai untuk keperluan minum keluraga. Perempuan Asmat dianalogikan oleh Dewi Candraningrum (2015) sebagai ibu yang mengandung pohon, melahirkan pohon, menyusui pohon dan mempersembahkannya kepada kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan alam itu, selama mereka beraktivitas dekat dengan dan/atau di dalam alam berlandaskan nilai-nilai leluhur. Cerita tentang kedekatan alam dan perempuan juga muncul di Rembang, Jawa Tengah dalam upayanya menyelamatkan karst Kendeng. Para perempuan Kendeng tinggal di dalam tenda selama 365 hari untuk melawan pembangunan pabrik semen bercorak kapitalis. Mereka rela dianggap melakukan tindak kejahatan sehingga tak luput dari tindak kekerasan aparat. Padahal sebagai ibu dari peradaban, perjuangan perempuan Rembang merupakan upaya mempertahankan rahim bumi dan kehidupan berkelanjutan. Perempuan Rembang menjadi kunci keselamatan ekologi. Relasi ekologi dan sosial telah tergenderkan dalam lanskap sejarah patriarki yang menjadi musuh bersama para perempuan yang tersingkirkan, atau alam yang dieksploitasi (Dewi Candraningrum, 2014). Kapitalisme dan pemanasan global menggeser konsep ibuisme, dimana saat ini peran dan fungsi gender perempuan telah mampu ikut bernegosiasi di ranah publik memperjuangkan keselamatan lingkungan hidup. Anak dan “Rumah Ibu” Selain persoalan kompetisi dengan alam, perempuan Asmat hidup di tengah himpitan persoalan dan beban hidupnya akan melahirkan dan merawat generasi penerus Asmat. Kemiskinan kultural merupakan tantangan terbesar perempuan Asmat dalam memenuhi kesehatan reproduksinya, ketahanan pangan dan kecukupan gizi keluarga. Namun, mereka tetap menjadi rahim kehidupan keluarga. Dibalik foto yang berjudul “Cinta” dan “Tiga Cahaya”, Maria Sucianingsih menyebutkan bahwa perempuan adalah rahim keluarga, anak adalah cahaya dan cinta adalah energi penggeraknya. Sejalan dengan hal itu, alam yang mengalami deforestasi karena tuntutan kehidupan yang semakin besar tidak mampu berjalan lurus dengan peningkatan kesejahteraan sosial penduduk, sehingga tindak kekerasan dan kriminalisasi mudah terjadi dalam kehidupan masyarakat kota. Kekerasan menjadi sebuah pola, artinya kekerasan yang telah diperoleh seorang individu dapat kembali untuk dilakukan oleh korban kekerasan kepada individu lain. Kekerasan kepada alam yang lekat dengan deforestasi dan maskulinitas menimbulkan dampak korban yang sebagian besar adalah perempuan, baik menyoal kesehatan reproduksi prempuan, ketahanan pangan keluarga dan kesejahteraan sosial. Faktor ekonomi merupakan salah satu pendorong lahirnya tindak kekerasan. Tahun 2014 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 2.759 kasus dengan prosentase 58% di dalamnya merupakan kekerasan seksual dan kasus tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebanyak 3.339 kasus dan 52% di dalamnya merupakan tindak kekerasan seksual (Media Indonesia, 12 Juni 2015). Dewasa ini pun, pemberitaan pembuangan bayi dapat kita konsumsi setiap hari dan nama Angeline tengah ramai diperbincangkan selama Juni 2015. Kita telah lupa bahwa sebelum Angeline, kasus kekerasan terhadap anak dan menyedot perhatian publik pernah terjadi di tahun 1984. Kisah nyata Ary Anggara anak laki-laki berusia 8 tahun yang tewas di tangan ayahnya diangkat dalam film layar lebar. Anak sebagai permata hati sekaligus ada anggapan anak sebagai “milik”, membuat orang tua kerap kali merasa berhak melakukan kekerasan terhadap anaknya. Ibu yang melakukan tindak kekerasan adalah korban dari dirinya sendiri saat tak mampu melepaskan diri dari tekanan hidup yang terjadi serta tidak adanya lingkungan sosial yang menolongnya (Clarinda, 2012). Anak-anak korban kekerasan yang semestinya memiliki masa depan yang masih panjang dan cerah harus menanggung trauma kekerasan sedalam dan selama hidup korban. Seyogyanya, ibu laksana rumah jiwa bagi anak-anaknya. Daftar Pustaka: Candraningrum, Dewi. “Politik Rahim Perempuan Kendeng Menolak Tambang Semen”. http://www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrum-politik-rahim-perempuan-kendeng-menolak-tambang-semen. Candraningrum, Dewi. “Rahim Asmat”. http://www.jurnalperempuan.org/blog/rahim-asmat Clarinda, Regina.2012. Mama Jangan Pukul Aku... Buku Penuntut untuk Kesembuhan Luka Batin. Gramdesia: Jakarta. Media Indonesia. 12 Juni 2015. Darurat Perlindungan Anak. Milastri Muzakkar (Penulis Buku Perempuan Pembelajar dan Calon Ibu) [email protected] “Duh... letih, lemah, lesu dan el, el, lainnya. Malas ngapa-ngapain, pengennya tidur mulu di kasur.” Kita mungkin sering mendengar kalimat itu, terutama datang dari perempuan yang baru hamil muda (trimester pertama). Di masa ini juga dikenal dengan istilah “ngidam” yang kerap menimbulkan kepala pusing, perut mual, muntah-muntah, menginginkan hal-hal tertentu, dan beberapa perilaku “unik” lainnya. Sampai batas tertentu, hal-hal di atas dapat dimaklumi. Sebab, saat perempuan hamil, kondisi psikis dan fisiknya mengalami perubahan. Kepribadian, latar belakang kehidupan, dan lingkungan, adalah beberapa hal yang memengaruhinya. Namun menjadi tidak biasa, jika kehamilan membuat perempuan menderita dan sengsara. Wah… ini jelas sudah tak biasa. Berpikir dan Berperilaku Bersih Kehamilan adalah momen yang sangat dinanti oleh sebagian besar orang. Tak hanya bagi perempuan, tapi juga suami dan keluarga besarnya. Kehamilan adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sebuah pengalaman spiritual tentang drama penciptaan manusia. Namun, meski diinginkan banyak orang, tak semua perempuan dapat mengalami pengalaman ajaib, misterius, namun indah ini. Bukannya Tuhan diskriminatif, tapi barangkali kita perlu berpikir positif bahwa Tuhan selalu lebih tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Ia tahu kemana “amanah” itu perlu dititipkan. Tetap optimis adalah pilihan yang cerdas. Sebab kehamilan adalah masa istimewa, maka perlu dihadapi dengan istimewa pula. Memang, kehamilan menyebabkan perubahan psikis dan fisik, yang mungkin tak pernah terjadi dalam hidup kita sebelumnya. Perubahan bentuk badan, kulit menjadi lebih hitam dan timbul bintik-bintik di beberapa bagian tubuh, adalah beberapa ciri yang nampak secara fisik. Sementara perubahan secara psikis dapat dilihat dari emosi yang cenderung labil, sensitif, manja, cepat merasa capek dan malas melakukan apapun. Sekali lagi, perubahan-perubahan di atas sampai batas tertentu masih wajar. Namun, jangan lupa, tidak semua perempuan hamil mengalami keluhan-keluhan semacam itu. Beberapa bahkan tak mengalami keluhan apapun, tak ubahnya sebelum hamil. Saya salah satunya. Alhamdulillah, saya tak mengalami masa ngidam, tak ada muntah-muntah, dan tetap aktif berkegiatan seperti sebelumnya. Yang berbeda hanya intensitas, pemilihan jenis kegiatan, dan lebih hati-hati tentunya. Menurut hemat saya, paling tidak ada dua hal yang perlu kita kedepankan saat merencanankan dan menjalani kehamilan. Pertama, kita perlu berpikir bersih atau berpikir positif. Bukan hanya keadilan yang dimulai sejak dalam pikiran seperti kata Pramoedya Ananta Toer, tapi juga kebersihan. Berpikir bersih bahwa Tuhan memercayakan amanah berupa “ruh” yang nantinya akan menjadi khalifah (perwakilan) Tuhan di dunia. Sebuah amanah besar dan spektakuler. Karena itu, mempersiapkan dan menjaga sebaik-baiknya adalah jalan yang harus ditempuh sebagai rasa syukur dan pertanggungjawaban kita kepada Sang Pemberi amanah. Berpikir bersih juga menuntut konsekuensi untuk selalu berpikir positif menghadapi tantangan yang mungkin datang selama masa kehamilan. Perubahan psikis dan fisik yang disebutkan tadi bukanlah penderitaan, tapi justru dijadikan tantangan yang perlu dinikmati. Bayangkan, hal-hal “unik”, seperti, menjadi manja padahal sebelumnya mengganggap diri sebagai perempuan independen, sering menangis padahal sebelumnya cuek dan garang, wajah yang tadinya putih bersih menjadi jerawatan, badan langsing semampai pun berganti menjadi perut buncit. Selama sembilan bulan perempuan hamil ditantang untuk menghadapi semua itu. Tergantung kepada sang perempuan, mau menjadikannya sebuah siksaan, atau menikmatinya seraya tampil percaya diri bahwa tantangan seperti itu tak akan mengurangi kualitas sejatinya sebagai perempuan. Tapi justru menjadi perempuan yang lebih istimewa dan beruntung dapat mengalami pengalaman yang luar biasa ini. Tantangan terbesar bagi perempuan hamil sebenarnya saat diuji dengan keadaan yang kurang beruntung. Misalnya, bertepatan saat hamil, kita kekurangan ekonomi sehingga tak mampu membeli makanan atau perlengkapan yang dapat menunjang kesehatan, tidak ditemani oleh orang-orang terdekat karena tinggal atau bekerja di kota yang berbeda, di kantor dihadapkan dengan tumpukan masalah, dan masih banyak lagi. Perubahan hormon yang mendorong rasa cepat sedih, lemah, dan terpuruk, harus segera diatasi dengan berpikir bersih dan positif. Memang tidak gampang, namun tak berarti mustahil bukan? Kita perlu berpikir, barangkali Tuhan menganggap kita kuat dan mampu melewati ujian ini. Kualitas kemanusiaan kita juga mungkin akan bertambah setelah melewati masa-masa ini. Kita hanya perlu terus berusaha membersihkan hati dan pikiran seraya berdoa agar diberi kemampuan melewati dan mengambil pelajaran darinya. Seraya berpikir bersih, hal kedua yang perlu kita lakukan adalah berperilaku bersih. Ini tak kalah pentingnya selama masa kehamilan. Sedikit saja kita lalai menjaga kebersihan, berbagai macam penyakit segera menyerang. Kesehatan ini berlaku baik di dalam maupun di luar tubuh kita. Selama masa kehamilan, kita membutuhkan asupan gizi yang cukup dan ditunjang dengan lingkungan bersih tentunya. Pemilihan makanan dan perilaku hidup sehat adalah kuncinya. Jika sebelumnya kita adalah penikmat junk food atau makanan jajanan pasar lainnya, sebaiknya selama masa kehamilan lupakan dulu jenis makanan itu. Akrablah dengan sayuran berbagai macam warna, buah-buahan segar, ikan, telur, tahu, tempe, daging, dan air putih. Kacang-kacangan, susu hamil (sebaiknya susu khusus ibu hamil) vitamin (sesuai anjuran dokter), madu, dan kelapa muda, adalah pelengkap yang sempurna. Setelah makanan dan minuman tersedia, perhatikan juga cara mengolahnya. Untuk lauk-pauk sebaiknya direbus atau dipanggang untuk mengurangi penggunaan minyak yang mengandung kolesterol. Waktu memasaknya pun cukup sebentar saja dan di atas nyala api kecil. Hal ini untuk menjaga kandungan vitaminnya. Makanan dan minuman sehat saja tak cukup, harus diimbangi dengan gerak tubuh yang cukup. Hamil bukan berarti lebih banyak bermalas-malasan di tempat tidur atau depan televisi. Usahakan tetap bergerak aktif. Jalan pagi dan dan sore, serta melakukan gerakan-gerakan ringan lainnya perlu untuk membugarkan tubuh. Yoga atau relaksasi juga bisa menjadi pilihan. Jika tak mampu membayar kelas yoga, mendengar musik di handphone atau di laptop adalah pilihan lain. Berjalan-jalan di sekitar sawah, kolam ikan, atau air mancur, untuk mendengar gemercik air sambil memandangi indahnya pemandangan alam juga dapat menjadi pilihan. Cara relaksasi yang mudah, lebih alami dan murah. Kebersihan lingkungan sekitar jangan sampai terabaikan. Perhatikan seluruh bagian rumah kita, khususnya kamar tidur dan toilet. Jangan sampai debu dan sampah mengundang penyakit untuk kita. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, serta setelah melakukan aktifitas apapun adalah hal kecil yang sering terlupakan. Menurut Ariani Dewi Widodo, dokter spesialis anak, penelitian menunjukkan 60 persen masyarakat Indonesia tidak mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Sementara dari 40 persen yang mencuci tangan, hanya 10-15 persen yang menggunakan sabun. Ariani juga menjelaskan cara mencuci tangan yang benar harus melewati enam langkah, yaitu: telapak tangan dibersihkan dengan sabun, punggung tangan, sela-sela jari hingga kuku, kunci kedua tangan di antara sela-sela jari, lalu putar dengan gerakan tangan kiri ke kanan dan sebaliknya, dan putar untuk membersihkan jari tangan. (Baca: Kompas.com, 8/12/14) Setelah calon ibu memastikan bersih luar-dalam, calon bayi di dalam kandungan pun sangat mungkin tumbuh sehat. Pun sebaliknya, jika calon Ibu tak peduli kebersihan, jangan berharap banyak calon bayi akan tumbuh sehat pula. Pendidikan Sejak Dini Sadarkah kita bahwa apapun yang calon ibu pikirkan, rasakan, dan lakukan selama masa kehamilan akan memengaruhi tumbuh kembang sang calon bayi? Kata orang bijak, kalau mau melihat gambaran seorang anak, maka lihatlah ibunya saat mengandung. Yah, tentu tak lepas dari peran sang bapak juga. Jika sejak masa kehamilan, ibu dan bapak menjaga kebersihan dengan benar, dengan sendirinya calon anak pun telah belajar kepada orang tuanya. Pendidikan tentang kebersihan, keindahan dan kedisiplinan sudah harus ditanamkan sejak di dalam kandungan, dan dikuatkan setelah sang anak lahir ke dunia. Jelaslah bahwa masa kehamilan adalah “kado istimewa” yang diberikan kepada perempuan-perempuan istimewa pula. Karenanya, menjaga dan menikmatinya adalah pilihan tepat. Jika ingin mencetak generasi masa depan yang berkualitas, maka mulailah sejak dalam kandungan. Bukankah bangsa yang besar bisa terwujud karena generasi yang sehat luar dalam? Jadi, beruntung dan berbanggalah para ibu yang mampu mencetak generasi bangsa yang besar. Kepada mereka, pantaslah kita mengucapkan, selamat hari ibu! |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |