Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Politik pada hakikatnya adalah upaya untuk merebut kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan di Indonesia masih didominasi laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga hingga tingkat politik formal. Berdasarkan sensus penduduk 2010, saat ini Indonesia memiliki237.641.326 penduduk, dengan jumlah perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa dan laki-laki sebanyak 119.630.913 jiwa serta seks rasio 101, yang berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Dengan jumlah penduduk perempuan yang sangat besar, apakah kepentingan politik perempuan telah diakomodir oleh negara, dalam hal ini pemangku kebijakan? Apakah posisi pengambilan keputusan hari ini telah diwarnai oleh perempuan? Apakah kepentingan perempuan dalam ranah domestik dan publik telah diakomodir? Dan apakah keterwakilan perempuan di ranah publik adalah sebuah urgensi politik? Cendekiawan Sue Thomas melontarkan lima alasan mengapa perempuan perlu meningkatkan partisipasinya dalam politik atau meningkatkan proporsi keterwakilannya dalam jabatan politik (Thomas dan Wilcox 1998, dalam Bennion, 2001). Pertama, kesempatan yang sama bagi kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, untuk memangku jabatan politik bisa meningkatkan legitimasi pemerintahan demokratis yang mengklaim mewakili semua warga negaranya. Kedua, warga negara percaya bahwa semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka tingkat kepercayaan dan dukungan terhadap pemerintah akan meningkat dan hal ini bisa membantu menciptakan pemerintahan yang lebih stabil. Ketiga, perempuan merupakan kelompok talenta yang besar. Kemampuan, titik pandang dan ide-ide mereka dapat menguntungkan masyarakat dengan melibatkan pemegang jabatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Keempat, pemerintahan yang merangkul pemimpin laki-laki dan perempuan menyampaikan pesan kepada kaum muda laki-laki dan perempuan juga warga negara dewasa dari semua kelompok umur, bahwa dunia politik terbuka bagi semua orang dan semua golongan, tidak hanya sebagai wilayah eksklusif laki-laki. Alasan ini didasarkan pada legitimasi, stabilitas, dan pemanfaatan sumberdaya. Kelima, alasan mengenai pentingnya memasukkan perempuan dalam jajaran pemimpin politik dilandasi oleh fakta bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai pengalaman hidup berbeda. Dengan adanya perbedaan ini, laki-laki dan perempuan bisa saling mengisi dan menyempurnakan peran masing-masing. Secara khusus, pembagian tugas berdasar gender yang berkelanjutan di tempat kerja maupun di rumah dapat berubah menjadi cara tersendiri untuk memandang usulan legislasi dan agenda politik berbeda, karena jiwa pengabdian, pemeliharaan, dan religiositas yang mereka punyai, diharapkan akan memberikan cara yang berbeda dalam kepemimpinan. UU Pilkada yang pada hari jumat 26 September disahkan dalam sidang paripurna DPR RI masih sarat akan perdebatan, tidak hanya pasca disahkannya UU ini, namun ketika UU ini masih menjadi rumusan pun sudah menuai kontraversi. UU Pilkada yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD ini sarat dengan kepentingan politik. Selain itu sejumlah faktor dijadikan alasan untuk kembali ke sistem pemilihan tidak langsung, diantaranya anggaran yang terlalu besar untuk pilkada langsung, politik dinasti dan integritas kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini bisa dilihat pada beberapa pasal, sebagaimana pada bagian keenam pasal 24 ayat (1) bahwa “pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil pemilihan dan pembahasan hasil uji publik dalam pemilihan gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi” dan sebagaimana pasal 26 ayat (1) dalam RUU Pilkada bahwa “setiap anggota DPRD memberikan suaranya hanya kepada 1 (satu) calon”. Meskipun menuai pro dan kontra, UU Pilkada tetap disahkan dan perjalanan demokrasi kita berjalan mundur kembali pada masa Orde Baru dimana pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota diselenggarakan dan dipilih oleh DPRD. Pengesahan UU Pilkada ini mengandung makna bahwa keterwakilan perempuan akan kembali tak mendapat ruang dan kehilangan ruhnya. Pasca Orde Baru, partisipasi politik perempuan mengalami peningkatan dan tentunya berbanding lurus dengan kenaikan persentase perempuan sebagai pemegang keputusan. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005. Sejak saat itu mulai bermunculan kepala daerah perempuan yang berintegritas dan berdedikasi tinggi untuk daerahnya. Mulai tahun 1945 hak perempuan untuk memilih telah diakui dan posisi perempuan dalam politik berlangsung secara fluktuatif. Berikut daftar kepala daerah yang dipilih langsung pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Berdasarkan data diatas terbukti bahwa Pilkada melalui mekanisme pemilihan langsung telah membuka kesempatan bagi perempuan yang mempunyai kemampuan untuk menduduki posisi pemegang keputusan, yaitu kepala daerah. Jika dibandingkan dengan pilkada tidak langsung tentunya sangat jauh berbeda, bahkan pada era pilkada tidak langsung perempuan belum mewarnai posisi kepala daerah. Tentunya UU pilkada dengan mekanisme langsung dipilih oleh rakyat adalah salah satu affirmative action bagi kaum perempuan selain UU pemilu tahun 2003 pasal 65 ayat 1 mengenai kuota 30 % keterwakilan perempuan di legislatif.
Peningkatan angka kepala daerah perempuan sejak pilkada langsung masih belum bisa mengakomodir dan mangadvokasi semua permasalahan-permasalahan perempuan di ranah domestik maupun publik. Dengan dipersempitnya kesempatan perempuan menjadi kepala daerah, siapakah yang akan mengadvokasi kepentingan-kepentingan politk perempuan? Kaum laki-laki? Seperti dijelaskan Mansour Fakih (2001:14)
Pada era kepemimpinan SBY juga UU Pilkada ini mengalami pembahasan ulang sampai akhirnya diputuskan untuk kembali menggunakan mekanisme tidak langsung yaitu pemilihan melalui DPRD. Dengan mekanisme seperti itu, timbul sebuah kekhawatiran atas menyempitnya ruang perempuan di ranah publik. Memang bukan sebuah jaminan bahwa pilkada dengan mekanisme tidak langsung secara otomatis akan menurunkan persentase perempuan sebagai kepala daerah, namun berdasarkan historical data yang ada kita bisa belajar untuk membuat future plan keterwakilan perempuan. Belum genap 10 tahun perempuan bisa bernafas lega karena terbukanya kesempatan-kesempatan berkarya di ranah publik, sekarang ruang itu sedikit demi sedikit ditutup kembali. Representasi perempuan di legislatif belum mencapai 30%, dengan mekanisme pilkada dipilih oleh DPRD, memunculkan pertanyaan apakah calon kepala daerah perempuan yang mempunyai kapasitas dan integritas akan dapat terpilih? Jawabannya tidaklah sederhana, mengingat ini bukan hanya persoalan persaingan gender namun persaingan koalisi partai pengusung dan money politics dikalangan anggota dewan, sehingga tidak menutup kemungkinan integritas dan kapabilitas calon dijadikan nomor kesekian, bahkan sistem demokrasi dari rakyat untuk rakyat ini bisa mengerucut menjadi sistem pemerintahan oligarki. Sekali lagi memang tidak ada jaminan apapun terhadap perempuan pada kedua mekanisme tersebut, namun yang perlu dipertimbangkan kembali adalah mekanisme pilkada mana yang lebih membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi kepala daerah. Wajah politik Indonesia hari ini ternyata belum memberi ruang terhadap perempuan. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotip telah menciptakan ketidaksetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marginalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya guna memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya akan memberikan perubahan pandangan terhadap budaya patriarki dalam masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya pemimpin politik perempuan dalam hal ini kepala daerah akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpin politik laki-laki. Referensi: Jurnal Perempuan Vol. 17 No. 4, Desember 2012, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta Danu Ramdhana, Politik Gender dan Demokrasi, 2013 http://id.wikipedia.org/Pemimpin_wanita_di_indonesia Yulianti Muthmainnah (Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah dan Mahasiswi Paramadina Graduate School of Diplomacy) [email protected] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bukan hanya selaras dengan ajaran Islam, tetapi juga mendukung perlindungan dan jaminan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, terutama perempuan korban perkosaan. Muktamar Internasional yang dihadiri negara-negara Islam di Zagreb, Kroasia, 2012, menghasilkan fatwa perempuan korban perkosaan boleh melakukan aborsi. Demikian disampaikan Syekh Yusuf Qardhawi. Alasannya, perkosaan itu bukan kehendak mereka, mereka pun tidak menanggung dosa akibat perbuatan itu, sehingga mereka boleh melakukan aborsi. Di Indonesia, terjadi pro dan kontra terkait aborsi. Kelompok yang menolak berpatokan pada larangan agama dan hak anak untuk hidup terlepas dari apapun status dan kondisi yang dialami sang ibu/perempuan hamil tersebut. Sedang kelompok yang mendukung berpandangan bahwa agama memperbolehkan untuk kondisi darurat, tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia di Asia Tenggara juga kondisi fisik dan trauma psikis perempuan korban perkosaan yang harus mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Pemerintah menyetujui pelaksanaan aborsi secara aman, legal, dan berstandar. Aborsi diatur sangat ketat, melalui tahapan yang panjang (Pasal 31–39). Persetujuan keluarga diharuskan bila aborsi karena indikasi kedaruratan medis (Pasal 35). Pada korban perkosaan, usia kehamilan sesuai kejadian perkosaan dengan bukti surat dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan ahli (Pasal 34). Aborsi pun baru bisa dilakukan setelah melalui tahapan konseling (Pasal 37), dilakukan oleh dokter berstandar, bukan untuk tujuan materi (Pasal 35–36) dan harus dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota (Pasal 39). Apabila perempuan korban perkosaan membatalkan rencana aborsinya setelah konseling, maka selama hamil, harus terus didampingi konselor, anak yang dilahirkan dari perkosaan dapat diasuh keluarga atau menjadi anak asuh negara (Pasal 38). Hilangnya jaminan kepastian hukum, potensi pelanggaran hak perempuan korban dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 39, rumusannya tidak membatasi jangka waktu keluarnya surat izin dari kepala dinas. Apakah visum et repertum tidak cukup? Bagaimana jika surat tak kunjung keluar? Padahal janin kian tumbuh dan aborsi hanya bisa dilakukan dengan syarat usia kehamilan dibawah enam minggu (Pasal 75 (ayat 2) UUK). Memahami Perkosaan Perkosaan merendahkan martabat perempuan dan melanggar HAM. Deklarasi PBB Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, mendefinisikan perkosaan sebagai setiap perbuatan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun privat. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) memasukkan perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang ditanganinya sejak 2002. Perkosaan terjadi karena adanya relasi kuasa yang tidak setara antara korban dan pelaku. Kate Millet mengatakan perkosaan sebagai cara sosial yang efektif untuk menundukkan dan mempermalukan suatu komunitas. Dengan perbuatan itu laki-laki merasa menang, perempuan korban dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, ingin “bersenang-senang” dengan gerombolan laki-laki lainnya, menganggap rendah perempuan, menganggap perempuan milik laki-laki, ingin memamerkan kuasa dan membuktikan kekuatan dirinya (Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape The War Against Women in Bosnia-Herzegovina). Pandangan Agama Perkosaan berbeda dengan zina. Zina, perbuatan hubungan seksual diluar nikah, biasanya dilandasi kesenangan atau suka sama suka. Hukuman pezina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali (jild) atau dilempari baru (rajam) bagi yang telah menikah. Sedangkan perkosaan terjadi karena paksaan/ancaman. KH Husein Muhammad, meng-qiyas-kan pemerkosa seperti “muharib” (penyerang dalam perang) sehingga harus dihukum berat. Islam sangat memperhatikan nasib perempuan. Kedatangan Islam justru mengangkat derajat perempuan dari bukan siapa-siapa dan dapat diwarikan menjadi seseorang yang kelahirannya dirayakan melalui aqiqah. Perempuan (manusia) makhluk mulia ciptaan Allah SWT (Q.S. Al-Isra:70), perempuan dan laki-laki diciptakan dari substansi (nafs) yang sama (Q.S. An-Nisa:1), perempuan memiliki kedudukan setara dan sederajat dengan manusia lainnya (Q.S al-Hujurat:13). Alquran telah mengharamkan hubungan yang saling melecehkan antara manusia (Q.S al-Hujurat: 11). Jika melecehkan saja diharamkan Alquran apalagi menyerang dan menghinakan perempuan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas sesuatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa dan karena dipaksa melakukannya.” Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada Muktamar Tarjih XXII di Malang, 1989, mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus. Kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) abortus provocatus criminalis atau aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis yang jelas adalah haram, (2) abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan, kesehatan ibu waktu mengandung, melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli. Perempuan korban perkosaan, rata-rata mengalami trauma luar biasa, bahkan banyak dari mereka ingin bunuh diri. Karena itu, sepatutnya kita berpihak pada mereka. Paha mama yang duduk di tengah sanggar itu berwarna lain. Mama itu sudah cukup umur, nenek-nenek, tapi masih rajin datang ke sanggar untuk membuat noken. Beberapa kali aku singgah ke sanggar itu sering mendapati mama tua itu sedang asyik dengan nokennya. Pernah sekali aku melihatnya duduk bertelanjang dada membelakangi tungku kecil—tampaknya mama tua sedang butuh menghangatkan tubuhnya—sambil menganyam noken. Paha mama berwarna lain itu agaknya karena memintal. Sanggar Semenawut berada di kampung Ats, salah satu kampung di Distrik Atsy Kabupaten Asmat. Sanggar ini khusus untuk mama-mama. Nama sanggar diambil dari nama istri moyang Ats. Dorang[1] percaya dengan memberi nama moyang maka roh moyang akan memberi perlindungan. Mama Monika, yang dituakan di sanggar ini, bercerita, “Roh moyang beri semangat, anyam noken tidak ada rasa lelah.” Menganyam noken bisa dilakukan dimana saja tanpa harus di sanggar. Yang membuat berbeda adalah rasa kebersamaan. Sanggar memberi semangat. Ada pembeda yang cukup mencolok antara laki-laki dan perempuan di tanah lumpur ini. Orang-orang Asmat percaya—tidak bisa diganggu gugat—bahwa hanya perempuanlah yang boleh tahu noken dan laki-lakilah yang boleh tahu ukir. Pembagian peran untuk nguri-uri ciri khas Asmat diperankan berdasarkan jenis kelamin. Mama-mamalah yang bertugas membuat noken dan bapa-bapa membuat ukiran. Jika dibalik maka pamali. Membuat satu noken membutuhkan proses panjang, dari mengambil bahan mentah hingga menganyam dan noken siap pakai. Tidak boleh sembarangan mengambil bahan baku untuk membuat noken. Semua ada aturan mainnya. Membuat noken sangat ramah lingkungan dan merawat persaudaraan. Sangat jarang ditemui mama-mama pergi ke dusun[2] sendirian. Biasanya mama-mama akan pergi berombongan ke dusun untuk mencari bahan-bahan noken atau pangkur[3] sagu. Bahan baku anyaman noken terbuat dari akar muda pohon pandan yang masih bergelantungan, disebut dengan nama bou. Mengambil akar muda ini tidak boleh berlebihan, secukupnya saja. Tidak ada istilah ambil banyak sekalian agar tidak usah bolak-balik ke dusun. Bahan lainnya adalah pucuk sagu muda yang terbuka disebut dengan junum. Selain itu dibutuhkan pucuk sagu muda yang tertutup biasa disebut pisis. Untuk menambah semarak noken (aksesori) dibutuhkan bahan-bahan lainnya seperti: jua (pisau rumput untuk memberi warna), tuwus (daun cuamek[4]), tisen (manik-manik warna putih), derek (manik-manik warna merah), pife (bulu tulang sayap kasuari) dan yothefak (bulu tulang burung mambruk bagian sayap dan ekor). Ambil yang dibutuhkan saat ini bukan saat esok. Kepercayaan untuk mengambil sagu dan bahan-bahan noken dari dusun yang diukur berdasarkan kebutuhan itu dipercayai turun temurun. Jika ada jawaban ‘itu sudah dari moyang’ artinya tidak usah dipertanyakan, ikuti saja. Tidak ada mama-mama yang berani melanggar aturan itu. Dibalik aturan yang tidak pernah dipertanyakan mama-mama tersebut tersimpan makna yang mendalam untuk menjaga ekosistem hutan. Orang-orang Asmat belum mempunyai kebiasaan menanam sagu (jiwa peramu), semua tumbuh dan berkembang biak dengan sendirinya. Maka mengambil secukupnya adalah jalan terbaik agar ekosistem tetap terjaga. Hal itu berbeda dengan mengambil pohon-pohon lainnya, seperti kayu besi atau pohon-pohon yang kualitasnya baik (nilai ekonomis/komersialisasi). Ada banyak kisah tentang penebangan liar. Bisa dipastikan yang melakukan penebangan liar (mengambil sesuka hati) itu bukanlah mama-mama. Satu pohon sagu rata-rata menghasilkan 2 caufa[5] junum/pisis. Sehari hanya boleh mengambil junum/pisis paling banyak dari 5 batang sagu. Tidak boleh ambil berlebih karena akan ada akibatnya (pamali). Junum/pisis tersebut diambil secara bersama-sama (bantu membantu), bukan satu orang ambil sendiri-sendiri. Hasilnya dibagi-bagi. Selesai ambil dari satu pohon sagu berpindah ke pohon yang lain dengan cara yang sama (jangan sampai merusak sagu, karena sagu belum saatnya dipangkur). Kebersamaan selalu dijaga karena kondisi alam. Pohon sagu tidak bisa dikatakan pohon ukuran kecil ketika sudah menghasilkan junum/pisis. Ada cerita lain dibalik kebersamaan tersebut. Mama Monika berkata “dong ambil sendiri takut setan to”. Pada dasarnya situasi alamlah yang membuat suasana kebersamaan itu terjaga. Tatkala alam masih belum “ternodai” maka kebersamaan itupun masih akan terus terjaga. Takut setan itu hanyalah alasan kecil yang sebenarnya tidak berlaku secara umum. Benar dorang memercayai adanya roh jahat (roh penggoda) yang tinggal di pohon-pohon tertentu. Selesai mengambil bahan-bahan secukupnya maka tiba saatnya pulang dari dusun. Bahan-bahan tadi digunakan sesuai dengan selera. Pada dasarnya ada dua macam noken. Perbedaan itu akan memengaruhi aksesori yang akan digunakan. Noken dengan bahan dasar akar pandan biasanya menggunakan aksesori bulu sayap/ekor burung bangau. Noken tersebut bukan hasil pintal tapi anyaman biasa. Berbeda dengan bahan dasar junum. Junum tersebut dikupas, ambil kulit luar yang tipis (yang tebal dibuang). Junum siap dipintal. Proses pintal adalah junum digulung-gulung diatas paha/betis (daerah kaki)[6]. Ketika menggulung junum diberi pelumas—biasanya dengan air ludah, seperti menghitung uang jari dijilatkan lalu mulai hitung uang lagi. Sekarang ada juga yang menggunakan pelumas pintal dengan air, beberapa bapa-bapa menggunakan abu tungku untuk pelumas pintal. Hasil pintal tersebut diberi nama semen. Bahan yang harus diproses lainnya adalah pisis. Pucuk sagu tersebut dibelah dua—berdasarkan garis yang sudah ada—lalu diikat ujungnya dan siap dianyam. Noken buatan mama-mama yang bahan dasarnya diambil dari dusun tersebut semua ramah lingkungan. Ketika tiba waktunya nanti noken itu rusak (karena dimakan usia) tidak ada sampah yang akan merusak tanah. Noken tersebut akan menyatu dengan tanah. Dari alam kembali lagi ke alam. Hasil anyaman noken tidak hanya digunakan oleh mama-mama saja. Mama-mama “tahu noken” tapi semua orang boleh memakai noken. Catatan Belakang: [1] Dorang sebutan untuk mereka (jamak) [2] Dusun artinya hutan. Tempat berburu atau mencari sagu, jarak rumah dengan dusun tidak bisa dikatakan dekat [3] Pangkur maksudnya proses mengambil sagu, mulai dari menebang hingga menyarikan tepung sagu. [4] Nama asmat buah manis [5] Satuan ukuran untuk satu buah [6] Proses mengulung-gulung diatas paha/betis hanya berlaku untuk perempuan. Jika laki-laki yang memintal maka menggunakan telapak kakinya. Biasanya laki-laki memintal dari bahan pohon fu. Hasil pintalan tersebut bukan untuk membuat noken tapi menghiasi ukiran, tombak, perahu, ikat kepala, alat penikam dll. Asmat, salah satu kabupaten yang ada di Papua termasuk kabupaten baru, hasil pemekaran dari Merauke. Kabupaten ini dikenal juga dengan nama Kota Papan atau Kota Lumpur. Jauh sebelum pemerintah hadir di tengah-tengah orang-orang Asmat, Gereja, melalui orang-orang misionaris—karenanya segala sesuatu terkait dengan gereja diberi sebutan misi—datang menyapa dan tinggal bersama. Hal itu membuat Asmat identik dengan agama katolik. Bahkan kehadiran misionaris di tengah masyarakat Asmat, yang hidup meramu dan tinggal di bevak[1]--menjadi ciri khas orang Asmat untuk bertahan hidup—telah ada sebelum Papua bersatu dengan Indonesia. Hadirnya pemerintah ditanah lumpur ini membuat masyarakat seolah-olah mempunyai “tuan baru ditanahnya”. Pemerintah datang membawa “aturan main” yang mau tidak mau harus diterima oleh seluruh penduduk di negeri ini tak terkecuali Asmat. Sekarang Asmat dengan jati dirinya harus berdiri diatas “kepentingan” adat, gereja dan pemerintah dalam waktu yang bersamaan. Semua mempunyai jalurnya sendiri-sendiri. Kepentingan-kepentingan yang hadir di tengah-tengah masyarakat Asmat ini tidak serta merta mampu menyejahterakan semua pihak (laki-laki, perempuan dan anak-anak). Perjuangan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki pun tidak dimulai hari kemarin (baik oleh gereja, pemerintah bahkan adat itu sendiri). Negara dengan “jargonnya” bernama Milennium Development Goals (MDGs) masih dalam tahapan proses. Bahkan dipenghujung tahun pun MDGs masih saja samar, apakah semua tujuan-tujuan itu sudah tergapai. Bukan barang baru lagi deklarasi milenium menghasilkan delapan target yang ditandatangani oleh 147 kepala negara dan kepala pemerintahan. Saat itu Indonesia diwakili oleh presiden, yaitu Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada KTT Milenium di New York AS, 6-8 September 2000. Delapan tujuan itu antara lain: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Laporan tahunan Bappenas, 2002). Delapan tujuan itu saya ambil tiga poin yang saling berdekatan, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Orang-orang Asmat masih memercayai adanya “keyakinan lokal” yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. Kepercayaan itu sangat mungkin menuai kritik ketika berbicara tentang kesetaraan gender. Mari kita angkat salah satu contohnya. Ada dua hal yang menjadi ciri kas Asmat, ukir dan noken. Dua barang itu akan mudah ditemui ketika penyelenggaraan pesta budaya[2]. Ukir dan noken seolah mempunyai jenis kelamin, hanya laki-laki yang boleh tahu ukir dan hanya perempuan yang boleh tahu noken. Bulan Juni tahun 2014 kemarin saya bertemu dengan mama-mama, tergabung dalam kelompok WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), di Paroki Basim[3]. Salah satu bahan pembicaraan dalam pertemuan itu adalah kesetaraan gender. Seperti yang diharapkan tujuan MDGs tentang mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Bukan hal mudah tentunya berbicara tentang gender dihadapan mama-mama yang masih asing dengan istilah kesetaraan gender itu sendiri. Pintu masuk yang lebih mudah dipahami adalah melalui budaya. Barang apa yang hanya boleh dibuat oleh perempuan dan barang apa yang hanya boleh dibuat laki-laki. Semua mudah sekali menjawab. Noken milik perempuan dan ukir milik laki-laki. Berulang kali saya tanya, “Apakah tidak boleh anak kecil laki-laki bermain-main membuat noken? Apakah boleh anak kecil perempuan bermain-main membuat ukir?” Semua menjawab seperti lagu refrain di semua rumpun yang ada di Asmat, “Perempuan tahu noken, laki-laki tahu ukir”. Apakah pembedaan itu akan berakibat bias gender? Tergantung kita melihatnya dan sangat tidak bijaksana jika urusan tujuan MDGs hanya dinilai dari ukir dan noken. Urusan mendasar—terkait dengan kebutuhan dasar dan hak dasar—lebih penting untuk diperjuangkan. Meskipun tidak bisa dipungkiri dibalik “komersialisasi ukir dan noken” terjadi ketidaksetaraan. Pesta budaya menampilkan semua budaya lokal yang ada, dari semua hal itu hanya ukir yang menjadi pusatnya, memang berdasarkan sejarahnya pesta budaya ada karena seni ukir. Seiring berjalannya waktu, pesta budaya identik dengan lomba ukir yang muaranya adalah “uang”, agaknya terjadi pergeseran makna. Pada dasarnya ukiran itu memiliki nilai sakral dan nilai keaslian. Berkaitan dengan pesta budaya, hasil ukiran akan dihargai lebih dari 10 juta—jika masuk nominasi menang. Berbeda nasib dengan noken—atau hasil karya mama-mama lainnya—sebagus-bagusnya noken, harga tertinggi yang pernah ada adalah 10 juta, bergantung dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Jalan buntu ketika berkisah tentang pemberdayaan perempuan berkiblat pada budaya lokal. Akses ekonomi terhambat karena hasil karya perempuan hanyalah pelengkap saja ketika pesta budaya[4] tiba, bahkan dalam acara paling “berkelas” sekalipun tidak ada afirmative action. Bukan berarti pula pesta budaya itu salah. Pesta budaya mempunyai sejarahnya sendiri. Yang harus ditekankan adalah peluang pemberdayaan perempuan untuk kesejahteraan bersama itu terbuka lebar (akses ekonomi). Orang Asmat menggantungkan hidupnya dari alam maka keselamatan alam harus dijaga. Jika ditengok lebih jauh lagi maka hasil karya perempuanlah yang mampu menjaga keseimbangan alam. Noken hanya bisa dihasilkan dari bahan yang boleh diambil pada waktunya. Semua ada batasnya, tidak boleh ambil berlebih. Junum (pucuk sagu yang terbuka) dan pisis (pucuk sagu yang tertutup) maksimal hanya boleh diambil 5 batang dalam sehari setiap mama. Aturan moyang ini tidak ada yang berani melawan. Pamali[5]. Sedangkan seni ukir berpotensi untuk tidak menjaga keseimbangan alam ketika pengukir hanya mengikuti selera pasar. Tidak sembarangan orang bisa mengukir suatu motif, ada kalanya sebelum ukir ada pestanya (upacara adat) terlebih dahulu. Nilai sakral tergerus oleh selera pembeli. Pengukir tidak lagi menghitung berapa kebutuhan ukiran sehingga butuh pohon berapa. Ketika ada pesanan ukiran maka menebang pohon tanpa peduli dengan keseimbangan alam dianggap hal lumrah—hitungannya, dusun penghasil kayu masih jauh lebih luas dibandingkan kampung untuk bermukim. Pater Vince Cole, MM, satu-satunya misionaris dari luar negeri yang masih tinggal di Asmat lebih dari 25tahun, mengungkapkan, “Para pengukir terpengaruh dengan motif modern dan mengikuti selera pembeli sehingga mengabaikan motif ukiran aslinya. Dengan kata lain, nilai kas ukiran mulai bergeser kepada nilai uang”[6]. Ritual-ritual yang harusnya dijaga serta memilih dan memilah kayu yang boleh ditebang tidak lagi menjadi syarat utama. Salah satu contoh, seorang pengukir senior di Atsy tidak lagi menghiraukan pentingnya aturan dalam membuat ukiran salawaku[7]. Ukiran itu pesanan seseorang sehingga pekerjaannya terkesan buru-buru, tebang kayu dihutan, diambil batangnya saja, lalu diukir di rumah dalam waktu relatif singkat. Lepas dari itu yang paling fatal adalah ukiran salawaku tidak boleh dibuat rombongan tapi dibuat sendiri, sesuai dengan fungsinya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa isu penebangan liar—jika tidak ingin dikatakan menebang tanpa batas—lebih banyak terjadi daripada pengambilan kayu untuk ukiran. Hal itu jelas merusak kesimbangan alam. Senso[8] ada dimana-mana sekarang, dan yang punya akses untuk menggunakan alat penebang itu dijamin hanya laki-laki. Terlihat sangat jelas bahan dasar membuat ukir dan noken berbeda proses tapi keduanya membutuhkan keseimbangan alam. Pembuatan noken menghasilkan karya luar biasa jika bahan dasar yang diambil sesuai aturan. Meskipun mama-mama tidak pernah tahu tentang apa itu teori keseimbangan ekosistem tapi dorang (mereka) lah pelaku sejati. Mama-mama merawat alam sesuai petunjuk moyang. Tapi siapa peduli tentang hasil karya mama-mama yang bisa membuat berdaya perempuan dan ramah lingkungan ini harusnya dihargai sama tingginya dengan seni lainnya? Dan siapa yang akan angkat bicara pentingnya keadilan akan hasil seni yang seolah berjenis kelamin itu. Seperti yang diungkapkan oleh Dony Danardono[9] “Pengabungan konsep tentang keadilan dan kepedulian ini sangat canggih dan menunjukkan bahwa etika kepedulian tak bisa menyelesaikan masalah bila tak diwujudkan dalam etika keadilan (aturan hukum)”. Maka pemberdayaan perempuan melalui budaya lokal akan tersingkir tatkala aturan hukum tidak turut membantunya, di sisi lain permasalahan yang hampir merata di semua tempat juga belum terselesaikan dengan baik (KDRT, pernikahan dini, permasalahan kesehatan reproduksi, perempuan sebagai makhluk kelas dua[10], dll). Aturan hukum hanya bisa dibuat oleh negara, sebagai bagian dari kewajiban negara untuk melindungi masyarakat, bukan dibuat oleh gereja ataupun adat—aturan adat hanya berlaku di satu rumpun saja, tidak berlaku secara umum. Tersendatnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ini senasib dengan upaya negara untuk menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu di Asmat. Temuan lapangan[11], 5 dari 11 lembar kertas yang kubawa ini menjawab dengan tegas bahwa di rumahnya pernah ada bayi meninggal. Tak ada yang menjawab 1 bayi, pasti 2 atau 4 bayi pernah meninggal di dalam keluarga tersebut. Usia yang mengisi lembaran ini paling tua 35 tahun. Misal pun dia menikah umur 15 tahun, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, bisa dihitung ada anaknya yang meninggal dalam waktu dekat ini. Kejadian ini bukan menceritakan zaman dulu, bukan zamannya Sukarno ataupun Suharto. Temuan lapangan[12] serupa juga terjadi di kampung lain. Salah satu pertanyaan dalam studi rumah tangga saat pertemuan kampung ini terkait tentang kesehatan, yaitu: pernah ada bayi/anak meninggal? Berapa? Kutanya satu per satu mama-mama yang ikut dalam pertemuan. Takjub, heran, haru. Entah pernyataan apa yang pas untuk menggambarkan situasi hati ini ketika melihat jawaban mama-mama ini. Sebanyak 50% menjawab pernah, ironisnya dari setengah yang menjawab pernah itu jumlah bayi yang meninggal tidak hanya sekali. Hasilnya sama dengan kampung yang diceritakan di atas. Anak yang meninggal ada 2 hingga 4 usia bayi. Peserta yang ikut pertemuan kampung itu ada 10 mama-mama usia produktif (35-45th). Jadi inikah yang disebut dengan mengurangi angka kematian bayi? Dan parahnya penyebab kematian bayi-bayi itu bukan “sakit mahal” tapi hanya panas muntah berak (muntaber) yang harusnya bisa diberi pertolongan pertama jika akses informasi tersampaikan dengan baik. Selain akses informasi kebutuhan untuk mendekatkan akses layanan penting dilakukan. Hal itu agaknya sudah disadari oleh banyak pihak, di sisi lain tidak mudah mendapatkan pekerja kesehatan yang bersedia tinggal di daerah-daerah pedalaman. Ada banyak alasan yang menyertai permasalahan itu sehingga terkesan seperti “benang ruwet”. Daerah geografis kabupaten Asmat tergolong unik. Transpotasi utama adalah perahu. Kampung satu dengan yang lain terpisahkan oleh sungai—kebanyakan sungai dalam ukuran besar. Air bersih bergantung pada hujan, air rawa termasuk air bersih tapi letaknya jauh dari kampung karena harus pergi ke dusun/hutan, serta isu hak dasar lainnya, tak terkecuali masuknya pengaruh-pengaruh dunia luar yang tidak terbendung. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Memang benar ada banyak layanan kesehatan yang berbunyi “gratis”. Tapi di Asmat kebutuhannya berbeda. Sarana transpotasi yang tidak mendukung, ikut berkonstribusi pada tersendatnya akses layanan kesehatan gratis tersebut. Apapun alasannya itu, perempuan Asmat masih rentan dengan kebutuhan dasar berupa kesehatan (ibu) dan masih menjadi sasaran empuk untuk “kampanye” (objek). Catatan Belakang: [1] Bevak adalah gubuk sederhana yang digunakan untuk tinggal sementara di hutan ketika mencari makan. [2] Sebuah kegiatan yang dimulai tahun 1981 dan diprakarsai oleh Gereja untuk mempersatukan antar rumpun dan menjaga budaya. Usia pesta budaya lebih dari seperempat abad, tahun 2014 genap berusia 30 tahun. Ada 4 kali tahun tidak diadakan pesta budaya karena alasan tertentu. Kegiatan ini diselenggarakan setiap bulan oktober. Kegiatan seleksi ukiran dan noken atau hasil karya lain mama-mama diadakan disetiap wilayah (dulunya semua tahapan kegiatan berpusat di Agats saja), puncak acara diadakan di ibukota kabupaten (Agats). Tahun ini pesta budaya akan diselenggarakan tanggal 9-14 Oktober 2014. [3] Paroki ini terdiri dari 4 kampung di pusat distrik Fayit dimana jumlah pendatang semakin bertambah banyak. [4]Karya mama-mama diikutkan dalam pesta budaya belum lama, dimulai sekitar tahun 2008 (hasil wawancara dengan Pak Pius dari kampung Ats, salah satu peserta lomba ukir yang lolos tahun ini). Mulai tahun 2003 pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk penyelenggaraan pesta budaya, bujet itu tidak sama setiap tahunnya. Selama penyelenggaraan paling besar tahun 2013 mencapai 1,2 Milyar, paling sedikit berkisar diangka 400-an juta (hasil wawancara dengan Pak Erick sarkol, komisi budaya keuskupan Agats). [5] Ungkapan ini diceritakan oleh Mama Monika dari Sanggar Semenawut dan diamini oleh anggota yang ada di situ ketika wawancara ini. [6] Diambil dari majalah Fu (media Keuskupan Agats), Edisi No.21 Desember tahun 2011 hal 46. [7] Ukiran dalam perisai, biasanya motifnya tulang dan simetris. Fungsi utama perisai untuk melindungi diri bukan kelompok. [8] Menebang pohon dengan alat gergaji mesin. [9]Buku seri I Kajian Ekofeminisme: Ekofeminisme dalam tafsir agama, pendidikan, ekonomi dan budaya (hal 53). [10] Ketimpangan terjadi dalam hal “kuasa perahu”. Hanya laki-laki yang boleh membuat perahu sedangkan perempuan merawatnya. Perahu dilambangkan sebagai “kejantanan” dan tidak semua laki-laki bisa membuat (punya) perahu. Ada analogi “tidak ada perahu maka tungku dingin (karena tidak bisa pergi mencari makanan sehingga tungku tidak berasap artinya tidak bisa makan). Tidak bisa membuat perahu dianggap sebagai cowut (perempuan) yang hanya bisa menerima saja.” Disarikan dari artikel yang ditulis oleh Onesius Otenieli Daeli dengan judul CI: Suatu Kunci Untuk Memahami Gender Diantara Masyarakat Asmat Papua Indonesia. [11] Kegiatan rangkaian PRA (Participatory Rural Appraisal) di kampung Sanem yang jumlah KK-nya ada 33 ini difasilitasi oleh Yayasan SATUNAMA dan DELSOS (Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agats) pada tanggal 17 Agustus 2014. [12]Kegiatan rangkaian PRA (Participatory Rural Appraisal) di kampung Sona (ada 95 KK) dan Erme (ada 166 KK) ini difasilitasi oleh Yayasan SATUNAMA dan DELSOS (Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agats) pada tanggal 8-11 Juli 2014. Masih hangat dalam benak saya, pelajaran sejarah tentang bagaimana Yunani dianggap sebagai negara-kota yang selalu menjadi titik awal kita jika hendak berbicara tentang konsep di masa kini dan di masa mendatang. Tidak banyak pula dari kita yang mau dan mampu melihat kronologis dari peristiwa yang telah berabad-abad lamanya untuk direfleksikan sekarang, terutama, jika hendak bicara tentang kedudukan perempuan. Sebagaimana kita yang selalu memakai bahasa latin untuk melekatkan menjadi istilah, Demokrasi yang selalu kita tarik cikal bakalnya adalah negara-kota Yunani, Agora, yang memiliki kebiasaan berbicara di dalam suatu podium dimana kita semua berkedudukan sama dan saling berbicara, bahkan berdebat didalamnya. Tentu saja rekonstruksi demokrasi yang selalu kita hadirkan dalam imajinasi kita memiliki catatan seperti budak dan perempuan tidak ikut serta bersuara karena dianggap bukan warga negara. Diskusi filsafat dengan pembicara Rocky Gerung dan dimoderatori oleh Gadis Arivia[1] yang adalah pendiri Jurnal Perempuan, mengembalikan saya pada ingatan imajinasi yang saya temukan di lembaran buku Dunia Sophie ketika SMA. Suatu podium besar dimana semua orang berhak bersuara. Menyampaikan pendapatnya. Saling berargumentasi agar ilmu pengetahuan bisa terus berkembang. Tapi sekarang, mungkin beberapa catatan bisa dihapus seperti perempuan, kini sudah dianggap sebagai warga negara. Sebagai mahasiswa sejarah saya menilik kembali ke belakang. Pada apa yang telah manusia lalui hingga sampai di titik yang sekarang. Berbekal imajinasi tentang podium diskusi masa Yunani, saya menelaah apa yang telah perempuan lakukan hingga kesadarannya terbangun dan mendapati dirinya adalah seorang manusia yang dijadikan perempuan[2]. Di Eropa sendiri banyak hal terjadi hingga perempuan bisa mengembalikan dirinya menjadi manusia, walau masih dalam proses, tapi sesungguhnya proses tidak akan pernah berhenti. Kita bisa menilik jalannya Merkantilisme dan kebangkitan awal Kapitalisme, jalannya revolusi industri di Inggris, Revolusi Prancis, Kelahiran Amerika, Kebangkitan Asia. Semua (His)tory yang membawa gerakan perempuan ikut serta walau lebih terlihat seperti gerakan parsial. Jauh sebelum revolusi berkibar, perempuan sebagai manusia telah memiliki kesadaran untuk menjadi manusia. Tetapi ketika itu, waktu dan ruangnya belum tepat. Dinamika politik, sosial, budaya yang terus berjalan dinamis digiring waktu membuka peluang bagi perempuan mematenkan kesadarannya. Mengatakan pada dunia bahwa ia juga ingin diperlakukan sebagai manusia, sebagai warga negara. Menjadi bagian dari story. Berakhirnya perang dunia mengobrak-abrik pula pemikiran modern yang menggunakan filsafat sebagai semen untuk membangun arogansi sehingga dianggap sahih, menjadi absolut, kaku, dan melegalkan kekerasan. Dari sana pula kita melihat kesalahan tindakan yang telah kita lakukan selama ini. Setelah banyak darah tumpah, perang yang menimbulkan janda dan penderitaan, lingkungan yang hancur digerogoti alat-alat besi, kita sampai di titik jenuh dan gerakan perempuan menggeliat dari rahim New Left[3] di Amerika. Melalui globalisasi dan modernisasi perempuan menancapkan kedudukannya dalam sejarah, berupaya menularkan kesadarannya ke banyak perempuan lain di seluruh dunia. Walau lebih sering ditulis sebagai pemeran pembantu di dalam sejarah, apalagi di sejarah kita, sejarah Indonesia yang ditulis oleh tangan patriarki[4], pelan-pelan perempuan di seluruh dunia berproses melalui meme yang menghidupkan kembali perempuan sebagai manusia. Melalui tulisan, gerakan perempuan bangun dan kemudian bangkit. Walau sekali lagi, masih proses. Hal tersebut membawa kita pada masa sekarang. Tidak lagi hanya laki-laki yang mengisi podium dan berbicara, kini ada perempuan dalam podium tersebut dan punya hak untuk ikut berbicara. Saya katakan proses karena nyata-nyatanya, dalam kuliah tersebut para pembicara dan penanya masih dari kalangan laki-laki. walaupun sudah ada Denisa sebagai pembuka acara dan Gadis Arivia sebagai moderator. Kita belum mencapai perempuan sebagai warga negara secara utuh. Kita masih berproses, perempuan hanya hadir dan malu bicara. Usaha kita masih belum cukup, jalan kita masih panjang. Dan sembari menulis ini, saya berpikir ulang, apa yang telah saya lakukan dan apa yang harus saya lakukan setelah ini. Dalam bingkai waktu saya akan terus berupaya untuk menyebarkan kesadaran. Atau sebenarnya saya sendiri juga masih belum sadar. Catatan Belakang: [1] Diskusi Filsafat berjudul “Filasafat dan Arogansi” pada tanggal 19 September 2014 di FIB UI [2] Simone de Beauvoir dalam Bukunya The Second Sex (1949) yang banyak dikutip menuliskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan dijadikan perempuan. [3] New Left pada tahun 1960-an bernama gerakan Kiri Baru yang membawa nafas-nafas tentang kemanusiaan, kesetaraan dan feminisme masuk di dalamnya. [4] Baik Soekarno yang mengeluarkan buku berjudul Sarinah (1936) yang meng’ideal’kan perempuan, begitu pula Soeharto yang mengeluarkan kebijakan terhadap perempuan yang disebut oleh Julia Suryakusuma sebagai Ibuisme Negara. Dua-duanya memosisikan perempuan adalah bagian dari laki-laki karena itu berhak diatur. Wara Aninditari Larascintya Habsari (Relawan Divisi Pemantauan dan Advokasi Impunitas Kontras) [email protected] Dua minggu lalu tiga orang ibu berkumpul di satu ruang. Ketiganya berbicara bergantian. Mengungkapkan keresahan dan harapan mereka tentang keberlanjutan penyelesaian kasus kematian anak dan juga suami mereka. Seorang ibu yang anaknya mati tertembak di depan Semanggi berkata lirih tentang celah kecil di langit kebenaran. Celah itu adalah terpilihnya pasangan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke-7. Dalam senandung yang ia bisikkan terdengar secuil keputusasaan menggelayuti suara beratnya. “Kesehatan saya sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk setiap hari Kamis berdiri di depan Istana. Semoga dengan tumbuhnya kesadaran anak muda dan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden, bisa memberi kado kecil untuk kami-kami yang sudah lama berjuang”, begitu kata beliau. Keputusasaan itu ditangkap oleh seorang perempuan lainnya yang 16 tahun lalu kehilangan anaknya. Anak yang menjadi harapan keluarga itu mati dalam sebuah mal yang dikunci dari luar, lalu dibakar pasukan lelaki berambut cepak. Ia bukan satu-satunya perempuan yang kehilangan anak. Ia bukan satu-satunya orang tua yang terpaksa mengubur mimpi mereka menikmati masa tua yang indah di dalam sebuah rumah hangat dengan gaung tawa kanak-kanak, anak-anak dari anak mereka. Perempuan itu hanya datang seorang diri. Ia mengaku bahwa kebanyakan kondisi keluarga korban tragedi masa lalu itu tidak memungkinkan untuk ikut memperjuangkan keadilan dan pengungkapan kebenaran atas peristiwa yang merengut nyawa anak-anak mereka. Ibu yang sudah tua terpaksa menjajakan dagangan ke para tetangga. Bapak yang sudah renta terpaksa bekerja sepanjang hari guna memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Tragedi tahun itu memupuskan harapan mereka akan kesejahteraan di hari tua. Namun rupanya si ibu yang satu ini punya pendapat yang berbeda. Baginya meski pedih dan harus berkali-kali menanggung luka karena pemerintah ingkar janji, segala apa yang ia lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri. Adalah tugasnya menyuarakan letih, sedih, semangat, dan harapan korban pelanggaran HAM berat masa lalu kepada khalayak. Kepada para pemuda-pemudi penerus bangsa. Perempuan itu tegas menasihati sang perempuan pertama. Bahwa tidak ada satu pun korban yang memilih atau meminta dirinya menjadi korban, tetapi berjuang mencari keadilan adalah sebuah pilihan bagi korban. Seorang perempuan lainnya tertangkap basah menitikkan air mata dalam pertemuan itu. Ia terharu mendengar elegi yang dinyanyikan sang perempuan kedua. Perempuan itu bukan tanpa luka. Tidak. Ia terluka karena suaminya dibunuh. Ia terluka karena yang membunuh suaminya tidak hanya masih bebas berkeliaran, namun ia terluka karena pembunuh suaminya bahkan kini dipercaya menjadi pimpinan tim penasihat dari gugus depan perumus pemerintahan baru, Hendropriyono. Perempuan terakhir menekan segala resah. Ia mencoba meniupkan ruh semangat yang masih tersisa di raganya. Ia mengutip kembali sebuah dongeng yang dikisahkan Romo baik hati: Kita adalah lilin raksasa. Lilin itu kita bawa kemana-mana. Lilin itu kita pikul bersama. Lilin itu melukai raga juga jiwa kita. Kadang kala lilin itu meradang terang. Tak jarang lilin itu tertunduk redup terkena terpaan badai keputusasaan. Lilin itu dibawa berlari. Terus berlari mencari sebuah cawan suci tempat si api abadi bisa menari-nari. Sayangnya suatu hari tangan-tangan kita basah akan lelah. Sayangnya suatu hari kaki-kaki kita tersandung batu kecewa. Lilin raksasa itu tergelincir, lalu jatuh ke tanah. Terpantul keras di bawah sana. Serpihannya menyebar segala arah. Tak disangka serpihan putih itu bukan melukai hati kita. Serpihan itu ditangkap tangan-tangan muda sebelum padam menyentuh tanah. Jadilah ia lilin-lilin kecil yang menyala kecil. Lilin-lilin kecil itulah, mereka. Mereka yang percaya bahwa keadilan dan pengungkapan kebenaran itu akan tiba. Lalu kita berlari bersama. Membawa lilin-lilin kecil menuju cawan suci tempat api abadi bisa menari-nari. Tahun 2014 adalah tahun politik, kita sebagai warga negara Indonesia menyaksikan dan turut ikut serta dalam menentukan wakil kita melalui pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden. Pada tahun ini pula para calon wakil rakyat berebut mendapatkan simpati rakyat untuk mendulang suara. Berbagai pemikiran dan ayat-ayat suci juga digunakan untuk menjadi landasan dan alasan untuk merebut simpati rakyat. Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki dasar hukum utama yaitu Alquran disusul hadis dan ijtihad. Anjuran umat islam untuk memimpin telah dituangkan dalam beberapa ayat-ayat Alquran seperti pada surat Al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” Dan pada surat Al An’aam ayat 165: “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Dia Tuhanmu amat cepat siksaan-nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[1] Sayangnya, pemahaman akan penguasa dalam beberapa ayat di Alquran ini sering kali dimaknai sempit penguasaan dan kepemimpinan terhadap manusia dan penguasaan terhadap alam. Pemilihan kata “penguasa” dibadingkan “pemimpin” juga mampu menggiring pandangan kita terhadap khalifah. Penguasa berasal dari kata kuasa atau dalam kata kerja menguasai yang berarti memegang kekuasaan atas sesuatu. Sesuatu disini sering kali dimaknai sempit hanya sekadar menguasai sebagian manusia atau kelompok. Padahal, isi bumi ini tidak hanya manusia, unsur kehidupan secara biologis dibagi biotik dan abiotik. Manusia memang bagian dari klasifikasi biotik tetapi begitu juga dengan hewan, tumbuhan, bakteri, dan kita sebagai makhluk hidup biotik juga tidak bisa hidup sendiri tanpa disokong abiotik seperti tanah, oksigen, air dan sebagainya. Pemaknaan penguasa disini merujuk pada manusia sebagai makhluk hidup yang dianggap memiliki akal dan mampu berpikir secara rasional dan tidak mengikuti insting dasarnya saja. Manusia mampu mengelola unsur biotik dan abiotik lain di luar dirinya, karena itulah manusia dipilih sebagai khalifah di bumi ini. Dalam buku Kangen Indonesia, Hisanori Kato menulis bahwa penggunaan sendok dan garpu ketika makan menyimbolkan manusia yang mampu menguasai alam. Apakah alam memang diciptakan untuk dikuasai? Pemikiran modern yang ditandai dengan revolusi industri merupakan perpanjangan atas pandangan antroposentris sebagai bentuk perlawanan dari theosentris pada masa abad pertengahan. Sayangnya, pemikiran modern ini melahirkan antroposentris yang kebablasan dan kemampuan manusia dengan sudut pandang manusia telah meninggalkan alam serta batas-batasnya. Khalifah bukan saja manusia menguasai manusia lainnya, tetapi lebih kepada mengelola dengan bijak manusia dan non-manusia. Kekuasaan adalah keinginan yang tidak ada habisnya karena menjadi salah satu dasar stratifikasi sosial sedangkan jika kita menggunakan kata mengelola akan membuat tujuan dari kepemimpinan yang kita lakukan lebih seperti mandat Tuhan untuk berbuat adil. Ekofeminisme menawarkan bentuk kepemimpinan terhadap seluruh makhluk dengan lebih ramah. Ekofeminisme dianggap salah satu cabang dari feminisme. Ekofeminisme adalah suatu gerakan dalam feminisme yang memiliki argumen bahwa penindasan patriarki menghancurkan alam (nature) dengan mengatasnamakan keuntungan (profit) dan kemajuan (progress)[2]. Feminisme menunjukan wajah islam sebagai agama yang memiliki Tuhan yang bersifat Ar-Rahmah (pengasih) dan Ar-Rahim (penyayang) yang biasanya diidentikkan dengan sifat perempuan. Dalam hal ini menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan, khilafah diharuskan bersikap pengasih dan penyayang terhadap setiap makhluk. Bersikap pengasih dan penyayang tidak membuat seorang pemimpin menjadi lemah tetapi begitulah seharusnya ia bersikap. Feminisme menawarkan cara memimpin serta pemimpin yang berdasarkan cinta dan kasih sayang, menambal lubang pertarungan umat manusia yang membuat manusia hidup seperti dalam pacuan kuda yang tidak henti-hentinya mencapai sesuatu. Hal ini sempat dikritik dalam beberapa film yang dibuat oleh Aamir Khan, seorang sineas India yang mengatakan hidup ini tidak seperti lomba yang setiap manusia terus-terusan dipacu untuk terus mengejar sesuatu, berlomba untuk menguasai dan sistem pendidikan memang dibuat sedemikian rupa agar kita nantinya bisa dan selalu ingin terus menguasai sesuatu. Saya rasa kita harus sejenak duduk dan berpikir. Mencoba memaknai kepemimpinan yang telah kita lakukan selama ini. kepemimpinan atas diri kita sendiri, rehat dari perlombaan menguasai manusia. kepemimpinan yang kita lakukan atas tubuh kita, kepemimpinan kita dalam mengelola lingkungan hidup, kepemimpinan kita dalam menghargai dan berinteraksi dengan orang lain. Memikirkan kepemimpinan dan tanggung jawab kita terhadap anak-cucu-cicit kita kelak, memikirkan tanggung jawab kepemimpinan kita atas Tuhan. Catatan Belakang: [1] Buku Pintar Al-Quran: Refrensi Lengkap memahami Kitab Suci Al Quran . 2002. Mochtar Storqe dan Muhammad Iqbal.Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia. Hlm 242-243 [2] Kata dan Makna oleh Nur Iman Subono dalam Jurnal Perempuan edisi 80 vol. 19 No. 2, Mei 2014 hlm 167 |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |