Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Wacana Feminis

Suffragette: Visualisasi Gerakan Feminis Gelombang Pertama

26/2/2016

 
Makrus Ali
Mahasiswa Sejarah UGM
ektanabe@yahoo.com
PictureDok. pribadi
​“If  it’s right for men to fight their freedom, then it’s right for women to fight theirs”, Maud Watts.
 
Suffragette mengambil latar belakang Inggris tahun 1912 ketika masyarakat Inggris berubah menjadi masyarakat kapitalis. Film ini bermula dari Maud Watts (Carey Mulligan), perempuan Inggris kebanyakan di zamannya. Perempuan menikah dengan satu anak yang bekerja di sebuah industri laundry. Maud tidak sendirian, tapi banyak perempuan Inggris saat itu yang seperti dirinya. Awalnya hidupnya biasa saja, tidak ada yang istimewa dengan rumah tangganya. Namun cerita berubah ketika dia mulai terlibat sebuah gerakan perempuan yang sebagian anggotanya adalah buruh. Gerakan perempuan ini banyak mendapat pengaruh dari Emmeline Pankhurst (Meryl Streep)—pendiri Women’s Social and Political Union. Suffragette sendiri adalah gerakan yang menuntut hak suara bagi perempuan yang muncul pada dekade kedua abad XX di Inggris.
 
Maud awalnya tidak terlalu tertarik dengan gerakan ini, dia hanya ingin menjadi perempuan Inggris pada umumnya yang fokus pada kehidupan rumah tangganya. Namun perkenalannya dengan rekan kerjanya, Violet Miller (Anne-Marie Duff) mengubah cara pandangnya. Violet berhasil memprovokasi Maud untuk terlibat dalam gerakan ini. Sampai kemudian dia memberikan testimoni di depan dewan kota London. Sebenarnya dia tidak sedang bertestimoni, namun mengisahkan hidupnya. Umur 4 tahun Maud diajak bekerja sambil dibopong ibunya. Ya, ibu Maud adalah perempuan yang sama dengan dirinya yang bekerja di laundry. Menginjak usia 12 tahun ia sudah bekerja secara paruh waktu dan diumur 14 bekerja secara penuh. Maud menceritakan sistem upah kerja yang tidak berkeadilan gender, dimana perempuan dituntut bekerja lebih lama namun menerima upah jauh lebih rendah dari laki-laki. Tanpa diduga kejujurannya dalam menceritakan pengalaman hidupnya semakin membuatnya terlibat jauh dalam Suffragette. Maud merasa lingkungannya harus berubah! Hidup Maud semakin rumit karena suaminya tidak mendukungnya terlibat dalam gerakan suffragette–kebanyakan pria saat itu memang tidak mendukung gerakan perempuan.
 
Sajian Suffragette bak visualisasi karya Sylvia Walby Theorizing Patriarchy sekaligus Sexual Politic-nya Kate Millet. Menurut Sylvia Walby meskipun masyarakat Inggris telah berubah sejak Revolusi Inggris di medio abad 17, namun patriarki masih bercokol dengan kuat. Kapitalisme dan negara menjadi instrumen baru yang mengokohkan dominasi patriarki. Tesis Sylvia menyatakan dalam masyarakat kapitalis Inggris yang terjadi adalah pergeseran dari patriarki privat ke patriarki publik. Terjadi perluasan wilayah opresi terhadap perempuan yang terjadi di luar rumah secara kolektif. Maud hanya salah satu contoh dari kehidupan perempuan Inggris yang masyarakatnya menjadi kapitalis. Kapitalisme dan patriarki berkolaborasi menindas perempuan dengan dalih buruh murah. Walby menjelaskan salah satu dari enam struktur patriarki adalah relasi upah kerja—dalam teori Walby enam sistem patriarki adalah relasi patriarki-upah kerja, relasi patriarki-produksi rumah tangga, relasi patriarki-budaya, relasi patriarki-seksualitas, relasi petriarki-kekerasan, relasi patriarki-negara—yang membuat Maud harus menerima perlakuan tidak adil dalam sistem upah. Disini Maud dan banyak buruh perempuan Inggris saat itu mengalami eksploitasi. Tidak hanya itu relasi patriarki-kekerasan juga berlangsung dalam lingkungan kerja. Maud menyaksikan kekerasan seksual di lingkungan kerjanya yang dilakukan atasannya yang laki-laki—dia pun pernah mengalaminya dimasa mudanya.
 
Suffragette secara tidak langsung membawa penonton memahami karya Kate Millet Sexual Politic, terutama pada penjelasannya tentang fase pertama revolusi seksual. Tujuan dari revolusi seksual adalah menghancurkan institusi patriarki. Millet pun melihat masyarakat Inggris yang sejak 1830 mengalami perubahan, yakni tumbuhnya kelas menengah—fase revolusi seksual menurut Kate adalah tahun 1830-1930, sementara 1930-1960 terjadi kontra revolusi. Kapitalisme di Inggris tumbuh seiring industrialisasi yang masif. Perempuan mulai keluar dari wilayah domestiknya dan menjamah ruang publik. Salah satu ciri awal fase revolusi politik adalah mengubah struktur patriarki melalui politik, pendidikan dan sistem kerja. Suffragette atau hak suara yang menjadi isu utama dalam film ini diperoleh di Inggris tahun 1918. Hak-hak politik perempuan Inggris terus mengalami kemajuan sampai tahun 1930-an, tahun 1925 hak asuh anak diberikan kepada perempuan, di tahun yang sama hak perempuan sepenuhnya diberikan sama dengan hak laki-laki. Kemudian dalam pembabakan Millet setelah tahun 1930-1960 adalah kontra revolusi. Tesis yang diajukan adalah rezim fasis Jerman dan sosialis Soviet. Bagi Nazi perempuan hanya berfungsi sebagai pelayan negara dan keluarga, tidak lebih mengurus anak dan suami. Sebagaimana ungkapan “The German girl is state subject and only becomes a State Citizen when she marries”.
 
Film ini tidak banyak didukung aktris atau aktor dengan nama besar. Sebagai film yang bernuansa feminis, tokoh laki-laki dalam film ini tidak begitu ditonjolkan. Meryl Streep yang berperan sebagai Pankhrust tidak terlalu dimaksimalkan. Dia hanya tampil beberapa scene, namun tidak cukup berdampak. Bisa jadi karena fokus cerita ini adalah Maud Watts sebagai salah satu perempuan Suffragette. Untungnya Carey Mulligan cukup bagus membawakannya, meskipun belum sempurna. Nama besar lainnya yang tampil dalam film ini adalah Helena Bonham Carter–aktris pendukung terbaik BAFTA 2011 lewat King’s Speech--sebagai Edith Ellyn, seorang terpelajar yang membuka toko obat dan menjadi mentor bagi Maud. Kemunculan Edith dalam film ini memberikan nuansa perjuangan feminis gelombang pertama di Inggris semakin kental.
 
Secara keseluruhan penggarapan film yang dibesut sutradara perempuan Inggris Sarah Gavron–karya menonjolnya Brick Line (2007) yang masuk nominasi sutradara terbaik BAFTA 2007—tidak memberikan plot yang rumit. Salah satu plot utamanya adalah konflik yang dialami Maud. Dilema Maud setelah tergabung dalam gerakan perempuan adalah kehidupan rumah tangganya menjadi pertaruhan. Sutradara tidak hanya memberi ruang eksplorasi pada Maud, namun masing-masing feminis dalam film ini. Violet harus bernegosiasi dengan kondisinya sebagai orang tua tunggal. Edith Ellyn, sang dokter meskipun mendapat dukungan penuh suaminnya namun juga harus keluar masuk penjara. Masing-masing feminis dalam film ini ditonjolkan kehidupan pribadinya untuk memperkuat nilai perjuangan feminis. Namun demikian kalau film ini didedikasikan untuk perjuangan suffragette kurang begitu dramatis. Harusnya sutradara bisa lebih melakukan eksplorasi adegan dalam menggambarkan perjuangan feminis gelombang pertama. Misalnya ketika Maud dan feminis yang lain mendapat represi, mulai dari pemukulan dan pemenjaraan bisa lebih menghasilan efek dramatis. Jadi perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak politik sebagaimana saat ini harus ditempuh dengan keringat darah. Adegan terakhir yang seolah menunjukan klimaks dari perjuangan suffragette hanya dibiarkan begitu saja. Namun setidaknya Suffragette adalah visualisasi gerakan feminis gelombang pertama. Sedikit dari film yang mengeksplorasi sejarah feminisme! 


Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa