Kesetaraan gender maupun perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan memang sedang banyak dibicarakan saat ini. Seperti diketahui banyak pernyataan maupun pemahaman yang beredar luas saat ini yang menyatakan perempuan memiliki posisi lebih rendah dibanding laki-laki, ruang lingkup kerja perempuan identik dengan bidang-bidang domestik, yakni memasak, mengurus anak dan keluarga serta kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan kekuatan fisik seperti laki-laki. Perempuan identik dengan sifatnya yang feminin sedangkan laki-laki maskulin. Kedua pernyataan itu sudah tertanam jauh di dasar pemikiran masyarakat dan membudaya hingga saat ini. Dangkalnya pemahaman mengenai konsep gender mengakibatkan banyak kalangan masyarakat—termasuk kaum intelektual itu sendiri—yang menganggap sama antara konsep gender dan jenis kelamin. Pemahaman yang demikian akan membentuk pemikiran-pemikiran yang tidak tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Fakih (2005), “Perbedaan gender yang berdasar pada anggapan dan penilian oleh konstruksi sosial pada akhirnya menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat kultural, dan dalam proses yang panjang telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan” (p. 147-151). Oleh karena itu pemahaman yang tidak tepat tersebut perlu diluruskan, setidaknya perlu diketahui mengenai perbedaan antara gender dan jenis kelamin (sex). Ada perbedaan pengertian antara keduanya. Istilah gender menurut Sugandi adalah “suatu sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak diterapkan secara biologis, kodrati atau alami, melainkan merupakan rekayasa sosial berdasar nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial politik budaya, hankam dan iptek” (Anwar, 2007, p. 84). Sebaliknya, jenis kelamin (sex) sendiri merupakan suatu yang sudah ada secara alami dan merupakan kodrat masing-masing individu, seperti perempuan secara biologis dengan organ reproduksinya, bisa hamil dan menyusui. Perbedaan biologis tersebut seharusnya tidak menimbulkan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi terdapat konstruksi budaya yang membuat posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki, yang muncul dalam istilah-istilah yang menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yang paling sering didengar ialah patriarki. Istilah ini mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat (Mosse, 2007). Konsep patriarki ini juga ada dalam budaya masyarakat Indonesia, yang berarti kebebasan perempuan masih terhalang dengan nilai-nilai budaya yang menempatkan perempuan dengan peran dan status sebagai istri yang diatur sepenuhnya oleh suami. Dengan kata lain istri harus mendapatkan izin suami untuk menjalankan peran dan aktivitas di ruang publik. Hal ini yang selanjutnya semakin membuat perempuan berada dalam posisi subordinat di dalam keluarga, kerja seorang istri hanya berada pada bidang-bidang rumah tangga saja, seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian, merawat anak, mengasuh anak dan sebagainya, sedangkan tugas suami sebagai pencari nafkah sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga. Sebenarnya pemahaman mengenai subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki harus digeser sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis saat ini. Pemikiran-pemikiran yang selalu menempatkan peran laki-laki lebih utama dibanding perempuan juga dapat dimentahkan dengan adanya fenomena-fenomena di sejumlah masyarakat dimana laki-laki tidak selamanya berperan melebihi perempuan. Misalnya yang terjadi dikalangan istri dalam masyarakat Melayu yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Dusun Semayong Desa Sungai Kumpai Kecamatan Teluk Keramat. Laki-laki (suami) pada umumnya dalam mengelola pertanian memiliki peran yang lebih dominan dibanding istri, kegiatan istri tidak tampak begitu menonjol, hanya sebagai pendamping suami untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih ringan, misalnya, mengantarkan makanan untuk suami ke sawah/ladang, atau melakukan kegiatan memanen padi. Namun tidak demikian halnya dengan para istri di dusun Semayong yang keterlibatannya di bidang pertanian khususnya pertanian padi di ladang jauh lebih dominan dibanding para suami. Dapat dikatakan bahwa istri ialah pekerja utama dalam mengelola ladang. Pekerjaan yang dilakukan para istri tidak sebatas kegiatan-kegiatan ringan, setiap tahap dalam pengelolaan pertanian di ladang tidak luput dari kontribusi istri, berbanding terbalik dengan kontribusi suami yang secara umum jauh lebih sedikit dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun kegiatan atau aktivitas pertanian yang dilakukan para istri di ladang sangat beragam dan tentunya sangat menguras waktu dan tenaga mereka. Peran yang dilakukan istri dapat dijadikan indikator berhasil atau tidaknya pertanian yang dikerjakan. Sangat jarang sekali istri tidak terlibat dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di ladang. Hampir semua istri pernah melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pengelolan pertanian, mulai dari membuka lahan, menyemai benih, menanam, merawat, memanen dan bahkan mengangkut hasil panen ke rumah atau tempat penyimpanan. Keterlibatan suami sangat jarang, jika ada itupun hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti membunuh gulma melalui penyemprotan dan membawa hasil panen, sedikit sekali para suami yang secara penuh bekerja di ladang. Secara umum pekerjaan pertanian ladang di Dusun Semayong memang didominasi oleh perempuan terutama para istri. Fenomena di atas adalah salah satu contoh bahwa tidak selamanya anggapan atau asumsi mengenai peran perempuan yang selalu menjadi sekunder atau yang kedua terjadi di lapangan. Hanya saja tentu masih ada bias antara pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan yang dilakukan perempuan banyak yang tidak dianggap. Ini berkaitan dengan pandangan umum mengenai pekerjaan yang dinilai dari segi ekonomi, seberapa besar nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Sehingga pekerjaan yang banyak dilakukan perempuan seperti pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah tidak dipandang sebagai pekerjaan melainkan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri. Dalam kenyataannya seseorang bisa melakukan kerja upahan dan kerja bukan upahan sekaligus, ia bisa berada dalam hubungan kerja yang berbeda-beda. Tidak bisa dikatakan hanya melakukan kerja bukan upahan terutama oleh perempuan karena dalam bentuk-bentuk masyarakat atau sistem ekonomi tertentu kerja bukan-upahan merupakan bentuk kerja yang umum, baik oleh laki-laki maupun perempuan (Saptari dan Holzner, 1997). Jadi pada dasarnya kerja tidak dapat ditentukan oleh seberapa besar nominal yang dapat dihasilkan atau diterima, tetapi lebih pada bentuk hal-hal apa yang harus dilakukan untuk dapat memenuhi atau dapat menunjang keberlangsungan hidupnya. Begitu juga mengenai pandangan terhadap perempuan yang selalu diposisikan di bawah laki-laki dalam semua hal, dalam kenyataannya di beberapa bidang dan di beberapa daerah perempuan jauh lebih berperan dibanding laki-laki. Tidak hanya sebatas peran dalam ruang domestik akan tetapi juga ruang publik. Maka dari itu seharusnya perbedaan jenis kelamin bukanlah penentu utama dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Daftar Referensi: Anwar. (2007). Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pebelajaran Vocational Skill Pada Keluarga Nelayan). Bandung: Alfabeta. Mansour Fakih. (2005). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mosse, J.C. (2007). Gender dan pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna Saptari & Brigitte, Holzner. (1997). Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti untuk Yayasan Kalyanamitra.
yani
31/10/2015 07:59:14 pm
Saya sangat berterimakasih banyak kepada
yani
2/11/2015 08:27:28 am
saya mengucapkan banyak terimah kasih kepada AKI DARSO atas bantuan AKI. kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan AKI DARSO pula yang telah memberikan angka jitunya kepada saya yaitu 4D dan alhamdulillah berhasil tembus.sekali lagi makasih yaa AKI karna waktu itu saya cuma ada modal untuk menyelasaikan biaya ritualnya akhirnya saya menang langsung 4 angkanya. Dan Berkat angka GHOIB AKI DARSO saya sudah bisa bangkit kembali dari kebangkrutan dan memulai lagi bisnis usahaku yang baru yaitu jual alat elektronik.dan kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUBUNGI NOMOR Hp: 085377784848. Assalamualaikum wr.wb,ramalan AKI DARSO memang memiliki ramalan GHOIB” yang dijamin 100% tembus. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |