Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] Ramadhan sudah memasuki minggu ketiga. Sebagai seorang muslim tentunya saya menyambut gempita dan menjalani seluruh kegiatan ibadah Ramadhan. Tapi sesuatu mengganggu saya ketika menjalani ibadah salat Tarawih di masjid dekat rumah saya. Rumah saya terletak di pinggiran kota Depok. Perumahan perumahan saya memiliki masjid sendiri, di masjid tersebut saya terbiasa salat Tarawih. Setelah bertahun-tahun salat Tarawih disana saya baru menyadari, mengapa tidak pernah ada penceramah perempuan ketika Kultum (Kuliah tujuh menit) Tarawih? Yang saya ingat, sedari kecil saya selalu memerhatikan isi khotbah Tarawih, waktu masih sekolah dasar hingga SMP. saya diwajibkan memerhatikan dan mencatat isi ceramah ketika Tarawih dan tidak ketinggalan meminta paraf penceramah, hal itu saya lakukan sebagai tugas pesantren kilat di sekolah. Kini saya menyadari ada yang janggal dalam semua Kultum Tarawih yang saya datangi setiap tahun. Tidak pernah ada penceramah perempuan. Saya pikir itu hanya terjadi di masjid perumahan tempat saya tinggal, namun setelah saya bertanya kepada seluruh teman-teman melalui group di WhatsApp, ternyata baik di perumahan masjid rumah saya dan teman-teman saya, tidak ada penceramah perempuan sama sekali untuk mengisi Kultum salat Tarawih Ramadhan. Saya sangat menyayangkan hal ini. Karena bagaimanapun juga perempuan baik ibu-ibu, bibi-bibi, tante-tante, oma-oma, remaja, sampai anak kecil peserta Tarawih adalah perempuan. Kegelisahan saya ini saya sampaikan ke ibu-ibu DKM (Dewan Kemakmuran Masjid). “Kalau kamu mau penceramah perempuan, beberapa tahun lalu pernah ada Tarawih khusus wanita di aula RT 1, semua penceramah dan materi ceramah adalah perempuan tapi sayangnya kegiatan itu sekarang dihentikan karena dilarang oleh masjid”, Papar ibu pengurus DKM. Saya juga bertanya dengan ustazah perempuan (yang tidak pernah ceramah di depan umum) mengapa tidak pernah ada penceramah perempuan untuk turut mengisi ceramah Ramadhan, “Gak boleh lah, perempuan itu suaranya saja aurat, mana boleh berceramah di depan laki-laki, perempuan kalau mau ceramah ya di depan perempuan saja” ustazah menjawab. Kapan perempuan pergi masjid? Ibu saya selalu menekankan bahwa perempuan cukup salat di rumah, salat berjamaah hanya untuk laki-laki, perempuan hanya ke masjid jika ada pengajian yang mengundang keduanya, perempuan dan laki-laki (walau yang selalu datang justru ibu-ibu dan bapak-bapak, tidak pernah ada anak muda seusia saya). Tapi di bulan penuh berkah yang selalu saya nanti-nanti saat inilah kesempatan saya (anak muda) pergi ke masjid. Saya ingin mendengar perempuan-perempuan yang juga belajar agama, ustazah yang juga membicarakan tentang hubungan perempuan, sebagai manusia dengan Tuhannya secara vertikal. Sebenarnya bukan tidak ada penceramah perempuan. Televisi memberi ruang pada perempuan dan islam, selain jadi ikon hijab dan make up halal tentunya, ada satu tayangan televisi yang amat disukai nenek saya, Mamah dan A’a judul acaranya. Saya pikir, Mamah Dedeh jadi satu (dan satu-satunya) ustazah terkenal di masyarakat. Mungkin karena saya jarang nonton televisi atau kurang religious sehingga saya tidak mengenal nama ustazah lain. Saya beberapa kali menonton acara tersebut dan yang saya perhatikan isi ceramah untuk perempuan adalah bagaimana perempuan menjadi muslimah yang baik. Lebih pada pedoman bagaimana perempuan menjalin hubungan dengan manusia laki-laki, sabar dengan suami, perempuan sebagai sumber dosa. Hampir jarang sekali ceramah khusus perempuan yang membahas bagaimana posisi perempuan di mata Allah SWT dan cara menjalin kemesraan dengan Allah SWT selain dengan kesabaran dalam mengurus rumah tangga dan suami. Salah seorang ustazah NU (Nahdlatul Ulama) yang juga komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2015, Neng Dara Affiah, dalam suatu diskusi tentang Gerakan Perempuan Muslim di Indonesia mengatakan bahwa ia sebenarnya mau berceramah di depan laki-laki, tetapi lelaki tidak ada yang mau mendengarkan, perempuan masih dianggap setengah dari laki-laki. Wajar saja, laki-laki masih berpikir seperti itu, karena kepercayaan agama islam terhadap asal laki-laki dan perempuan masih bersandar pada mitos Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam. “Karena asalnya perempuan dari tulang rusuk itu bengkok, jadi harus sering-sering diluruskan”, kata ibu saya. Ceramah bulan Ramadhan terasa semakin jenuh, saya menyaksikan jemaah Tarawih semakin menipis hingga ujung Ramadhan. Mungkin ini akibat penceramah mengatakan hal yang mirip dalam Kultum Tarawih tentang keutamaan bulan Ramadhan atau mempertahankan ibadah pasca bulan Ramadhan. Berulang-ulang, terus-menerus, bertahun-tahun. Kita sebagai masyarakat masih juga tahun-menahun, terus-menerus, khawatir dunia akan rusak jika perempuan diberi mimbar untuk bicara. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |