(Mahasiswa Jurusan Filsafat UI, Head Manager of Editorial Section UI LDSC)
fathulpurnomo10@gmail.com

Wanita kemudian selalu harus diamankan dengan jalan dikandangkan, di rumah hingga di gerbong pink, seakan-akan perempuan bukan makhluk sosial, dan mirip dengan rusa yang terus dimangsa predator. Meskipun perempuan sudah ‘diamankan’, dalam rumah dan dalam gerbong khusus perempuan, yang sebenarnya mengurung perempuan adalah pemangsa perempuan yang berada dimana-dimana. Alih-alih menjadi aman, perempuan justru masuk dalam kandang patriarki, warna pink pada gerbong pertama dan terakhir Commuter Line adalah tanda bahwa perempuan masih menjadi intaian jika dilepas didunia rimba patriarki. Gerbong khusus perempuan adalah legitimasi laki-laki atas kepemilikan tubuh perempuan, dibalut dengan sutra berwarna pink keganasan patriarki, jadilah gerbong abal-abal ‘pengaman’ perempuan. Pink justru mendiskriminasikan perempuan. Pink bukan warna perempuan.
Dalih gerbong pink perempuan sebagai bentuk kepedulian terhadap perempuan hanya akan berakhir sia-sia, manakala laki-laki tidak mengubah cara berpikir yang melihat perempuan sebagai objek. Relasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan masih bersifat "I and It", belum beranjak pada "I and Thou", seperti bayangan Martin Buber. Karena relasi "I and It" inilah penyebab dari eksploitasi tubuh perempuan. Kemudian kita setuju untuk tidak mengecat ulang semua gerbong Commuter Line dengan warna pink --yang sebenarnya tidak menjadi jaminan ramah terhadap perempuan-- tentu selain itu, perlu mengaudit ulang kondisi finansial perusahaan jika berkeinginan mengecat ulang Commuter Line dengan konsep ramah perempuan. Ternyata Kebijakan anti diskriminasi kemudian masih harus mendapat restu uang, disini saya paham mengapa Karl Marx mengutuk pengkonstitusian akan uang. Padahal para bapak pengguna setia Commuter Line dan menjadi penyumbang profit Commuter Line itu telah ditopang oleh para perempuan yang sedari pagi menyiapkan sarapan tanpa dibayar. Perempuan adalah mesin industri tak tampak agar Commuter Line bisa tetap beropreasi. Namun justru di Commuter Line sendiri perempuan terkandangkan. Saya hanya bisa mengembik menyaksikanya.
Setelah membaca artikel ini, semoga PT. Kereta Api Indonesia akan memproduksi dan mempromosikan kereta yang ramah perempuan, untuk mendongkrak pendapatan perusahaan, dan lagi-lagi perihal profit. Problem masyarakat kita adalah masih dependent dan konsumtif dengan karya karya patriarki berupa hirarki gender, dan belum bisa move on. Laki-laki harus turut serta mengentaskan budaya yang patriarki ini. Perempuan harus dianggap sebagai manusia, bukan bayang bayang laki-laki lagi. Perempuan juga hadir dalam realitas sosial, dan perempuan berhak berelasi secara "I and Thou". Perempuan yang tidak terbelenggu warna Commuter Line. Warna-warna kelam yang nampak maskulin, ataupun warna pink yang terkesan feminin --walaupun ternyata itu adalah polesan hirarki gender-- harus kita ubah. Tak perlu ada segregasi warna, termasuk bagaimana kemudian saya bermimpi bisa menemukan celana dalam pria berwarna pink, sungguh saya nantikan Calvin Klein mempromosikan celana dalam pria warna pink. Manusia yang bebas berekspresi dimana saja, tanpa tersekat oleh warna-warna. Gerbong pink maupun tidak, perempuan berhak merasa aman!