Munculnya pemimpin perempuan yang menjadi pemegang kekuasaan di pemerintahan belum berarti impian perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki di berbagai dinamika kehidupan telah tercapai. Sejarah mengenal Margaret Thatcher kemudian bermunculan sederet politisi perempuan ternama, sebut saja Theresa May, Angela Merkel, Hillary Clinton dan di dalam negeri sendiri kita pernah memiliki Megawati sebagai presiden. Selanjutnya, ketika sejumlah perempuan berhasil duduk di kursi kepemimpinan, dapatkah kita menyebut mereka sebagai ikon feminis? Apakah tolok ukur yang dapat dipakai untuk melihat feminis atau tidaknya seorang pemimpin perempuan? Apakah semuanya sesederhana itu? Mari kita cermati dengan skeptis. Pemimpin perempuan dapat dikategorikan sebagai ikon feminis jika memiliki rekam jejak politik yang tentunya dekat dengan upaya perlindungan hak-hak perempuan. Hak-hak tersebut antara lain meliputi hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak keterwakilan dalam politik, hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara, hak mendapatkan perlindungan di wilayah konflik dan bencana, serta kebebasan beragama dan perlindungan hukum. Mari kita kupas kepemimpinan para pemimpin perempuan di atas. Margaret Thatcher adalah perdana menteri perempuan pertama di Inggris. Ia menjadi panutan bagi publik terutama kalangan perempuan di Inggris yang percaya tidak ada mimpi yang tidak bisa diraih. Namun di saat yang bersamaan publik perempuan di Inggris tak pernah mengingatnya sebagai sosok yang feminis. Hal ini dikarenakan beberapa agenda politiknya tak pernah menyentuh hak-hak hidup perempuan dan anak-anak. Ia juga tak pernah merekomendasikan kandidat perempuan untuk duduk di dalam parlemen selama 11 tahun masa jabatannya. Salah satu kebijakannya yang paling diingat kala itu adalah saat Thatcer menghilangkan jatah susu gratis bagi anak-anak sekolah dasar usia 7 tahun di Inggris. Oleh karena kebijakannya itu, ia dijuluki “Margaret Thatcher, The Milk Snatcher.” Sebagai seorang perdana menteri perempuan, Ia tidak terlihat lembut sehingga karakternya menjadi tamparan bagi publik yang menganggap bahwa perempuan dekat dengan gambaran kolaboratif, damai dan merawat atau mendidik. Thatcher sangat berhati-hati dalam bertindak sebab ia menghindari stereotip politik perempuan dan sikapnya itu dibuktikan saat ia menolak adanya biaya perawatan anak dimasukkan kedalam pajak dan mengatakan bahwa pemerintah tidak harus memosisikan diri sebagai “Big Brother” pada isu-isu sosial. Thatcher juga tidak tertarik sama sekali pada isu-isu perdamaian atau hal-hal yang dianggap feminin dan sikapnya tersebut terlihat saat pemerintahannya menyikapi perang Falklands. Theresa May adalah perdana menteri perempuan terpilih kedua setelah Margaret Thatcher di Inggris. Kemenangannya di dalam pemilu juga tak menimbulkan efek selebrasi kaum feminis. Walaupun ia menyatakan dukungan terhadap legalisasi pernikahan sesama jenis dan menentang UU 28 yang melarang sekolah mempromosikan nilai-nilai homoseksualitas, serta menguatkan implementasi hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga, di waktu yang bersamaan ia justru menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap pengadaan fasilitas pengobatan bagi migran perempuan serta menolak mengakhiri masa penahanan bagi narapidana yang sedang hamil di Pusat Penahanan Imigrasi Yarl’s Wood. Sebagai sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri untuk Perempuan dan Kesetaraan, May dikritik oleh Partai Buruh karena mengabaikan upaya terkait pengurangan kesenjangan kelas dengan membuat kebijakan penghematan fiskal yang berdampak pada perempuan. Memang Theresa May berasal dari partai konservatif garis keras, dia juga mendukung pernikahan sesama jenis dan menentang rasisme namun sikapnya yang kurang mendukung kesetaraan perempuan membuatnya tidak cukup disebut sebagai seorang feminis. Angela Merkel adalah kanselir dari negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat dan menduduki posisi superior di Uni Eropa. Angela Merkel dianggap sebagai pemimpin perempuan yang paling kuat di dunia namun pengamat politik mengatakan jika hak-hak perempuan tidak pernah ada di dalam agendanya. Sejarah keberhasilan Angela Merkel di dunia politik sempat dijajarkan dengan tokoh Margaret Thatcher. Kala itu, partai pendukung Angela Merkel memenangkan dua kali pemilu dan popularitas Merkel dengan cepat melonjak naik. Ia disebut sebagai perempuan nomor satu dalam daftar 100 perempuan paling berpengaruh Forbes tahun 2013. Gaya kepemimpinan Angela Merkel cenderung kooperatif dan demokratis dengan mengedepankan diskusi dan musyawarah. Sayangnya Angela Merkel tidak memiliki catatan politik yang pro kepada isu-isu perempuan dan tak banyak promosi kesetaraan gender yang ia lakukan semasa kampanye. Selama kepemimpinannya sebagai kanselir, banyak masalah yang belum terselesaikan termasuk gaji dan prospek karier perempuan yang setara dengan laki-laki. Tidak sedikit publik perempuan di Amerika Serikat yang sebenarnya menginginkan Hillary Clinton untuk memenangkan pemilihan presiden beberapa minggu lalu dan jika ia terpilih maka tiga penguasa perekonomian terbesar di dunia yakni AS, Jerman dan Inggris kesemuanya adalah perempuan. Sebagaimana dalam kampanyenya, Hillary Clinton selalu mencanangkan agenda politik yang menjamin kehidupan publik perempuan di AS. Namun sepertinya Hillary Clinton harus menelan pil pahit kekalahannya. Selain citranya yang lekat dengan isu korupsi dan skandal e-mail semasa menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton tidak termasuk ikon feminis yang populer. Pasalnya ia pernah melontarkan ucapan yang menyinggung banyak perempuan yang memilih untuk bekerja di rumah. Pada tahun 1992 untuk menjatuhkan lawan politik suaminya pada pemilihan presiden, Jerry Brown yang kala itu menyerang posisinya sebagai istri seorang politikus, ia mengatakan bahwa ia lebih memilih untuk berkarier ketimbang berdiam diri di dalam rumah meminum teh dan membuat kue dan ia pun sukses menuai celaan karena dianggap menghina kaum perempuan. Selain itu publik juga mengamati sikap Hillary terhadap skandal Monica Lewinsky yang menimpa suaminya. Hillary Clinton dianggap tidak cukup berpihak pada perempuan dengan terus menutupi kasus tersebut. Pro dan kontra terus berlanjut hingga ketika Hillary Clinton memberikan pidatonya pada tahun 1995 dalam United Nations Fourth World Conference on Women, ia berucap “Women’s Rights are Human Rights,” dan menarik simpati banyak perempuan di dunia. Sikap Hillary Clinton tersebut memicu perdebatan apakah ikon feminis dapat dilekatkan pada dirinya. Megawati Soekarnoputri adalah presiden perempuan terpilih pertama di Indonesia. Ia merupakan sosok yang dianggap simbolik, inspiratif dan berani melawan rezim pemerintahan Orde Baru yang represif kala itu. Terpilihnya Megawati menjadi presiden mengawali tonggak sejarah bagi kesetaraan gender dan emansipasi wanita di tengah-tengah budaya patriarki Indonesia yang masih sangat kental. Namun semasa ia menjabat menjadi presiden pada rentang periode 2001 - 2004, banyak isu-isu perempuan yang menyita perhatian masyarakat tetapi kurang mendapat perhatian yang berarti dari pemerintah, sebut saja kasus Buyat, kasus TKI Nunukan, dan nasib buruh perempuan yang bekerja di luar Indonesia. Pada awal tahun 2000-an, pengiriman buruh migran Indonesia keluar negeri didominasi oleh perempuan dan seiring meningkatnya jumlah tersebut maka bertambah pula kasus diskriminasi dan kekerasan yang menimpa buruh perempuan. Pemerintahan Megawati dinilai tidak menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perbaikan nasib perempuan dan anak-anak khususnya yang berada dalam kondisi rentan seperti di pengungsian dan daerah konflik. Terlebih menurut pengamat, Megawati dianggap menguatkan kembali peran militer dalam politik Indonesia dan secara langsung berkontribusi besar terhadap berbagai pelanggaran HAM khususnya bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik. Selain itu, masalah perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 juga tidak membuat pemerintah membuat kebijakan untuk memberikan solusi pertanggungjawaban (sekitarkita 2002). Lalu, mengapa pembahasan peran perempuan begitu penting dalam kehidupan bernegara? Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF), negara dengan partisipasi angkatan kerja perempuan yang setara dengan laki-laki mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) negara yang bersangkutan (Elborgh-Woytek et al. 2013, 4-5). Di sisi lain, Rahel Kunz, seorang pengajar di Institusi Studi Politik dan Internasional Universitas Lausanne Swiss, mencoba melihat posisi perempuan di dalam studi perdamaian dunia. Ia mengenalkan istilah “Gender and Security Sector Reform” di mana perempuan dituntut untuk lebih banyak berperan ke dalam sebuah operasi perdamaian dunia terutama ketika terjadi masalah gender based violence yang seringkali terjadi di zona konflik, suatu aksi kekerasan yang banyak menimpa perempuan dan anak-anak (Kunz 2014, 604-608). Karakter feminin yang ada pada perempuan dipandang dapat menjadi sebuah pendekatan yang mampu menghasilkan output yang berbeda dari laki-laki yang cenderung maskulin dalam hal pencarian akar konflik hingga tahapan penyelesaiannya. Lebih jauh lagi, Tarja Väyrynen mengungkapkan jika aktor perempuan terlibat dalam suatu upaya konflik resolusi maka diyakini mampu meningkatkan daya tahan perjanjian damai hingga 30% (Väyrynen 2010, 137-153). Mengenai dampak kandidat politik perempuan dan pejabat terpilih terhadap kehidupan pemilih perempuan di region pemilihan, kandidat perempuan cenderung memfokuskan agenda pada isu-isu seperti: kesetaraan gender, perawatan anak, pendidikan, aborsi, dan upah minimum (Herrnson, Lay & Stokes 2003, 244-248). Sayangnya hal tersebut tidak mutlak selalu terjadi. Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa baru-baru ini perempuan cenderung menunjukkan gaya kepemimpinan politik yang lebih kooperatif dan melebur dalam kemaskulinitasan dunia politik. Perdebatan juga datang dari studi yang mengatakan bahwa jenis kelamin legislator sebenarnya tidak berefek secara langsung terhadap penyelesaian isu-isu perempuan. Demikian pula, apabila partisipasi 70 persen laki-laki di dalam kongres diganti dengan perempuan dengan persentase yang sama belum tentu akan ditemukan perubahan apa-apa sebab agenda politik ditentukan seluruhnya oleh identifikasi partai dan bukan berdasarkan gender. Kemunculan kandidat perempuan dapat menjadi model panutan dan inspirasi bagi perempuan lain. Namun, efeknya bersifat euforia sesaat dan memudar dari waktu ke waktu. Sebagai pemilih perempuan, kita semua harus memastikan bahwa setiap perempuan dapat menikmati kesempatan yang sama untuk memajukan hidupnya dan bahwa suara perempuan terwakili oleh kandidat perempuan. Banyak feminis melihat kepemimpinan yang bergaya perempuan berpotensi lebih sensitif dan efektif dalam melihat isu-isu struktural yang menimpa kaum perempuan. Nilai-nilai feminis seperti kepedulian dan perdamaian serta kompromi harus lebih banyak mendominasi ranah publik dan politik. Namun yang seringkali ditemukan di lapangan adalah banyaknya kampanye oleh kandidat atau politisi perempuan yang dilakukan secara netral gender dan tidak terbuka serta konfrontatif dalam membawa isu-isu perempuan karena kekhawatiran pelabelan eksklusif terhadap isu-isu tersebut yang berujung pada prasangka dan diskriminasi jika nantinya terpilih. Seringkali pula, semua agenda politik dibuat dalam tempo yang singkat sehingga isu-isu perempuan diangkat hanya untuk mendulang lebih banyak suara. Untuk itu hal-hal yang sebaiknya diperhatikan oleh pemilih perempuan adalah kandidat—baik laki-laki maupun perempuan—yang memprioritaskan kemajuan bagi kaum perempuan di dalam agenda kebijakannya. Pemilih perempuan masa kini sebaiknya juga memprioritaskan fokus mereka pada kebijakan dan komitmen yang diusung oleh kandidat daripada jenis kelamin mereka. Pertanyaaan penting yang perlu diajukan adalah apakah dengan menempatkan perempuan di posisi elit kepemimpinan, maka di saat yang bersamaan akan ada manfaat yang mengalir ke massa perempuan? Jadi mari kita pertajam penilaian kita, apakah politisi perempuan tersebut hanyalah ikon perempuan atau ikon feminis? Referensi Young, Cathy 2013, Margaret Thatcher and Feminism, Real Clear Politics, diakses dari http://www.realclearpolitics.com/articles/2013/04/18/margaret_thatcher_and_feminism_118018.html pada 17 November 2016 Herrnson, PS, JC Lay & AK Stokes 2003, “Women Running ‘as Women’: Candidate Gender, Campaign Issues, and Voter-Targeting Strategies”, The Journal of Politics of Southern Political Science Association, vol. 65, no. 1. Lawless, Jennifer L & Fox, Richard L 2012, Men Rule The Continued Under-Representation of Women in U.S. Politics, Women & Politics Institute, Washington DC. Elborgh-Woytek, Katrin et al. 2013, Women, Work, and the Economy: Macroeconomic Gains from Gender Equity, IMF Discussion Note, SDN/13/10. Rahel, Kunz 2014, “Gender and Security Sector Reform: Gendering Differently?”, International Peacekeeping, vol. 21, issue 5. “Presiden Perempuan: Mampukan Mengubah Bencana Menjadi Berkah Bagi Perempuan,” sekitarkita, 22 Januari 2002, diakses pada 10 November 2016, http://sekitarkita.com/2002/01/presiden-perempuan-mampukah-mengubah-bencana-menjadi-berkah-bagi-perempuan/ Väyrynen, Tarja 2010, “Gender and Peace Building”, in Oliver V. Richmond (ed.), Palgrave Advances in Peacebuilding. Critical developments and approaches, Palgrave Macmillan, Hampshire. Muhammad Dluha Luthfillah (Islam dan Kajian Gender, Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) [email protected] Beberapa dekade lalu, teologi Kristen telah memformulasikan hubungan antara yang sakral dan ekologi. Usaha ini diikuti kemudian oleh para teolog dari agama lain termasuk Islam. Istilah yang digunakan adalah green religion, greener faith, eco-theology, “Green Islam”, environmental ethics, religious environmentalist dll. Namun para Sarjana Agama belum mencoba hubungkan ekologi dan gender. Mereka hanya membicarakan perang dan dampaknya pada perempuan, anak-anak, dan lingkungan. Termasuk sarjana muslim, dengan beberapa pengecualian. Rosemary Ruether telah mendaftar bagaimana Muslim environmentalist menafsirkan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan. Beberapa narasi dan sumber-sumber agama tentang permasalahan alam dan perempuan disampaikan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Beberapa sarjana menawarkan hukum lingkungan melalui reinterpretasi yurisprudensi. Betapapun demikian, mereka tetap memulai usaha tersebut dengan berbicara tentang tauhid. Mereka membawa konsep tauhid kepada apa yang disebut inclusive tawhid, sebuah konsep yang mengajarkan keesaan Tuhan, kesatuan manusia dan kebersatuan alam semesta. Mengintegrasikan mikro-kosmos dan makro-kosmos. Konsep ini diamini oleh ayat Alquran; “Semua binatang di bumi, burung yang terbang juga adalah umma seperti kalian” (QS. 6:38). Dalam pandangan muslim umumnya, alam dipahami berserah diri pada dan mentasbihkan Allah. Manusia diberi kewajiban untuk mempergunakan alam (taskhir) tanpa merusak (ifsad). Lebih jauh, Muhammad Abduh, seorang pemikir Mesir, memiliki pandangan tentang ajaran Alquran terkait istikhlaf (QS. 53:24) dan taskhir (QS. 12:45) untuk manusia. Konsep ini memiliki beberapa unsur antroposentrisme di dalamnya. Dalam pandangan Abduh tersebut, terdapat bias antroposentris yang betatapun mengakui kekuatan yang dimiliki oleh bumi, menganggap kekuatan manusia lebih besar. Dengan konsep tersebut, manusia dan alam seharusnya dibawa agar berkoordinasi menciptakan spiritual harmony karena keduanya adalah manifestasi dari creative will yang satu. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan bukan untuk melayani manusia, karena yang disebutkan dalam Alquran hanya keuntungan bagi manusia dari alam. Dalam meraup keuntungan itu pun mereka diberi kewajiban untuk menjaga bumi (baca: alam) dari corruption (perusakan). Dengan nada yang agak sama, Fazlur Rahman mengatakan bahwa alam taat pada Tuhan dengan kemauan yang otomatis, tidak seperti manusia yang memiliki pilihan untuk taat dan tidak. Merujuk pada beberapa ayat Alquran, diantaranya QS. 3:83, QS. 57:1, QS. 59:1, QS. 24:41, beliau menunjukkan bahwa alam telah ber-Islam dan mengagungkan-Nya. Melalui ayat-ayat tersebut, beliau juga menangkap adanya kesatuan alam dan manusia. Selain itu, beliau menekankan kemampuan alam untuk melayani dan kemungkinan untuk dirusak manusia. Manusia bisa memanfaatkan alam selama itu untuk kebaikan. Dalam pemanfaatan itu pun manusia masih bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan pada alam. Selain hal-hal itu, larangan Alquran terhadap perusakan bumi menjadi titik tolak muslim untuk mengembangkan konsep penjagaan alam (nature preservation). Lebih jauh Rahman tidak menunjukkan hubungan antara concern terhadap alam dan diskriminasi terhadap perempuan. Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa krisis lingkungan berhubungan dengan penggunaan teknologi modern. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa teolog muslim tidak memberikan perhatian pada teologi alam (theology of nature). Padahal jika dihayati lebih dalam, al-Muhith (salah satu nama Allah) mengingatkan kita pada lingkungan kita. Mewakili dunia sufi, Rumi mengatakan bahwa yang bermasalah bukan alamnya, tapi hubungan manusia dengan alam. Menurutnya, arti moral dalam hukum alam itu ada sekalipun ia tidak terlihat (baca: tersembunyi) dari manusia. Othman Abd-ar-Rahman Llewellyn adalah sarjana kontemporer yang telah memformulasikan dasar Islamic environmental law, yang berkaitan dengan konsep tauhid (kesatuan ciptaan-Nya), taqwa, rahma (kasih), dan ihsan (tindakan yang memberikan keuntungan), juga khilafa. Beliau juga mengutip ayat wa ma min dabbatin fil ardli wa la tha’irin yathiru bijanahayh. Dengan itu maka masuk akal jika manusia dilarang melakukan perusakan alam (fasad fi al-ardl). Beliau juga menggunakan kaidah fiqh bahwa kepentingan umum lebih dipentingkan daripada kepentingan pribadi dan mencegah keburukan lebih dipentingkan daripada mencari keuntungan (dar’al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih). Beliau mempertimbangkan juga aturan yang muncul masa perang tentang larangan untuk mengganggu perempuan, orang tua, tumbuhan dan binatang. Dalam tataran praktis, ada beberapa sarjana dan organisasi Muslim yang mendiseminasikan formulasi normatif tentang hubungan alam, manusia dan Tuhan, Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) di Birmingham dan The Islamic Foundation for Science and Environment di Delhi adalah dua contohnya. Beberapa pesantren di Indonesia juga mulai bisa digolongkan dalam kategori ini. Begitu juga organisasi islam seperti Muhammadiyah dan NU, bahkan MUI. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |