Wara Aninditari Larascintya Habsari (Relawan Divisi Pemantauan dan Advokasi Impunitas Kontras) [email protected] Dua minggu lalu tiga orang ibu berkumpul di satu ruang. Ketiganya berbicara bergantian. Mengungkapkan keresahan dan harapan mereka tentang keberlanjutan penyelesaian kasus kematian anak dan juga suami mereka. Seorang ibu yang anaknya mati tertembak di depan Semanggi berkata lirih tentang celah kecil di langit kebenaran. Celah itu adalah terpilihnya pasangan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke-7. Dalam senandung yang ia bisikkan terdengar secuil keputusasaan menggelayuti suara beratnya. “Kesehatan saya sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk setiap hari Kamis berdiri di depan Istana. Semoga dengan tumbuhnya kesadaran anak muda dan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden, bisa memberi kado kecil untuk kami-kami yang sudah lama berjuang”, begitu kata beliau. Keputusasaan itu ditangkap oleh seorang perempuan lainnya yang 16 tahun lalu kehilangan anaknya. Anak yang menjadi harapan keluarga itu mati dalam sebuah mal yang dikunci dari luar, lalu dibakar pasukan lelaki berambut cepak. Ia bukan satu-satunya perempuan yang kehilangan anak. Ia bukan satu-satunya orang tua yang terpaksa mengubur mimpi mereka menikmati masa tua yang indah di dalam sebuah rumah hangat dengan gaung tawa kanak-kanak, anak-anak dari anak mereka. Perempuan itu hanya datang seorang diri. Ia mengaku bahwa kebanyakan kondisi keluarga korban tragedi masa lalu itu tidak memungkinkan untuk ikut memperjuangkan keadilan dan pengungkapan kebenaran atas peristiwa yang merengut nyawa anak-anak mereka. Ibu yang sudah tua terpaksa menjajakan dagangan ke para tetangga. Bapak yang sudah renta terpaksa bekerja sepanjang hari guna memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Tragedi tahun itu memupuskan harapan mereka akan kesejahteraan di hari tua. Namun rupanya si ibu yang satu ini punya pendapat yang berbeda. Baginya meski pedih dan harus berkali-kali menanggung luka karena pemerintah ingkar janji, segala apa yang ia lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri. Adalah tugasnya menyuarakan letih, sedih, semangat, dan harapan korban pelanggaran HAM berat masa lalu kepada khalayak. Kepada para pemuda-pemudi penerus bangsa. Perempuan itu tegas menasihati sang perempuan pertama. Bahwa tidak ada satu pun korban yang memilih atau meminta dirinya menjadi korban, tetapi berjuang mencari keadilan adalah sebuah pilihan bagi korban. Seorang perempuan lainnya tertangkap basah menitikkan air mata dalam pertemuan itu. Ia terharu mendengar elegi yang dinyanyikan sang perempuan kedua. Perempuan itu bukan tanpa luka. Tidak. Ia terluka karena suaminya dibunuh. Ia terluka karena yang membunuh suaminya tidak hanya masih bebas berkeliaran, namun ia terluka karena pembunuh suaminya bahkan kini dipercaya menjadi pimpinan tim penasihat dari gugus depan perumus pemerintahan baru, Hendropriyono. Perempuan terakhir menekan segala resah. Ia mencoba meniupkan ruh semangat yang masih tersisa di raganya. Ia mengutip kembali sebuah dongeng yang dikisahkan Romo baik hati: Kita adalah lilin raksasa. Lilin itu kita bawa kemana-mana. Lilin itu kita pikul bersama. Lilin itu melukai raga juga jiwa kita. Kadang kala lilin itu meradang terang. Tak jarang lilin itu tertunduk redup terkena terpaan badai keputusasaan. Lilin itu dibawa berlari. Terus berlari mencari sebuah cawan suci tempat si api abadi bisa menari-nari. Sayangnya suatu hari tangan-tangan kita basah akan lelah. Sayangnya suatu hari kaki-kaki kita tersandung batu kecewa. Lilin raksasa itu tergelincir, lalu jatuh ke tanah. Terpantul keras di bawah sana. Serpihannya menyebar segala arah. Tak disangka serpihan putih itu bukan melukai hati kita. Serpihan itu ditangkap tangan-tangan muda sebelum padam menyentuh tanah. Jadilah ia lilin-lilin kecil yang menyala kecil. Lilin-lilin kecil itulah, mereka. Mereka yang percaya bahwa keadilan dan pengungkapan kebenaran itu akan tiba. Lalu kita berlari bersama. Membawa lilin-lilin kecil menuju cawan suci tempat api abadi bisa menari-nari. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |