Dalam banyak kasus yang disuguhkan media kepada publik, berisi adanya kesenjangan hubungan sosial antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa besar jurang pemisah untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kacamata sosiologi konflik percaya bahwa masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan dalam menilai masalah ini, sehingga pola hubungan dan perubahan yang dilihat adalah konflik antar dua kepentingan. Namun di lain pihak terdapat konflik lain yang terselubung antara konflik laki-laki dan perempuan yaitu femininitas laki-laki yang hampir pada setiap sendi kehidupan ingin dihancurkan oleh maskulinitas yang superior. Diskursus antara laki-laki dan perempuan memang sudah berlangsung sejak lama, dan hingga kini masih terjadi proses panjang untuk mencapai suatu kesetaraan. Dan kemudian muncul sebuah diskursus dimana terjadi proses negara (Indonesia) tidak mengakui adanya gender lain selain laki-laki dan perempuan. Diskursus yang sebenarnya terjadi sudah lama ini bak api dalam sekam, yang seolah-olah tidak menjadi perhatian masyarakat luas. Pada konsep heteroseksual laki-laki dan perempuan dinarasikan sebagai maskulin dan feminin. The heterosexualization of desire requires and institutes the production of discrete and asymmetrical oppositions between “feminine” and “masculine,” where these are understood as expressive attributes of “male” and “female.” (Butler, 1990). Tetapi tidak dapat dinampikkan bahwa narasi feminin dan maskulin ini bisa saja bertukar antara laki-laki dan perempuan; feminin (laki-laki) dan maskulin (perempuan). Suatu femininitas laki-laki dalam kehidupan sehari-hari sangat sering kita jumpai. Tak jarang kita bertemu dengan seseorang yang bertubuh laki-laki namun berkelakuan seperti perempuan. Di negara kita seringkali mereka mendapatkan penolakan-penolakan sadis dengan tuduhan “tidak normal”, “sakit jiwa” dan lain sebagainya. Padahal mereka adalah manusia biasa yang eksistensinya suda ada sejak lama. Karl Heinrich Ulrichs merupakan ahli medis perintis pertama pada tahun 1825 yang berpegang teguh demi keadilan dan kemanusiaan terhadap homoseksual, menemukan bahwa pada awal pertumbuhannya semua embrio adalah identik, dan selanjutnya terbagi menjadi tiga kategori yaitu jantan, betina dan urning. Pada kelompok urning ini memiliki karakter fisik salah satu gender beserta satu insting seksual yang tidak terkait dengan organ-organ seksualnya, dengan demikian mereka memang alamiah (Spencer, 2004). Namun, banyak orang yang kemudian masih menutup telinga terhadap penemuan-penemuan atas keragaman gender dan seksualitas. Sangatlah tidak layak jika mereka dikatakan “tidak normal”, “sakit jiwa” atau lain sebagainya. Tidak jarang kelompok yang memberikan stigma ini berasal dari berbagai kalangan, seperti agamawan, akademisi, bahkan pemerintah (penyelenggara negara) yang kemudian ingin menghancurkan narasi selain daripada narasi bahwa “laki-laki harus maskulin.” Kemudian stigma negatif dari berbagai kalangan agamawan yang membentuk kebencian dan kejijikan atas feministas laki-laki di masyarakat luas.femininitas Sering terdengar ucapan dari kaum agamawan, bahkan kaum terpelajar atau intelek: “laki-laki kok kemayu”, “laki-laki kok ngondek”, segala jenis pernyataan itu ditujukan untuk penghancuran dan pengebirian terhadap femininitas laki-laki. Segala bentuk penghancuran atas narasi femininitas laki-laki ini sering terdengar dalam ceramah-ceramah, khotbah, seminar akademisi atau melalui media-media yang dikonstruksi oleh negara. Femininitas laki-laki erat kaitannya dengan homoseksualitas, walau tidak semua laki-laki feminin memiliki orientasi seksual sebagai homoseks, bisa saja biseksual atau yang lainnya. Patut digali lebih jauh mengapa negara gencar untuk menghancurkan femininitas laki-laki dengan tangan-tangan maskulin? Dalam konteks negara, kemudian lahir berbagai aturan hukum dalam undang-undang atau peraturan, atau apalah itu namanya, yang pasti aturan tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap truth (kebenaran) yang nyata adanya. Bahwasannya pandangan mengenaifemininitas laki-laki yang merupakan ketidakwajaran harus segera didekonstruksi. Pembungkaman hak dasar seorang warga negara ini merupakan sebuah kejahatan negara, yang mana sangat sedikit orang menyadari hal ini. Adanya berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi merupakan sebuah konstruksi dari negara. Sebut saja di negara Nigeria yang mengesahkan Undang-Undang Anti Homoseksualitas pada empat tahun yang lalu. Adanya UU yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia ini merupakan bentuk penistaan negara terhadap hak-hak dasar warga negaranya. Di Indonesia sendiri pembungkaman negara terhadap femininitas laki-laki terjadi melalui UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, disebutkan bahwa lesbian dan homoseksual dianggap sebagai persenggamaan yang menyimpang. Hal ini terdapat dalam penjelasan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘persenggamaan yang menyimpang’ antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian dan homoseksual.” Meski tidak secara gamblang UU ini menyatakan bahwa aktivitas homoseksual dilarang, namun secara tersirat UU ini mendeklarasikan bahwa “Semua warga negara harus heteroseksual.” Konstruksi maskulinitas oleh negara ini kemudian menimbulkan pengecapan masyarakat terhadap femininitas laki-laki, bahwasannya mereka adalah menyimpang. Bukankah ini juga merupakan bentuk penistaan negara terhadap hak asasi seseorang? Daftar Pustaka: Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge. Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas. Bantul: Kreasi Wacana. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Persebaran HIV dan AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) sudah sering kita dengar, baik dalam dunia medis maupun dalam lingkungan sosial masyarakat. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini, namun hasilnya belum tampak melegakan. Terlepas dari dunia medis, sebenarnya terdapat kajian yang menarik dalam konteks sosial yang dapat dilakukan untuk menganalisis penyebaran virus dan penyakit ini. Sebagaimana kita tahu bahwa HIV/AIDS yang menyebar pada saat ini pada dasarnya beriringan dengan pola perilaku masyarakat yang mengalami perubahan di lingkungan sosialnya. Perubahan perilaku masyarakat yang dimaksud ialah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tampak semakin “ekstrem” yang mengarah pada tindakan lebih berisiko bagi terjadinya penyebaran HIV/AIDS dengan cepat. Perlu juga diketahui pertama kalinya HIV/AIDS ini ditemukan, seperti dilansir oleh ListVerse, virus HIV/AIDS, ditemukan pada seekor simpanse, yang dahulunya disebut menderita virus HIV-1. Kemudian, virus yang sama ditemukan pada seekor monyet namun diberi nama HIV-2. Tidak diketahui secara pasti kapan virus HIV pertama kali menjangkiti manusia akan tetapi diperkirakan, virus HIV pertama menyerang manusia pada tahun 1931. Kasus HIV AIDS pertama kali dilaporkan terjadi di Knishasha, di Kongo tahun 1959, yang kemudian tersebar hingga ke Atlantika (www.medis.web.id). Di Indonesia sendiri seperti dikutip dari (tempo.co.id) bahwa pada tanggal 15 April 1987 pertama kali AIDS di Indonesia ditemukan, pada seorang wisatawan asal Belanda berusia 44 tahun, yang meninggal di rumah sakit Sanglah, Bali. Kematian wisatawan asing tersebut disebabkan AIDS. Hingga akhir 1987 ada enam orang yang didiagnosis HIV positif, dua diantaranya mengidap AIDS. Berdasarkan laporan LP2y Indonesia pada Ditjen PP dan PL RI tahun 2014 mengenai perkembangan HIV/AIDS. Dari bulan Juli sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak 7.335 kasus. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,1%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,2%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (5,5%). Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan September 2014, HIV/AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Ancaman HIV-AIDS Pada Ibu Dan Anak Hingga kini penyebaran virus tersebut semakin luas, setiap orang berpotensi tertular penyakit ini, mulai bayi hingga dewasa sangat berisiko menjadi penderita HIV/AIDS. Pada dasarnya penyebaran HIV sangat mudah dicegah karena proses penularannya tidak melalui udara ataupun sentuhan kulit luar secara langsung akan tetapi penyebarannya melalui sel darah merah, penggunaan jarum suntik yang berulang-ulang, air mani dan air liur. Karena itu HIV/AIDS cukup sulit tersebar apabila masyarakat mampu menghindari perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS. Sayangnya masih banyak masyarakat yang enggan melakukan tindakan-tindakan preventif (pencegahan) terhadap penularan penyakit ini, terutama dalam kehidupan keluarga. Masih sedikit yang memahami bahwa penularan HIV/AIDS dalam hubungan suami-istri akan menjadi jauh lebih berisiko dibanding aktivitas-aktivitas berisiko lainnya. Pengetahuan dan pemahaman anggota keluarga terhadap penyebaran HIV/AIDS dalam lingkungan rumah tangga masih sangat minim, terutama bagi para istri. Banyak dari mereka yang memiliki pemahaman hanya sebatas bahwa penyebaran HIV/AIDS disebabkan oleh seks bebas atau penggunaan jarum suntik yang berkali-kali. Sehingga mereka yang menganggap dirinya tidak melakukan aktivitas berisiko tersebut merasa aman dan terhindar dari HIV/AIDS. Akan tetapi pemikiran-pemikiran tersebut justru akan semakin membuat mereka lebih berisiko karena lengah dalam melakukan tindakan protektif pada diri atau anggota keluarganya. Sehingga mereka akan mengabaikan risiko penularan yang akan didapatkan dari anggota keluarga terdekat mereka sendiri, terutama yang ditularkan oleh suami. Menurut laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2014, yang diterima dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI secara kumulatif kasus HIV & AIDS 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2014, memperlihatkan bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 150.296 orang sedangkan AIDS sebanyak 55.799 orang. Pola penularan HIV selama 7 tahun terakhir masih banyak terjadi pada kelompok laki-laki dibanding perempuan begitu juga persentase kasus AIDS pada laki-laki lebih tinggi yakni 54% dibanding perempuan yakni 29%. Sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin. Akan tetapi dalam jenis pekerjaan justru jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti wiraswasta (6.203), tenaga non-profesional/karyawan (5.638), petani/peternak/nelayan (2.324), buruh kasar (2.169), penjaja seks (2.052), pegawai negeri sipil (1.658), dan anak sekolah/ mahasiswa (1.295) ( Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tahun 2014). Kasus AIDS tertinggi yang terjadi pada ibu rumah tangga berdasarkan laporan tersebut menunjukkan bahwa penularan virus HIV terjadi secara laten dari sang suami yang sering melakukan aktivitas berisiko HIV/AIDS di luar rumah yang tidak diketahui oleh istri maupun anak-anak. Sehingga istri merasa selalu aman berhubungan dengan suami yang ternyata dapat mencengkeram kehidupan mereka. Berbeda dengan para pekerja seks komersial (PSK) atau gay dan lesbian yang melakukan seks bebas. Mereka lebih tahu melakukan pencegahan dini dengan menggunakan kontrasepsi ketika berhubungan intim. Sehingga risiko mereka akan lebih kecil dibanding istri yang tidak menggunakan kontrasepsi saat berhubungan dengan suami mereka yang sudah terjangkit virus HIV. Istri merasa aman dengan perilaku mereka sendiri yang tidak melakukan aktivitas berisiko HIV/AIDS, namun mereka kurang memikirkan perilaku suami mereka di luar rumah. Permasalahan tingginya tingkat risiko istri yang tertular HIV/AIDS dari suami bukan hanya karena ketidaktahuan sang istri saja terhadap perilaku suami, akan tetapi dapat juga dikarenakan “kesengajaan” sang suami. Suami yang sering melakukan aktivitas berisiko HIV/AIDS tidak akan dan merasa malu memberitahu istri mereka atas perilaku-perilakunya di luar rumah dan lebih parahnya lagi para suami juga enggan menggunakan kontrasepsi ketika berhubungan dengan istri. Akan lebih memprihatinkan apabila sang suami yang HIV/AIDS positif tetap menyembunyikan penyakit tersebut kepada sang istri namun mereka tetap melakukan hubungan suami istri tanpa menggunakan kontrasepsi. Maka dengan demikian istri menjadi sasaran empuk tertular virus ini, bukan hanya kepada istri akan tetapi apabila sang istri hamil maka anak sangat berisiko ikut tertular. Cukup jarang kasus ibu yang HIV positif anaknya negatif, meskipun dapat ditemukan kasus anak yang tidak tertular meski ibunya dinyatakan HIV. Seperti kasus yang dialami oleh seorang guru yang mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Papua. Seperti di kutip dari www.tribunenews.com, ibu ini terjangkit virus HIV dari sang suami dan baru diketahui setelah suaminya dinyatakan HIV positif dan kemudian meninggal. Tidak hanya itu, guru agama ini juga kehilangan buah hati pertamanya yang diduga juga disebabkan oleh penyakit yang sama. Ini hanya satu kasus dari sekian banyak kasus HIV/AIDS yang merenggut kebahagian ibu dan anak di Indonesia karena disebabkan oleh aktivitas berisiko suami mereka sendiri. Dalam kasus seperti ini, suami ibarat kotak pandora yang ketika dibuka siap membubuhkan racun pada istri dan juga anak. Sehingga suami secara tidak langsung menyeret keluarga mereka dalam penderitaan yang disebabkan oleh perilaku diri mereka pribadi. Hal ini yang kemudian harus diantisipasi oleh para istri, meskipun sulit bagi istri untuk bertindak preventif terhadap perilaku suami mereka diluar, akan tetapi istri setidaknya memahami terlebih dahalu proses maupun hal-hal yang berisiko bagi tertularnya HIV/AIDS dan juga melakukan pengecekan secara berkala baik istri maupun suami serta anggota keluarga lainnya agar mengetahui apakah mereka tertular atau tidak. Istri harus lebih berani bersikap protektif pada diri mereka sendiri apabila tidak mampu mencegah suaminya dan kemudian memberikan pemahaman kepada suami akan bahaya penyakit tersebut yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri tapi juga dapat menghancurkan kehidupan keluarga mereka. Referensi: ______. 2014. Situasi dan Analisis HIV AIDS. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Medis.web.id. 2013. Inila Sejarah 'Asal Muasal' Penyakit HIV AIDS. Diakses 15 Januari 2016 jam 15.36 WIB dari: http://www.medis.web.id/2013/06/inila-sejarah-asak-muasal-penyakit-hiv.html?=1Tempo interaktif. 2004.HIV/AIDS. Diakses 14 Januari 2016 jam 09.14 dari: http://tempo.co.id/hg/narasi/2004/03/26/nrs,20040326-06,id.html Tribunenews.com. 2015. Kisah Ratna, Guru Penderita HIV yang Tetap Disayang Anaknya. Diakses pada 15 Januari 2016 jam 15.24 WIB dari: http://www.tribunnews.com/regional/2015/12/01/kisah-ratna-guru-penderita-hiv-yang-tetap-disayang-anaknya |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |