Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
Wacana Feminis

Politik Representasi Suara Ibu Peduli

17/9/2018

 
Dr. Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
Picture
Sejarah SIP adalah Sejarah Pergerakan Feminis 
​

Pengasahan ide demonstrasi SIP (Suara Ibu Peduli) dimulai sejak bulan November 1997 di Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang ketika itu giat melakukan kegiatan “zero tolerance”, yaitu berkampanye untuk anti kekerasan terhadap perempuan. Kala itu merupakan pertama kali YJP bekerja sama dengan badan dunia seperti UNIFEM, meskipun kegiatan tersebut hanyalah project kecil, penyebaran aksi dan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan. Dari kegiatan tersebut, sejumlah poster dan T-­Shirt dicetak. Namun, kegiatan tersebut secara internal telah merancang staf YJP untuk terus‐menerus berdiskusi soal kekerasan terhadap perempuan dan implikasinya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Adalah Nur Iman Subono yang suatu hari membawakan cerita tentang ibu‐ibu di Plaza de Mayo. Nur Iman Subono, staf YJP pada waktu itu juga adalah pengajar politik di FISIP UI dan pemerhati bidang politik Amerika Latin. Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa[1]:

Sekelompok perempuan menjadi simbol aktivisme hak asasi dan keberanian. Berpakaian hitam, mereka berdemonstrasi bertahun-­tahun lamanya setiap hari Kamis jam 3.30 sore di tempat terkenal Plaza de Mayo di Buenos Aires, menuntut penjelasan nasib anak-­anak yang mereka sangat cintai. Mereka mengenakan saputangan di kepala yang bertuliskan nama-­nama anak laki-­laki dan perempuan mereka, juga membawa foto anak-­anak mereka. Para ibu-­ibu  ini  memakai  atribut  keagamaan  Kristen  yang  ternyata  merupakan  strategi  yang efektif karena yang mereka hadapi dan lawan adalah regim militer yang sangat Katolik. Beberapa  dari  ibu-­ibu  ini  termasuk  pendirinya  Azucena  Villaflor  de  Vicenti  menghilang karena aksi mereka melawan ketidakadilan.

Cerita ibu­‐ibu Plaza de Mayo begitu mengesankan dan menjadi topik pembicaraan terus-­menerus di YJP. Pada suatu ketika saya berdiskusi untuk kemungkinan melakukan aksi demonstrasi dengan beberapa redaksi Jurnal Perempuan yang ketika itu selain Nur Iman Subono juga termasuk Karlina Leksono-­Supelli (Karlina bergabung dengan YJP pada bulan Agustus 1997 sebagai editor Jurnal Perempuan). Ide demonstrasi ini juga saya sampaikan kepada teman Korea bernama Eun Sook[2] yang ketika itu aktif membantu sebagai intern YJP. Ide ini kemudian semakin bergulir dan disepakati untuk mengadakan pertemuan pertama dengan mengundang teman-­teman aktivis perempuan di kantor YJP, Gedung BOR Megaria pada tanggal 13 Februari 1998.[3] Intinya adalah untuk mengajak teman-­teman membahas kemungkinan berdemonstrasi dengan satu  tujuan melawan rejim  Orde Baru, menjatuhkan Soeharto. Pertemuan pertama dihadiri sekitar 15 orang, antara lain Myra Diarsi (Rumah Ibu), Julia Suryakusuma, Robin Bush (mahasiswa asal Amerika Serikat­‐kini bekerja di Asia Foundation), Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri (Solidaritas Perempuan) dan teman-­teman LBH APIK antara lain seperti Iyik. Selebihnya, adalah seluruh staf Yayasan Jurnal Perempuan seperti Nur Iman Subono, Karlina Leksono-­Supelli, Umi Lasmina, Liza Hadiz, Himah Sholihah, Nazaruddin, dan lain-­lain.

Penggunaan Kata “Ibu-­ibu” dan “Susu” sebagai Kamuflase 

Pada pertemuan tanggal 15 Februari dibahas penggunaan kata “ibu-­ibu” sebagai strategi politik. Penggunaan kata perempuan juga sempat mencuat di dalam rapat, yakni Suara Perempuan Peduli. Namun penggunaan kata perempuan dikhawatirkan akan mengandung kontroversi karena politik represif Orde Baru menggunakan bahasa “wanita” dan bukan "perempuan." Mereka cenderung  bersimpati  pada  kegiatan  “ibu-­ibu”  seperti  misalnya Dharma  Wanita.[4]  Kami memperhitungkan segala sesuatu dengan detil, selain nama, juga termasuk isu yang akan diusung. Kami sadar bahwa kami tidak bisa merencanakan membawa spanduk “Turunkan Soeharto”, maka, perlu memikirkan isu apa yang dapat menarik simpati publik.

Pada masa itu, isu susu sesungguhnya isu yang sudah sering dibicarakan di YJP. Saat itu inflasi melambung dan harga-harga meroket termasuk harga susu. Kebetulan di dekat rumah saya, di Hero Gatot Subroto, harga susu naik hingga 400%. Ketika itu anak saya berumur 3 tahun dan 8 bulan serta membutuhkan susu. Saya menyaksikan seorang ibu yang kebingungan mencari susu. Setelah kejadian tersebut, keesokan harinya saya diskusikan dengan Nur Iman Subono dan Eun Sook soal ide susu sebagai penggunaan “tanda.” Artinya, isu susu dapat digunakan sebagai kamuflase untuk memperjuangkan isu yang lebih besar yaitu demokrasi. Jadi, memang tidak pernah ada keprihatinan mendalam tentang masalah  susu  dan kaitannya dengan  ibu-­ibu.  Isu susu bukan isu utama. Agar rencana  demonstrasi berjalan sempurna maka  YJP  pada  tanggal 20  Februari mengenalkan nama SIP untuk pertama kalinya secara publik. YJP menjual susu murah.[5] Kami beranggapan  harus  ada  “bukti”  kegiatan penyediaan susu dan  perlu rekayasa  bahwa kami  benar-­benar  prihatin  soal  susu. 

Susu diperoleh staf YJP, Himah Sholihah, langsung dari pabrik dengan harga negosiasi.[6] Namun tentunya perlu dana untuk itu maka dimulailah penggalangan dana dan pada tanggal   16   Februari   terkumpul   Rp.   5.950.000,-­[7]  dan  hingga penyelenggaraan susu murah pada tanggal 20 Februari terkumpul kurang lebih Rp 10.000.000,-­,  Setelah aksi demonstrasi SIP/YJP meneruskan penjualan susu murah karena permintaan masyarakat hingga penjualan dan donasi susu murah mencapai ratusan juta rupiah.[8] Pengelolaan penjualan susu murah ini ditangani sepenuhnya oleh staf YJP; Ani, Nazar, Supri, Robin, Himah Sholihah, dan lain-­lain. Malam sebelum penjualan, beberapa aktivis perempuan (seperti ibu Sri dari Kalyanamitra) ikut membantu memasukkan bubuk susu ke dalam plastik.

Pada tanggal 20 Februari 1998, YJP mengadakan rapat kedua. Sebagai pimpinan rapat, saya melaporkan penjualan susu yang dilakukan pada pagi harinya. Tanpa diduga peminat susu murah begitu banyak, orang mengantri, bahkan sempat menimbulkan dorong-­mendorong hingga pintu depan kantor YJP pecah. Malam itu, berkumpul lebih banyak lagi aktivis perempuan dengan wajah-­wajah baru seperti Dina (Walhi), Agung Putri (Elsam), Riga Adiwongso (FE UI), Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi (Pendiri YJP dan dosen Filsafat UI), Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Dr. Kartini Sjahrir (Antropolog) dan lain-­lain.[9]

Hasil rapat menetapkan lokasi demonstrasi yaitu Bundaran HI. Mengapa Bundaran HI? Karena dianggap tempat yang strategis untuk bisa bertemu. Pakaian kantor menjadi pilihan kostum demonstrasi agar bisa menyatu dengan pekerja-­pekerja kantoran lainnya yang banyak terdapat di sekitar Bundaran HI. Titik-­titik  meeting  point  ditentukan.  Rencananya para demonstran  akan  berjalan  dari segala penjuru, menjinjing tas kantor yang isinya poster-­poster dan bunga‐bunga. Pada rapat malam tersebut, komitmen teman-­teman aktivis dituntut untuk bersedia ikut berdemonstrasi pada tanggal 23 Februari 1998. Terkesan tidak akan banyak teman-­‐teman  yang ikut berdemonstrasi  apalagi  diketahui dari media masa bahwa pada hari  Senin  tanggal  23  Februari kemungkinan besar akan ada siaga satu, yaitu tembak mati di tempat bagi para pendemonstran. Beberapa di antara teman-­teman aktivis mengurungkan niat mereka ikut berdemonstrasi dengan alasan masing‐masing. 

Akhir minggu dijalankan secara cemas oleh staf YJP karena pertemuan terakhir tidak mendapatkan sinyal yang positif. Namun penjualan susu semakin kuat di hari Sabtu dan Minggu. Ibu­‐ibu, bapak-­‐bapak bahkan anak-anak remaja  semuanya berebutan susu di kantor YJP. Di saat mengantri mereka mengeluhkan harga-­‐harga yang melambung, dan masa depan yang suram. Ibu-­ibu mengeluhkan kesulitan ekonomi. Hari Minggu tanggal 22 Februari 1998, kembali diadakan rapat kecil dan kali ini melibatkan Rocky Gerung sebagai teman dan pendukung Jurnal Perempuan. Kami membahas lagi rencana yang detil serta menegaskan lagi pentingnya menumbangkan rezim Orde Baru yang telah menyengsarakan rakyat. Kebimbangan sirna setelah mendapatkan kabar bahwa tim pembela dari LBH siap terjun di pinggiran lapangan. Akhirnya saya sebagai ketua YJP pada saat itu, mengambil keputusan untuk terus melanjutkan rencana aksi. Pembagian tugas dilakukan, Karlina Leksono mengajukan diri sebagai koordinator lapangan, Julia Suryakusuma menjadi juru bicara dan dipercaya menangani media. Myra Diarsi menyiapkan segala keperluan aksi termasuk apa yang harus  dibacakan dan  lagu-­lagu  yang  dinyanyikan.  Teman­‐teman  YJP  mendukung  kuat  dan solid menghadapi hari H.

Meskipun aksi hanya diikuti beberapa teman­‐teman aktivis dan seluruh staf YJP, namun aksi berjalan dengan lancar. Tampak teman-­teman aktivis Julia Suryakusuma, Yuniyanti Chuzaifah, Myra Diarsi, Gayatri, Nori Andriyani, Tati Krisnawaty, Tinneke Arif (Filsafat UI), Wilasih (Wiwil aktivis dari Salatiga), dan lain-­lain. Aksi tidak berjalan lama sekitar 30 menit dan penangkapan berjalan cepat. Seketika Karlina, Wiwil, dan saya diangkut ke atas truk. Kami ditahan satu malam dan dicurigai “ditunggangi” oleh kaum oposisi. Kami dicecar dengan pertanyaan apakah kami berkiblat pada ideologi komunis. Kami ditahan selama satu malam dan pagi hari kami dilepaskan karena tekanan berbagai pihak. Berita penahanan "ibu-ibu" menjadi berita headline di media nasional dan internasional. Pada tangggal 4 Maret, kami disidang di depan hukum. Saya dan Karlina menyampaikan pledoi[10] yang telah kami siapkan. Ruangan sidang penuh sesak oleh ratusan pengunjung yang datang dari berbagai elemen. Pengunjung mengumandangkan lagu-lagu perjuangan dan lagu "Ibu Kita Kartini." Sidang ditunda hingga Senin, 9 Maret 1998. Kami dinyatakan bersalah melanggar pasal 510 KUHP tentang arak‐arakan dan didenda Rp 2.250,-­ atau kurungan 2 minggu. Kami menolak keputusan itu namun sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada tanggal 21 Mei dan perkara kami tidak dilanjutkan.
 
Politik Representasi

Satu  hal  yang  perlu  dicatat  di  dalam  tulisan-­tulisan  di  media  tentang  demo  SIP  adalah  tidak adanya pembahasan mendalam “tanda” SIP. Apakah signifikansi penamaan SIP? Siapakah aktor SIP? Dimanakah dan organisasi manakah yang menjadi rumah SIP?  Media masa menyimbolkan SIP sebagai gerakan "ibu-ibu" dan bukan aktivis perempuan. Media mengumbar kata “ibu,” “peduli,” “anak­‐anak”  sebagai mantra mereka dan megangkat interpretasi  domestikasi perempuan  yang  penuh  romantisasi.  Tentunya sebagai feminis, saya berkeberatan, meskipun “tanda” tersebut kami mainkan dengan sempurna dan berhasil meraih simpati masyarakat. SIP dilahirkan dan diusung oleh aktivis perempuan yang bertujuan menjatuhkan Orde Baru. Namun interpretasi domestikasi begitu melekat dan sejarah gagal mencatat perjuangan SIP sebagai perjuangan aktivis perempuan yang mengawali gerakan Reformasi. Tidak banyak yang memahami politik representasi SIP dan permainan ”tanda” yang dimainkan. Memang pembongkaran semiotik SIP hanya dapat dibaca dengan kecerdasan dan mengerti bahwa SIP memperjuangkan ide-ide besar demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan menyatakan pendapat. 

Lalu di manakah “ibu-­ibu” seperti yang dimaksud media bahkan yang tertera oleh website Suara Ibu Peduli sendiri?[12] Kompas 13 Juni 2000, tulisan Maria Hartiningsih mengungkapkan, “SIP melangkah makin jauh. Gerakan yang dimulai dari sekelompok ibu yang turun ke jalan di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998 untuk memprotes kenaikan harga susu itu telah bermetamorfosa ke dalam  bentuk  yang  semakin  jelas”.  Di  dalam  artikel  ini  ditulis pelabelan baru bukan hanya pelabelan “ibu-­ibu”  tapi juga pelabelan “perempuan kelas menengah berpendidikan tinggi." Selanjutnya artikel ini mengangkat SIP “sesungguhnya”, yaitu ibu-­ibu dari berbagai wilayah di Jakarta. Jelas tulisan tersebut salah  karena  tidak  ada  “ibu-­ibu”  seperti  yang  digambarkan  oleh  media,  “ibu-­ibu”  sesungguhnya itu baru bermunculan setelah aksi feminis di Bundaran HI. Ibu-­ibu sungguhan datang setelah reformasi diraih, yang berperan, berkonsep dan berstrategi adalah para feminis sejati.

Setelah penangkapan dan pengadilan (Karlina, Wilasih, dan saya) aksi para perempuan aktivis diteruskan dengan mendukung para mahasiswa, mulai tanggal 19 hingga 23 Mei. Dana yang   terkumpul   selama   1998-­‐1999   untuk    aksi   mahasiswa   adalah   Rp 1.120.541.865,-­‐[13] dari berbagai elemen masyarakat. Nasi bungkus disalurkan sebanyak 70.576 bungkus termasuk dari warung nasi padang di hampir seluruh Jakarta. Kotak aqua yang disalurkan sebanyak 1.947 boks dan 2.811 boks snack serta ribuan buah-­buahan. Ini belum termasuk sumbangan masyarakat makanan “mentah,” ada telur, ayam hidup dan sebagainya. Sumbangan juga digunakan untuk dukungan Newsletter mahasiswa “Bergerak,” T­‐Shirt bertuliskan “Reformasi Total”[14].  

Menerima begitu saja representasi yang serba pasti sama dengan memaklumi sistem kekuasaan sosial yang memvalidasi dan mencap sejumlah pelabelan perempuan. Inilah yang menjadi persoalan di saya dan juga telah saya tuliskan di buku saya “Feminisme Sebuah Kata Hati” (2006: 280):

“sedikit sekali yang sampai pada konklusi bahwa “politik susu” SIP sebenarnya adalah Politik Perempuan di Dunia Ketiga yang sangat strategis. Mulai dari pemilihan nama “ibu” yang dipikirkan secara matang di kantor YJP menunjukkan kecerdasan permainan politik yang luar biasa dalam iklim negara represif. Para aktivis perempuan sadar bahwa dalam iklim represif dominasi laki-­laki merajalela. Para aktivis dan akademisi perempuan paham bahwa mengeksploitasi unsur-­unsur tradisional demi merebut demokrasi dapat dilakukan. Dan inilah yang dilakukan dengan proyek SIP.”

Politik representasi SIP dilakukan secara produktif dan mengkonstruksi representasinya. Oleh sebab itu, perlu perangkat intelektual untuk melakukan denaturalisasi SIP. Politik representasi perempuan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan dengan lihai menggunakan representasi untuk menyingkap misrepresentasi maupun menawarkan kemungkinan baru yakni melawan kekuasaan yang dominan.

Men Doing Feminism

Satu hal yang menarik dari politik representasi SIP adalah melahirkan kemungkinan baru peran laki-­laki feminis, hal ini sering dilupakan. Di tingkat aksi SIP dapat dikatakan ada sejumlah laki-­laki feminis yang berperan misalnya Rocky Gerung, Nur Iman Subono, Robin, Nazaruddin, Misyono, Stanley, Tigor, dan masih banyak lagi laki-­laki yang berkontribusi secara positif. Apa yang mereka lakukan  adalah  menetapkan  pijakan  laki-­laki  progresif  (male  progressive  stand  point)  yang berlawanan dengan cara pandang laki-­laki (male view point).

Laki-­laki yang terlibat dalam demonstrasi SIP di Bundaran HI adalah upaya mereka untuk masuk ke dalam relung pengalaman perempuan. Yang saya maksud dengan pengalaman adalah sebuah proses, rangkaian kejadian, di mana orang tersebut ikut mengalami dan menghirup bersama suatu kejadian. Bisa juga dikatakan seseorang yang ikut dalam observasi pengalaman seseorang dan merasakannya. Namun, laki-­laki feminis ini bukan saja mencoba memahami akan tetapi lebih dari itu, berusaha merekonstruksi segala kesedihan, penindasan, pilu, dan ketegangan atas dasar informasi yang mereka olah dengan suatu imajinasi untuk perubahan.

Male  progressive  stand  point,  berusaha  untuk  merekonseptualisasi  lagi  peran  laki-­‐laki, maskulinitas dan secara aktif melakukan investigasi diri hingga titik kesadaran perlunya mengubah dunia. Di sini dituntut suatu pemahaman moral laki-­laki dan bagaimana sebaiknya dunia dihuni dan dibagi bersama perempuan.

Catatan Kritis

SIP  yang  beranggotakan “ibu‐ibu”  (ibu‐ibu  dari  Depok,  Bojong  Gede,  Cilandak,  Rempoa,  dan sebagainya) datang ke kantor YJP setelah reformasi diraih dan berniat untuk membantu kegiatan di kantor.  YJP memutuskan untuk masih mempertahankan SIP karena khawatir akan terjadi konflik lagi (Semanggi II memang kemudian terjadi). Awal kedatangan ibu‐ibu ke kantor YJP tentu disambut meskipun ratusan orang dan puluhan elemen juga datang menawarkan bantuan (dari siswa SD hingga politikus).

Perdebatan  hangat  terjadi  di  kalangan  pimpinan  YJP  mengenai  keberadaan  ibu­‐ibu sungguhan ini. Terutama apakah YJP sebagai organisasi yang berorientasi feminis dan memiliki produk kajian feminisme mempunyai “ruang” untuk mereka? Meskipun beberapa kali rapat intern perdebatan‐perdebatan ini muncul, namun, saya pada waktu itu optimis terhadap kontribusi yang bisa diberikan oleh ibu‐ibu. Menurut hemat saya, ibu­‐ibu perlu dilibatkan dalam reformasi. Tetapi gerakan SIP yang awal adalah sebagai proyek politik dan bukan proyek “ibu-­ibu.” Di sinilah mungkin perbedaan pendapat yang terjadi antara saya di satu pihak dengan Karlina Supelli bersama Dinny Yusuf di pihak lain.[15]

Bagi saya, suatu proyek politik berbasis isu (yaitu anti Orde Baru) dan itu tidak perlu dilembagakan karena ia merupakan pemikiran lepas yang bertujuan untuk melakukan perubahan. Ia harus lintas status perkawinan (bukan hanya ibu-­ibu), agama, ras, dan etnisitas. Namun, ia harus memiliki pendirian feminis, platform yang sama: women’s rights is human rights. Maka, ketika pada bulan Agustus 1999, “SIP jilid dua” ingin memisahkan diri dari YJP, karena ingin melembagakan gerakan itu menjadi organisasi formal untuk kepentingan pemberdayaan kaum ibu, maka hal itu saya sambut dengan baik. Apalagi kebutuhan keseharian SIP jilid dua memang sudah berubah selama perjalanan waktu satu tahun lebih. Saya pikir, pada akhirnya ibu-­ibu memerlukan wadah yang mereka kelola dan pikirkan sendiri.

Jadi kalau ditanyakan apa sebetulnya SIP itu? maka menurut saya SIP adalah suatu gerakan politik yang berlangsung dalam periode awal reformasi, dengan maksud membuka ruang keberanian perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik. Kami memilih Hotel Indonesia (pusat Ibukota) sebagai panggung politik dan memilih tanggal 23 Februari 1998, dimana status Siaga Satu (tembak di tempat) diberlakukan di Ibukota. Jadi, ide utama SIP sepenuh-­penuhnya bersifat politik perempuan. SIP adalah sebuah percobaan politik feminis yang berbenturan langsung dengan kekuasaan.
 
 
Daftar Pustaka: 
Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, “Di Antara Belantara Jakarta”, Elkasa, 2007.
Azizah,  “Gerakan  Perempuan  di  Indonesia,  Tahun  1998-­1999:  Tinjauan  Deskriptif  Pada  Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005.
Gadis Arivia, “Feminisme Sebuah Kata Hati”, Kompas, 2006.
Linda Hutcheon, “Politik Posmodernisme”, Jendela, Yogja, 2004.
Nur Iman Subono, (editor), “Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli”, YJP, 1999.
Tom Digby dan Sandra Bartky, “Men Doing Feminism”, Routledge, NY, 1998. Yayasan Jurnal Perempuan, Laporan Suara Ibu Peduli, 1998-­‐1999.
 
 
 
Catatan Akhir:
[1] Nur Iman Subono dalam diskusi internal redaksi YJP, Desember 1997.
[2] Eun Sook menghadiri semua pertemuan yang ketika itu diberi kode dengan kata “aerobik” karena menggunakan kata pertemuan “merancang demonstrasi” bukan suatu ucapan yang populer kala itu.
[3] Lihat arsip undangan rapat ditandatangani oleh saya sendiri.
[4] Dapat dilihat di daftar hadir pertemuan 13 Februari 1998.
[5] Baca pemberitaan Kompas soal susu murah, Sabtu, 21-­‐02-­‐1998.
[6] Antara lain dari Nestle, namun staf-­‐staf di sana juga menyumbang secara spontan sebesar Rp 200.000,-­‐
[7] Dana berasal dari Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi, Gadis Arivia, dan Andrea (individu bekerja di Bank Dunia).
[8] Lihat laporan YJP tentang laporan kegiatan SIP, Februari 1998-­‐1999, laporan keuangan hingga April 23 meliputi sumbangan tanpa nama sebesar Rp 50.000.000,-­‐
[9] Lihat daftar hadir. Memang ada juga yang tidak tercatat, daftar hadir sempat diacak agar bila terjadi sesuatu tidak dapat dilacak oleh aparat pemerintah.
[10] Lihat di buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, YJP, 1999.
[11] Dalam teori politik representasi saya memakai teori Linda Hutcheon.
[12] Website  SIP  (www.suaraibupeduli.org) tertulis: “Suara  Ibu Peduli (SIP) didirikan pada  tanggal 19  Februari 1998  oleh ibu-­‐ibu dan perempuan dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang berkeinginan untuk menyuarakan kepeduliannya atas berbagai masalah yang terjadi di masyarakat akibat krisis ekonomi dan politik di Indonesia. SIP menjadi perkumpulan pada tahun 2002 dengan akta notaris tertanggal 21 Juni 2002.
[13] Lihat  laporan  keuangan  YJP  tentang  SIP  1998-­‐1999.  Pengeluaran  sebesar  Rp  1.194.743.958,-­‐  selisih  ditanggung  YJP  sebesar  Rp 74.202.093,-­‐
[14] Untuk membedakan dengan “Reformasi Damai”, yaitu kelompok mahasiswa yang mempunyai kaitan dengan garis agama tertentu yang kuat.
[15] Dinny Yusuf tidak terlibat sejak awal berdirinya SIP yaitu saat rencana aksi pertama demo SIP di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998. Dengan ini, saya meluruskan beberapa pernyataannya di skripsi Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1998-­‐1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005 hal. 101 dan di buku “Di Antara Belantara Jakarta”, editor Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, 2007, hal. 197-­‐198.
 

​


Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023