Nikodemus Niko (Alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas Padjadjaran) [email protected] Kemiskinan di Indonesia sudah menjadi isu yang berkepanjangan, dimulai sejak masa penjajahan kolonial Belanda hingga masa teknologi modern kini. Penanganan berarti belum terlihat berdampak pada pengurangan kemiskinan, baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Demikian pula di Kalimantan Barat yang merupakan wilayah strategis persinggahan antar negara seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Kemiskinan di Kalimantan Barat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 tercatat sebanyak 401,51 ribu orang yang hidup dibawah garis kemiskinan, dimana jumlah kemiskinan lebih banyak dijumpai di wilayah pedesaan. Kemudian data BPS tahun 2016 mencatat bahwa dalam skala nasional kemiskinan di wilayah pedesaan menurun, namun kemiskinan di wilayah perkotaan meningkat. Namun bukan berarti mata rantai kemiskinan di wilayah pedesaan kian terputus, melainkan melahirkan kemiskinan-kemiskinan lain bagi perempuan, seperti tidak adanya akses perempuan dalam pengelolaan dana desa. Perempuan dan Kemiskinan Isu perempuan erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Utamanya perempuan yang mendiami wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi kehidupan yang miskin dan serba terbatas. Tidak terkecuali kondisi kehidupan perempuan di wilayah perbatasan negara yang merupakan masih pedesaan-pedesaan yang terpencil dan terisolasi. Mereka hidup menyatu dengan alam dan menjadikan alam sebagai sumber penghidupan. Perempuan di perbatasan sulit sekali mengakses pendidikan tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah dasar, mereka memilih untuk bekerja di Malaysia, atau bahkan menikah di usia yang tergolong masih muda. Realitas ini tidak menjadi acuan dalam berbagai program pembangunan wilayah perbatasan, sehingga kondisi mereka masih tetap terbelakang secara sumber daya manusia. Pembangunan di wilayah perbatasan selama ini lebih menekankan kepada pembangunan infrastruktur, tetapi kurang memperhatikan pembangunan manusianya. Sehingga masyarakat lokal yang berada di kawasan perbatasan tetap menjadi penonton dan tidak terlibat aktif dan representatif dalam proses implementasi pembangunan. Sebagai akibatnya masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan masih tetap dalam keadaan miskin dan tetap terpinggirkan. Sebagai sebuah permasalahan sosial, kemiskinan tentu membawa dampak yang lebih luas terlebih bagi perempuan di perbatasan. Tidak jarang mereka mengalami eksploitasi di sektor domestik bahkan menjadi korban perdagangan orang di Malaysia. Melihat kenyataan ini, penulis tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang kehidupan perempuan di daerah perbatasan yang sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan pendidikan dan keterampilan yang minim dimiliki masyarakat lokal, terlebih bagi perempuan. Tulisan ini berupaya untuk mendeskripsikan tentang kemiskinan perempuan di perbatasan negara Indonesia-Malaysia di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat yang ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis saat di Jagoi Babang. Kemiskinan Perempuan Perbatasan Jagoi Babang Keterbatasan-keterbatasan tidak melulu persoalan ekonomi semata, melainkan terdapat persoalan yang sudah multidimensional. Bahkan persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan di perbatasan mengalami kemiskinan kultural dan struktural. Dalam konteks ini posisi perempuan sangat rentan untuk mengalami kemiskinan multidimensi, dimana terdapat indikator-indikator seperti; dimensi sosial, pendidikan, kesehatan dan standar kualitas hidup. Kemiskinan merupakan suatu permasalahan pokok dan berkelanjutan pada masyarakat perbatasan. Hal ini merupakan sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang ada. Data monografi pemerintah Kecamatan Jagoi Babang tahun 2013 mencatat bahwa sebanyak 1.537 KK (kepala keluarga) hidup di garis kemiskinan dari jumlah total 1.679 KK di Jagoi Babang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh masyarakat di Jagoi termasuk ke dalam kategori miskin. Menurut pengamatan penulis, terdapat beberapa desa yang tidak memiliki infrastruktur jalan raya, sehingga akses menuju ke desa tersebut harus menggunakan perahu motor dengan estimasi waktu dan biaya yang mahal. Hal ini menunjukkan bahwa mereka juga miskin dalam akses pembangunan. Dalam perkembangan masyarakat masa kini, isu kemiskinan tidak dapat terpisahkan dari isu perempuan, terutama perempuan yang hidup di wilayah pedesaan. Kemiskinan melanggengkan ketidakberdayaan perempuan pedesaan. Hal ini berimplikasi pada rendahnya pendidikan, serta kemampuan bersaing yang sangat terbatas. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pun masih sangat terbatas oleh dimensi-dimensi yang menindas mereka, seperti dimensi ekonomi, politik dan budaya. Ketika suatu kemiskinan sudah dianggap sebuah budaya ‘miskin’ pada masyarakat pedesaan, tidak terlihat lagi dimana ketimpangan dan ketidakadilan itu. Padahal tampak jelas ketimpangan dan ketidakadilan itu menimpa hampir seluruh perempuan yang hidup di pedesaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik adanya pengelompokan disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme itu terdapat kekuasaan yang beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural yang dikembangkan oleh pihak luar. Dengan demikian budaya kemiskinan dilekatkan kepada seluruh anggota masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak menyadari terdapat sistem struktural yang dengan sengaja memiskinkan mereka. Memutus Mata Rantai Kemiskinan Perempuan di Perbatasan Negara Sebuah keluarga miskin di pedesaan acapkali mampu hidup dengan keterbatasan, mereka mampu bertahan, baik dalam bentuk uang maupun makanan seadanya. Perempuan-perempuan ikut menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka. Namun, pada umumnya sebuah keluarga yang jatuh pada lingkaran kemiskinan sangat sulit untuk bangkit kembali, kecuali mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan mereka. Sumber perlindungan yang mampu menyelamatkan mereka adalah negara. Kemiskinan perempuan berkaitan erat dengan kondisi struktural yang selama ini membelenggu mereka untuk tetap berada dalam garis kemiskinan. Sehingga perempuan-perempuan ikut menanggung kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka. Hal ini berarti negara ikut menjadi aktor struktural penyebab kemiskinan yang selama ini membelenggu perempuan di perbatasan negara. Salah satu indikator penyumbang dampak kemiskinan pada perempuan pedesaan adalah pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan suatu indikator penting untuk menjadi social modal bagi perempuan dalam upaya mencapai taraf hidup yang lebih baik. Namun, tingkat pendidikan penduduk di perbatasan Jagoi masih dalam katogori rendah. Dampak dari rendahnya pendidikan ini adalah kurangnya pengetahuan serta keterampilan mereka untuk dapat menciptakan suasana hidup yang lebih baik. Perkara pendidikan di perbatasan negara, bukan hanya persoalan kekurangan guru dan fasilitas pendidikan, melainkan lebih daripada itu. Keperluan mereka akan pendidikan formal dan nonformal juga harus dilaksanakan. Perempuan yang sudah dewasa tidak dapat lagi mengenyam pendidikan formal. Penting untuk menghadirkan pendidikan nonformal agar mereka terbebas dari belenggu buta huruf. Kemudian dalam pendidikan formal juga perlu diterapkan pelatihan-pelatihan soft skill agar mereka dapat membimbing anak-anak mereka di lingkungan keluarga, termasuk penyadaran akan arti penting pendidikan bagi anak-anak dan generasi mereka. Perempuan adalah agen penyelamat generasi bangsa ini, jika mereka masih dalam keadaan miskin, tidak berdaya, dan buta huruf, maka sudah tergambar jelas bagaimana generasi dan anak-anak mereka nanti di masa depan. Memutus mata rantai kemiskinan yang selama ini adalah angan-angan semata. Program-program yang ada hanya sebatas proyek kejar setoran. Sehingga masyarakat miskin tetap pada kemiskinannya, tanpa adanya perbaikan dan keberdayaan. Hidup sejahtera pun menjadi isapan jempol yang hanya menjadi bayang-bayang semu semata. Saatnya negara hadir dan intensif untuk membangun ketertinggalan di daerah perbatasan. Pembangunan infrastruktur tanpa disertai pembangunan manusianya, terutama bagi SDM perempuan, sama saja percuma. Kemiskinan identik dengan kehidupan perempuan di perbatasan, oleh karenanya tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan eksploitatif seperti menjadi TKW ilegal yang tidak jarang menjadi korban kekerasan seksual. Negara masih belum hadir di tengah-tengah kehidupan mereka yang masih terisolasi. Mengapa mereka seolah terkurung dan berkutat dengan kemiskinan yang berkepanjangan? Tidak lain karena kondisi struktural yang memiskinkan mereka, disamping itu posisi tawar perempuan desa yang tidak memiliki pendidikan tinggi berakibat pada tidak dipertimbangkanya mereka untuk masuk dalam sektor politik. Faktor pembangunan yang tidak berperspektif gender juga ikut menjadi penyumbang penyebab kemiskinan perempuan di pedesaan. Perempuan di batas negeri belum sejahtera, kemiskinan masih melilit kuat dalam setiap sendi kehidupan mereka. Membicarakan pembangunan perbatasan, bukan persoalan membicarakan infrastruktur semata, melainkan bagaimana menyejahterakan kaum Ibu, memberdayakan perempuan dan membuka akses pendidikan bagi perempuan. Penulis melihat bahwa sistem kebijakan yang berbasis pada pemberdayaan masih belum berhasil terpenuhi bagi sebagian penduduk di batas Malaysia-Indonesia. Pendidikan, menurut saya merupakan salah satu upaya untuk membangkitkan keberdayaan masyarakat perbatasan. Terutama bagi perempuan yang merupakan agen pemutus mata rantai kemiskinan bagi diri mereka sendiri dan generasi penerus negeri ini. Nowadays, climate change has become a buzz word, everywhere people talk about it, but most of them think that climate change is something given or only nature problem not as human problem, not as gender and youth problem. So, what happens then is that the response does not look at the underlying causes of climate change and global warming associated with an expansive and extractive development model that does not pay attention to the sustainability and respect for the earth and other creatures outside of humans. In the Paris Agreement Document—at Climate Change Conference took place in Paris 2015—for the first time a legal binding document was agreed, and it led the related parties to ratify the document. In addition, for the first time, there was also a global agreement that all states declared the temperature rise should be withheld or stopped at a maximum of 2 degrees. With the current pattern and model of development that by the majority not to say all the countries in the world, projected by the end of this decade the earth experiences a temperature rise until 3 degrees Celsius. This condition has a very wide impact such as changes in the growing season that can lead to unsuccessful planting and crop failure. In addition the rainy season becomes shorter but with higher intensity rainfall that triggers flash floods, landslides, and so on. Medium dry season becomes longer and very extreme to cause drought. In last decade we have seen the increasing of hydrometeorological disaster or disaster caused by climate change. Indonesian National Board for Disaster Management (BNPB) noted that during 2016 there were 2,342 event of disasters or increase 35% compared to the event of disasters by 2015. About 92% of those event of disasters are hydrometeorological disasters dominated by floods, landslides and tornadoes. National losses due to disasters each year in Indonesia reach Rp40 trillion. The amount has covered losses due to climate change. A similar picture also occurs in the Asia Pacific region. In 2016, floods, storms and extreme temperatures killed 4,987 people and affected 35 million people and caused estimated damage of about $77 billion. Compared to historical standards, there were fewer disasters in 2016, but they still took a heavy toll (ESCAP 2017). Asia Pacific, as home to 60 million of the world's population, is the most disaster-prone region on the planet. The risk of disasters in this region can be exacerbated by climate change. The disaster included more life-threatening heatwaves, worsening floods and droughts, more frequent and stronger tropical storms, and more severe rainy seasons in East Asia and India. Climate change affects everyone, man, women, girls, boys, and vulnerable groups differently. The Difference is rooted in unequal power relation and harmful gender norms, age and gender are the factors. Given existing gender inequalities and development gaps, climate change ultimately places a greater burden on women. Men and women are affected by climate change in different ways, because the societal and cultural roles and responsibilities placed on them by families and communities are very different. For examples in rural areas, women are the primary food producers and providers of water and cooking fuel for their families, they have greater responsibility for family and community welfare. A number of existing data and research show the impact of climate change has more effect on women and girls, not only on their body condition but also on their roles. In some areas in Indonesia there is still a role gap and involvement which makes the position of women and girls more vulnerable in the context of accepting the impacts of climate change. We also see the different roles, status, power and economy between women and men that cause women to be part of the largest beneficiary group of climate change. Related to sustainable development on goal number 1, end poverty in all its forms everywhere, we should realize that ending poverty is a particularly pertinent youth issue, as those aged 15 to 24 are most likely to be among the working poor. Poverty is still an unresolved problem in Indonesia and has the greatest impact on women and girls. When we are talking about poverty, it is important to recognize that within poor families, it is girls and women who are most suffer the effect of poverty. Gender inequality places girls as second priorities after boys in term of education, food, and other opportunity. In poor families girls are burdened with more responsibilities related to domestic work than boys. Poor girls are particularly vulnerable as they experience multiple layers of oppresion which limit their access to opportunities and availability of choices. This situation is getting worse in a time of crisis. When extreme weather events hit community, girls and women bear the heaviest impact and they have fewer resources with which to cope. When clean water becomes more difficult to find, girls will go further to acquire it and place them in situations that are vulnerable to physical and sexual violence from boys and men. Girls are more likely to quit school than boys when the family economy gets worse. The opportunity to go to school is given to boys with the assumption that they will be the breadwinner and head of the family. In such situations, marrying girls is seen as a solution that can reduce the economic burden of the family. Other factors such as religious and cultural views and local customs are also influential. Child marriages in Asia and the Pacific are still very high, Indonesia is also ranked second in Southeast Asia after Cambodia. Related to goal number 3, ensure healthy live and promote well-being for all at all ages, there are some problems faced by youth in Asia Pacific regarding this issue. Adolescent fertility rates are amongst the highest in the world, while not all pregnant adolescents are guaranteed ante-natal care. In addition, female youth, relative to female children and older women, are particularly vulnerable to physical violence, sexual violence and harmful practices, often resulting in disability and death. Meanwhile it is estimated 620,000 youth living with HIV and about one-third of new infections in the region occur in this age-group (UNAIDS 2013). In some areas of Asia and the Pacific, young people's access to sexual and reproductive health and rights is still a problem. The strengthening of religious conservatism in some countries in Asia Pacific, such as Indonesia, makes it more difficult for young people to access SRHR. For young people living in remote areas, the situation will be more difficult, not only because of geographical factors but also because of limited information. The absence of comprehensive sexual education in the school curriculum further deprives them of adequate knowledge of their bodies and their sexuality. Girls face more difficult situations associated with biased cultural and religious views. Adolescent pregnancy puts young women at risk of haemorrhaging, spontaneous abortion, unsafe abortions and premature labor, as well as negatively impacting education, employment and civic engagement opportunities. Pregnancy in adolescent girls with a history of anemia due to poverty they face, will have an impact on infants born with potentially stunting. In situations where natural disasters events as a result of climate change are more frequent, the position of girls will be more vulnerable. Displacement sites for disaster victims are not always made with regard to the interests of girls and women as well as girls with disabilities. Health and sanitation facilities have not considered their needs. Under Goal 5 of the 2030 Agenda for Sustainable Development, the global community has committed to the elimination of “all forms of violence against women and girls in the public and private spheres, including trafficking and sexual and other types of exploitation” and of “all harmful practices, such as child, early and forced marriage and female genital mutilation”. A number of countries in Asia and the Pacific do not yet have laws that protect women and girls from sexual violence. Indonesia for example, only has laws that regulate the elimination of domestic violence, but other types of sexual violence have not been regulated. On the other hand, efforts to encourage laws that comprehensively protect women from sexual crimes are hampered by religious fundamentalists seeking to widen their influence. Meanwhile, as family economic conditions worsen due to floods, droughts and other disasters, girls and women will be more vulnerable to physical and sexual abuse or to be victims of early marriage / childhood. Girls who marry at a young age and then get pregnant have a great risk when giving birth. They also missed the opportunity to go to school, which then narrowed their chances of getting into the labor market. This makes their bargaining position with their husbands weaker and puts them in a cycle of poverty. Goal 6, ensure availability and sustainable management of water and sanitation for all. As a country where one third of the territory is water, Indonesia has an important role in ensuring access to clean water and sanitation for its citizens, underwater survival, and the world climate change movement. Three are out of ten people in the world or 2.1 billion people do not have access to clean water in their homes. Six out of ten or 4.7 million people in the world do not have good sanitation management (WHO 2017). Women and girls spend 6 hours of their time each day taking water (https://water.org/our-impact/water-crisis/). Climate change worsens the condition of women and girls in accessing clean water and proper sanitation. The life of women and girls are closely connected with water. Their household duties are exhausting; almost half of their time is spent doing labor like collecting water. Women are the primary users of water: cooking, cleaning, family hygiene, and sanitation. Despite the understanding of women regarding nature and the availability of water, children’s ability to access nature and their experience as managers of the sources of water for their families, this knowledge is often scorned or simply ignored by policy makers and engineers. Girls and women in particular, face significant sanitation challanges with lack of menstruals hygiene management and hygiene promotion. This conditon worse when sanitation facilities and clean water not accessible for them. Climate change worsens the condition of women and girls; they must go further to access clean water for their sanitation and their family needs, uncertain weather, and prolonged drought. Sustainable access to water and sanitation, particularly for young women and girls, can help them regularly and safely participate in productive activities such as education. SDGs Goal 7 focuses on sustainable energy, incorporating targets for renewable energy production, energy eficiency, and energy access. Access to clean and efficient energy is critical for economic progres, human welfare and environmental well-being. Based on World Bank data (2013, 2015) more than 24 million Indonesian households still use traditional cooking stoves. Kopernik an NGO in Bali, is trying to solve the problem by channeling appropriate technology in East Nusa Tenggara/Nusa Tengga Timur (NTT), one of remote area Indonesia. Kopernik distributes Biomass Stove to women and girls in NTT to help them do their house chores. This stove is a very useful innovation of women in NTT. Previously, women in NTT used stoves that earn smoke which is potentially damaging women's health. The Biomass stove is very efficient, they can use wooden sticks, coconut shells and wood shavings for fuels. Although the stove also uses wood, this Biomass Stove does not smoke as in the furnace and more energy efficient. This innovation is very helpful for women in that region. In addition, this appropriate technology can reduce carbon production and contribute to the decrease in CO2 that causes climate change, it’s one of way to mitigating climate change. We know that the status and prospects for girls and women are the most important indicator of our world’s stability, prosperity, and safety. We must acknowledge and realize that girls have unique potentials, they have a central role in families that depend on farming or livestock when coping with extreme weather events such as drought or flood. Therefore prioritizing education for girls is an important step in the mitigation of climate change. Study held by the Brookings Institution shows that empowering girls and women through a combination of education and family planning is the number one thing the world can do to address climate change. The study suggests that for every additional year of schooling a girl receives on average, her country’s resilience to climate disasters can be expected to improve by 3.2 points (as measured by the ND-GAIN Index, which calculates a country’s vulnerability to climate change in relation to its resilience). Therefore, there are platform in which each party can collaborate to support girls as agents of change in the pursuit of sustainable development and equitable climate action: (1) promote girls' reproductive rights. Global community must approach women’s reproductive health from a gender justice and rights-based perspective delivered through quality girls’ education programming. (2) Invest in girls’ education to foster climate participation and leadership. (3) Develop girls’ life skills for a green economy. Young People Play a Crucial Role in Achieving SDGs Asia and the pacific are home to 60% of the global population aged 15-24 years (UNDP 2017). Base on population proportions, around 85 million youth in Asia-Pacific are living in extreme poverty. In Indonesia one of five people (between 15-24 years old) represents approximately 63 million youth (33% of Indonesia’s total population is productive age). Young people is not a homogenous entity. Youth are a population group defined by age. Great variance exists among persons aged 15 to 24 years, within and between countries in Asia and the Pacific, and beyond. The diversity of youth is reflected in such other common demographic variables as sex, gender, sexuality, dis/ability, education, employment, income, fertility, health, civil status, citizenship, ethnicity, religion, language and geographic location. Currently Indonesia is entering the demographic dividend era and the peak is projected to occur in 2028-2031. The demographic dividend, also known as the dependency ratio, occurs when the ratio of young people (15 years and younger) and old people (65 and older) to people at a productive age (15-64 years) shrinks. A demographic dividend occurs when the number of people of working age is higher than the number of dependents— that is the elderly and children. The ratio of the elderly and children to the working age population, known as the dependency ratio, is low. A low dependency ratio indicates that potentially more people can be productive and contribute to the growth of economy, leading to unprecedented economic growth. Although young people have benefitted from the region’s social and economic dynamism, but significant numbers of youth across the region still face a variety of obstacles in their access to employment, education and healthcare. This situation is getting worse when natural disasters and extreme weather events occur. Young people, especially those facing structural disadvantages, suffer disproportionately in labour markets in times of crisis, and these impacts are likely to be exacerbated by climate change. Regarding education issue, extreme weather events have been shown to reduce participation, especially female youth, in education since the burden of schooling costs becomes higher and the need for adolescents and young people to contribute economically to households becomes greater. Moreover, climate crises can increase malnutrition among adolescents—through food shortages resulting from lower agricultural yields or loss in livelihoods opportunities—with potentially long-term health consequences, such as complications with pregnancy. The demographic bonus can be a demographic disaster if young people in Indonesia do not have access to good education, health rights and infrastructure, decent work and space and facility to increase their innovations. This has already happen in many remote areas of Indonesia. East Nusa Tenggara/Nusa Tenggara Timur (NTT), as one province experiencing a high rate of loss in the number of its productive people moving out to urban areas on other major islands, sees a very small benefit from its demographic dividend. Although economic growth in NTT is considered as moderate, about 5.04 percent in 2014, that growth failed to reduce poverty and to improve the human development progress of its people. The poverty rate in NTT is high, 19.60 percent in 2014. Its HDI is the second lowest of the 33 provinces. In Indonesia, young people also play an important role in SDGs movements. With the presence of technology, young Indonesians use it to provide mentoring services, counseling and education. For example there is a portal website known as HelpNona.com which provides counseling for young women who experience violence in romantic relationship, and also education about responsible relationship. In the field of education and technology, there is a community known as Girls in Tech Indonesia—as a chapter of global Girls in Tech—who empowers women in technology. In the context of education, social and humanity, there are several portals such as Indorelawan.org; a portal that connects volunteers with organizations across Indonesia, KitaBisa.com; as a portal for raising donation, ruangguru.com; an educational startup, Lactashare Child; as a startup for providing breast milk for babies across Indonesia to prevent malnutrition. In doing so, the young people have shown that they have an important role in achieving SDGs alongside with technology that has been being a very powerful tools in the millennial era. “Migrants united will never be divided!” chanted the many women joined march by International Migrant Alliance, the first-ever global alliance of Migrant Worker, in commending the labor’s day. 27 years ago the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant and Members of their Family was signed as multilateral treaty by United Nations which governs the protection of migrant workers and families policy. Still, many migrant workers are insecure. Lola’s story on Alex Tizon’s piece “My Family’s Slave” is not a history, the same agony still remains today.[1] International Labour Organization (ILO) reported there are 11.5 million migrant domestic workers worldwide which represents 17.2 per cent of a total estimate of 67.1 million domestic workers globally. Analyzing as a share of migrant workers, migrant domestic workers (MDW) represent 7.7 per cent of a global estimate of 150.3 million migrant workers. Disaggregated by sex, this share is even higher, representing 12.7 per cent, or 8.45 million of the 66.6 million female migrant workers worldwide. Domestic work is a highly female dominated sector which represents 73 per cent of all migrant domestic workers is women (Gallotti, 2015). The link between domestic work and female international labour migration is well established which created the feminization of labour (ILO). These women become the most exploited and abused workers in the world. They are potentially subjected to physical and psychological abuse and sexual exploitation (Explore Women's Right). In East Asia, MDWs face exploitation and discrimination largerly left out of countries labour policy and legislation. 71 per cent of MDW in East Asia experienced exploitation during the recruitment process, 49 per cent suffered limited freedom of movement, 32 per cent had identity and travel documents confiscated and 63 per cent faced exploitative practice while working abroad (Islam, 2016). This plight categorized them as a vulnerable worker due to the condition of uncertainty hours of work and income, risk of having their workplace entitlements denied, and lack of capacity to secure (Sargeant, 2014). As a phenomenon of globalisation, MDW can conclude in to the Non-Traditional Security (NTS) issues. NTS emerged in attempt to search a new security doctrine that could explain the overlapping nature of nation state’s various interests, one that could reconcile the traditional challenges facing states with non-traditional threats (Siulun, 2008, p. 61). To date, at least there are two approach which mostly be used in the migrant labour issues, first is Securitizing approach by the Copenhagen School and second is human security approach. Securitization emphasized on speech-act approach where there is securitizing actor and referent object. According to the five sectors—military, environmental, economic, societal, political— offered by Securitization theory, migration is belong to the societal sector. Societal insecurity only exists when communities define a potentiality as a threat for them. Buzan and Waever argue that societal security is about collective group and their identity, it is totally different with social security which is about individuals and is largely economic and refers to individual level. Thus, they only use the term societal for communities with an identities. It is somehow problematic when societal term is often juxtapose to society term to designate the wider and unclear state population (Buzan & Waever, 1998 ). Following such definitions, MDW will be more likely to be a migration issue and be seen as a receiving country’s threat rather than humanitarian issue. The case of increasing undocumented migrant labour in Malaysia for instance, the victims are remarked as public enemy by Malaysian enforcements that make them treated in terms of threat to national security (Kudo, 2013). However, securitization remains the state’s privilege while extending security beyond the state as a referent object. A better analysis offered by the human security framework. It brings the focus from state to human dimension of migration. Consequently, this framework produces a concrete policy like treaty and policy both in the host and home country. The home country will held a capacity building for migrant workers since it argues the problem is based on the quality of the worker. While, the host country will make sure the protection by joining and ratifying the human right convention especially those which concern on protection of migrant workers. The question is, is it systematic enough to deal with the structural and cultural problem of MDW? Firstly, there is no legal standard for the quality requirement. Secondly, the norm treaties and convention does not really see the constructed problem of MDW. Let say that human security approach give a wider sight in this case, but to unfold what behinds this issue need a gender as category of analysis. Without explaining what becomes the fundamental problem, still, it cannot reach a radical solution. In this lacuna, the Feminist Security Studies potentially will shed light. Seeing FSS only for a grievance of women in the military war or arms conflict is like wasting the rich analysis of feminism into the vain. I argue that FSS is appropriate to analyze the DMW issue. The framework can be taken from Jennifer K Lobasz’s analysis on human trafficking issue (in Sjoberg, 2010). Since the human trafficking issue and domestic migrant working are both victimize women in a dominant scale, in this way both are able to make women as the category of analysis in which the human security theories do not. Lobasz divulges the lack of traditional security approach to international human trafficking on two levels: ethical and pragmatical. Ethically, traditional security is wrong by making the state as referent object, not people, that pragmatically resulted the policy product focuses on state. Thus, feminists have made two essential contributions to the analysis of international human trafficking—which can be applied to MDW issue too—there are: expanding the focus of analyses to account for the exploitation of trafficked persons and paying attention to how the concept of human trafficking is socially constructed in the first place (Sjoberg, 2010, p. 216). This feminist contribution in human trafficking approach can be a basic in mapping approach to MDW as security issue. Yet, how FSS can be applicable enough to this issue? To formulate the FSS more comprehensive in analysing MDW, it needs some contributions from the Marxian lense and even more postcolonial. In this realm, the notion of segregated work by gender may give an important clue to unfold the vulnerability of domestic migrant worker. There is a division of working, domestic and public. This division naturally be seen as a gendered work, where women are mostly engaged to domestic, while man to public. It is matter when the domestic work assumed as immaterial work since it does not produce any material aspects as public does, this work then become undervalued (Federici, 2012). This construction influences the division of labour where household work does not have a prestige and women as the second sex are congruent with this job. While MDW’s oppression is conducted in racial and class hierarchy, a sisterhood solidarity cannot only based on gender identity but has to consider the political and cultural context like what Mohanty adressed. Henceford, FSS need not only a Marxian perspective but also a post-colonial lense since the phenomena of MDW is effect of global capitalist system in the post-colonial era. After all, FSS still need to develop both ontologically and epistemologically in order to give systematic analysis in the realm of the MDW issue. It is important for FSS since MDW is an international issue involving many aspects such as economy, culture, race and state domain. Seeing it from the lensse of FSS will probably change the policy not merely about how to strengthen the skill of labour from the sender countries, nor making many new norm legalizations such as treaty and convention. The solution should concern to the construction of domestic job itself. With such analysis, there will be a policy of making the domestic worker as same as productive work by providing security, such as a right for having a life insurance, fixed waged and fixed working time. References Barry Buzan, W. W. (1998 ). Security: A New Framework of Analysis. USA: Lynne Rienner Publishers. Explore Women's Right. (n.d.). Retrieved 12 14, 2017, from Human Right Watch: http://hrw.org/topic/womens-rights/domestic-worker Federici, S. (2012). Wages against Housework (1975) in Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. Brooklyn, NY: PM Press. Gallotti, M. (2015). Global estimates on migrant workers . Geneva, Switzerland: ILO Labour Migration Branch. ILO. (n.d.). Migrant Domestic Worker. Retrieved 12 14, 2017, from http://ilo/org/global/topics/labour-migration/policy-areas/migrant-domestic-workers/lang-en/index.htm Islam, M. R. (2016, June 25). Migrant Domestic WorkersLeft Out Policy in Asia. Retrieved 12 15, 2017, from Eastasiaforum: http://eastasiaforum.org/2016/06/25/migrant-domestic-workers-left-out-of-policy-in-asia/ Kudo, S. (2013). Securitization of undocumented migrants and the politics of insecurity in Malaysia. Procedia Environmental Sciences 17, 947 – 956. Sargeant, M. (2014). Domestic Workers: Vulnerable Workers in Precarious Work. E-Journal of International and Comparative, Volume 3, No. 1, 1 - 19. Siulun, M. G. (2008). Security and Migration in Asia:The Dynamics of Securitizaation. USA and Canada: Routledge. Sjoberg, L. (2010). Gender and International Seurity: Feminist Perspective. USA and Canada: Routledge. End Note [1] "My Family's Slave" is a non-fiction short story biography by the Pulitzer Prize–winning journalist Alex Tizon. It was posthumously published as the cover story of the June 2017 issue of The Atlantic. See on https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/06/lolas-story/524490/ Dr. Gadis Arivia Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan Sejarah SIP adalah Sejarah Pergerakan Feminis Pengasahan ide demonstrasi SIP (Suara Ibu Peduli) dimulai sejak bulan November 1997 di Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang ketika itu giat melakukan kegiatan “zero tolerance”, yaitu berkampanye untuk anti kekerasan terhadap perempuan. Kala itu merupakan pertama kali YJP bekerja sama dengan badan dunia seperti UNIFEM, meskipun kegiatan tersebut hanyalah project kecil, penyebaran aksi dan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan. Dari kegiatan tersebut, sejumlah poster dan T-Shirt dicetak. Namun, kegiatan tersebut secara internal telah merancang staf YJP untuk terus‐menerus berdiskusi soal kekerasan terhadap perempuan dan implikasinya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Adalah Nur Iman Subono yang suatu hari membawakan cerita tentang ibu‐ibu di Plaza de Mayo. Nur Iman Subono, staf YJP pada waktu itu juga adalah pengajar politik di FISIP UI dan pemerhati bidang politik Amerika Latin. Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa[1]: Sekelompok perempuan menjadi simbol aktivisme hak asasi dan keberanian. Berpakaian hitam, mereka berdemonstrasi bertahun-tahun lamanya setiap hari Kamis jam 3.30 sore di tempat terkenal Plaza de Mayo di Buenos Aires, menuntut penjelasan nasib anak-anak yang mereka sangat cintai. Mereka mengenakan saputangan di kepala yang bertuliskan nama-nama anak laki-laki dan perempuan mereka, juga membawa foto anak-anak mereka. Para ibu-ibu ini memakai atribut keagamaan Kristen yang ternyata merupakan strategi yang efektif karena yang mereka hadapi dan lawan adalah regim militer yang sangat Katolik. Beberapa dari ibu-ibu ini termasuk pendirinya Azucena Villaflor de Vicenti menghilang karena aksi mereka melawan ketidakadilan. Cerita ibu‐ibu Plaza de Mayo begitu mengesankan dan menjadi topik pembicaraan terus-menerus di YJP. Pada suatu ketika saya berdiskusi untuk kemungkinan melakukan aksi demonstrasi dengan beberapa redaksi Jurnal Perempuan yang ketika itu selain Nur Iman Subono juga termasuk Karlina Leksono-Supelli (Karlina bergabung dengan YJP pada bulan Agustus 1997 sebagai editor Jurnal Perempuan). Ide demonstrasi ini juga saya sampaikan kepada teman Korea bernama Eun Sook[2] yang ketika itu aktif membantu sebagai intern YJP. Ide ini kemudian semakin bergulir dan disepakati untuk mengadakan pertemuan pertama dengan mengundang teman-teman aktivis perempuan di kantor YJP, Gedung BOR Megaria pada tanggal 13 Februari 1998.[3] Intinya adalah untuk mengajak teman-teman membahas kemungkinan berdemonstrasi dengan satu tujuan melawan rejim Orde Baru, menjatuhkan Soeharto. Pertemuan pertama dihadiri sekitar 15 orang, antara lain Myra Diarsi (Rumah Ibu), Julia Suryakusuma, Robin Bush (mahasiswa asal Amerika Serikat‐kini bekerja di Asia Foundation), Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri (Solidaritas Perempuan) dan teman-teman LBH APIK antara lain seperti Iyik. Selebihnya, adalah seluruh staf Yayasan Jurnal Perempuan seperti Nur Iman Subono, Karlina Leksono-Supelli, Umi Lasmina, Liza Hadiz, Himah Sholihah, Nazaruddin, dan lain-lain. Penggunaan Kata “Ibu-ibu” dan “Susu” sebagai Kamuflase Pada pertemuan tanggal 15 Februari dibahas penggunaan kata “ibu-ibu” sebagai strategi politik. Penggunaan kata perempuan juga sempat mencuat di dalam rapat, yakni Suara Perempuan Peduli. Namun penggunaan kata perempuan dikhawatirkan akan mengandung kontroversi karena politik represif Orde Baru menggunakan bahasa “wanita” dan bukan "perempuan." Mereka cenderung bersimpati pada kegiatan “ibu-ibu” seperti misalnya Dharma Wanita.[4] Kami memperhitungkan segala sesuatu dengan detil, selain nama, juga termasuk isu yang akan diusung. Kami sadar bahwa kami tidak bisa merencanakan membawa spanduk “Turunkan Soeharto”, maka, perlu memikirkan isu apa yang dapat menarik simpati publik. Pada masa itu, isu susu sesungguhnya isu yang sudah sering dibicarakan di YJP. Saat itu inflasi melambung dan harga-harga meroket termasuk harga susu. Kebetulan di dekat rumah saya, di Hero Gatot Subroto, harga susu naik hingga 400%. Ketika itu anak saya berumur 3 tahun dan 8 bulan serta membutuhkan susu. Saya menyaksikan seorang ibu yang kebingungan mencari susu. Setelah kejadian tersebut, keesokan harinya saya diskusikan dengan Nur Iman Subono dan Eun Sook soal ide susu sebagai penggunaan “tanda.” Artinya, isu susu dapat digunakan sebagai kamuflase untuk memperjuangkan isu yang lebih besar yaitu demokrasi. Jadi, memang tidak pernah ada keprihatinan mendalam tentang masalah susu dan kaitannya dengan ibu-ibu. Isu susu bukan isu utama. Agar rencana demonstrasi berjalan sempurna maka YJP pada tanggal 20 Februari mengenalkan nama SIP untuk pertama kalinya secara publik. YJP menjual susu murah.[5] Kami beranggapan harus ada “bukti” kegiatan penyediaan susu dan perlu rekayasa bahwa kami benar-benar prihatin soal susu. Susu diperoleh staf YJP, Himah Sholihah, langsung dari pabrik dengan harga negosiasi.[6] Namun tentunya perlu dana untuk itu maka dimulailah penggalangan dana dan pada tanggal 16 Februari terkumpul Rp. 5.950.000,-[7] dan hingga penyelenggaraan susu murah pada tanggal 20 Februari terkumpul kurang lebih Rp 10.000.000,-, Setelah aksi demonstrasi SIP/YJP meneruskan penjualan susu murah karena permintaan masyarakat hingga penjualan dan donasi susu murah mencapai ratusan juta rupiah.[8] Pengelolaan penjualan susu murah ini ditangani sepenuhnya oleh staf YJP; Ani, Nazar, Supri, Robin, Himah Sholihah, dan lain-lain. Malam sebelum penjualan, beberapa aktivis perempuan (seperti ibu Sri dari Kalyanamitra) ikut membantu memasukkan bubuk susu ke dalam plastik. Pada tanggal 20 Februari 1998, YJP mengadakan rapat kedua. Sebagai pimpinan rapat, saya melaporkan penjualan susu yang dilakukan pada pagi harinya. Tanpa diduga peminat susu murah begitu banyak, orang mengantri, bahkan sempat menimbulkan dorong-mendorong hingga pintu depan kantor YJP pecah. Malam itu, berkumpul lebih banyak lagi aktivis perempuan dengan wajah-wajah baru seperti Dina (Walhi), Agung Putri (Elsam), Riga Adiwongso (FE UI), Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi (Pendiri YJP dan dosen Filsafat UI), Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Dr. Kartini Sjahrir (Antropolog) dan lain-lain.[9] Hasil rapat menetapkan lokasi demonstrasi yaitu Bundaran HI. Mengapa Bundaran HI? Karena dianggap tempat yang strategis untuk bisa bertemu. Pakaian kantor menjadi pilihan kostum demonstrasi agar bisa menyatu dengan pekerja-pekerja kantoran lainnya yang banyak terdapat di sekitar Bundaran HI. Titik-titik meeting point ditentukan. Rencananya para demonstran akan berjalan dari segala penjuru, menjinjing tas kantor yang isinya poster-poster dan bunga‐bunga. Pada rapat malam tersebut, komitmen teman-teman aktivis dituntut untuk bersedia ikut berdemonstrasi pada tanggal 23 Februari 1998. Terkesan tidak akan banyak teman-‐teman yang ikut berdemonstrasi apalagi diketahui dari media masa bahwa pada hari Senin tanggal 23 Februari kemungkinan besar akan ada siaga satu, yaitu tembak mati di tempat bagi para pendemonstran. Beberapa di antara teman-teman aktivis mengurungkan niat mereka ikut berdemonstrasi dengan alasan masing‐masing. Akhir minggu dijalankan secara cemas oleh staf YJP karena pertemuan terakhir tidak mendapatkan sinyal yang positif. Namun penjualan susu semakin kuat di hari Sabtu dan Minggu. Ibu‐ibu, bapak-‐bapak bahkan anak-anak remaja semuanya berebutan susu di kantor YJP. Di saat mengantri mereka mengeluhkan harga-‐harga yang melambung, dan masa depan yang suram. Ibu-ibu mengeluhkan kesulitan ekonomi. Hari Minggu tanggal 22 Februari 1998, kembali diadakan rapat kecil dan kali ini melibatkan Rocky Gerung sebagai teman dan pendukung Jurnal Perempuan. Kami membahas lagi rencana yang detil serta menegaskan lagi pentingnya menumbangkan rezim Orde Baru yang telah menyengsarakan rakyat. Kebimbangan sirna setelah mendapatkan kabar bahwa tim pembela dari LBH siap terjun di pinggiran lapangan. Akhirnya saya sebagai ketua YJP pada saat itu, mengambil keputusan untuk terus melanjutkan rencana aksi. Pembagian tugas dilakukan, Karlina Leksono mengajukan diri sebagai koordinator lapangan, Julia Suryakusuma menjadi juru bicara dan dipercaya menangani media. Myra Diarsi menyiapkan segala keperluan aksi termasuk apa yang harus dibacakan dan lagu-lagu yang dinyanyikan. Teman‐teman YJP mendukung kuat dan solid menghadapi hari H. Meskipun aksi hanya diikuti beberapa teman‐teman aktivis dan seluruh staf YJP, namun aksi berjalan dengan lancar. Tampak teman-teman aktivis Julia Suryakusuma, Yuniyanti Chuzaifah, Myra Diarsi, Gayatri, Nori Andriyani, Tati Krisnawaty, Tinneke Arif (Filsafat UI), Wilasih (Wiwil aktivis dari Salatiga), dan lain-lain. Aksi tidak berjalan lama sekitar 30 menit dan penangkapan berjalan cepat. Seketika Karlina, Wiwil, dan saya diangkut ke atas truk. Kami ditahan satu malam dan dicurigai “ditunggangi” oleh kaum oposisi. Kami dicecar dengan pertanyaan apakah kami berkiblat pada ideologi komunis. Kami ditahan selama satu malam dan pagi hari kami dilepaskan karena tekanan berbagai pihak. Berita penahanan "ibu-ibu" menjadi berita headline di media nasional dan internasional. Pada tangggal 4 Maret, kami disidang di depan hukum. Saya dan Karlina menyampaikan pledoi[10] yang telah kami siapkan. Ruangan sidang penuh sesak oleh ratusan pengunjung yang datang dari berbagai elemen. Pengunjung mengumandangkan lagu-lagu perjuangan dan lagu "Ibu Kita Kartini." Sidang ditunda hingga Senin, 9 Maret 1998. Kami dinyatakan bersalah melanggar pasal 510 KUHP tentang arak‐arakan dan didenda Rp 2.250,- atau kurungan 2 minggu. Kami menolak keputusan itu namun sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada tanggal 21 Mei dan perkara kami tidak dilanjutkan. Politik Representasi Satu hal yang perlu dicatat di dalam tulisan-tulisan di media tentang demo SIP adalah tidak adanya pembahasan mendalam “tanda” SIP. Apakah signifikansi penamaan SIP? Siapakah aktor SIP? Dimanakah dan organisasi manakah yang menjadi rumah SIP? Media masa menyimbolkan SIP sebagai gerakan "ibu-ibu" dan bukan aktivis perempuan. Media mengumbar kata “ibu,” “peduli,” “anak‐anak” sebagai mantra mereka dan megangkat interpretasi domestikasi perempuan yang penuh romantisasi. Tentunya sebagai feminis, saya berkeberatan, meskipun “tanda” tersebut kami mainkan dengan sempurna dan berhasil meraih simpati masyarakat. SIP dilahirkan dan diusung oleh aktivis perempuan yang bertujuan menjatuhkan Orde Baru. Namun interpretasi domestikasi begitu melekat dan sejarah gagal mencatat perjuangan SIP sebagai perjuangan aktivis perempuan yang mengawali gerakan Reformasi. Tidak banyak yang memahami politik representasi SIP dan permainan ”tanda” yang dimainkan. Memang pembongkaran semiotik SIP hanya dapat dibaca dengan kecerdasan dan mengerti bahwa SIP memperjuangkan ide-ide besar demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan menyatakan pendapat. Lalu di manakah “ibu-ibu” seperti yang dimaksud media bahkan yang tertera oleh website Suara Ibu Peduli sendiri?[12] Kompas 13 Juni 2000, tulisan Maria Hartiningsih mengungkapkan, “SIP melangkah makin jauh. Gerakan yang dimulai dari sekelompok ibu yang turun ke jalan di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998 untuk memprotes kenaikan harga susu itu telah bermetamorfosa ke dalam bentuk yang semakin jelas”. Di dalam artikel ini ditulis pelabelan baru bukan hanya pelabelan “ibu-ibu” tapi juga pelabelan “perempuan kelas menengah berpendidikan tinggi." Selanjutnya artikel ini mengangkat SIP “sesungguhnya”, yaitu ibu-ibu dari berbagai wilayah di Jakarta. Jelas tulisan tersebut salah karena tidak ada “ibu-ibu” seperti yang digambarkan oleh media, “ibu-ibu” sesungguhnya itu baru bermunculan setelah aksi feminis di Bundaran HI. Ibu-ibu sungguhan datang setelah reformasi diraih, yang berperan, berkonsep dan berstrategi adalah para feminis sejati. Setelah penangkapan dan pengadilan (Karlina, Wilasih, dan saya) aksi para perempuan aktivis diteruskan dengan mendukung para mahasiswa, mulai tanggal 19 hingga 23 Mei. Dana yang terkumpul selama 1998-‐1999 untuk aksi mahasiswa adalah Rp 1.120.541.865,-‐[13] dari berbagai elemen masyarakat. Nasi bungkus disalurkan sebanyak 70.576 bungkus termasuk dari warung nasi padang di hampir seluruh Jakarta. Kotak aqua yang disalurkan sebanyak 1.947 boks dan 2.811 boks snack serta ribuan buah-buahan. Ini belum termasuk sumbangan masyarakat makanan “mentah,” ada telur, ayam hidup dan sebagainya. Sumbangan juga digunakan untuk dukungan Newsletter mahasiswa “Bergerak,” T‐Shirt bertuliskan “Reformasi Total”[14]. Menerima begitu saja representasi yang serba pasti sama dengan memaklumi sistem kekuasaan sosial yang memvalidasi dan mencap sejumlah pelabelan perempuan. Inilah yang menjadi persoalan di saya dan juga telah saya tuliskan di buku saya “Feminisme Sebuah Kata Hati” (2006: 280): “sedikit sekali yang sampai pada konklusi bahwa “politik susu” SIP sebenarnya adalah Politik Perempuan di Dunia Ketiga yang sangat strategis. Mulai dari pemilihan nama “ibu” yang dipikirkan secara matang di kantor YJP menunjukkan kecerdasan permainan politik yang luar biasa dalam iklim negara represif. Para aktivis perempuan sadar bahwa dalam iklim represif dominasi laki-laki merajalela. Para aktivis dan akademisi perempuan paham bahwa mengeksploitasi unsur-unsur tradisional demi merebut demokrasi dapat dilakukan. Dan inilah yang dilakukan dengan proyek SIP.” Politik representasi SIP dilakukan secara produktif dan mengkonstruksi representasinya. Oleh sebab itu, perlu perangkat intelektual untuk melakukan denaturalisasi SIP. Politik representasi perempuan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan dengan lihai menggunakan representasi untuk menyingkap misrepresentasi maupun menawarkan kemungkinan baru yakni melawan kekuasaan yang dominan. Men Doing Feminism Satu hal yang menarik dari politik representasi SIP adalah melahirkan kemungkinan baru peran laki-laki feminis, hal ini sering dilupakan. Di tingkat aksi SIP dapat dikatakan ada sejumlah laki-laki feminis yang berperan misalnya Rocky Gerung, Nur Iman Subono, Robin, Nazaruddin, Misyono, Stanley, Tigor, dan masih banyak lagi laki-laki yang berkontribusi secara positif. Apa yang mereka lakukan adalah menetapkan pijakan laki-laki progresif (male progressive stand point) yang berlawanan dengan cara pandang laki-laki (male view point). Laki-laki yang terlibat dalam demonstrasi SIP di Bundaran HI adalah upaya mereka untuk masuk ke dalam relung pengalaman perempuan. Yang saya maksud dengan pengalaman adalah sebuah proses, rangkaian kejadian, di mana orang tersebut ikut mengalami dan menghirup bersama suatu kejadian. Bisa juga dikatakan seseorang yang ikut dalam observasi pengalaman seseorang dan merasakannya. Namun, laki-laki feminis ini bukan saja mencoba memahami akan tetapi lebih dari itu, berusaha merekonstruksi segala kesedihan, penindasan, pilu, dan ketegangan atas dasar informasi yang mereka olah dengan suatu imajinasi untuk perubahan. Male progressive stand point, berusaha untuk merekonseptualisasi lagi peran laki-‐laki, maskulinitas dan secara aktif melakukan investigasi diri hingga titik kesadaran perlunya mengubah dunia. Di sini dituntut suatu pemahaman moral laki-laki dan bagaimana sebaiknya dunia dihuni dan dibagi bersama perempuan. Catatan Kritis SIP yang beranggotakan “ibu‐ibu” (ibu‐ibu dari Depok, Bojong Gede, Cilandak, Rempoa, dan sebagainya) datang ke kantor YJP setelah reformasi diraih dan berniat untuk membantu kegiatan di kantor. YJP memutuskan untuk masih mempertahankan SIP karena khawatir akan terjadi konflik lagi (Semanggi II memang kemudian terjadi). Awal kedatangan ibu‐ibu ke kantor YJP tentu disambut meskipun ratusan orang dan puluhan elemen juga datang menawarkan bantuan (dari siswa SD hingga politikus). Perdebatan hangat terjadi di kalangan pimpinan YJP mengenai keberadaan ibu‐ibu sungguhan ini. Terutama apakah YJP sebagai organisasi yang berorientasi feminis dan memiliki produk kajian feminisme mempunyai “ruang” untuk mereka? Meskipun beberapa kali rapat intern perdebatan‐perdebatan ini muncul, namun, saya pada waktu itu optimis terhadap kontribusi yang bisa diberikan oleh ibu‐ibu. Menurut hemat saya, ibu‐ibu perlu dilibatkan dalam reformasi. Tetapi gerakan SIP yang awal adalah sebagai proyek politik dan bukan proyek “ibu-ibu.” Di sinilah mungkin perbedaan pendapat yang terjadi antara saya di satu pihak dengan Karlina Supelli bersama Dinny Yusuf di pihak lain.[15] Bagi saya, suatu proyek politik berbasis isu (yaitu anti Orde Baru) dan itu tidak perlu dilembagakan karena ia merupakan pemikiran lepas yang bertujuan untuk melakukan perubahan. Ia harus lintas status perkawinan (bukan hanya ibu-ibu), agama, ras, dan etnisitas. Namun, ia harus memiliki pendirian feminis, platform yang sama: women’s rights is human rights. Maka, ketika pada bulan Agustus 1999, “SIP jilid dua” ingin memisahkan diri dari YJP, karena ingin melembagakan gerakan itu menjadi organisasi formal untuk kepentingan pemberdayaan kaum ibu, maka hal itu saya sambut dengan baik. Apalagi kebutuhan keseharian SIP jilid dua memang sudah berubah selama perjalanan waktu satu tahun lebih. Saya pikir, pada akhirnya ibu-ibu memerlukan wadah yang mereka kelola dan pikirkan sendiri. Jadi kalau ditanyakan apa sebetulnya SIP itu? maka menurut saya SIP adalah suatu gerakan politik yang berlangsung dalam periode awal reformasi, dengan maksud membuka ruang keberanian perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik. Kami memilih Hotel Indonesia (pusat Ibukota) sebagai panggung politik dan memilih tanggal 23 Februari 1998, dimana status Siaga Satu (tembak di tempat) diberlakukan di Ibukota. Jadi, ide utama SIP sepenuh-penuhnya bersifat politik perempuan. SIP adalah sebuah percobaan politik feminis yang berbenturan langsung dengan kekuasaan. Daftar Pustaka: Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, “Di Antara Belantara Jakarta”, Elkasa, 2007. Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia, Tahun 1998-1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005. Gadis Arivia, “Feminisme Sebuah Kata Hati”, Kompas, 2006. Linda Hutcheon, “Politik Posmodernisme”, Jendela, Yogja, 2004. Nur Iman Subono, (editor), “Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli”, YJP, 1999. Tom Digby dan Sandra Bartky, “Men Doing Feminism”, Routledge, NY, 1998. Yayasan Jurnal Perempuan, Laporan Suara Ibu Peduli, 1998-‐1999. Catatan Akhir: [1] Nur Iman Subono dalam diskusi internal redaksi YJP, Desember 1997. [2] Eun Sook menghadiri semua pertemuan yang ketika itu diberi kode dengan kata “aerobik” karena menggunakan kata pertemuan “merancang demonstrasi” bukan suatu ucapan yang populer kala itu. [3] Lihat arsip undangan rapat ditandatangani oleh saya sendiri. [4] Dapat dilihat di daftar hadir pertemuan 13 Februari 1998. [5] Baca pemberitaan Kompas soal susu murah, Sabtu, 21-‐02-‐1998. [6] Antara lain dari Nestle, namun staf-‐staf di sana juga menyumbang secara spontan sebesar Rp 200.000,-‐ [7] Dana berasal dari Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi, Gadis Arivia, dan Andrea (individu bekerja di Bank Dunia). [8] Lihat laporan YJP tentang laporan kegiatan SIP, Februari 1998-‐1999, laporan keuangan hingga April 23 meliputi sumbangan tanpa nama sebesar Rp 50.000.000,-‐ [9] Lihat daftar hadir. Memang ada juga yang tidak tercatat, daftar hadir sempat diacak agar bila terjadi sesuatu tidak dapat dilacak oleh aparat pemerintah. [10] Lihat di buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, YJP, 1999. [11] Dalam teori politik representasi saya memakai teori Linda Hutcheon. [12] Website SIP (www.suaraibupeduli.org) tertulis: “Suara Ibu Peduli (SIP) didirikan pada tanggal 19 Februari 1998 oleh ibu-‐ibu dan perempuan dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang berkeinginan untuk menyuarakan kepeduliannya atas berbagai masalah yang terjadi di masyarakat akibat krisis ekonomi dan politik di Indonesia. SIP menjadi perkumpulan pada tahun 2002 dengan akta notaris tertanggal 21 Juni 2002. [13] Lihat laporan keuangan YJP tentang SIP 1998-‐1999. Pengeluaran sebesar Rp 1.194.743.958,-‐ selisih ditanggung YJP sebesar Rp 74.202.093,-‐ [14] Untuk membedakan dengan “Reformasi Damai”, yaitu kelompok mahasiswa yang mempunyai kaitan dengan garis agama tertentu yang kuat. [15] Dinny Yusuf tidak terlibat sejak awal berdirinya SIP yaitu saat rencana aksi pertama demo SIP di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998. Dengan ini, saya meluruskan beberapa pernyataannya di skripsi Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1998-‐1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005 hal. 101 dan di buku “Di Antara Belantara Jakarta”, editor Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, 2007, hal. 197-‐198. Sejauh mana perjumpaan kita dengan sains dan teknologi? Apakah hari-hari ini kita masih mengajukan pertanyaan: Mengapa buah Apel jatuh dari pohonnya? atau yang lebih kontemporer: Sejauh mana revolusi industri 4.0 mengubah hidup kita? Di tengah-tengah peradaban virtual, barangkali sebagian besar dari kita sudah tidak lagi mempersoalkan secara radikal pertanyaan-pertanyaan di atas—konon karena sains dan teknologi keduanya telah mewujud, merasuk, dan menyatu dalam tubuh, pikiran dan keseharian kita secara masif. Sepertinya hal yang semakin jauh jika kita menggugat sains dan teknologi sebagai institusi dan produk maskulin, bahkan argumen tentang representasi perempuan di bidang tersebut seperti kisah klasik untuk peradaban virtual ini. Namun meski sulit, penting bagi kita mengajukan pertanyaan kritis lainnya: Mengapa virtualisasi komunikasi, informasi, dan ruang tidak menjamin kesetaraan gender? Mengapa kemajuan teknologi Industri tidak beriringan dengan semangat menjaga rahim bumi? Adakah yang salah dari paradigma sains dan teknologi? Para feminis sejak lama mempertanyakan dan mengkritik isi, metodologi, dan epistemologi ilmu pengetahuan. Para feminis mencurigai bahwa ada bias androsentris dalam sejarah perkembangan teori dan praktik sains sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Mereka mempertanyakan apa yang disebut rasional, objektif dan ilmiah sebagai sebuah syarat ilmu pengetahuan dapat diterima. Para feminis tersebut menggunakan pendekatan filsafat sains dan teori feminis untuk membuktikan kecurigaan mereka terhadap sejarah dan praktik ilmu pengetahuan. Filsafat feminis sains dan teknologi muncul di tahun 1970-an sebagai bagian dari gelombang kedua aliran feminisme. Para pemikirnya antara lain Evelyn Fox Keller, Donna Haraway dan Sandra Harding Para feminis tersebut mendekati dan menggugat teori-teori maupun ilmu pengetahuan yang selama ini memiliki standar positivistik, objektivistik dan teknokratik (Dusek, 2006: 137). Gugatan pada feminis tersebut muncul antara lain dipengaruhi oleh pemikiran post-postivism oleh Thomas Khun, gerakan ekologi dan kritik para feminis tentang basis ilmu pengetahuan. Para feminis sains dan tenologi memetakan tiga area yang perlu diinvestigasi dari hubungan perempuan dan teknologi yaitu menyoal kontribusi perempuan dalam penemuan teknologi, pengaruh teknologi rumah tangga dan reproduksi terhadap perempuan dan metafora atas teknologi vs alam sebagai maskulinitas vs femininitas. Pertama, kontribusi perempuan dalam teknologi dan penemuan dipertanyakan oleh para feminis. Di tahun 1960-an, dalam ilmu antropologi muncul teori tentang homosapiens modern yang disebut “Man The Hunter”. Teori tersebut beranjak dari klaim peradaban bahwa berburu dianggap sebagai pusat pekembangan manusia dan kerjasama sosial, laki-laki lebih dominan dalam berburu sehingga dianggap lebih bertanggung jawab pada kemajuan sosial dan umat manusia. Teori tersebut dikiritk oleh Ruth Hubbard dengan melontarkan pertanyaan, “Apakah hanya manusia laki-laki yang berevolusi?”. Di tahun 1970-an para antropolog perempuan dengan pengaruh pemikiran feminisme memunculkan teori “Women Gatherer”, yang artinya perempuan telah berkontribusi terhadap persediaan makanan umat manusia dengan mengumpulkan tanaman, kacang-kacangan dan biji-bijian. Para antropolog tersebut mengklaim bahwa menyediakan makanan dari tumbuh-tumbuhan lebih penting daripada melakukan perburuan besar-besaran (Dusek, 2006). Perdebatan tentang siapa, laki-laki atau perempuan yang menjadi pusat kemajuan teknologi tidak berhenti sampai di situ, Lewis Mumford juga mengkritik para sejarawan teknologi yang kerap kali melupakan kontribusi perempuan dalam sejarah kemajuan teknologi, ia mengungkapkan bahwa jika alat tranportasi adalah kepanjangan dari kaki, maka rahim dan payudara tak bisa dilupakan sebagai perpanjangan teknologi penyimpanan dan inkubasi itu sendiri. Salah satunya ialah Voltaire, yang menyatakan bahwa perempuan bukanlah penemu/ilmuwan, jika memang ada maka keberadaannya perlu ditutupi, dan perempuan hanya membuat penemuan yang mereka sukai saja atau disebut “pekerjaan perempuan”. Ann Harned misalnya, ia menemukan penuai mekanik bersama suaminya namun hanya suaminya yang diumumkan sebagai penemu teknologi tersebut. Sayangnya, argumen Voltaire sepertinya lebih didengar oleh peradaban patriarki sehingga para penemu dan ilmuan perempuan seakan-akan tak memiliki kontribusi apapun dalam kemajuan dan inovasi teknologi (Dusek, 20016: 139). Kedua, teknologi memiliki dampak spesifik bagi perempuan. Val Dusek dalam Philosophy of Technology (2006) menjelaskan bahwa setidaknya ada dua jenis teknologi yang memiliki dampak langsung dan memengaruhi peran-peran perempuan dalam struktur sosial, yaitu teknologi rumah tangga dan teknologi reproduksi. Mesin cuci, oven, vacum cleaner, microwave dan kompor gas adalah beberapa diantara produk teknologi rumah tangga. Bagi perempuan kelas atas, kehadiran teknologi rumah tangga dianggap telah berkontribusi terhadap kerja-kerja mereka di dalam rumah dengan membuat pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun bagi perempuan miskin, kehadiran teknologi rumah tangga yang memberikan efisiensi waktu tersebut tak cukup membantu karena pada faktanya tak ada pengurangan beban kerja rumah tangga mereka, justru semakin banyak pakaian yang harus dicuci, semakin luas rumah yang harus dibersihkan. Oven membuat aktivitas fisik untuk memasak berkurang, begitu juga dengan keahlian memasak semakin hilang. Hal ini juga berdampak pada penghormatan suami terhadap kerja-kerja istri. Hadirnya teknologi rumah tangga membuat istri dianggap ‘tidak bekerja’ oleh suami mereka. Lebih jauh, Dusek juga mengemukakan bahwa teknologi rumah tangga membuat perempuan jadi konsumen atau pengguna dan laki-laki menjadi pembeli, desainer, petuga servis dan lai-lain. Sulamith Firestone dalam Dialectic of Sex (1970) menyatakan bahwa memisahkan perempuan dari rahim biologisnya adalah cara untuk mencapai kesetaraan yang seutuhnya. Ini adalah awal mula dimana teknologi reproduksi dianggap sebagai penyelamat perempuan (Dusek, 2006). Gagasan Firestone mendapatkan kritik dari berbagai feminis karena tak sepenuhnya teknologi itu netral gender. Pada faktanya teknologi reproduksi dikuasai oleh laki-laki, dokter laki-laki memimiliki kontrol penuh atas tubuh perempuan, meskipun di satu sisi ada teknologi kontrasepsi dan aborsi memungkinkan perempuan mendapatkan kontrol atas tubuhnya dengan penuh dan teknologi fertilasi dan implantasi embrio menjadi sebuah pengharapan bagi perempuan. Teknologi ultrasound, operasi caesar, seleksi gender janin adalah contoh teknologi reproduksi yang dicurigai dan berpotensi menghilangkan kemampuan subjek kehamilan itu sendiri yaitu perempuan. Diskursus mengenai teknologi reproduksi terus terjadi, perempuan diharapkan dapat memanfaatkan teknologi reproduksi namun perlu waspada karena ada ideologi patriarki di dalamnya. Bahkan Dusek mengungkapkan bahwa teknologi reproduksi adalah sarana dokter laki-laki untuk mengendalikan kehamilan dan persalinan yang tidak bisa ia lakukan. Ketiga, metafora teknologi sebagai laki-laki dan alam sebagai perempuan. Metafora tersebut pada akhirnya mengandaikan bahwa laki-laki bersifat aktif dan perempuan adalah pasif. Namun menurut Dusek, metafora tersebut juga tak sepenuhnya diamini dalam sains dan teknologi, banyak anggapan bahwa metafora hanyalah hiasan luar yang tak penting karena eksperimen, hukum alam, penemuan mekanis berdiri sendiri tanpa identitas gender tertentu. Namun metafora tersebut tidak dapat diabaikan karena berpengaruh terhadap perekrutan dan motivasi perempuan untuk menjadi ilmuwan dan insiyur. Evelyn Fox Keller menganalisis berangkat dari teori Chodorrow yang menyatakan bahwa anak laki-laki harus memutuskan hubungan dengan ibu mereka dalam rangka pembentukan identitas sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan stereotip maskulin pada sains dan teknologi yang mengunggulkan objektivitas dan ‘tidak bergantung’, ini seperti halnya sifat laki-laki. Tentu citra maskulin sains dan teknologi berdampak pada perekrutan perempuan. Anak perempuan di sekolah menengah atas yang memiliki bakat sains dan teknologi akhirnya tidak dianjurkan dan didorong untuk mengejar studi lanjutan untuk menjadi ilmuwan sains maupun seorang insiyur (Dusek, 2006). Gambaran sains dan teknologi yang dibangun bertentangan dengan gambaran dan ekspektasi masyarakat terhadap femininitas anak perempuan sehingga banyak anak perempuan yang merasa takut untuk menjadi cerdas atau merasa kemampuan teknisnya lebih baik dari laki-laki karena khawatir laki-laki tidak tertarik padanya (Dusek, 2006). Menariknya, metafora dan dualisme yang dibangun atas laki-laki dan perempuan; aktif-pasif, teknis-non teknis, telah diargumentasikan oleh Mary Wollstonecraft. Ia berargumen bahwa jika laki-laki disimpan dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Mary pada waktu itu mengkritik karya Emile karya Jean-Jacques Rousseau yang menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan yang paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Pemikiran Rousseau ini mengandaikan bahwa murid perempuan yang ideal adalah yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, puisi sembari mengasah keterampilannya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (Tong, 1998:19). Hal ini memperlihatkan bagaimana pola pikir dan konstruksi sosial telah lama dibangun. Pembedaan cara-cara pengasuhan dan pendidikan yang membuat perempuan terpinggirkan dari pendidikan, pendidikan teknologi khususnya (Pratiwi, 2016:11). Sama halnya ketika perempuan memilih sekolah di bidang teknologi, ia menjadi minoritas dan kerap kali harus meninggalkan sifat-sifat femininnya untuk masuk ke dalam dunia teknologi tersebut. Namun pemikiran Betty Freidan mengenai sifat-sifat maskulinitas dan femininitas sangat berbeda. Dalam bukunya The Second Stage ia menggambarkan apa yang disebut sebagai gaya pemikiran dan tindakan beta, yang menekankan pada “fluiditas, fleksibilitas, dan sensitivitas interpersonal” sebagai feminin secara budaya, dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan alfa menekankan pada “hierarki, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi tugas berdasarkan rasionalitas intrumental dan teknologi sebagai maskulin secara budaya” (Tong, 1998:44). Ide Betty Freidan ini mengandaikan bahwa perempuan dapat memaksimalkan keduanya, yaitu pola alfa dan beta, yang berarti bahwa sebenarnya perempuan tidak perlu menanggalkan femininitasnya untuk setara dengan laki-laki (Pratiwi, 2016: 11). Kritik para feminis tersebut berlanjut dengan gugatan terhadap status inferior perempuan dalam masyarakat modern (masyarakat dengan ilmu pengetahuan) yang dikukuhkan dengan penemuan sains yang bias. Sangat sering data dari eksperimen ilmiah dan teori yang diperoleh dari data tersebut digunakan untuk memberikan dasar ilmiah untuk membenarkan posisi inferior perempuan dalam masyarakat. Kaum feminis abad ke-19 seperti Blackwell misalnya mengkritik teori pembedaan seksual Darwin yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepasifan dan subordinasi bawaan perempuan (Rosser, 1989). Lebih jauh Kathleen Okrulik menganggap bahwa kritik feminis terhadap sains bukan hanya sekadar perihal monolitik tapi juga politik, karena ada penindasan yang terjadi sepanjang perkembangan sains dalam isu-isu tertentu (Okhrulik, 2000). Persoalan yang demikian rumit membuktikan bahwa bias terhadap teori-teori di bidang biologi tidak bisa terlepas dari bias sosial, artinya sains bekerja di ranah sosial juga, maka sains yang berada di laboratorium tidak bisa dikatakan netral karena ia selalu bekerja dan dikerjakan di dalam suatu ruang, di dalam masyarakat, di dalam kultur patriarki. Tiga aspek di atas merupakan wacana perempuan dan teknologi yang memungkinkan saling bertentangan satu sama lain dan bahkan masih diperdebatkan hingga kini. Diskursus di atas memberikan gambaran besar tentang relasi perempuan dengan sains dan teknologi yang terjadi di berbagai dimensi, baik itu level privat maupun publik. Sayangnya keduanya tak bisa dipandang hitam dan putih dan dikotomis, persoalan teknologi yang seakan-akan berada di level publik ternyata masuk dan menyergap diam-diam pada urusan privat perempuan yaitu tubuh. Teknologi sendiri dipahami Dusek bukan hanya perangkat keras atau penemuan ilmiah-objektif namun juga sebagai sebuah sistem sosial. Teknologi sebagai sebuah alat tidak melibatkan metafora atau ideologi gender namun teknologi sebagai sebuah sistem sosial dan budaya melibatkan citra dan metafora sehingga pengguna memiliki peran-peran dalam teknologi. Hal yang menarik adalah kritik yang melihat bahwa sains dan teknologi bukan hanya perihal teori atau alat, melainkan juga perihal politik, artinya sains dan teknologi tidak hanya bekerja di dalam laboratorium tapi juga bekerja untuk melanggengkan kekuasaan. Maka dari ketiga cara kerja para feminis mengkritik sains tersebut, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa para feminis mencurigai netralitas sains dan teknologi, baik dari kesejarahannya, epistemologi, dan politik. Daftar Pustaka: Dusek, Val. (2006). Philosophy of Technology: An Introduction. USA, UK, Australia: Blackwell Publishing Ltd. Okruhlik, Kaathleen. (2000). Feminist Accounts of Science. A Companion to The Philosophy of Science (Ed. W.H. Newston-Smith). UK, New York: Blackwell Publishers Ltd. Pratiwi, Andi. (2016). Perempuan Programmer dalam Pendidikan dan Karier: Kajian Teknofeminisme dalam Sains dan Teknologi. Jurnal Perempuan, Vol. 21 No. 4, 8-24. Rosser, Sue V. (2004). The Science Glass Ceiling: Academic Women Scientists and the Struggle to Succeed. Routledge. Rosser, Sue V. (1989). Feminist Scholarship in the Sciences: Where Are We Now and When Can We Expect a Theoretical Breakthrough? Feminism and Science (Ed. Nancy Tuana). United States: Indiana University Press. Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (terj). Yogyakarta: Jalasutra. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |