Ketika perempuan dikungkung dalam mitos-mitos yang diciptakan oleh laki-laki, semua konsep mengenai hakikat perempuan dibentuk dalam budaya yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan, di era posmodern sekarang harus beranjak untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, mereka harus mempunyai kesadaran untuk menciptakan perspektif baru untuk lepas dari bayang-bayang hitam maskulinitas. Kebanyakan dari perempuan secara tidak sadar, dituntut untuk berpenampilan menarik oleh pasangannya, atau bahkan perempuan itu berpenampilan menarik untuk pasangannya. Dari contoh sederhana ini saja dapat terlihat bahwa kecantikan pun dikontruksi oleh laki-laki, padahal semestinya setiap perempuan dapat menentukan seperti apa dirinya. Mereka tak kuasa jika berhadapan dengan dominasi semu maskulinitas yang menggerogoti kehidupan mereka. Saat hegemoni budaya maskulinitas tetap tertancap, maka perempuan masih tersandera dalam sebuah masa yang dapat digambarkan seperti abad kegelapan di benua Eropa. Perempuan harus membangun sebuah armada tangguh untuk menggempur tembok maskulinitas yang kokoh dan sempurna itu dengan gerakan kesadaran. Jika perempuan tidak dapat keluar dari penjara maskulinitas, ia bahkan dapat menjadi agen pendukung sistem patriarkat. Fakta bahwa maskulinitas telah memberangus otonomi femininitas dapat dianalogikan seperti sistem kapitalis yang menguasai struktur ekonomi. Kita pun kadang merasa acuh terhadap fenomena bahwasanya taring maskulinitas pun sudah tertancap diseluruh lini kehidupan kita. Tak terkecuali dengan karya sastra. Jika kita membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kita akan merasakan taste yang berbeda, karena dalam karyanya Pramoedya cenderung menonjolkan kekuatan sebuah tembok maskulinitas era kolonialisme. Hal ini sangat terlihat dalam novelnya yang berjudul Gadis Pantai, yang bercerita tentang seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari dinamika masyarakat feodal kala itu, terlebih ketika unsur patriarkal sangat menonjol. Wanita dalam masyarakat Jawa hanya memiliki peran yang terbatas yaitu tiga M (manak, masak, macak) atau dalam bahasa Indonesia peran wanita hanya melahirkan anak, memasak di dapur dan berdandan. Seharusnya karya satra sekarang harus mulai memikirkan suatu inovasi yang baru untuk mencoba melawan tembok maskulinitas yang sangat kokoh di negeri ini, mungkin dengan melakukan gerakan sastra yang baru dan berdampak positif bagi kesetaraan gender. Sehingga rekayasa mindsite mengenai budaya patriarkal yang disokong oleh maskulinitas akan luluh dan masyarakat akan menerima konsep yang diusung yaitu kesataraan dalam segala bidang. Ketika suatu gagasan mengenai pandangan dan posisi politis yang menuntut pengakuan kesataraan itu dapat diterima oleh masyarakat, setidaknya hal ini menjadi sebuah pencapaian yang sangat menggembirakan karena dapat membangun armada yang mampu menggempur kekuatan yang kokoh dengan berawal dari titik kesadaran. Saat sebuah jalur yang sebenarnya bisa menjadi sarana alternatif untuk menyuarakan pembaharuan sudah dikuasai, lantas akankah kita tetap diam seolah tak terjadi apapun? Disaat kondisi seperti ini, kaum perempuan menginginkan munculnya sosok yang berhasil membuat perubahan yang mendasar, sosok perempuan yang mampu mengatakan dengan lugas, “Ketika pena ada di tangan, saya ingin tubuh saya berbicara, saya ingin pikiran saya menunjukkan otot-otot ketangguhan namun tetap dalam nuansa kelembutan”. Mungkin jika kondisi seperti itu dapat tercapai, maka bukan hal yang mustahil upaya untuk menyuarakan kesetaraan akan diterima dengan penuh kesadaran oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, saya akan meminjam terminologi dari Michael Foucault untuk menggambarkan betapa dominannya kontrol maskulinitas terhadap femininitas, Foucault menggunakan istilah “politik ketubuhan”, memang jika kita berpikir lebih dalam, kondisi seperti ini sangat terkait dengan kedudukan politis suatu identitas. Ketika maskulinitas yang dikonstruksi secara kultural ditopang oleh semua atribut hasil konvensi sekelompok manusia, maka peran perempuan direduksi secara halus oleh kultur yang mereka anut ketika kebebasan yang seharusnya mereka dapatkan tersandera oleh diri mereka sendiri. Kondisi ini kurang disadari oleh banyak perempuan di negeri ini. Mereka belum bisa menjadi subjek dalam relasinya dengan pasangannya. Pada umumnya relasi antara laki-laki dan perempuan masih berkutat pada level subjek-objek. Kebanyakan perempuan masih menjadi objek dalam relasi tersebut. Mengenai relasi dengan subjek lain, seorang filsuf eksistensialis yaitu Martin Buber menggunakan konsep relasi untuk menggali hubungan yang setara antar subjek. Jika hubungan antara laki-laki dan perempuan masih bersifat subjek-objek, maka mereka masih dalam taraf I-it. Relasi yang ideal adalah jika hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai relasi subjek-subjek, karena dalam relasi ini dimungkinkan terdapat dialog yang setara, tidak terdapat upaya untuk mengobjekkan perempuan. Jika seorang laki-laki dan perempuan sudah dapat menjalin relasi yang berbentuk subjek-subjek, maka oleh Martin Buber relasi ini dinamakan I-thou. Pada taraf ini akan terjadi sebuah relasi yang penuh, dan mereka akan mencapai tahap eksistensinya karena akan memahami sang liyan yang pada kasus ini baik laki-laki maupun perempuan secara whole being. Perlahan namun pasti perempuan Indonesia harus beranjak dari penjara patriarkat yang disokong kekuatan maskulinitas. Sudah saatnya perempuan berada dalam posisi subjek-subjek ketika membangun relasi dengan laki-laki. Seperti yang dicita-citakan R.A Kartini, wanita Indonesia harus memiliki kesadaran untuk menyadarkan sesamanya, bukan malah menjadi agen pemberangus kesadaran itu sendiri. Perempuan harus menjadi makhluk yang memiliki peran ganda yaitu produksi dan reproduksi. Produksi dalam artian penggalian ide-ide baru mengenai gagasan menyadarkan kaumnya, sekaligus reproduksi dalam artian meengevaluasi gerakan-gerakan yang sudah ada agar tetap relevan dengan kondisi sekarang. “Throughout the world, more than 51 million girls below the age of 18 are currently married, even though it is outlawed in many developing countries and international agreements forbid the practice. The harmful traditional practice of child marriage spans continents, language, religion and caste.”[i] Pada tahun 2011, saya sempat membaca majalah National Geographic Indonesia yang membahas tentang pernikahan anak. Ketika saya mencoba mencari artikel tersebut secara online, saya menemukan artikel yang sama pada laman website National Geographic dan sebuah link yang merujuk pada sinema pendek yang rupanya membahas mengenai pernikahan anak pula. Video yang dibuat oleh Stephanie Sinclair, seorang fotografer dokumenter, tersebut berjudul Too Young To Wed: The Secret World of Child Brides. Video ini berisi testimoni dari perempuan-perempuan yang dinikahkan pada usia muda (8-14 tahun) di berbagai negara berkembang seperti India, Etiopia, Afganistan, dan lainnya. Ada dua fokus dalam video tersebut yang sekiranya sama dengan fokus yang ingin saya bahas di dalam tulisan ini yaitu anak perempuan sebagai korban terbesar dari pernikahan anak dan korelasi antara pernikahan anak dengan “tradisi” serta pendidikan. Pertama-tama, mengapa perempuan disebutkan sebagai korban terbesar dari pernikahan anak? Ada beberapa akibat dari pernikahan anak terhadap perempuan. Pertama, ketika perempuan dinikahkan saat masih berusia belasan tahun, organ reproduksi perempuan belum sepenuhnya siap berfungsi. Hal ini kemudian bisa berakibat pada kematian Ibu. Kedua, pernikahan anak mengancam ketertinggalan pendidikan bagi perempuan. Biasanya perempuan yang menikah di usia dini harus meninggalkan sekolah karena berbagai alasan (hamil, rasa malu, keterikatan pada rumah tangga, dan sebagainya). Ketiga, dalam pernikahan anak, anak perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Keempat, kesehatan psikologis baik anak perempuan ataupun anak laki-laki menjadi rentan karena ketidaksiapan mereka dalam membina rumah tangga, seksualitas, dan lainnya. Pada pertengahan tahun 2015 ini, Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan tuntutan revisi usia layak nikah. Seperti tertera dalam Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974, usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki. Ketentuan ini telah dibiarkan sedemikian rupa selama hampir 41 tahun tanpa terusik meski banyak negara tetangga yang justru sibuk membahas mengenai usia layak nikah selama tahun-tahun tersebut. Ambillah India sebagai contohnya. Setidaknya, pada tahun 1978, India mengamandemen Child Marriage Restraint Act, 1929. Peraturan yang dirumuskan pada tahun 1929 ini pada awalnya mengatur usia pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Setelah diamandemen pada tahun 1978, secara spesifik disebutkan di dalam peraturan ini bahwa definisi dari anak adalah laki-laki yang belum berumur 21 tahun dan perempuan yang belum berumur 18 tahun (peraturan ini kemudian diperbaharui dan dilengkapi pada tahun 2006 dengan nama Prohibition of Child Marriage). Oleh karenanya pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang belum mencapai ketentuan umur tersebut merupakan sebuah pelanggaran hukum. Meskipun demikian memang kita tak dapat menutup mata pada fakta bahwa angka pernikahan anak di India sebenarnya masih tinggi. Sekitar 47% anak perempuan yang berada di India menikah sebelum genap berumur 18 tahun. Walaupun begitu, bukan berarti kondisi Indonesia dapat dikatakan sudah baik dan dengan begitu sebuah payung hukum untuk melarang pernikahan anak tidak lagi diperlukan. Pada dasarnya pernikahan anak memang masih menjadi salah satu perjuangan di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India. Ada beberapa sebab dari sulitnya memerangi pernikahan anak seperti tidak adanya larangan yang jelas mengenai pernikahan anak dalam beberapa agama, pendidikan (kesehatan reproduksi, gender, dan pendidikan secara umumnya) yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan juga kentalnya tradisi. Kembali pada Indonesia, pada masa kolonial pernikahan anak adalah suatu hal yang dianggap biasa dan terjadi di hampir semua lapisan sosial masyarakat Hindia Belanda. Ruang lingkupnya pun tidak terbatas di Jawa tetapi juga terjadi di pulau lainnya. Alasan di balik pernikahan anak bermacam-macam misalnya, orang tua ingin agar anak-anak mereka dapat membentuk keluarga secepatnya demi terjaminnya hari tua, orang tua pihak mempelai laki-laki berpikir bahwa menantu perempuan akan lebih mudah “dibentuk” menjadi sosok menantu dan istri yang ideal menurut keluarga mempelai laki-laki jika dinikahkan sedari muda, orang tua takut jika anak-anak perempuan mereka tidak segera dinikahkan maka anak perempuan mereka akan dipandang “terlalu tua” dan pada akhirnya tidak akan mendapatkan pasangan, dan banyak alasan lainnya. Suara-suara pertama yang menentang pernikahan anak muncul pada awal abad ke-20 dan berasal dari kaum terpelajar perempuan. Para perempuan, mayoritas dari kalangan priyayi, yang sudah mengenyam pendidikan Barat ini melihat kenyataan pahit dari pernikahan anak. Anak-anak perempuan berusia 12-14 tahun diberhentikan dari sekolah untuk dinikahkan. Di zaman yang lebih modern, ketika semakin banyak masyarakat yang sudah mampu mengakses pendidikan dibandingkan pada masa kolonial, tingkat pernikahan anak di daerah urban mulai mengalami penurunan. Tetapi cerita tidak sama di daerah-daerah pedesaan di seluruh Indonesia. Salah satu contoh adalah desa-desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur yang masih menerapkan tradisi dan adat istiadat yang kental dengan patrilineal dan masih bersifat feodal dengan adanya stratifikasi sosial. Dalam bukunya yang berjudul Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Jacqueline A.C. Vel seorang antropolog, menyinggung mengenai suatu “tradisi” penculikan yang terjadi di Sumba bagian Barat. Ia menceritakan bahwa pasar adalah salah satu tempat bersosialisasi bagi masyarakat Sumba, khususnya bagi kaum muda mudi. Selain sebagai tempat bersosialisasi, pasar juga menjadi lokasi strategis bagi aksi penculikan. Aksi ini dilakukan oleh pemuda yang lamarannya ditolak atau mungkin tidak dapat membayar mahar namun tetap berniat untuk menikahi perempuan yang diinginkannya. Korban dari penculikan ini biasanya adalah perempuan muda yang bahkan banyak yang belum memasuki usia layak menikah. Masyarakat di sana mengetahui kebiasaan tersebut namun tidak melakukan apa-apa dan keluarga yang memiliki anak perempuan hanya bisa berharap anak mereka kembali dengan selamat dari pasar. Di berbagai suku tradisi penculikan terkadang menjadi bagian dari upacara pernikahan berdasarkan adat suku mereka tetapi tentu tradisi semacam ini (yang sudah disetujui oleh orang tua kedua mempelai) berbeda dengan praktik penculikan yang dimaksud di atas. Pendidikan sedianya merupakan salah satu solusi untuk menumpas penikahan anak. Pendidikan yang dimaksudkan tentu tidak terbatas dalam lingkup pendidikan formal tetapi juga pendidikan non-formal dan soft-skill. Penting bagi anak perempuan, remaja perempuan, maupun para ibu untuk mendapatkan bekal pendidikan yang baik karena melalui pendidikanlah mereka dapat memutus rantai tradisi pernikahan anak yang dipaksakan pada mereka. Entah kemudian pendidikan itu dapat digunakan untuk memutuskan masa depannya sendiri atau digunakan untuk memberikan pendidikan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya untuk menghentikan pernikahan anak, yang jelas pendidikan dapat menjadi gerbang bagi perempuan untuk menjadi agen sosial yang melawan pernikahan anak. Sebagai contoh, pada survei kinerja Kabinet Kerja 2015, salah satu menteri perempuan yaitu Susi Pudjiastuti menjadi menteri yang mendapat persentase kepuasan tertinggi yaitu sebesar 71,9%. Kemungkinan hampir semua warga negara Indonesia tahu bahwa dari segi pendidikan formal, Susi Pudjiastuti hanya memegang ijazah SMP namun tidak ada yang dapat memungkiri bahwa kemampuannya dalam mengembangkan bisnis dan pengetahuannya mengenai kelautan dapat mendukung kinerjanya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan dalam Kabinet Kerja. Susi Pudjiastuti adalah satu contoh nyata dari bagaimana pendidikan, apapun bentuknya, bernilai penting bagi anak perempuan dan juga bagi kemajuan masyarakat luas karena pada dasarnya potensi yang dimiliki anak perempuan dan anak laki-laki sama besarnya dalam hampir segala aspek. Susi Pudjiastuti hanyalah satu contoh dari sekian banyak perempuan yang memiliki prestasi dalam bidang mereka masing-masing. Masih di tahun ini, UNICEF Indonesia mengumumkan bahwa satu dari enam perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun yang berarti ada 340.000 perempuan di bawah umur yang menikah tiap tahunnya dan bahkan 50.000 dari jumlah tersebut menikah sebelum berumur 15 tahun. Mereka yang menikah pada usia muda ini hampir semuanya terpaksa berhenti dari sekolah. Sungguh jumlah yang besar dan sangat patut disesalkan karena sesungguhnya negara ini kehilangan calon-calon tokoh besar yang dapat membawa kemajuan bagi Indonesia namun terhalang aksesnya pada pendidikan dikarenakan masa mudanya terenggut akibat pernikahan anak. Pada akhirnya, dirumuskannya sebuah peraturan atau undang-undang memang tidak dapat menjadi jaminan bahwa suatu tindakan kriminal akan hilang dalam sekejap. Child Marriage Restraint Act, 1929 yang nyatanya diberlakukan pula di Bangladesh ternyata belum berhasil memberi dampak berarti pada tingginya angka pernikahan anak di sana. Namun, adanya sebuah peraturan seperti undang-undang yang mengatur usia layak nikah dengan benar adalah langkah awal dari upaya menghapuskan pernikahan anak. Peraturan dibuat agar warga negara memiliki payung hukum yang melindungi mereka serta menjamin agar mereka mendapatkan pertanggungjawaban jika hak-hak mereka dilanggar. Di sisi lain, peraturan pun seharusnya membuat oknum-oknum dengan niatan untuk berbuat kriminal berpikir dua kali dan menyadari bahwa ada sanksi atau konsekuensi dari perbuatan kriminal. Tetapi tidak berhenti pada digolkannya sebuah peraturan, pendekatan dan penyebaran informasi yang tepat perlu dilakukan pada semua lapisan masyarakat (khususnya pada setiap warga dari suku yang masih mengizinkan pernikahan anak). Upaya-upaya ini tentu membutuhkan tenaga, waktu, dan materi yang tidak sedikit. Oleh karenanya sudah seharusnya upaya menghentikan pernikahan anak tidak hanya menjadi tugas LSM, aktivis, atau masyarakat saja tetapi juga menjadi tugas bagi Mahkamah Konstitusi dan pemerintah untuk lebih memperhatikan isu ini dan bukannya menjadi promotor dari pernikahan anak. Catatan Belakang: [i] http://pulitzercenter.org/projects/child-brides-child-marriage-too-young-to-wed Daftar Pustaka Blackburn, Susan dan Sharon Bessell. 1997. Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia. Indonesia, No. 63 (April 1997). Southeast Asia Program Publications at Cornell University. A.C. Vel, Jacqueline. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. Leiden: KITLV Press http://pulitzercenter.org/projects/child-brides-child-marriage-too-young-to-wed http://unicefindonesia.blogspot.co.id/2015/08/child-marriage-takes-centre-stage-at.html http://wcd.nic.in/cmr1929.htm http://www.theguardian.com/global-development/2015/may/27/india-child-marriage-annulment-brides-go-to-court http://www.girlsnotbrides.org/child-marriage/bangladesh http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/08/078707824/survei-menteri-susi-paling-memuaskan-menteri-puan Anak-anak adalah bagian dari kehidupan manusia. Manusia sendiri pernah mengalami fase menjadi seorang anak. Anak sesungguhnya menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri. Namun, kenyataannya, anak sering menjadi sosok yang dianggap benda semata. Daya tangkap dan pengelolaan emosinya yang masih dianggap labil sering menjadi alasan para orang dewasa untuk mengekang anak dalam sebuah kerangka teori mereka sendiri. Itulah budaya yang terjadi di Indonesia. Adanya sistem patriarkal yang cukup kuat mewarnai bangsa ini juga memberi dampak pada anak. Anak menjadi kelas ketiga, diabaikan bahkan dilupakan. Apalagi anak perempuan, posisi mereka sering dianggap rendah. Tidak dilibatkan dalam kehidupannya sendiri. Ia lebih diatur oleh orangtuanya. Hal ini juga yang tergambar dari perjalanan iman Kekristenan, yang terungkap dalam beberapa teks-teks di dalam Alkitab. Tidak banyak teks-teks di dalam Alkitab melibatkan sosok anak sebagai pemeran utama. Contohnya dalam kisah Yesus memberkati anak-anak di dalam Matius 19:13-15. Anak-anak yang penuh dengan kegembiraan diajak oleh orang tuanya hendak menemui Yesus. Seakan-akan Yesus adalah sosok ayah bagi mereka. Namun, di tengah kegembiraan itu, murid-murid Yesus malah menghalangi anak-anak itu untuk berjumpa dengan Yesus. Latar belakang kisah itu diwarnai oleh budaya Yahudi yang sangat kental pada masa itu. Salah satu budaya yang sangat terlihat adalah posisi laki-laki yang berada di atas perempuan. Yesus yang dibasuh kakinya oleh seorang perempuan pada masa itu dianggap sebagai sebuah penghinaan. Begitu pula dengan anak-anak yang datang hendak berjumpa, atau mungkin hendak memeluk Yesus pula. Tindakan mereka dianggap tidak sopan dan menghina budaya yang ada. Namun, apa yang Yesus lakukan? Ia justru menghardik para murid-Nya dan berkata, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaku.” Bukankah ini kebalikan dari budaya yang berkembang pada masa dan tempat itu? Seorang anak kecil diizinkan menjumpai dan memeluk Yesus? Apakah Yesus gila? Apakah Yesus tidak menghargai budaya yang ada? Atau apa alasan Yesus melakukan hal itu? Dalam pandangan Patrick S. Cheng, Allah, dalam sosok Yesus, menyatakan cinta-Nya kepada manusia secara radikal dan holistik. Ia datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyatakan cinta yang telah lama dilupakan manusia. Dalam diri Yesus adalah cinta, dan cinta ini yang menjadi landasan dari setiap Ia bertindak dan berkata-kata.[1] Saya rasa Ia menyadari bahwa budaya saat itu sangatlah ketat dan ada sanksi tersendiri bagi yang melanggarnya. Namun, apa yang Ia lakukan? Ia memilih untuk menyatakan cinta-Nya kepada anak-anak itu dengan membiarkan diri-Nya dijumpai, dipeluk, atau bahkan mungkin diajak bermain oleh mereka. Rasa cinta Yesus kepada anak-anak adalah murni. Ia seakan-akan melupakan siapa diri-Nya, menolak ucapan para murid-Nya, dan memberi diri bagi anak-anak itu sebagai sahabat. Adakah saat ini orang yang memiliki cinta seperti itu? Ada, tetapi hukum di Indonesia sangatlah sepihak dan mengikat. Undang-Undang Perlindungan Anak hanya dianggap sebagai kata-kata dalam barisan buku Undang-Undang negara dan bukan menjadi pedoman hidup. Ketika Undang-Undang tersebut menjadi pedoman hidup, maka sewajarnya adalah menegakkan keadilan bagi anak. Lalu, dimanakah penegak hukum dan keadilan? Adanya Undang-Undang perkawinan anak di bawah umur bukanlah hal yang dapat dianggap mudah. Memaksa anak untuk kawin adalah sebuah tindakan yang menolak adanya keadilan. Mengapa? Karena anak-anak bukanlah barang dan boneka, yang dengan memakai akal orang dewasa dan secara sadar diatur umur perkawinan mereka. Jika perdebatan selanjutnya merujuk pada budaya di beberapa suku yang mewajibkan perkawinan anak, bagaimana dengan masa kini? Apakah budaya adalah hal yang statis, kaku, dan tidak mengalami pergeseran waktu? Apakah budaya seperti itu masih relevan? Apakah seorang anak tidak dapat mengalami proses pendewasaan diri dan memilih apakah mereka mau kawin atau tidak?
Kerajaan Allah di dalam Injil Matius sering diibaratkan sebagai sebuah kemuliaan. Kerajaan Allah adalah sebuah konsep yang Yesus gunakan untuk menunjukkan adanya kedamaian dan keadilan di dalam kehidupan kelak. Kerajaan Allah adalah sebuah suasana yang di dalamnya terdapat sukacita, kedamaian, keadilan, dan kesetaraan. Dalam beberapa perikop di dalam Injil Matius, yang menjadi empu dari kerajaan Allah bukanlah mereka para ahli Alkitab atau para tetua adat. Namun, yang empunya kerajaan Allah adalah mereka yang merendahkan hatinya seperti seorang anak. Anak digambarkan sebagai sosok yang rendah hati dan tulus tanpa pamrih melakukan sesuatu.[2] Bukankah ini adalah kejadian yang janggal pada zaman itu? Mengapa Yesus justru mengatakan demikian? Yesus memberi pemahaman bagi penduduk saat itu bahwa seorang anak yang dianggap kecil, tidak mengerti apa-apa, dan kurang diberi peran justru adalah sosok yang patut dibanggakan. Anak adalah subjek. Seorang anak memberi makna bagi orang dewasa, karena kehidupan orang dewasa tidak akan ada jika ia tidak mengalami masa kanak-kanak. Kembali kita berkaca dengan keadaan saat ini di Indonesia. Hukum di Indonesia melegalkan adanya perkawinan anak. Pengajuan untuk menaikkan standar umur perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pun gagal. Anak-anak dianggap telah siap untuk menjalani kehidupan perkawinan oleh negara, tetapi apakah negara menjamin kesejahteraan hidup mereka setelah melakukan perkawinan di bawah umur? Apakah negara menjamin para anak perempuan yang terpaksa kawin mendapatkan fasilitas kesehatan yang aman bagi proses persalinannya kelak? Apakah mereka dapat dipastikan telah siap secara holistik: tubuh, jiwa, dan mental? Negara lupa atau mungkin sengaja mengabaikan hal itu dengan berbagai alasan. Negara seakan mengabaikan pula kenaikan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKIM) yang dialami oleh para anak perempuan di bawah umur. Negara melihat mereka hanya menjadi objek, entah objek seks, objek sosial, atau mungkin objek agama. Apalagi dengan berbagai lontaran ayat-ayat kitab suci yang membenarkan tindakan ini, apakah negara ingin AKIM terus meningkat? Dalam pandangan saya, persoalan ini adalah masalah yang sangat vital. Negara tidak bisa lagi menutup mata dan melihat semua kejadian dari adanya perkawinan anak sebagai sebuah fenomena. Ini semua telah menjadi nyata, menjadi sebuah realitas. Saya juga melihat gereja di Indonesia kurang berperan dan peduli dalam melihat persoalan ini. Masalah ini dianggap hanya sebagai masalah ‘dunia’, bukan gereja[3]. Banyak gereja yang belum menyadari persoalan ini sebagai persoalan vital. Jika perkawinan di bawah umur tetap terjadi, apakah gereja tetap diam dengan adanya AKIM yang meningkat dan penindasan kepada anak-anak yang ‘terpaksa’ kawin? Apakah suara gereja hanya untuk persoalan dosa, surga-neraka, dan kesucian? Apakah gereja telah lupa bahwa dirinya adalah bagian dari dunia, sehingga memiliki rasa tanggung jawab untuk memperjuangkan kedamaian dan keadilan? Catatan Belakang: [1] Cheng, Patrick S. 2011. The Radical Love. New York: Seabury Books [2] Guthrie, Donald. 2001. Teologi Perjanjian Baru 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia [3] Beberapa gereja beranggapan bahwa dunia itu berbeda dengan gereja. Gereja itu kudus, sedangkan dunia adalah jahat. Saya menganggap gereja dan dunia adalah satu bagian dan memiliki keterlibatannya masing-masing. Akhir-akhir ini para netizen di media sosial heboh dengan beredarnya video yang berlabel TV one dengan judul “Wisuda Abal-abal” melalui portal Viva.co.id. Video tersebut berisi pemberitaan tentang wisuda ilegal yang menampilkan prosesi wisuda di sebuah gedung besar di Pondok Cabe, Tangerang Selatan yang diikuti 1.300 wisudawan dan wisudawati. Tayangan tersebut juga menampilkan seorang wisudawati yang diwawancarai oleh wartawan seputar perkuliahan. Perempuan tersebut tampak bingung saat ditanya tentang IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan mata kuliah favoritnya saat kuliah, parahnya lagi perempuan tersebut lupa nama institusi tempat ia menempuh kuliah selama ini. Tentu hal ini menimbulkan banyak tanda tanya bagi para penonton video tersebut. Saya sendiri bertanya, kok ada kampus yang menghasilkan lulusan seperti itu? Video tersebut kemudian tersebar luas di jejaring media sosial facebook, tentu ini menjadi tontonan lucu bagi berbagai kalangan, entah itu kalangan elit, menengah maupun kalangan bawah. Tetapi tidak bagi saya, saya justru sedih dan kasihan kepada korban yang menjadi bahan tertawaan dan bullying massa. Jika pemberitaan dalam video tersebut untuk mengungkapkan kasus keabal-abalan kampus atau jual beli gelar/ijazah, tidak seharusnya kemudian mengorbankan pihak mana pun. Terlebih lagi sudah seharusnya wajah korban diburamkan atau disensor dalam video, bukan malah ditampilkan tanpa edit. Tidak sedikit netizen yang berkomentar tidak senonoh, mengata-ngatai si wisudawati pada kolom komentar. Sudahkah kita berkaca? Masalah utama yang disampaikan dalam pemberitaan video tersebut adalah ingin menampilkan betapa sistem pendidikan di tanah air ini bobrok, begitu mudahnya mendapatkan gelar dan ijazah dan lemahnya penegakan hukum yang mengikutinya. Akan tetapi fakta tentang kampus abal-abal yang menggelar wisuda ilegal justru tidak menjadi pesan yang ditangkap oleh sebagian penonton, melainkan terfokus pada si wisudawati, sungguh ironis. Saya ingin meminjam salah satu dimensi dari teori komunikasi dari Frank Dance tentang Normative Judgement. Salah satu definisi komunikasi menyebutkan bahwa: communication is the verbal interchange of a throught or idea (Pitoyo, 2013:16). Jelas bahwa komunikasi merupakan pertukaran verbal dari pemikiran dan gagasan. Dalam hal ini komunikasi cenderung bersifat transfer judgement terhadap apa yang dikomunikasikan. Dalam kasus si “wisudawati” ini terlihat jelas bahwa medialah yang mentransfer penilaian terhadap si “wisudawati”. Jadi menurut saya penilaian banyak netizen terhadap si “wisudawati”—yang adalah korban—itu merupakan transferan dari medianya yang menampilkan wajah korban secara gamblang. Kasihan si wisudawati itu, kasihan keluarganya, semula ia yang ingin membahagiakan orang tua dan keluarganya dengan wisuda, justru malah sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan ia dan keluarganya akan dikucilkan dalam pergaulan sosial. Siapa yang akan bertanggung jawab? Media yang memberitakan dia sebagai wisudawati abal-abal itu kah? Tidak akan ada yang peduli efeknya. Kemudian yang patut dipertanyakan lagi yaitu mengapa harus seorang perempuan yang menjadi penetration central dari pemberitaan tersebut? Seolah-olah bahwa sarjana abal-abal yang mengikuti prosesi wisuda hanya perempuan saja. Saya menyebutnya sebagai gender-related violence, karena asumsi saya si “wisudawati” merupakan korban dari kekerasan media akibat dari bias gender. Jujur, saya juga tidak jauh berbeda dan tidak jauh lebih baik dari si “wisudawati” itu, saya juga akan menjawab hal yang sama yaitu tidak tahu mata kuliah favorit saya di kampus. Karena bagi saya semua mata kuliah sama saja, jadi tidak ada yang istimewa atau favorit. Saya bingung saat menonton video tersebut apakah harus bersedih (karena miris) atau tertawa (yang artinya saya menertawakan diri sendiri). Daftar Pustaka Pitoyo. 2013. The End of Saritem: Studi Komunikasi Politik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Otonomi Daerah seperti pisau dengan banyak kegunaan. Tidak dipungkiri memang wilayah Indonesia amatlah luas dan konsep negara kesatuan yang dicetuskan Soekarno tampaknya mustahil dilakukan mengingat begitu beragamnya budaya yang ada untuk disatukan sebagai sebuah imagine community. Sebagai konsep nation building, negara kesatuan memang terdengar lantang dan seperti dobrakan, tetapi di tingkat akar rumput, nation building tidak semudah peralihan kekuasaan melalui sepucuk surat. Otonomi daerah dianggap jalan keluar untuk mengurus negara yang amat luas dan diberikanlah kekuasaan di tingkat daerah. Diharapkan peraturan yang dihasilkan masing-masing daerah nantinya dapat mengakomodir dan sesuai dengan kultur ataupun nilai yang dianut masyarakat setempat. Ketika Orde Baru berakhir, keluarlah UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur tentang Otonomi Daerah. Undang-undang tersebut mengatur ihwal pemilihan kepala daerah yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi Undang-undang ini dilakukan dengan harapan mendukung lancarnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena rakyat bisa memilih sendiri perwakilannya dan kepala daerah tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat. Terdengar indah bukan? Tapi bukan berarti tidak ada masalah. Ketika pemimpin dipilih langsung, maka para calon pemimpin ini berlomba-lomba untuk memasarkan dirinya. Kita bisa melihat baliho yang berisi wajah para calon wakil kita yang terpampang besar-besaran di jalan raya, atau sekadar poster-poster yang dipaku di pohon-pohon dan tiang listrik ketika masa kampanye. Para calon ini berebut simpati. Mereka mencoba menjual diri mereka. Jika pada masa kampanye kita bisa terima, tapi bagaimana jika mereka mempromosikan diri melalui kebijakan setelah menjabat agar dipilih kembali? Peraturan-Peraturan Aneh Peraturan Daerah Pembatasan Waktu Kunjung Pacar yang dikeluarkan pemerintah Purwakarta jelas bukan perda aneh yang pertama kita dengar, menurut saya. Masih hangat dalam ingatan kita tentunya usulan tes keperawanan yang diajukan sebagai perda oleh DPRD Jember. Belum lagi Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang diberlakukan di kota Tangerang yang berimplikasi munculnya razia jilbab dan kemudian perempuan yang keluar malam diidentifikasi sebagai PSK (pekerja seks komersial). Tak kurang, Qanun Jinayat di Aceh yang selalu menjadi kontroversi. Mengapa saya katakan aneh? Karena seharusnya suatu kebijakan dibuat dengan memenuhi tiga syarat utama, yakni bersifat cerdas, bijaksana dan memberi harapan. Peraturan daerah diharapkan mengatasi masalah-masalah yang sesuai dengan kultur daerah masing-masing. Kebijakan publik merupakan basis keunggulan bangsa sehingga dalam setiap pengambilan kebijakan seharusnya pemerintah daerah mampu mengeluarkan kebijakan publik yang baik. Sanksi atas pelanggaran aturan pembatasan waktu kunjung pacar ini adalah kawin paksa. Mari kita lihat implikasinya, pernikahan bukan hal yang mudah, bahkan dapat berujung pada perceraian. Belum lagi apabila yang ketahuan pacaran justru anak-anak berusia di bawah 18 tahun, apa masih akan dinikahkan juga? Tes keperawanan lebih tidak masuk akal lagi, apakah lulus ujian sekolah harus ditentukan dengan keperawanannya? Konsep keperawanan saja masih belum dapat disepakati, lagi pula jika memang terbukti tidak perawan lantas mau apa? Apa berarti perempuan tersebut jadi barang rusak yang tidak lagi (boleh) berfungsi di masyarakat? Juga berbagai peraturan lain yang sangat tidak masuk akal. Peraturan tersebut jelas tidak bersifat universal dan mendiskriminasi pihak tertentu, yakni perempuan. Perda untuk Siapa? Sebenarnya untuk siapakah peraturan-peraturan itu dibuat? Peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak menunjukkan keadilan justru mendiksriminasi, tidak satupun dari tiga syarat kebijakan dipenuhi. Peraturan-peraturan tersebut sama sekali tidak cerdas, tidak bijaksana dan tidak sekalipun memberi harapan. Mengapa peraturan-peraturan tersebut terus ada dan untuk siapa sebenarnya peraturan itu dibuat? Kembali pada pemaparan pertama, ketika para calon wakil rakyat ini saling berlomba untuk mempromosikan dirinya, kampanye tidak berhenti pada saat terpilih, kesempatan untuk terpilih lagi masih terbuka. Sehingga keluarlah peraturan-peraturan yang nyeleneh ini. Perda politis dibuat bukan untuk rakyat tapi demi kekuasaan. Para politisi yang “berjualan” ini mengeluarkan perda dengan menjual peraturan yang terlihat baik tanpa melihat implikasi lanjutannya karena memang tujuan perda itu dibuat untuk meningkatkan popularitas si pembuat perda. Perda ini dibuat memang untuk mencari sensasi. Masih ingat regulasi pelarangan penjualan bir di minimarket dan tokoh yang memperjuangkannya? Perda seperti ini muncul dengan ciri; (1) menjual hal yang dianggap baik, (2) mudah dicerna masyarakat awam yang cenderung apatis pada politik dan biasanya disukai masyarakat awam (3) bermain pada simbol-simbol religius, (4) seksi untuk dibahas media, dan tak lupa, (5) mampu mengundang kontroversi. Sukseslah pembuat Perda. Sekali gebrakan dua-tiga tujuan tercapai. Alhasil peraturan-peraturan aneh ini terus direproduksi. Kesimpulan Lantas kita bisa apa? Sebagai warga negara dan pemilih yang baik, seharusnya kita tidak apatis terhadap politik. Demokrasi memang bukan sistem yang terbaik, tapi itu adalah sistem yang paling baik diantara yang lainnya. Tak lama lagi, pemilihan umum tingkat daerah akan berlangsung apakah kita masih mau termakan provokasi dan memilih pemimpin yang menghasilkan perda-perda aneh ini? Kita tidak bisa berada di luar dan hanya mencak-mencak tanpa hasil. Masih ada harapan untuk pemerintahan yang semakin lebih baik esok hari. Daftar Pustaka http://www.rappler.com/indonesia/104655-dedi-mulyadi-purwakarta-pacaran http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/70330-hukum-syariat-islam-aceh-kini-berlaku-untuk-non-muslim-dan-lgbt http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151002_indonesia_purwakarta_pacaran http://kabar24.bisnis.com/read/20150430/15/428377/328-perda-diskriminatif-terhadap-perempuan-dan-minoritas http://www.teropongsenayan.com/14310-mengatur-perda-yang-aneh http://www.bangsaonline.com/berita/8317/anggota-dprd-jember-gagas-perda-keperawanan http://news.okezone.com/read/2015/02/11/337/1104436/wacanakan-tes-keperawanan-dprd-jember-dianggap-ngaco Kesetaraan gender maupun perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan memang sedang banyak dibicarakan saat ini. Seperti diketahui banyak pernyataan maupun pemahaman yang beredar luas saat ini yang menyatakan perempuan memiliki posisi lebih rendah dibanding laki-laki, ruang lingkup kerja perempuan identik dengan bidang-bidang domestik, yakni memasak, mengurus anak dan keluarga serta kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan kekuatan fisik seperti laki-laki. Perempuan identik dengan sifatnya yang feminin sedangkan laki-laki maskulin. Kedua pernyataan itu sudah tertanam jauh di dasar pemikiran masyarakat dan membudaya hingga saat ini. Dangkalnya pemahaman mengenai konsep gender mengakibatkan banyak kalangan masyarakat—termasuk kaum intelektual itu sendiri—yang menganggap sama antara konsep gender dan jenis kelamin. Pemahaman yang demikian akan membentuk pemikiran-pemikiran yang tidak tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Fakih (2005), “Perbedaan gender yang berdasar pada anggapan dan penilian oleh konstruksi sosial pada akhirnya menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat kultural, dan dalam proses yang panjang telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan” (p. 147-151). Oleh karena itu pemahaman yang tidak tepat tersebut perlu diluruskan, setidaknya perlu diketahui mengenai perbedaan antara gender dan jenis kelamin (sex). Ada perbedaan pengertian antara keduanya. Istilah gender menurut Sugandi adalah “suatu sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak diterapkan secara biologis, kodrati atau alami, melainkan merupakan rekayasa sosial berdasar nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial politik budaya, hankam dan iptek” (Anwar, 2007, p. 84). Sebaliknya, jenis kelamin (sex) sendiri merupakan suatu yang sudah ada secara alami dan merupakan kodrat masing-masing individu, seperti perempuan secara biologis dengan organ reproduksinya, bisa hamil dan menyusui. Perbedaan biologis tersebut seharusnya tidak menimbulkan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi terdapat konstruksi budaya yang membuat posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki, yang muncul dalam istilah-istilah yang menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yang paling sering didengar ialah patriarki. Istilah ini mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat (Mosse, 2007). Konsep patriarki ini juga ada dalam budaya masyarakat Indonesia, yang berarti kebebasan perempuan masih terhalang dengan nilai-nilai budaya yang menempatkan perempuan dengan peran dan status sebagai istri yang diatur sepenuhnya oleh suami. Dengan kata lain istri harus mendapatkan izin suami untuk menjalankan peran dan aktivitas di ruang publik. Hal ini yang selanjutnya semakin membuat perempuan berada dalam posisi subordinat di dalam keluarga, kerja seorang istri hanya berada pada bidang-bidang rumah tangga saja, seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian, merawat anak, mengasuh anak dan sebagainya, sedangkan tugas suami sebagai pencari nafkah sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga. Sebenarnya pemahaman mengenai subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki harus digeser sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis saat ini. Pemikiran-pemikiran yang selalu menempatkan peran laki-laki lebih utama dibanding perempuan juga dapat dimentahkan dengan adanya fenomena-fenomena di sejumlah masyarakat dimana laki-laki tidak selamanya berperan melebihi perempuan. Misalnya yang terjadi dikalangan istri dalam masyarakat Melayu yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Dusun Semayong Desa Sungai Kumpai Kecamatan Teluk Keramat. Laki-laki (suami) pada umumnya dalam mengelola pertanian memiliki peran yang lebih dominan dibanding istri, kegiatan istri tidak tampak begitu menonjol, hanya sebagai pendamping suami untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih ringan, misalnya, mengantarkan makanan untuk suami ke sawah/ladang, atau melakukan kegiatan memanen padi. Namun tidak demikian halnya dengan para istri di dusun Semayong yang keterlibatannya di bidang pertanian khususnya pertanian padi di ladang jauh lebih dominan dibanding para suami. Dapat dikatakan bahwa istri ialah pekerja utama dalam mengelola ladang. Pekerjaan yang dilakukan para istri tidak sebatas kegiatan-kegiatan ringan, setiap tahap dalam pengelolaan pertanian di ladang tidak luput dari kontribusi istri, berbanding terbalik dengan kontribusi suami yang secara umum jauh lebih sedikit dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun kegiatan atau aktivitas pertanian yang dilakukan para istri di ladang sangat beragam dan tentunya sangat menguras waktu dan tenaga mereka. Peran yang dilakukan istri dapat dijadikan indikator berhasil atau tidaknya pertanian yang dikerjakan. Sangat jarang sekali istri tidak terlibat dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di ladang. Hampir semua istri pernah melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pengelolan pertanian, mulai dari membuka lahan, menyemai benih, menanam, merawat, memanen dan bahkan mengangkut hasil panen ke rumah atau tempat penyimpanan. Keterlibatan suami sangat jarang, jika ada itupun hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti membunuh gulma melalui penyemprotan dan membawa hasil panen, sedikit sekali para suami yang secara penuh bekerja di ladang. Secara umum pekerjaan pertanian ladang di Dusun Semayong memang didominasi oleh perempuan terutama para istri. Fenomena di atas adalah salah satu contoh bahwa tidak selamanya anggapan atau asumsi mengenai peran perempuan yang selalu menjadi sekunder atau yang kedua terjadi di lapangan. Hanya saja tentu masih ada bias antara pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan yang dilakukan perempuan banyak yang tidak dianggap. Ini berkaitan dengan pandangan umum mengenai pekerjaan yang dinilai dari segi ekonomi, seberapa besar nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Sehingga pekerjaan yang banyak dilakukan perempuan seperti pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah tidak dipandang sebagai pekerjaan melainkan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri. Dalam kenyataannya seseorang bisa melakukan kerja upahan dan kerja bukan upahan sekaligus, ia bisa berada dalam hubungan kerja yang berbeda-beda. Tidak bisa dikatakan hanya melakukan kerja bukan upahan terutama oleh perempuan karena dalam bentuk-bentuk masyarakat atau sistem ekonomi tertentu kerja bukan-upahan merupakan bentuk kerja yang umum, baik oleh laki-laki maupun perempuan (Saptari dan Holzner, 1997). Jadi pada dasarnya kerja tidak dapat ditentukan oleh seberapa besar nominal yang dapat dihasilkan atau diterima, tetapi lebih pada bentuk hal-hal apa yang harus dilakukan untuk dapat memenuhi atau dapat menunjang keberlangsungan hidupnya. Begitu juga mengenai pandangan terhadap perempuan yang selalu diposisikan di bawah laki-laki dalam semua hal, dalam kenyataannya di beberapa bidang dan di beberapa daerah perempuan jauh lebih berperan dibanding laki-laki. Tidak hanya sebatas peran dalam ruang domestik akan tetapi juga ruang publik. Maka dari itu seharusnya perbedaan jenis kelamin bukanlah penentu utama dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Daftar Referensi: Anwar. (2007). Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pebelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan). Bandung: Alfabeta. Mansour Fakih. (2005). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mosse, J.C. (2007). Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna Saptari & Brigitte, Holzner. (1997). Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti untuk Yayasan Kalyanamitra. Pengantar untuk Pameran Tunggal “Maternal Skin” oleh Citra Sasmita, Ghostbird + Swoon Gallery, Sanur-Bali, 3 Oktober - 10 November 2015 Hingga kini perempuan menghadapi stigma terhadap konsep tubuhnya yang sesungguhnya merupakan hasil dari proses simbolik elemen di luar dirinya. Tubuh perempuan dalam paradigma masyarakat harus sesuai dengan pandangan (norma) yang berkembang dalam lingkungan interaksinya, tanpa parameter yang pasti, salah satunya kulit patriarkis dimana masih terdapat perbedaan antara laki-laki yang memegang peran superior dan perempuan yang inferior. Sehingga persoalan domestik dan identitas masih menjadi permasalahan perempuan ketika konstruksi sosialnya secara sadar ataupun tidak sadar memosisikan perempuan dalam kategori subordinat. Ada berbagai macam kriteria perempuan yang dibentuk oleh politik pikir masyarakat, sebagai contoh konsep kodrat perempuan yang sesungguhnya merujuk pada fungsi maternal (keibuan/ sifat sebagai subjek yang otonom). Di sana sesungguhnya perempuan dapat bebas berekspresi dalam pencarian identitas dirinya, namun menjadi bias ketika dikaitkan ke wilayah gender yang menempatkan posisi perempuan dengan segala tuntutan karakter ideal tubuhnya dan perilaku sehingga kepemilikan atas tubuh perempuan atau sifat tubuh perempuan tidak sepenuhnya mereka miliki. Tubuh perempuan telah menjadi milik sosial yang harus terkonstruksi sesuai dengan nilai-nilai di dalamnya, misalkan saja konsep “ibu” dalam istilah sosial yang dikonstruksi oleh bahasa yang variatif bahkan disokong oleh doktrin agama supaya konsep itu menjadi perilaku. Sehingga konsekuensi yang langsung diterima perempuan adalah adanya keterputusan identitas personalnya dengan proses dan pengalaman tubuhnya (keterputusan antara perilaku “ibu” dan sifat “ibu”) Sebelumnya menurut Freud, secara anatomi seks, konsep tubuh perempuan telah direduksi hanya sebagai fungsi reproduksi, sebagai objek hasrat laki-laki dan bukan sebagai subjek aktif yang memiliki kebebasan ekspresi dalam pencarian identitasnya, maka ketika dimulainya metamorfosa tubuh dari usia belia (tumbuhnya payudara dan mengalami menstruasi) pengalaman biologis tersebut disisipi bahasa/stigma tubuh perempuan yang diidentikkan dengan tubuh yang kotor. Seorang perempuan harus tahu bagaimana cara berpakaian, menutup rapat tubuhnya ataupun berperilaku supaya terhindar dari objektifikasi lingkungan (pelecehan, kejahatan psikologis atau bentuk penindasan lain). Maka pemikiran Julia Kristeva “mengembalikan” tubuh maternal kepada perempuan dapat diartikan sebagai bentuk pengakuan terhadap kepentingan yang bersifat subjektif atas perkembangan diri perempuan (fungsi ibu) dalam ruang dan waktu di masyarakat. Menurut Kristeva, ada dua fase dalam pembentukan identitas yang mampu menjawab pertanyaan bagi yang menaruh perhatian pada bentuk penindasan perempuan yaitu fase chora dan fase abjeksi. Dalam fase chora yang dimulai pada usia 0 sampai dengan 6 bulan merupakan usia ketika manusia mempunyai keterikatan dengan tubuh maternal dimana selain secara biologis mendapatkan nutrisi juga mendapatkan impuls semiotik (pengalaman pembentukan diri) yang meliputi pengalaman prasimbolik kehidupan lisan, dimana seorang bayi mengalami (fungsi) ibu dengan optimalisasi cinta dan adanya transfer pengetahuan melalui sentuhan, getaran vokal dan iramanya. Fase chora dalam tubuh maternal dapat diartikan sebagai fungsi asuh yang sifatnya bisa feminin ataupun maskulin dengan cara anak dalam kandungan mendapatkan peran ibu secara tubuh fisikal dan peran ayah imajiner (fase dinaungi cinta dan perlindungan), tubuh maternal tidak hanya diartikan sebagai tubuh fisik yang spesifik (tak hanya/harus perempuan) sehingga dalam fase inilah yang menjadi penentu seseorang akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Kemudian pada usia 4 sampai 8 bulan, anak akan mengalami fase abjeksi yang merupakan fase psikologis berupa penolakan yang cukup signifikan terhadap figur ibu dimana proses penolakan/pemisahan dari tubuh ibu tersebut berpotensi terjadinya penindasan dan diskriminasi terhadap tubuh maternal. Dalam fase abjeksi dengan tubuh maternal ini seringkali dialami secara paksa dan sebagian besar mengalami penyisipan tanda (sign) dan stigmatisasi bahwa tubuh maternal adalah tubuh yang kotor, jijik dan hina. Sebagai konsekuensinya pengalaman abjeksi ini menjadi endapan bawah sadar yang akan dibawa hingga dewasa yang secara sadar ataupun tidak akan menentukan pola pikir dan perilaku yang cenderung mendiskriminasi/menindas perempuan. Kedua fase ini yang menandakan bahwa yang dialami terlebih dahulu dari pembentukan identitas seseorang adalah hukum maternal (pembentukan diri oleh fase semiotik ke simbolik), bukan paternal (pembentukan diri dari simbolik ke semiotik). Karena pada awal pertumbuhannya, seseorang mengalami fungsi ibu dengan kekayaan pengalaman semiotiknya (pengalaman pembentukan diri) kemudian barulah dilekatkan dengan simbol (bahasa pembentukan diri) yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Berdasarkan pemikiran di atas, konsep maternal skin yang saya kembangkan dalam pameran ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan realitas yang berjalan dalam masyarakat kita yang masih dalam proses “menjadi”. Benturan antara norma sosial dan agama dalam masyarakat menuntun langkah pemikiran saya pada realitas posisi marginal perempuan di ranah sosial, yang menjadikannya terkungkung dan mengalami keterbatasan akses terhadap segala hal. Batasan-batasan tersebut justru tercipta dengan dalih untuk menyelamatkan perempuan, alih-alih malah memangkas haknya sebagai manusia. Rasanya kita perlu melihat kembali sosok perempuan secara utuh sebagai manusia, tanpa mengkotakkannya dalam kerangka konstruksi yang dibentuk oleh masyarakat patriarkis. Sejumlah karya yang saya hadirkan dalam pameran ini merupakan hasil refleksi saya atas berbagai hal dalam pengalaman dan pengamatan sehari-hari, yang saya dapatkan melalui riset sederhana terhadap teks-teks Julia Kristeva maupun pandangan tokoh-tokoh lain seputar gagasan yang sama, sekaligus saya juga melakukan pengamatan terhadap realitas sosial yang terjadi di sini. Seperti yang saya hadirkan dalam karya Let’s Talk and Let Her Die dan Taste of Social Death. Kedua karya tersebut merupakan kritik atas budaya gosip yang terdegradasi oleh nilai patriarkis. Idealnya saya tidak ingin menyatakan bahwa gosip itu buruk, karena dalam kegiatan tersebut terjadi arus informasi yang bisa menjadi modal sosial seseorang untuk dapat berkumpul dalam kelompok masyarakat tersebut. Namun dalam konteks hari ini yang menjadi topik menarik dalam gosip justru ada upaya objektifikasi terhadap seorang individu sebagai nilai takar kualitas diri. Dan yang lebih menarik lagi dalam budaya gosip oleh perempuan yang mengobjektifikasi perempuan lain yaitu adanya keterkaitan dengan sudut pandang patriarkis dimana kelompok perempuan yang menjadi subjek berperan superior (baca: maskulin dalam artian memiliki kekuasaan politik). Sehingga bisa saya simpulkan bahwa proses perempuan untuk menjadi “tubuh” yang mandiri banyak mengalami kendala dari sistem patriarki ini. Kemudian dari segi media dalam karya tersebut termasuk dua seri yang lainnya menggunakan kertas doyleys cukup representatif mewacanakan domestikasi yang dialami oleh perempuan dimana hal tersebut cenderung membatasi akses perempuan dalam memberdayakan dirinya. Secara dominan karya-karya saya mempermasalahkan tentang konstruksi atas tubuh perempuan yang tidak lagi dipandang sebagai tubuh maternal yang hakiki sebagai manusia pada umumnya, melainkan tubuh yang dicemari oleh norma atau nilai sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Jika kita mengingat bulan September tepat 50 tahun lalu, akan ada memori yang kelam dan menimbulkan luka baik secara lahiriah ataupun batiniah. September 1965 merupakan bulan dimana sejarah kelam bangsa ini terukir di benak masyarakat, saat otoritas yang dikuasai nafsu untuk merebut kekuasaan melancarkan aksi yang membabi buta. Sangat ironis, karena aksi itu dilegalkan oleh suatu institusi yang seharusnya mengayomi warganya. Istitusi itu bernama “Negara”, sekelompok manusia yang mengklaim menolak eksistensi sebuah ideologi, mereka melakukan pelanggaran HAM berat, yang sudah memusnahkan saudara mereka sendiri, tanpa rasa bersalah ataupun rasa berdosa sekalipun. Sekarang diusia Republik ini yang mencapai tujuh dasawarsa, seolah-olah tak berdaya untuk menuntaskan utang kemanusiaannya pada masyarakatnya. Padahal para korban kebiadaban sebuah orde ketika itu, saat ini masih memendam memori hitam kelam, mungkin akan mereka bawa sampai akhir hayatnya, dan kini mereka berteriak menuntut keadilan. Mereka yang dicap sebagai anggota partai terlarang ataupun simpatisan yang membantu urusan partai tersebut diberangus, tak terkecuali para wanita-wanita yang saat itu sedang memperjuangkan kesetaraan, memperjuangkan hak-hak bagi kaum wanita yang masih terbelenggu dalam penjara patriarki kehidupan. Para wanita yang berwadah dalam organisasi yang bernama Gerwani, saat itu mereka menjadi target pencarian dari sebuah operasi yang diklaim untuk membersihkan pengaruh ideologi terlarang di negeri ini. Pada saat itu Gerwani dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, gerwani dituduh membantu melakukan gerakan terlarang yang terjadi pada tanggal 30 september 1965. Peristiwa ini seolah-olah menjadi hembusan angin kematian bagi kader-kader gerwani, mereka dituduh terlibat dalam peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Media menggembar-gemborkan bahwa mereka melakukan tarian-tarian erotis harum bunga dan memotong alat vital para jenderal sebelum dimasukkan ke dalam sumur tua. Propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru saat itu sangat berhasil, kultur patriarki yang sangat kental dalam masyarakat Indonesia telah menjadi faktor utama mudahnya masyarakat menerima propaganda itu. Hubungan sosial politik terentang pada simbol-simbol kelelakian yang menyubordinasi kaum perempuan, berita mengenai alat kelamin yang menjadi dignity kaum laki-laki yang disayat-sayat seakan-akan memunculkan kesadaran untuk melakukan tindakan pembalasan yang berujung pada pemusnahan. Apakah sehina dan sebiadab itukah mereka? Mereka merupakan sekelompok wanita yang memiliki tujuan yang mulia, hati mereka terpanggil untuk menyuarakan penolakan pengekangan terhadap perempuan, mereka memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Agar tetap dapat bertahan hidup, mereka harus membunuh identitasnya sendiri untuk mendapatkan topeng baru sehingga eksistensinya di dunia ini tetap ada. Kaum perempuan yang menjadi target dari pencarian ini disebut sebagai Tapol (tahanan politik). Kehadiran mereka di masyarakat seolah-olah bagaikan bara api yang akan membakar suatu peradaban. Hanya orang-orang yang terketuk hati nuraninya bersedia untuk menerima mereka, walaupun sebenarnya orang yang menerima para tapol itu pun merasa takut jika terkena imbas dari perilaku mulianya. Apakah kondisi seperti ini layak disebut merdeka? Untuk keluar sekadar menghirup udara segar pun mereka harus berpikir seribu kali. Banyak diantara mereka yang melakukan penyamaran agar identitas mereka tidak diketahui. Banyak yang menjadi penjual kopi atau penjual kain, padahal mereka merupakan wanita yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Aktivis-aktivis perempuan yang tertangkap itu kemudian dibawa ke Kamp Plantungan, yang merupakan kamp tahanan bagi para tapol wanita. Kamp ini berada di Kabupaten Kendal Jawa Tengah, tepatnya berada di lembah Gunung Prahu. Dulu kamp ini merupakan bekas rumah sakit isolasi bagi penderita lepra pada zaman Hindia Belanda. Sewaktu mereka ditahan di kamp tersebut mereka mendapat perlakuan yang sangat mengenaskan, terjadi pelecehan seksual juga kekerasan psikologis yang sampai saat ini terekam dalam memori tua mereka. Pelecahan seksual dan kekerasan merupakan perlakuan “standar” yang diterima para tapol wanita saat pemeriksaan. Yang lebih menyedihkan, setelah mereka bebas dari kamp tersebut, diskriminasi masih terus berlanjut, bahkan pada kartu tanda penduduk mereka terdapat pasangan huruf mematikan yaitu “ET”, eks tapol. Hal ini mengakibatkan kebebasan mereka dibelenggu, karena yang mereka dapatkan kemerdekaan palsu. Hak-hak mereka sebagai warga negara dienyahkan, mereka tidak memiliki hak dipilih dan memilih, begitu juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Serendah dan sebiadab itukah mereka, hingga otoritas negara pun membungkam mereka dengan cara yang sedemikian rupa? Mungkin para tapol tersebut dianggap memiliki penyakit lepra, namun otaknya yang terkena lepra, jadi mereka perlu disingkirkan seperti orang-orang yang berpenyakit lepra pada umumnya. Sejak saat itu mungkin lembah plantungan mengukir sejarah baru layaknya membuat sebuah peradaban yang baru ,dari mereka para perempuan cerdas yang teraniaya baik fisik maupun mental. Bekas rumah sakit itu menjadi hunian bagi penderita “lepra politik” untuk mengucilkan mereka dari khalayak ramai. Mereka dianggap lebih berbahaya daripada penyakit lepra karena menyebarkan virus pemikiran. Tulisan ini merupakan suatu cara untuk melawan lupa terhadap suatu peristiwa yang sangat mengenaskan, yang telah membunuh ratusan ribu saudara-saudara kita pada saat itu. Tampaknya negara pada saat itu tuli dan bisu, negara melupakan Pancasila sila kedua yang berbunyi “Kemanusian yang Adil dan Beradab”. Apakah saat itu tindakan otoritas yang berlindung dengan nama besar negara sudah adil dan beradab? Sebuah tamparan sebenarnya, pada saat itu mereka mendengung-dengungkan Pancasila, namun mereka malah merobohkan hakikat Pancasila yang sebenarnya. Daftar Pustaka Amurwani Dwi lestari. (2011). Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hersri Setiawan. (2004). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |