“If it’s right for men to fight their freedom, then it’s right for women to fight theirs”, Maud Watts. Suffragette mengambil latar belakang Inggris tahun 1912 ketika masyarakat Inggris berubah menjadi masyarakat kapitalis. Film ini bermula dari Maud Watts (Carey Mulligan), perempuan Inggris kebanyakan di zamannya. Perempuan menikah dengan satu anak yang bekerja di sebuah industri laundry. Maud tidak sendirian, tapi banyak perempuan Inggris saat itu yang seperti dirinya. Awalnya hidupnya biasa saja, tidak ada yang istimewa dengan rumah tangganya. Namun cerita berubah ketika dia mulai terlibat sebuah gerakan perempuan yang sebagian anggotanya adalah buruh. Gerakan perempuan ini banyak mendapat pengaruh dari Emmeline Pankhurst (Meryl Streep)—pendiri Women’s Social and Political Union. Suffragette sendiri adalah gerakan yang menuntut hak suara bagi perempuan yang muncul pada dekade kedua abad XX di Inggris. Maud awalnya tidak terlalu tertarik dengan gerakan ini, dia hanya ingin menjadi perempuan Inggris pada umumnya yang fokus pada kehidupan rumah tangganya. Namun perkenalannya dengan rekan kerjanya, Violet Miller (Anne-Marie Duff) mengubah cara pandangnya. Violet berhasil memprovokasi Maud untuk terlibat dalam gerakan ini. Sampai kemudian dia memberikan testimoni di depan dewan kota London. Sebenarnya dia tidak sedang bertestimoni, namun mengisahkan hidupnya. Umur 4 tahun Maud diajak bekerja sambil dibopong ibunya. Ya, ibu Maud adalah perempuan yang sama dengan dirinya yang bekerja di laundry. Menginjak usia 12 tahun ia sudah bekerja secara paruh waktu dan diumur 14 bekerja secara penuh. Maud menceritakan sistem upah kerja yang tidak berkeadilan gender, dimana perempuan dituntut bekerja lebih lama namun menerima upah jauh lebih rendah dari laki-laki. Tanpa diduga kejujurannya dalam menceritakan pengalaman hidupnya semakin membuatnya terlibat jauh dalam Suffragette. Maud merasa lingkungannya harus berubah! Hidup Maud semakin rumit karena suaminya tidak mendukungnya terlibat dalam gerakan suffragette–kebanyakan pria saat itu memang tidak mendukung gerakan perempuan. Sajian Suffragette bak visualisasi karya Sylvia Walby Theorizing Patriarchy sekaligus Sexual Politic-nya Kate Millet. Menurut Sylvia Walby meskipun masyarakat Inggris telah berubah sejak Revolusi Inggris di medio abad 17, namun patriarki masih bercokol dengan kuat. Kapitalisme dan negara menjadi instrumen baru yang mengokohkan dominasi patriarki. Tesis Sylvia menyatakan dalam masyarakat kapitalis Inggris yang terjadi adalah pergeseran dari patriarki privat ke patriarki publik. Terjadi perluasan wilayah opresi terhadap perempuan yang terjadi di luar rumah secara kolektif. Maud hanya salah satu contoh dari kehidupan perempuan Inggris yang masyarakatnya menjadi kapitalis. Kapitalisme dan patriarki berkolaborasi menindas perempuan dengan dalih buruh murah. Walby menjelaskan salah satu dari enam struktur patriarki adalah relasi upah kerja—dalam teori Walby enam sistem patriarki adalah relasi patriarki-upah kerja, relasi patriarki-produksi rumah tangga, relasi patriarki-budaya, relasi patriarki-seksualitas, relasi petriarki-kekerasan, relasi patriarki-negara—yang membuat Maud harus menerima perlakuan tidak adil dalam sistem upah. Disini Maud dan banyak buruh perempuan Inggris saat itu mengalami eksploitasi. Tidak hanya itu relasi patriarki-kekerasan juga berlangsung dalam lingkungan kerja. Maud menyaksikan kekerasan seksual di lingkungan kerjanya yang dilakukan atasannya yang laki-laki—dia pun pernah mengalaminya dimasa mudanya. Suffragette secara tidak langsung membawa penonton memahami karya Kate Millet Sexual Politic, terutama pada penjelasannya tentang fase pertama revolusi seksual. Tujuan dari revolusi seksual adalah menghancurkan institusi patriarki. Millet pun melihat masyarakat Inggris yang sejak 1830 mengalami perubahan, yakni tumbuhnya kelas menengah—fase revolusi seksual menurut Kate adalah tahun 1830-1930, sementara 1930-1960 terjadi kontra revolusi. Kapitalisme di Inggris tumbuh seiring industrialisasi yang masif. Perempuan mulai keluar dari wilayah domestiknya dan menjamah ruang publik. Salah satu ciri awal fase revolusi politik adalah mengubah struktur patriarki melalui politik, pendidikan dan sistem kerja. Suffragette atau hak suara yang menjadi isu utama dalam film ini diperoleh di Inggris tahun 1918. Hak-hak politik perempuan Inggris terus mengalami kemajuan sampai tahun 1930-an, tahun 1925 hak asuh anak diberikan kepada perempuan, di tahun yang sama hak perempuan sepenuhnya diberikan sama dengan hak laki-laki. Kemudian dalam pembabakan Millet setelah tahun 1930-1960 adalah kontra revolusi. Tesis yang diajukan adalah rezim fasis Jerman dan sosialis Soviet. Bagi Nazi perempuan hanya berfungsi sebagai pelayan negara dan keluarga, tidak lebih mengurus anak dan suami. Sebagaimana ungkapan “The German girl is state subject and only becomes a State Citizen when she marries”. Film ini tidak banyak didukung aktris atau aktor dengan nama besar. Sebagai film yang bernuansa feminis, tokoh laki-laki dalam film ini tidak begitu ditonjolkan. Meryl Streep yang berperan sebagai Pankhrust tidak terlalu dimaksimalkan. Dia hanya tampil beberapa scene, namun tidak cukup berdampak. Bisa jadi karena fokus cerita ini adalah Maud Watts sebagai salah satu perempuan Suffragette. Untungnya Carey Mulligan cukup bagus membawakannya, meskipun belum sempurna. Nama besar lainnya yang tampil dalam film ini adalah Helena Bonham Carter–aktris pendukung terbaik BAFTA 2011 lewat King’s Speech--sebagai Edith Ellyn, seorang terpelajar yang membuka toko obat dan menjadi mentor bagi Maud. Kemunculan Edith dalam film ini memberikan nuansa perjuangan feminis gelombang pertama di Inggris semakin kental. Secara keseluruhan penggarapan film yang dibesut sutradara perempuan Inggris Sarah Gavron–karya menonjolnya Brick Line (2007) yang masuk nominasi sutradara terbaik BAFTA 2007—tidak memberikan plot yang rumit. Salah satu plot utamanya adalah konflik yang dialami Maud. Dilema Maud setelah tergabung dalam gerakan perempuan adalah kehidupan rumah tangganya menjadi pertaruhan. Sutradara tidak hanya memberi ruang eksplorasi pada Maud, namun masing-masing feminis dalam film ini. Violet harus bernegosiasi dengan kondisinya sebagai orang tua tunggal. Edith Ellyn, sang dokter meskipun mendapat dukungan penuh suaminnya namun juga harus keluar masuk penjara. Masing-masing feminis dalam film ini ditonjolkan kehidupan pribadinya untuk memperkuat nilai perjuangan feminis. Namun demikian kalau film ini didedikasikan untuk perjuangan suffragette kurang begitu dramatis. Harusnya sutradara bisa lebih melakukan eksplorasi adegan dalam menggambarkan perjuangan feminis gelombang pertama. Misalnya ketika Maud dan feminis yang lain mendapat represi, mulai dari pemukulan dan pemenjaraan bisa lebih menghasilan efek dramatis. Jadi perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak politik sebagaimana saat ini harus ditempuh dengan keringat darah. Adegan terakhir yang seolah menunjukan klimaks dari perjuangan suffragette hanya dibiarkan begitu saja. Namun setidaknya Suffragette adalah visualisasi gerakan feminis gelombang pertama. Sedikit dari film yang mengeksplorasi sejarah feminisme! Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] Di dalam suatu rumah tangga dapat terjadi ketidakharmonisan yang diakibatkan oleh faktor sosial, ekonomi, budaya ataupun lingkungan. Ketidakharmonisan tersebut dapat menciptakan tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dijelaskan bahwa: 1) Kekerasan fisik adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 2) Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan seksual meliputi pertama, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kedua, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga masih saja bak gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja padahal tumpukan-tumpukan itu ada tapi tertutup air dimana ketakutan akan aib keluarga menjadi salah satu penghalang memerdekakan dan membebaskan diri dari adanya kekerasan yang biasanya dilakukan oleh suami. Berdasarkan catatan laporan yang masuk sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2015 ada 369 kasus terhadap perempuan dan paling tinggi pada kasus KDRT.[1] Saya mengkhawatirkan ibu-ibu rumah tangga tidak dapat membebaskan dirinya dari kekerasan hingga mengakibatkan dampak kesehatan yang berat apabila korban tidak melaporkan sebagai akibat “kepasrahan” dan tidak mendapat pemulihan.[2] Ditambah lagi luka psikis yang membelit pikiran korban seperti insomnia, rasa cemas, stres yang tentunya akan menganggu aktivitas korban. Dibutuhkan sebuah keberanian untuk membebaskan diri dari belenggu dominasi maskulin di ranah domestik (keluarga). Lalu muncul pertanyaaan di benak kita apa yang sebenarnya melatarbelakangi perempuan sebagai korban dari kekerasan laki-laki? Hal itu bersumber pada konstruksi sosial dan budaya yang memberikan sifat (ciri) kepada kaum perempuan dan laki-laki. Penyifatan itu sendiri tentu saja tidak netral dan sangat sarat dengan kepentingan. Konsep ibu sebagai penjaga rumah, perempuan yang lemah lembut merupakan contoh dari konstruksi sosial dan budaya. Konstruksi ini membuat perempuan dalam relasi pernikahan seringkali diposisikan sebagai “pelayan” laki-laki.[3] Kaum the survival of the fittest—yang dari zaman dulu dilihat dari kuatnya fisik—dimapankan dan dilegitimasi oleh budaya bahkan undang-undang yang patriarki. Budaya hukum patriarki bersemai secara mapan, terbukti dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat 3 “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Terlihat secara jelas bahwa undang-undang tersebut menempatkan istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung kepada suami.[4] Sehingga tidak mengherankan bila hukum yang dimunculkan adalah yang tidak memberi keadilan kepada perempuan. Dalam hal ini budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang, dan hukum melegitimasinya.[5] Maka, suatu hari hukum perkawinan harus diperbaiki.[6] Dengan lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ini maka diharapkan dapat menyadarkan korban bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dilaporkan untuk melindungi korban. Setidaknya kekerasan tersebut harus dihentikan. Maka perlu dukungan dari keluarga, saudara, lembaga-lembaga hukum ataupun LSM untuk berani bertindak dan membebaskan diri dari keterpurukan dan penindasan. Dengan dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum maka perlu merealisasikan tujuan hukum, menurut Baharuddin Lopa, “Pada dasarnya tujuan hukum ialah menegakkan keadilan, sehingga ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat diwujudkan.” (Baharuddin Lopa, 1996: 126). Karena pembungkaman yang dilakukan mengakibatkan martabat manusia masih berada dalam ketertindasan. Idealisme hukum yang menjunjung keadilan masih belum berlaku dalam realita akibat dari kuatnya kemapanan yang terus dilegitimasi melalui sosial budaya bahkan undang-undang sendiri. Bukan lagi saatnya perempuan menjadi objek, dikalahkan dan disubordinatkan menuju tataran (status) yang amat inferior.[7] Bukannya manusia adalah subjek maka kita harus mempertahankan diri kita sebagai subjek dan tidak akan menggantungkan diri kita dengan mereka yang saat ini masih mendominasi diberbagai aspek kehidupan. Haruslah perempuan itu independen! Catatan Belakang: [1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/23/nzthuw336-lbh-apik-kasus-kdrt-dominasi-kekerasan-perempuan (diakses pada 17 Februari 2016). [2] https://intanghina.wordpress.com/2008/06/03/pemulihan-sebagai-hak-istri-korban/ (diakses pada 17 Februari 2016). [3] Budi Wahyuni. 1997. Terpuruk Ketimpangan Gender. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta. Hal 3. [4] Mohammad Taufik Makarao dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rineka Cipta: Jakarta. Hal 201. [5] Sulistyowati Irianto. 2006. Perempuan & Hukum Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hal 314. [6] Ayu Utami. 2013. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta. hal 292. [7] Abdul Wahid dkk. 2011. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama: Bandung. Hal 102. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |