Pada sinema-sinema Walt Disney setelah tahun 2000 mulai terlihat Disney membawa ide-ide dari gerakan feminisme, tidak lagi seperti sinema animasi yang rilis pada tahun 1950-an. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang animasi dan sinematografi seiring dengan gerakan pembebasan perempuan. Tidak dipungkiri setelah Mulan (1998) Disney tidak lagi memosisikan perempuan dalam animasinya sebagai objek yang pasif dan menunggu kedatangan pangeran tampan untuk menyelamatkannya dari kutukan. Film produksi Walt Disney terutama animasinya menjadi salah satu media sosialisasi bagi anak-anak. Penanaman nilai-nilai lewat karakter tokoh seperti perempuan suci dan baik-baik, perempuan penyihir yang tua dan jahat, pangeran tampan atau pemburu penyelamat sangat mendominasi cerita-cerita Disney Princess. Rupanya, Disney menyadari sinemanya sebagai media sosialisasi anak-anak dan menyesuaikan konten nilai dalam ceritanya sebagai sarana edukasi penanaman nilai dan moral terutama pada anak-anak. Ekofeminisme sebagai bagian dari aliran feminisme gelombang ketiga bersama dengan feminisme multikultural memakai gerakan post-feminisme yang melakukan penyebaran ide-idenya melalui media massa. Sinema animasi Disney Princess setelah tahun 2000 memasukkan ide-ide feminisme dalam ceritanya, sebut saja Tangle (2011) yang tidak lagi memakai tokoh pangeran sebagai penyelamat melainkan pencuri, Brave (2012) yang lekat dengan ide citra perempuan feminis gelombang ketiga yang kuat, tangguh, dan perkasa, Frozen (2013) yang mematahkan rumusan “true love act” yang biasanya dilakukan oleh pangeran dan cinta sejati yang justru terdapat pada saudara perempuannya, tidak ada lagi menikah dan jatuh cinta pada orang yang baru dikenal, dan yang terakhir Maleficent (2014) yang kental dengan ide ekofeminisme. Maleficent sendiri menjadi simbol dari Ibu Pertiwi atau Goddess yang perkasa dan bertugas untuk melindungi alam. Raja Stefan adalah laki-laki yang haus kekuasan, berambisi menjadi raja, dan dari awal Stefan masuk ke Moors untuk mencuri permata disana. Tindakan Raja Stefan dianggap sebagai simbol dari patriarki dan sifat maskulin, karena raja Stefan disimbolkan sebagai laki-laki. Tidak ada ciuman cinta sejati seperti rumusan sinema Disney Princess terdahulu. Ciuman cinta sejati yang membangunkan Aurora dari tidurnya adalah kecupan sayang Maleficent setelah mengakui dosa-dosa patriakal yang dilakukannya dulu. Di sini Maleficent memiliki kelemahan yaitu besi[1]. Besi dan penemuan peleburan besi menjadi awal komponen mesin. Ditemukannya mesin uap pada tahun 1865 menjadi awal dari revolusi Industri di Inggris yang menjadi awal eksploitasi alam, merkantilisme, dan kolonialisme bagi negara-negara luar Eropa (Timur non-Barat). Di film ini tokoh Maleficent tidaklah sejahat yang sebelumnya dikisahkan dalam Sleeping Beauty. Maleficent mengeluarkan kutukan kepada Aurora anak Raja Stefan akibat dikhianati dan Sayapnya dicuri oleh Stefan. Dalam kutukannya tersebut dia ingin menunjukkan kepada Stefan bahwa ciuman cinta sejati yang Stefan berikan pada ulang tahun Maleficent ke-16 tidak pernah ada oleh karena itu ia mengeluarkan kutukan yang hanya bisa dipatahkan oleh ciuman cinta sejati yang sesungguhnya tidak pernah ada. Maleficent menolak untuk melakukan tindakan kekerasan dan dengan sifat-sifat feminin ia bersama Diaval merawat Aurora yang telah ia kutuk karena ketiga peri dianggap kurang kompeten. Maleficent adalah simbol dari tuhan perempuan Goddessyang penyayang, pengasih dan melindungi alam baik manusia, tumbuhan, dan hewan. Ketika bertempur dengan Raja Stefan di kastilnya, Malficent mengatakan “it’s over”. Maleficent dengan sifat feminin memaafkan Stefan yang telah mengkhianatinya, mencuri sayapnya dan menikah dengan orang lain demi kekuasaan, tetapi Raja Stefan justru berbalik dan menyerang Maleficent. Raja Stefan berusaha membunuh Maleficent tetapi Maleficent menolak sama sekali tindak kekerasan apalagi pembunuhan. Dalam Maleficent pula, Disney melepaskan penokohan pangeran tampan penolong. Tidak ada lagi dikotomi perempuan suci dan baik-baik dan perempuan tua dan jahat. Penjahat dan pahlawan digambarkan pada tokoh yang sama Maleficent dan Diaval, sedangkan kejahatan atau dosa patriarkal yang diperbuat berani diakuinya. Ketika Maleficent kehilangan sayapnya, ia tidak terpuruk pada kesedihannya melainkan bangkit walaupun diliputi rasa amarah dan dendam. Tetapi kemudian dengan kehadiran Aurora, Maleficent mampu memaafkan Stefan dan mengakui juga menyesali dosa-dosa patriarkalnya. Maleficent adalah tontonan yang menyenangkan dan tepat bagi pembelajaran feminisme terutama ekofeminisme. Melalui sinema tersebut penonton diajarkan untuk menghargai alam dan merawatnya. Melepaskan citra perempuan yang hanya tersedia sebagai perempuan baik-baik atau perempuan jahat. Perempuan adalah manusia subjek yang juga bisa ikut mengambil keputusan. Dan sifat-sifat feminin seperti penyayang, pengasih, pemaaf dipakai dalam upaya penyelamatan lingkungan. Sumber:
Catatan Kaki: [1] Besi (Fe) berasal dari kata Kursani dan unsur besi bukanlah sesuatu yang murni dari Bumi. Kecantikan tidak bisa dilepaskan dari citra tubuh dan seksualitas. Perjalanan panjang sejarah sejak zaman Revolusi Industri di tahun 1830-an, memberikan jejak bahwa mitos kecantikan tak pernah lekang oleh waktu. Kecantikan selalu disematkan dengan bentuk fisik, relasi atau keintiman dengan lawan jenis serta perjodohan dan hubungan seksual. Kita barangkali tak pernah bosan mengagumi tubuh seksi perempuan, karena seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri manusia. Bentuk tubuh perempuan hampir selalu dikaitkan dengan seks, mereka diekspos sedemikian rupa sebagai objek seksual semata. Tidak berhenti di situ, konsep cantik ini kemudian bermetamorfosis dari waktu ke waktu, masing-masing daerah memaknai dan melihat kecantikan perempuan dari berbagai sudut tapi tentunya dengan “mengekploitasi” hampir setiap lekuknya. Figur-figur bentuk tubuh perempuan yang dianggap sebagai ideal ini berevolusi dari masa ke masa. Pada abad pertengahan, bentuk tubuh yang “subur”, perut, lengan yang berdaging dan berisi dianggap memiliki citra kesuburan. Menginjak tahun 1960-an, citra tubuh perempuan bertubuh subur tergeser, digantikan oleh tubuh yang kurus-kering sebagai simbol kecantikan. Hal ini juga dianggap sebagai simbol “pemberontakan”, perempuan ingin membuktikan bahwa mereka bukanlah sekadar alat reproduksi tapi mereka mampu mandiri secara ekonomi, terbuka dan profesional. Bergeser ke era 1980-an, tipe tubuh kurus kering ini mulai tak lagi diminati saat seorang model mulai memperkenalkan tubuh yang atletis, tidak berlemak dan berpayudara kecil sehingga para perempuan mulai berbondong-bondong ke pusat kebugaran. Hingga tahun 1990-2000-an, para perempuan mulai bebas “merenovasi” dirinya ketika teknologi kosmetika memberikan angin segar pada perempuan untuk menyulap bentuk tubuh mereka menjadi kurus dan berdada penuh (Melliana, 2006: 63-70). Begitulah tubuh dikonsepkan dengan seluruh konteks sosial yang menyertainya. Nilai, makna tubuh seseorang ditentukan oleh pengamat atau evaluator diluar pemilik tubuh, aspek tubuh yang mudah teramati menjadi aspek yang lebih dipentingkan. Aspek tersebut adalah penampilan seperti warna kulit, sensualitas atau ukuran-ukuran bagian tubuh tertentu. Praktik inilah yang oleh Fredrickson dan Roberts disebut sebagai praktik objektivikasi. Praktik ini terjadi saat tubuh atau bagian tubuhnya atau fungsi seksualnya dipisahkan dari kediriannya. Proses analisis terhadap tubuh diletakkan dalam konteks sosiokultural, tidak hanya sebagai struktur biologis, melainkan sebagai struktur pengalaman. Maka sebagai struktur pengalaman, makna, fungsi dan idealisasi seseorang atas tubuhnya menjadi rumusan konsep yang tidak tetap, berubah-ubah antar ruang dan waktu ditentukan secara individu dan sosial. Akumulasi dari berbagai bentuk praktik objektivikasi seksual ini dapat membentuk suatu sistem kultural yang disebut kultur objektivikasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam kultur objektivikasi mensosialisasikan pada kaum perempuan agar memperlakukan tubuhnya lebih sebagai objek untuk diamati dan dievaluasi daripada sebagai bagian dari keutuhan subjek yang otonom. Menjadi semakin ironis ketika kultur objektivikasi ini dilakukan oleh pemilik modal, yang menanamkan citra bagaimana seharusnya ukuran tubuh dan penampilan ideal. Mereka memborbardir dengan segala produk kecantikan, jasa memperbaiki penampilan sehingga membuka peluang untuk membentuk cara pandang perempuan terhadap bentuk tubuh ideal. Lebih dari itu, industri-industri kecantikan terus berkembang pesat dan menumbuhkan keraguan perempuan terhadap tubuhnya. Dengan segala cara mereka meyakinkan bahwa tanpa produk tersebut, perempuan tidak akan diinginkan. Demikianlah, tubuh menjadi ajang perebutan kekuasaan ekonomi politik dalam masyarakat industrial. Betapa kita tak lagi berkuasa atas tubuh kita, konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat telah menyebabkan perempuan mudah merasa teralienasi dari tubuh mereka sendiri. Tubuh pada akhirnya direduksi hanya menjadi sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk menyenangkan orang lain atau dapat memberikan keindahan visual. Ketika tubuh semakin “terpenjara”, identitas perempuan akan semakin dikukuhkan oleh mitos kecantikan, dan tentunya konstruksi yang ditentukan oleh tren pasar dan kaum kapitalis. Setiap ibu akan melahirkan anak terbaiknya. Aung San Suu Kyi lahir dari perut ibu pertiwi Burma 19 Juni 1945. Dua tahun setelah kelahirannya, Ayahnya, Aung San pejuang kemerdekaan meninggal di bunuh oleh rival politiknya. Suu kecil tak paham tentang kondisi, yang dia tahu bahwa sang pendongeng ketika malam menjelang dia tidur sudah tak ada lagi. Burma adalah negara yang tidak ramah. Dominasi pemerintahan militer yang menghasilkan berbagai kebijakan yang menomorsatukan keamanan dan ketertiban mewarnai perjalanan Burma sehingga negara ini terperangkap dalam keterasingan. Kekerasan terhadap rakyat sipil yang dilakukan militer banyak terjadi. Kekerasan antar etnik yang tak pernah berhenti juga menambah deretan masalah Burma. Suu yang saat itu tinggal di London bersama suaminya, Michael Aris dan 2 anaknya memutuskan pulang ke Burma karena ibunya sakit. Selama itu pula di depan mata kepalanya Suu melihat ketidakadilan. Penderitaan rakyat, ketakutan dan arogansi militer yang makin menjadi. Kedatangan Suu seperti kedatangan malaikat bagi rakyat Burma. Mereka menaruh harapan agar pemerintahan militer bisa segera selesai. Mereka menginginkan demokrasi, pemerintahan yang baru. Suu menyepakati itu, rasa cinta kepada tanah air memaksanya untuk ikut bertanggung jawab terhadap tetesan darah yang tercecer pada rakyat sipil akibat kekerasan militer. Suu mulai bergerak. Membangun harapan, memupuknya dan berharap bisa memanennya. Suu sudah bertekad tidak melawan dengan kekerasan, yang dia miliki hanya keberanian dan harapan. Bebas dari ketakutan, itu yang digelorakan kepada rakyat Burma. Perjalanannya tak mulus. Pihak pemerintah merasa terancam, segala cara dilakukan agar Suu berhenti dan tidak mendapat dukungan. Mulai dari dilarang bertemu dengan suami dan anak-anaknya hingga sampai penahanan rumah dan bahkan ini terjadi setelah partai yang didirikan Aung San Suu Kyi Liga Nasional Demokrasi memenangkan pemilu hingga 80%. Suaminya Michael Aris tak tinggal diam. Dia mengusahakan agar Suu mendapat Nobel Perdamaian, dengan harapan ketika Suu mendapat Nobel tersebut, dunia akan mengakuinya dan berbuat sesuatu terhadap Suu yang ketika itu menjadi tahanan rumah. Tahun 1991 Suu meraih Nobel Perdamaian tapi itu tak mengubah apapun. Burma seperti terisolasi. Gelombang demokratisasi di dunia seperti tak pernah terdengar di Burma. Globalisasi yang melanda dunia juga tak pernah menyentuh Burma. Burma tetap arogan. Dan dunia pun tak bisa berbuat apa-apa. Hari paling kelam bagi Suu mungkin ketika suaminya meninggal, sang pendongkrak semangat hilang. Sebagai tahanan rumah, Suu pun tidak bisa melihatnya. Di sini saya benar-benar yakin bahwa Pemerintah Burma adalah pemerintahan yang lahir tanpa nurani. Lebih dari 20 tahun ditahan dengan 15 tahun sebagai tahanan rumah, sudah sepantasnya dunia menyejajarkan Suu dengan Mandela dan Gandhi. Suu hanya salah satu dari beberapa perempuan hebat yang dilahirkan semesta. Indonesia mempunyai Kartini yang harum namanya. Sayangnya buah pemikiran Kartini dipersempit sebatas penanda sanggul dan kebaya. Padahal yang dilakukan Kartini lebih dari sebuah pergerakan perang fisik. Jika Cut Mutia dan Keumala Hayati menjadi sosok yang muncul gemilang pada masanya karena melawan penjajah dengan perang mengangkat senjata, maka Kartini berperang menggunakan pena mendobrak sistem feodalisme. Kehampaan Kartini akan hidupnya jelas tergambar dari tulisan-tulisannya. Jika saja Kartini diberi waktu hidup lebih lama mungkin saja pemikirannya tidak sebatas pemikiran, tapi dia menikmati buah pikirannya itu. Bisa saja sebaliknya yang mungkin terjadi, setelah pernikahannya dengan seorang bupati mungkin dia akan menjadi ibu rumah tangga biasa, sesuai sistem yang berlaku zaman itu, dimana peran seorang istri sama halnya dengan pendamping, melayani dan menemani. Kartini seorang perempuan Jawa yang sangat mencintai ayahnya. Demi ayahnya dia rela melakukan apapun, termasuk dipoligami, sesuatu yang tidak diinginkannya. Jika saja kita peka dan lebih jeli melihat potret Kartini, sosok kegetiran muncul dari raut wajahnya. Kartini memendam sesuatu yang tidak bisa dimuntahkan dengan gamblang. Semangatnya hanya bisa muncul melalui tulisan yang menggambarkan betapa menderitanya Kartini saat itu. Tetapi kini, perayaan hari Kartini dilakukan dengan sumringah, gelak tawa, karnaval anak-anak kecil lalu mereka berlenggak lenggok di panggung fashion show memuaskan hasrat orang tuanya, dan ibu-ibu pejabat mulai berpidato tentang Raden Ajeng Kartini dan emansipasi yang diusungnya yang menyebabkan ibu pejabat itu bisa berpidato meski pidato-pidatonya terdengar seperti pepesan kosong. Sudah melenceng sekali dari apa yang diinginkan Kartini. Kartini terpenjara oleh tembok-tembok feodalisme Jawa. Gelar Raden Ajeng tak bisa membantunya keluar dari feodalisme. Mau tak mau dia harus menyerah pada siklus hidup, pada sistem yang dibuat leluhurnya sendiri, tidak bersekolah, dipingit lalu menikah dan dipoligami. Hal yang luar biasa dari Kartini, ketika teman-teman seusianya mempersiapkan diri untuk diperistri, dia mempersiapkan masa depan generasi keturunannya dengan menuangkan buah pemikiran yang gilang gemilang. Sosok Kartini jelas tergambar dalam buku Pramoedya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja, maka kita panggil saja dia “Kartini”, tanpa embel-embel “ibu”, atau bahkan “ibu kita”. Selain Kartini, saya juga mengagumi Inggit Garnasih. Perempuan yang dari rahimnya melahirkan negara ini. Saya masih terkesima ketika mendengar cerita tentang Inggit. Bagaimana Inggit berjalan dari rumahnya menuju penjara Banceuy. Dibalik stagennya ada buku yang sengaja disembunyikan untuk suaminya. Puasanya selama satu minggu berbuah hasil, badannya mengurus sedikit. Maka dengan mudah buku itu masuk ke dalam stagennya tanpa harus mengundang kecurigaan dari sipir penjara. Kuncup bibirnya merekah ketika satu langkah lagi dia tiba pada pintu penjara. Matanya berbinar menyiratkan kerinduan yang hampir surut jika saja waktu besuknya diundur. Bertemu dengan suaminya, Kusno, adalah hal yang selalu dinantikannya. Kusno adalah belahan jiwa yang tengah larut dalam duka. Gelora perjuangan yang menggelegak dalam tubuh suaminya itu yang menyebabkan Kusno harus merasakan dinginnya lantai penjara. Kusno harus berada dalam sel berukuran 1x1 meter kecil dan lembab, hingga tidurpun harus dilakukannya tanpa posisi duduk. Dari penjara Banceuy Kusno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Jaraknya makin jauh dari rumah, tapi demi sebuah kerinduan Inggit masih setia mengunjungi suaminya. Tak jarang Inggit pun berkirim surat cinta yang digulung dalam lintingan rokok untuk mengungkapkan kerinduannya. Dari Sukamiskinlah sejarah terlahir, pidato pledoi Sukarno yang terkenal dengan nama “Indonesia Menggugat” Dengan memproduksi rokok, bedak juga BH, Inggit mewujudkan kasihnya kepada Kusno. Membiayai segala perjuangannya mencapai kemerdekaan. Banceuy, Sukamiskin, Ende Flores dan Bengkulu, pada tempat-tempat itulah Inggit mengukir sejarah, menancapkan namanya lekat-lekat sehingga penduduk setempat sudah menganggapnya seperti keluarga. Hampir 20 tahun Inggit menaburkan cinta pada setiap langkah kaki Kusno. Cinta yang tidak sederhana. Cinta yang dititipkan pada sel-sel penjara, daun-daun pepohonan jalanan yang selalu dilewatinya ketika akan membesuk Kusno. Juga pada setiap senyum dan sapa penduduk Ende dan Bengkulu. Inggit seolah terlupa bahwa cinta bisa berhenti hanya karena sebuah alasan. Inggit masih mempunyai harapan tentang langit Indonesia yang akan dipenuhi bendera-bendera merah putih. Bangsa yang telah ia sumbang dengan materinya. Bangsa yang ikut ia lahirkan. Ibu pertiwi tak pernah mengandung anak yang salah. Akan terlahir putra-putri terbaik. Bagi saya, merekalah putri-putri terbaik. Mereka bukan hanya sekadar inspirasi, tapi seperti lentera yang tak pernah padam. Pagi itu, kedatanganku di sekolah disambut berbeda oleh para guru. “Nah, begini dong. Kalau pakaiannya begini, baru seperti Ibu guru,” kata seorang guru sambil memerhatikan penampilanku dari jilbab hingga sepatu. Lalu diikuti dengan ucapan selamat dari beberapa guru lainnya. “Hehe…berarti sebelumnya saya tidak seperti Bu Guru, ya Bu?” candaku yang diikuti tawa para guru. Yah, sebelumnya, aku mengenakan baju batik atau kemeja yang dipadukan dengan celana kain untuk kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Namun, setelah beberapa siswa dan guru merasa aneh serta mempertanyakan tidak biasanya penampilanku di desa ini, maka jadilah pagi itu aku memakai setelan lengkap baju dinas berwarna cokelat. Semua berawal saat suatu hari kepala sekolah memanggilku ke ruangannya. “Bu Mila, apa Ibu tidak merasa aneh dengan penampilan Ibu?” Sambill tersenyum tipis namun juga dengan wajah sedikit aneh kujawab, “Aneh? Tidak Pak. Memangnya kenapa Pak?” “Di sini (Aceh) tidak ada Ibu guru yang memakai celana. Pasti pakai rok. Anak-anak saja pakai rok. Makanya mereka merasa penampilan Ibu Mila beda. Apa Ibu Mila tidak merasa aneh memakai celana sendiri?” lanjut kepala sekolah. Tanpa ingin memperpanjang masalah, aku pun mafhum dengan seruan itu. Sekolah memintaku memakai baju dinas dan menggunakan rok tentunya. Untuk konteks ini, berdiskusi apalagi berdebat panjang bukanlah solusi. Aku sedang menjalankan misi pengabdian lewat mengajar di daerah terpencil. Bermasalah sedikit, bisa menggagalkan misi besarku. Kutepuk dada, kutelan ludah, lalu sekuat tenaga menahan emosi di dalam diri. Aceh adalah salah satu daerah yang masih mengidentifikasi perempuan lewat formalitas pakaian. Karena daerah ini serambi mekah, religius, katanya. Sayangnya, yang mesti menanggung jargon religius itu adalah perempuan. Segala jejak langkah, perkataan, penampilan, dan seluruh yang melekat pada tubuh perempuan menjadi hal yang patut diadili bersama. Sejak dulu, menjadi pengadilan bersama. Zubaidah Djohar dalam kumpulan puisinya yang bertajuk Pulang Melawan Lupa (2012), dengan sangat baik menggambarkan keterkungkungan perempuan yang dipagari oleh pakaian muslim yang bernama rok. Berikut adalah salah satu kutipan puisi yang berjudul “Negeri Tujuh Ribu Rok”: Di negeri tujuh ribu rok, aku terhenti menebar pandang pada langitr yang tak lagi biru yang bercerita tentang tubuh-tubuh yang dipagari konon katanya, agar pandangan liar tidak menggerayangi agar kerusakan bumi tidak terjadi tapi tahukah engkau wahai pembuat pagar negeri? liar ada di kepala nan tinggi kerusakan bumi juga dari tanganmu yang tak berhati lalu kenapa tubuh-tubuh rentan itu yang kau sekap tiada henti? kau tertibkan demi pengakuan Islamnya negeri Di negeri tujuh ribu rok, aku terhenti Dan bertanya pada penguasa negeri syariat mana yang tengah kau ceritai? karena Sang Pencipta penuh kasih pada insane menyuruhmu berpikir tentang affala ta’qilun dengan hati dan melarangmu berbuat kerusakan di muka bumi ini Dengan menjadikan pakaian longgar semacam rok sebagai ukuran, maka perempuan yang menggunakan jilbab dengan baju dan celana, oleh sebagian masyarakat dipandang sebelah mata, lalu ramai-ramai dihakimi dengan berbagai ucapan yang membakar telinga. Segala dalil agama pun berkumandang. Berbagai istilah pun dibuat tren. Jika dulu, biasa disebut “berjilbab tapi telanjang”, sekarang berganti menjadi “jilboobs”. Semua sama, bermuara pada pengerdilan dan penghinaan pada perempuan. Hei.., come on! Rok atau pakaian muslim dalam bentuk dan dengan nama apapun bukanlah pagar yang menjadi ukuran pembatas—untuk sejarah dan kewajiban menggunakan jilbab atau hijab dapat diperdebatkan panjang tentunya. Bahwa ia sebagai identitas seseorang, iya. Namun bukan ukuran kadar keimanan atau kualitas seseorang. Yang menutup seluruh tubuh tak menjamin lebih baik dari mereka yang telanjang sekalipun. Bukan sebuah sebab-akibat. Mari jernihkan cara berpikir kita. Apakah perkataan dan perbuatan seseorang harus baik dulu baru boleh menutup diri dengan pakaian yang beridentitas muslim? Bagaimana jika ia belum merasa sanggup berjilbab, namun sanggup melakukan kebaikan bagi orang banyak? Haruskah ia menunda perbuatan baiknya hingga ia memakai jilbab? Mengapa kita tak berpikir bahwa mungkin saja ia telah berusaha berjilbab namun belum mampu melakukannya. Coba ingat, sepanjang hidup kita, sudah berapa banyak perempuan yang tak berjilbab atau berjilbab dengan pakaian ketat yang telah menolong kita? Ada berapa diantara mereka yang telah berjuang untuk kebaikan negeri kita? Barangkali lebih bermanfaat jika kita tidak memperdebatkan pakaiannya tetapi fokus pada sumbangsihnya untuk orang banyak. Bahkan Tuhan yang selalu dijual oleh mereka yang menghakimi pun tak pernah memaksakan firmannya kepada manusia. Tuhan sangat paham dengan segala ciptaan-Nya. Ia memberi ruang yang luas bagi hambanya dalam membaca, memecahkan dan menjalankan segala misteri alam semesta. Lalu mengapa kita yang hanya berpredikat hamba merasa paling benar dan berhak mengadili hamba lainnya? (*) Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kesempatan magang di Sekolah PRT DIY, yang merupakan salah satu program LSM Rumpun Tjoet Njak Dien, yang fokus pada isu PRT. Pada tanggal 30 Juni 2014, saya menghadiri Sekolah PRT dengan bahasan mengenai Paralegal. Sembari menunggu kelas dimulai, para pekerja rumah tangga yang kebetulan semuanya perempuan dengan usia yang masih muda, saling berbincang dan ada juga yang berjualan. Seorang perempuan menghampiri saya dengan sebuah selebaran ditangan, lalu berkata “Mbak Indri, mohon dibaca ya... Sekali lagi ini bukan kampanye loh”. Perempuan tersebut memberikan selebaran berisi perbandingan visi dan misi kedua kandidat presiden RI periode 2014-2015 mengenai perempuan. Sebelumnya saya diberi sebuah kartu dan kipas plastik bergambar wajah dari salah satu kandidat presiden. Para pekerja rumah tangga juga sempat mengumpulkan koin sukarela untuk membantu pendanaan kampanye salah satu kandidat presiden. Berbagai aksi yang dilakukan para perempuan pekerja rumah tangga untuk menyukseskan salah satu kandidat presiden membuat saya bertanya-tanya. Apakah yang membuat perempuan-perempuan tersebut begitu peduli? “Mungkin hidup saya dan para PRT lain bisa lebih baik mbak, bila beliau terpilih” Itulah jawaban salah satu perempuan, ketika saya tanyakan mengapa mereka begitu peduli pada pemilu kali ini? Menurutnya, visi dan misi yang diusung salah satu kandidat lebih “pro perempuan”. Selain itu mereka yakin bahwa kandidat tersebut mampu membantu pekerja rumah tangga untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hal itu dikarenakan dalam visi dan misinya, salah satu kandidat berkomitmen menginisiasi pembuatan peraturan perundangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri[1]. Mereka percaya, satu suara yang mereka sumbangkan pada salah satu kandidat, bisa membawa perubahan pada hidup perempuan Indonesia. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019 dilaksanakan tanggal 9 Juli 2014. Wajar bila saat itu, isu mengenai pemilu menjadi topik pembicaraan yang hangat dimanapun. Pada periode sebelumnya, usia saya belum genap 17 tahun sehingga saya belum mempunyai hak pilih. Sebagai pemilih pemula, saya justru merasa kurang begitu tertarik dengan isu pemilu. Sebelumnya, saya tidak peduli siapa yang akhirnya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Apalagi, sebagai mahasiswa yang harus ngekos jauh dari daerah asal atau yang tertera di KTP, saya harus mengurus formulir A5 untuk bisa memilih di daerah tempat saya tinggal. Dilihat dari banyaknya teman sesama mahasiswa yang akhirnya memilih menjadi golput ketimbang mengurus formulir A5, menunjukkan ketidakpedulian dan tidak tertariknya mereka pada isu pilpres. Berangkat dari kepercayaan perempuan PRT pada satu suara yang bisa membawa perubahan besar pada hidup perempuan, saya yang juga seorang perempuan akhirnya merasa tertarik dan ingin terlibat dalam perjuangan tersebut. Saya kemudian mencari tahu lebih lanjut mengenai keterlibatan perempuan dalam isu politik. Suara perempuan Di awal abad ke ke-21, lebih dari 95 persen negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar yaitu, hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election)[2].Meskipun kedua hak tersebut sudah diakui oleh banyak negara sebagai hak dasar manusia tanpa adaya bias gender, bagi perempuan hak tersebut didapat melalui proses perjuangan yang panjang. Namun, perlu diketahui bahwa sampai saat ini beberapa negara masih belum mengakui hak pilih perempuan. Semisal, Arab Saudi yang baru menjanjikan hak pilih bagi perempuan pada tahun 2015. Di Indonesia, perjuangan hak pilih bagi perempuan dimulai pada tahun 1930-an. Gerakan perempuan Indonesia pada waktu itu mulai menyuarakan hak pilih bagi perempuan. Adapun dalam Kongres Perempuan Indonesia III yang diselenggarakan pada tahun 1938 di Bandung, wacana mengenai hak pilih bagi perempuan masuk sebagai agenda pembahasan. Walaupun begitu, hak dipilih dan memilih bagi perempuan Indonesia baru diperoleh setelah Indonesia meraih kemerdekaannya[3]. Namun, setelah perjuangan untuk mendapatkan hak pilih telah selesai dan negara telah mengakuinya. Muncul pertanyaan lagi, tentang bagaimana para perempuan memaknai dan memanfaatkan hak pilih tersebut? Selepas pelaksanaan pemilu pada 9 Juli 2014, saya berkunjung ke rumah sepupu perempuan saya yang baru saja menikah. Ketika kami sedang duduk santai di depan televisi, muncul pembahasan mengenai rekapitulasi pemilu di berita. Spontan saya bertanya pada sepupu saya “Eh, 9 Juli kemarin milih gak kak?”. Tidak diduga, dia langsung bicara dengan nada bersemangat mengenai pilihannya pada pemilu kemarin. Saya sedikit heran karena sebelumnya sepupu saya tidak pernah tertarik dengan isu politik. Namun kali ini dia terkesan sangat peduli dan bersemangat mendukung salah satu kandidat. Setelah saya tanyakan, akhirnya saya tahu kalau keberpihakannya didasarkan atas pilihan suaminya. Saya menemukan begitu banyak kasus serupa dalam keluarga saya maupun lingkungan sekitar saya, seperti tetangga atau beberapa teman saya. Mungkin hal itu dikarenakan saya tinggal di desa, yang masih menjaga tradisi-tradisi yang patriarkal. Semisal dalam rumah saya, peran seorang laki-laki sangat dominan. Oleh karena itu, ayah selalu menjadi pembuat keputusan-keputusan penting. Berbeda dengan sepupu saya yang menggunakan hak pilihnya, namun didasarkan atas pilihan orang lain. Beberapa teman sebaya saya yang juga perempuan lebih memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada pemilu 9 Juli kemarin. Berbagai alasan muncul seperti, malas mengurus formulir A5, tidak tertarik, atau tidak peduli sama sekali. Menurut mereka, satu suara dari mereka tidak akan berpengaruh besar pada hasil pemilu. Lagipula, siapapun yang menjadi presiden dirasa tidak akan mengubah kehidupannya. Keterwakilan perempuan dalam parlemen Setelah hak pilih bagi perempuan sudah diakui, lantas disusul dengan partisipasi perempuan dalam parlemen sebagai “lapangan perjuangan” kaum perempuan. Sejarah mengenai representasi perempuan di parlemen Indonesia diawali dalam Kongres Wanita Indonesia pertama tahun 1928. Sejak saat itu, dimulailah kesadaran perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang juga termasuk dalam bidang politik. Sejarah mencatat, 6,5 persen anggota parlemen pada pemilu pertama 1965 adalah perempuan. Sampai akhirnya pada tahun 1987 representasi perempuan dalam parlemen mencapai angka tertinggi 13 persen, setelah mengalami pasang surut sebelumnya. Indonesia yang masih menganut sistem patriarkal, menjadi salah satu alasan terbatasnya kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses berpolitik. Hal itu dikarenakan persepsi masyarakat yang masih mengotak-ngotakkan pembagian peran antara laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ranah domestik[4] Parlemen di Indonesia yang masih didominasi laki-laki memunculkan adanya wacana pemenuhan kuota 30% bagi perempuan dalam visi dan misi kedua kandidat presiden RI periode 2014-2019. Dominasi laki-laki sebagai pembuat kebijakan dapat menjadi salah satu alasan munculnya berbagai peraturan-peraturan yang dinilai tidak “ramah” terhadap perempuan. Semisal RUU PRT yang masih diperjuangkan untuk segera disahkan, yang mengalami banyak revisi karena terdapat beberapa pasal yang dinilai merugikan perempuan pekerja rumah tangga. Atau Perda No 5 Tahun 2007 tentang larangan pelacuran di Kabupaten Bantul, DIY yang masih menjadi kontroversi mengingat banyaknya kasus salah tangkap pada perempuan karena dugaan sebagai pelacur. Oleh karena itu, partisipasi perempuan sangat diperlukan dalam memperjuangkan haknya. Salah satunya yaitu melalui representasi di dalam parlemen agar bisa menyuarakan perspektif perempuan dalam setiap kebijakan pemerintah. Namun, apabila kuota 30% kursi parlemen bagi perempuan sudah terpenuhi, apakah nantinya akan benar efektif dimanfaatkan dalam menyuarakan hak-hak perempuan? Perempuan muda: lebih dari sekadar “hak pilih” Bagi beberapa perempuan di lingkungan terdekat saya, partisipasi politik sangat ditentukan oleh laki-laki. Dalam pelaksanaan pemilu misalnya, suara mereka bergantung pada pilihan suami atau ayah. Sedangkan bagi teman-teman mahasiswa saya yang bisa dikatakan sebagai “anak muda”, kebanyakan tidak peduli dengan isu politik. Politik sering dianggap tidak dekat dengan kehidupan perempuan dan anak muda. Sewaktu saya berbincang dengan seorang teman sesama mahasiswa mengenai isu politik, dia langsung berargumen bahwa politik itu kotor dan kejam. Ketika saya tanyakan tentang apa politik itu sendiri, dia hanya diam lalu mengulangi perkataannya bahwa politik itu kotor dan kejam. Walaupun saya sendiri mahasiswa bidang ilmu sosial, saya tidak pernah benar-benar paham mengenai apa itu politik. Seorang teman berkata pada saya bahwa politik itu terkait segala hal yang berhubungan dengan khalayak banyak. Ada juga teman lain yang berpendapat bahwa politik itu berhubungan dengan kekuasaan. Bahkan sewaktu saya tanyakan mengenai apa itu politik pada teman yang lain, ada juga yang memaknai pengertian politik dengan “uang”. Stigma buruk mengenai politik yang masih tertanam dalam pikiran anak muda membuat mereka acuh terhadap isu politik. Bahkan, saya sendiri sering merasa sebagai perempuan yang masih muda, tidak seharusnya membicarakan isu politik. Sebelumnya, saya beranggapan bahwa politik hanya urusan para orang tua yang kebanyakan laki-laki. Anggapan mengenai politik sebagai arena laki-laki juga saya temukan disebuah penggalan paragraf dalam Women in Parliament: Beyond Numbers(2005), yang memunculkan perjuangan perempuan ditengah dominasi laki-laki dalam parlemen. “Once women entered parliament, their struggle was far from over. In parliament, women enter a male domain. Parliaments were established, organized and dominated by men, acting in their own interest and establishing procedures for their own convenience. There was no deliberate conspiracy to exclude women. It was not even an issue. Most long-established parliaments were a product of political processes that were male-dominated or exclusively male. Subsequent legislatures were, for the most part, modelled on these established assemblies. Inevitably, these male dominated organizations reflect certain male biases, the precise kind varying by country and culture. Until recently, this "institutional masculinity" has been an invisible characteristic of legislatures; it was embedded, pervasive and taken for granted. Only recently have legislatures' masculine biases come under scrutiny. Indeed, in most countries, the political role of women in legislatures has become a public issue only in the second half of the twentieth century.”(Kazam: 2005) Berbagai stigma tersebut yang mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak dari teman saya yang kemudian menarik diri dari partisipasi politik, seperti tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Negara Indonesia sudah menjamin dua hak demokratik untuk memilih dan mencalonkan diri bagi seluruh warganya. Dalam, pelaksanaan pemilu, setiap suara yang kita sumbangkan dinilai satu, tanpa adanya bias gender, tua maupun muda, ataupun status kedudukan masing-masing pribadi. Oleh karena itu, sudah seharusnya kesempatan tersebut digunakan dan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh kaum perempuan. Namun, apakah menyumbangkan suara saja sudah cukup? Dalam pemilu, partsipasi politik perempuan melibatkan lebih dari sekadar suara. Partisipasi politik bisa meliputi banyak hal, terkait kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan asosiasi; mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik; dan kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon, berkampanye, serta untuk memegang jabatan di semua tingkat pemerintahan[5]. Hampir setiap negara sudah mengakui dan menjamin bahwa, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek dari proses politik. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan hak tersebut seoptimal mungkin. Walaupun dalam praktiknya, bagi sebagian perempuan masih sulit untuk menggunakan hak tersebut. Namun, sebagai perempuan muda, banyak akses yang memudahkan kita untuk berpartisipasi lebih dari sekadar menyumbangkan suara dalam pemilu. Anak muda sering disebut dengan generasi melek teknologi. Melalui perkembangan teknologi yang begitu cepat, perempuan muda dapat memanfaatkan media sosial (internet) untuk meningkatkan jangkauan yang semakin luas, cepat dan efisiensi komunikasi dalam partisipasi politik. Selain pemanfaatan dalam partisipasi politik, media sosial juga bisa digunakan oleh perempuan muda dalam usaha perjuangan hak-hak perempuan. Semisal, melalui petisi online untuk mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU PRT atau petisi untuk menolak sunat pada perempuan. Referensi Karam, Azza and Julie Ballington. 2005. "Women in Parliament: Beyond Numbers". IDEA International Publications. Parawansa, Khofifah Indah. 2002. Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia. IDEA International Publications. United Nations. 2005.“Women and Elections: Guide to promoting the participation of women in elections”. UN Press. Catatan Belakang: [1] Lihat visi misi dan program aksi Joko Widodo dan Yusuf Kala dalam Pemilu RI periode 2014-2019 [2]Diambil dari "Women's Suffrage: A World Chronology of the Recognition of Women's Rights to Vote and to Stand for Election" di www.ipu.org/wmn-e/suffrage.htm. [3] Lebih lanjut dalam artikel “Perempuan dan Perjuangan Parlementer” di http://www.berdikarionline.com/opini/20140329/gerakan-perempuan-dan-perjuangan-parlementer.html [4]Diambil dari tulisan Khofifah Indar Parawansa, "Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia", yang dimuat di IDEA International 2002. [5]United Nations. 2005. “Women and Elections: Guide to promoting the participation of women in elections”. UN Press. Sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sudah menempuh lebih dari 100 sks, saya wajib mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) sebagai salah satu syarat kelulusan. Bagi sebagian besar mahasiswa UGM, KKN menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu. Kami diperbolehkan membentuk tim sendiri dan memilih lokasi yang kami inginkan, di pelosok manapun dari Aceh sampai Papua. Saya belajar di Fakultas Filsafat, yang termasuk didalam klaster Sosio-Humaniora. Oleh karena itu, letak Fakultas saya berdekatan dengan kampus Sosio-Humaniora lainnya seperti Fisipol, Hukum, Ilmu Budaya, Ekonomika dan Bisnis serta Psikologi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa saya jarang bertemu dengan mahasiswa dari klaster lain seperti Agro, Kesehatan dan Teknik. Melalui KKN inilah kami, seluruh mahasiswa UGM dari berbagai klaster disatukan dalam berbagai tim yang terdiri dari 20-30 mahasiswa untuk belajar pada masyarakat selama kurang lebih 50 hari. Saya mengikuti KKN UGM periode 2013 di Pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan 27 rekan dari tiga klaster yaitu Sosio-Humaniora, Agro dan Teknik, tim KKN kami mengusung tema “Inventarisasi Budaya”. Untuk sampai ke Alor, kami menghabiskan waktu 2-3 hari perjalanan dari Yogyakarta. Memang terdengar sangat lama, dan sesungguhnya ada cara yang lebih cepat untuk menuju ke Alor. Namun setelah melalui jalur udara dari Surabaya menuju Kupang, kami ber 27 dan satu dosen pemimbing lapangan memilih jalur laut selama 18 jam dari Kota Kupang menuju Pulau Alor. Sesampainya di Alor, sebagian besar dari kami yang belum pernah bepergian ke Indonesia bagian Tengah atau Timur, merasa belum bisa beradaptasi dengan kondisi alam dan masyarakat setempat. Masyarakat Alor masih memelihara adat dan tradisi dari leluhurnya. Menurut tradisi yang ada, setiap tamu yang akan tinggal beberapa waktu di sana harus disambut dengan baik dan “diangkat” menjadi keluarga. Sistem “anak angkat” yang mengharuskan kami terpisah satu sama lain dan tinggal bersama orang tua angkat masing-masing, sangat membantu proses adaptasi kami. Saya tinggal di desa Sebanjar, Kecamatan Alor Barat Laut dan diangkat anak oleh keluarga Djasa Samiun. Selama hampir lima puluh hari tinggal bersama, saya mengamati keluarga saya hidup dengan cara yang sederhana serta selalu mematuhi adat istiadat yang berlaku. Bapak angkat saya sangat disegani oleh anggota keluarga lainnya di rumah. Bapak mempunyai dua istri, saya memanggilnya dengan sebutan Mama Kecil dan Mama Besar karena ukuran tubuh mereka yang berbeda cukup signifikan. Baru beberapa hari tinggal bersama, saya merasa sedikit aneh dan kurang paham dengan cara hidup keluarga angkat saya, yang mungkin juga merepresentasikan cara hidup masyarakat Alor. Bapak saya lebih banyak di rumah untuk menonton televisi atau duduk di pinggiran rumah. Sesekali bapak pergi beberapa jam dan kembali lagi ke rumah, namun hal itu jarang terjadi. Sedangkan dua mama angkat saya terlihat lebih sering di rumah kecuali pagi hari. Mama kecil banyak menghabiskan waktunya mengurus jagung-jagung dalam “rumah lumbung” yang sisanya digantung di atap dapur. Sedangkan mama besar bertugas mengurus kebun sayuran di samping dan belakang rumah. Disamping itu, mereka berdua juga mengurus beberapa pekerjaan rumah lainnya seperti memasak, mencuci atau membersihkan rumah. Waktu KKN kami kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan. Terdapat dua kepercayaan yang dianut mayoritas masyarakat Alor yaitu, Islam dan Kristen. Orang islam tinggal di pesisir, sedangkan orang kristen tinggal di gunung. Kami tinggal di pesisir, oleh karena itu kami yang sebagian besar muslim menjalankan ibadah dan berbagai perayaan bulan ramadan bersama-sama warga. Terdapat kebiasaan atau mungkin bisa disebut tradisi masyarakat Alor untuk berkumpul, berbincang dan makan di dalam masjid setelah salat tarawih. Saya dan teman-teman lain memutuskan ikut berbincang-bincang di dalam masjid. Saya baru sadar kalau tidak ada perempuan lain yang ikut duduk di dalam masjid selain saya dan teman perempuan lain dari tim KKN saya. Setelah mengamati beberapa saat, yang menjadi perhatian saya adalah beban para mama dalam kebiasaan ini. Para mama menyiapkan makanan di dapur-dapur, lalu menyajikannya ke dalam masjid agar bapak-bapak bisa memakannya sambil mengobrol. Saya melihat beberapa mama hanya berdiri di belakang jendela masjid sambil melihat kami yang di dalam masjid berbincang. Setelah kami selesai berbincang, barulah para mama masuk untuk membereskan piring dan makan bila mungkin ada yang tersisa. Karena rasa penasaran saya pada cara hidup masyarakat Alor, saya menanyakan pada teman-teman lain bagaimana pengalaman mereka tinggal bersama keluarga angkatnya. Kebanyakan dari keluarga teman-teman saya juga memiliki pola yang sama, yaitu peran mama lebih “aktif” dalam mengurus rumah tangga. Memang ada beberapa yang tidak, namun hanya sedikit diantara keluarga angkat kami. Terkadang mama besar membawa saya jalan-jalan. Beberapa kali kami pergi ke pasar tradisional yang diadakan hanya dua kali seminggu. Sesekali mama juga membawa saya ke rumah perempuan penenun di dekat rumah pada siang hari. Dan setiap sore sebelum waktu buka puasa, mama selalu mengajak saya memasak. Mama memperlihatkan saya bagaimana memilih sayur yang baik, memetik buah, menumbuk jagung atau mengolah hasil tangkapan ikan dari laut. Saya yang sebelumnya tidak bisa memasak, “dipaksa” mama belajar mengolah dedaunan menjadi sup yang bisa dimakan, menumbuk biji kenari menjadi sepotong kue, serta mol (sejenis menggiling) jagung supaya bisa dicampur dengan beras untuk ditanak. Setiap hari mama selalu membangunkan saya dari tidur siang untuk memasak karena dia memahami memasak sebagai kodrat perempuan. Kehidupan tidak akan bisa berjalan bila manusia tidak punya energi, maka manusia harus makan dan minum. Uniknya, kemampuan mengolah makanan menurutnya diturunkan sebagai “kerja perempuan”. Semakin lama saya tinggal, semakin saya mengagumi mama angkat saya dan perempuan Alor lainnya. Dipertengahan KKN, saya menderita sakit perut yang lumayan hebat. Saya pikir, mungkin disebabkan karena sambal Alor yang sangat pedas dan asam, yang saya campur dengan sup daun kelor tiap harinya. Beberapa teman akhirnya menemani saya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Hanya ada satu Rumah Sakit Pemerintah di Pulau Alor yang jaraknya sekitar 1-2 jam dari desa saya. Karena oto (angkutan umum) sangat jarang melewati desa kami, maka seringkali kami menyewa sepeda motor warga untuk pergi ke kota. Sesampainya di rumah sakit, saya berkonsultasi dengan dokter muda yang kebetulan sama-sama dari Yogyakarta. Setelah memeriksa saya, dokter bilang mungkin gejala usus buntu. Namun dia hanya memberi beberapa antibiotik dan penahan rasa sakit, yang sewaktu saya tebus tidak lebih dari sembilan ribu rupiah. Saya menanyakan apakah mungkin dilakukan operasi? Dia menyarankan untuk tidak buru-buru melakukan operasi karena tidak ada satupun dokter spesialis di Pulau Alor. Saya sungguh kaget, entah karena waktu itu menjelang Idul Fitri sehingga para dokter yang sebagian besar perantau pulang ke Jawa, atau memang tidak pernah ada sama sekali? Saya lupa menanyakannya. Walaupun sudah mendapat obat dari dokter, saya masih was-was bila penyakit saya tidak kunjung membaik. Tidak disengaja saya bertemu dengan seorang mama sepulang dari rumah sakit. Berawal dari perkenalan dan perbincangan sederhana, saya menceritakan sakit yang sedang saya alami dibagian perut kanan. Saya sedikit kaget dan kurang percaya ketika mama tersebut bilang, dia tahu obat untuk penyakit saya. Dia melihat ke sekeliling dan mencabut rerumputan berwarna ungu dan memberikan kepada saya untuk dijemur hingga kering, lalu direbus dengan pinang kering. Entah dari mana resep tersebut dia dapatkan, namun saya pikir tidak ada salahnya mencoba obat tradisional setempat. Saya tidak begitu khawatir meminumnya ketika mama tersebut bilang dia sendiri pernah mencobanya dan berhasil. Alhasil, percaya tidak percaya sejak hari itu saya tidak lagi merasa sakit di perut bagian kanan. Pengalaman berinteraksi dengan perempuan Alor mengingatkan saya kepada tulisan Vandana Shiva yang menyuarakan ekofeminisme. Dalam salah satu bukunya, Bebas dari Pembangunan dia bicara mengenai pekerjaan perempuan di India untuk memproduksi dan mereproduksi kehidupan yang akhirnya dianggap “kurang produktif”. Di Alor, perempuanlah yang mewarisi kemampuan mengambil biji jagung langsung dari wajan panas yang terbuat dari tanah liat, lalu menumbuknya di atas batu, serta menjadikannya jagung titi yang selalu tersedia setiap sore di atas meja makan. Hanya para mama yang mampu mengingat bagaimana daun kelor yang tumbuh di depan rumah bisa jadi santapan lezat. Melalui perempuan juga, masyarakat Alor mengingat bagaimana cara meramu rumput, daun atau pinang menjadi obat yang bisa menyembuhkan sakit. Memang, kita tidak bisa mengesampingkan peran bapak seperti, memancing atau menombak ikan di laut. Namun perlu diingat, para mama yang mempunyai ingatan dan pengetahuan untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang bisa dimakan. Menurut Shiva, pekerjaan-pekerjaan yang seringkali tidak tampak ini sangat erat dengan alam dan kebutuhan. Perempuan melestarikan alam melalui pemeliharaan siklus ekologi, melestarikan kehidupan manusia melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar akan pangan, gizi dan air. Namun, perendahan serta kurangnya penghargaan terhadap pekerjaan perempuan tersebut yang akhirnya menciptakan pemahaman akan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Tinggal bersama masyarakat selama hampir dua bulan, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan Alor mempunyai peran yang signifikan dalam merawat alam. Walaupun, akhirnya saya sendiri mempertanyakan rasa kagum saya pada “kerja perempuan” yang menurut mereka sudah diwariskan dan dijalankan sejak lama. Seperti dalam kebiasaan setelah salat tarawih, perempuan tidak diizinkan atau sebaiknya tidak ikut berkumpul di dalam masjid. Pada saat itu, walaupun saya perempuan, saya dibiarkan masuk. Menurut pendapat pribadi saya, hal tersebut mungkin karena mereka menilai saya sebagai “perempuan dari Jawa” yang dianggap berpendidikan. Saya berpikir, apakah bila semua perempuan Alor mendapatkan akses pendidikan tinggi seperti saya, mereka juga akan mendapatkan “hak istimewa” seperti saya untuk duduk berbincang di dalam masjid setelah salat tarawih? Pada akhirnya saya buntu pada pemikiran untuk membiarkan “kerja perempuan” di Alor—dengan banyaknya beban kerja serta kurangnya penghargaan pada perempuan—sebagai usaha penghargaan dan pelestarian tradisi, atau memberikan pemahaman mengenai pilihan untuk menentukan sendiri kerja seperti apa yang masing-masing mereka inginkan? Saya bertemu Meron Kasahun, seorang mahasiswi keturunan Etiopia dari Brynmawr College, Amerika Serikat melalui program kelas riset dan magang musim panas di Yogyakarta. Meron belajar antropologi dan fokus pada isu kesehatan masyarakat. Namun, dalam program magang yang kami ikuti, tidak ada pilihan LSM yang sesuai dengan minat Meron. Kami lantas mendapat kesempatan magang di tempat yang sama, yaitu di Rumpun Tjoet Njak Dhien (RTND) yang fokus pada isu mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pada hari pertama magang, saya dan Meron diterima dengan sangat baik. Pengurus LSM dan para pekerja rumah tangga yang kebanyakan ibu-ibu sangat senang berbincang dengan kami. Sementara saya sibuk berbincang, Meron terlihat sibuk sendiri dengan kamera handphone-nya memotret kandang ayam di samping sebuah rumah serta beberapa tumpukan sampah di sekitarnya. Awalnya saya khawatir Meron tidak menikmati proses magang, karena ketertarikannya pada isu kesehatan masyarakat bukan pada isu PRT. Namun saya kemudian tahu kalau ibu Meron pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Arab Saudi selama 12 tahun. Oleh karena itu dia mulai tertarik pada isu pekerja rumah tangga yang ada di Indonesia. Sedangkan ibu saya, juga seorang pekerja rumah tangga yang bekerja di Kota Pontianak, Kalimantan Barat sejak dua tahun lalu. Selama magang di RTND, saya dan Meron terlibat dalam berbagai kegiatan dengan pekerja rumah tangga seperti berkumpul untuk sekadar berbagi cerita ataupun diskusi. Selain itu, kami juga mengajar Bahasa Inggris di Sekolah PRT, salah satu program RTND yang bekerjasama dengan berbagai LSM di Yogyakarta atau disebut JP-PRT (Jaringan Perlindungan-Pekerja Rumah Tangga). Hal ini membuat saya paham akan kondisi yang mungkin ibu saya juga sedang alami. Saya sedikit kaget ketika para perempuan pekerja rumah tangga yang rata-rata berusia 30-50 tahun, meminta saya dan Meron mengajari mereka Bahasa Inggris setiap malam. Pada mulanya saya pikir, ada sebagian dari mereka yang punya minat untuk bekerja di luar negeri. Namun setelah saya tanyakan ternyata tidak ada sama sekali dari mereka yang tertarik bekerja di luar negeri. Saya masih tidak habis pikir mereka yang harus bekerja pada siang hari serta harus mengurus pekerjaan rumahnya sendiri, masih mau dan sempat datang pada malam hari untuk belajar Bahasa Inggris bersama saya dan Meron. Kekaguman saya pada para perempuan di sekolah PRT, serta Meron dengan isu kesehatan masyarakat di Indonesia, akhirnya mendapat titik temu sewaktu kami datang dalam diskusi rutin kelompok kerja PRT. Sepanjang perkumpulan kami tidak banyak menemukan hal istimewa. Mereka hanya duduk berkumpul, arisan, makan atau hanya bicara banyak hal “remeh” mengenai kehidupan sehari-hari. Kemudian salah seorang perempuan mencoba menarik perhatian yang lain untuk memperhatikannya. Dia mengambil setumpukan kartu seukuran kartu ATM dari dalam tasnya lalu memulai pembicaraan“Ini loh ibu-ibu, saya bukan lagi kampanye…Tapi kalo nanti Pak Jokowi menang, kita bakal dapat kartu ini”. Meron yang baru datang ke Indonesia sekitar dua minggu, serta belum bisa berbahasa Indonesia merasa penasaran lalu meminta saya menerjemahkan apa yang dikatakan perempuan tadi. Perempuan tersebut mencoba mengenalkan “contoh” kartu Indonesia Sehat dan Pintar bila kandidat presiden Joko Widodo terpilih. Kami berdua langsung teringat ketika Prof. Dwyer, salah satu dosen kami, di kelas bicara tentang klaim pemerintah dalam salah satu koran nasional bahwa seluruh masyarakat Indonesia kini punya jaminan kesehatan. Yang menarik bagi kami berdua bukan pada kesan keberpihakan perempuan pekerja rumah tangga pada Jokowi. Namun pada kepercayaan dan harapan mereka akan kartu Indonesia sehat dan pintar ketimbang program pemerintah yang baru-baru ini diluncurkan, yaitu BPJS-Kesehatan. Kami akhirnya sepakat untuk membuat riset mini tentang perempuan pekerja rumah tangga dan jaminan kesehatan. Saya rasa sebagian orang bila mendengar istilah PRT akan langsung mengarah kepada “pembantu rumah tangga” bukan “pekerja rumah tangga”. Sebelum mengenal penyebutan PRT, kita sering mendengar banyak istilah untuk pekerja rumah tangga seperti babu, jongos atau nyantri. Sampai kemudian, muncul variasi istilah yang dianggap lebih sopan seperti, pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga. Sejauh mana kata “pekerja” dalam penyebutan PRT dianggap penting? Dan, mengapa para perempuan pekerja rumah tangga masih memperjuangkan status mereka menjadi pekerja rumah tangga? Dalam pekerjaannya, perempuan pekerja rumah tangga membutuhkan fisik yang sehat. Mengingat pada “status” pekerjaannya yang belum juga mendapat pengakuan, kini para perempuan pekerja rumah tangga sedang memperjuangkan status PRT sebagai pekerja formal. Sehingga, memungkinkan PRT memperjuangkan haknya untuk mendapat perlindungan hukum yang lebih baik. Berbagai persoalan mulai dari kekerasan atau bahkan pelecehan seksual sering menimpa perempuan pekerja rumah tangga. Tidak adanya deskripsi yang jelas mengenai beban dan jam kerja juga membuat perempuan pekerja rumah tangga erat dengan isu kesehatan. Namun sampai saat ini masih belum jelas, siapa yang harus peduli dan harus menjamin kesehatan perempuan pekerja rumah tangga? Bermula dari pertanyaan di atas, saya dan Meron menemui Laksmi, seorang teman dari Fakultas kedokteran UGM sekaligus relawan di LSM Rifka Annisa, Yogyakarta. Mulai dari obrolan mengenai BPJS-Kesehatan yang baru-baru ini diluncurkan sampai pada isu kesehatan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia. Saya sedikit kaget ketika Laksmi bicara mengenai penyakit kanker serviks dan kanker payudara yang menjadi salah satu ancaman bagi perempuan. Seorang perempuan yang mengidap kanker harus melakukan kemoterapi, yang biasanya hanya bisa dilakukan di beberapa rumah sakit besar, banyak perempuan yang tinggal di desa harus menempuh jarak yang jauh, belum lagi tantangan untuk antre. Menurut Laksmi, rumah sakit yang menerima jaminan kesehatan dari pemerintah seperti BPJS seringkali penuh, terutama untuk ruang rawat inap kelas III. Selain harus menunggu sampai waktu yang tidak tentu, mereka harus memikirkan biaya-biaya lain seperti transportasi dan biaya akomodasi lainnya untuk setiap kali kemoterapi yang harus mereka jalani. Apakah jaminan kesehatan yang dijanjikan pemerintah juga menanggung semua biaya tersebut? Saya kira tidak. Jadi, tidak heran mengapa banyak perempuan dengan gejala-gejala kanker memilih untuk tidak memeriksakannya. Selain persoalan biaya, minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi yang mereka miliki juga menjadi alasan mengapa mereka baru datang memeriksakannya dengan kondisi yang sudah semakin parah. Beberapa kali datang ke Sekolah PRT, saya menemukan stiker pemeriksaan payudara (self check) terpasang di pintu kamar mandi. Di samping itu, setelah melihat kurikulum pembelajaran sekolah PRT, mereka juga mendapatkan kelas kesehatan reproduksi. Perempuan pekerja rumah tangga yang berada pada kelas menengah atau mungkin menengah kebawah sangat berisiko akan berbagai persoalan kesehatan. Perempuan pekerja rumah tangga di sekolah PRT kini sedang mengusahakan hak mereka untuk mendapatkan BPJS dengan kategori PBI (Penerima Bantuan Iuran) atau kategori tanpa iuran. Ibu saya yang juga bekerja sebagai full time pekerja rumah tangga tidak mempunyai banyak waktu untuk bisa bertemu atau berkomunikasi dengan saya kecuali saat Idul Fitri. Saya melihat banyak perbedaan antara perempuan pekerja rumah tangga di sekolah PRT tempat saya magang dengan ibu saya yang sama-sama seorang pekerja rumah tangga. Sewaktu ibu menelepon, saya menceritakan pengalaman saya belajar dan bekerja bersama perempuan pekerja rumah tangga di Yogyakarta. Saya bercerita tentang mereka yang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan, sehingga mereka tahu hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Belajar dari apa yang saya dapatkan di Sekolah PRT, saya menyarankan ibu saya membuat kontrak kerja dengan pihak pengguna jasa (biasa disebut majikan) terkait dengan upah, beban dan deskripsi kerja, jaminan kesehatan serta hari libur. Namun ibu saya terkesan tidak tertarik. Dia malah mengalihkan pembicaraan dan memilih bicara hal lain seperti,“Apakah uang bulanan masih cukup?”, “Kapan wisuda dan sudah tahu mau kerja apa?”.Saya terus memaksa ibu saya untuk mempertimbangkan apa yang saya sampaikan. Akhirnya dia berkata,“Sudahlah, sudah mending diberi kerja dan dapat upah. Jadi orang harus banyak bersyukur.” Saya berhenti memaksa pembicaraan mengenai kontrak kerja serta tidak pernah lagi mencoba membahasnya sampai sekarang. Setelah sekitar lima minggu magang di Sekolah PRT, saya bersama Meron mendapatkan banyak pengalaman dan kesempatan berinteraksi dengan para pekerja rumah tangga disana. Kami berbincang dengan beberapa pekerja rumah tangga dan pengguna jasa mengenai pendapat mereka tentang siapa yang harus peduli dan berkewajiban menjamin kesehatan PRT? Dari perbincangan tersebut, saya dan Meron sedikit kaget karena hampir semua responden baik perempuan pekerja rumah tangga maupun pengguna jasa berpendapat bahwa kesehatan perempuan pekerja rumah tangga merupakan tanggung jawab pengguna jasa. Namun hal tersebut sangat bertolak belakang karena ketika kami menanyakan apakah ada dari mereka yang mengasuransikan atau mengusahakan jaminan kesehatan bagi PRT-nya? Tidak ada. Saya pikir, kalaupun pemerintah atau pengguna jasa yang akhirnya harus peduli dan berkewajiban untuk menanggung jaminan kesehatan perempuan pekerja rumah tangga, kembali pada pengalaman ibu saya, apakah dia juga bisa menikmati haknya tersebut? Karena sewaktu saya memberikan saran untuk mencoba membicarakan haknya pada pengguna jasa, ibu saya bahkan tidak tertarik sama sekali. Saya yakin hal serupa juga terjadi pada banyak perempuan pekerja rumah tangga lain yang masih belum sadar dan peduli akan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Mungkin yang ibu saya butuhkan yaitu memulai berkumpul dengan para perempuan lain dengan persoalan yang sama. Saya belajar dari para perempuan di sekolah PRT, bagaimana mereka berinteraksi walau hanya sekadar duduk berkumpul, bicara tentang kehidupan sehari-hari, arisan, atau sekadar makan, yang awalnya saya anggap remeh. Dimulai dari pembicaraan yang terkesan remeh, hal tersebut dapat menjadi suatu langkah awal untuk membuka pemahaman mengenai perjuangan hak-hak mereka sebagai pekerja rumah tangga. Saya menulis karena saya sudah terlalu gerah dengan suara-suara yang lantang meneriakkan kenormalan di masyarakat kita. Normal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan yang tidak menyimpang, menurut aturan atau pola yang umum. Sedangkan abnormal artinya tidak sesuai dengan keadaan yang biasa/umum. Mengacu pada pengertian di atas maka sesuatu baru dianggap normal jika berjumlah banyak. Jika jumlahnya sedikit maka dia adalah abnormal. Contohnya ketika perempuan menikah di usia 20 – 25 tahun maka dia dianggap normal, lebih dari usia tersebut, suara-suara miring makin terdengar nyaring. Memang saya setuju bukan tanpa alasan kebanyakan orang menyuarakan agar menikah di rentang usia tersebut, masa produktif perempuan yang terbatas adalah faktor utama kenapa menikah seperti sebuah perlombaan, berlomba-lomba memproduksi keturunan sebelum masa produksi habis. *** Lebaran merupakan momen penting bagi keluarga. Selain bersilaturahmi juga menjadi ajang bullying terhadap saudara perempuan yang belum menikah. Meski diucapkan dengan guyonan, tak pelak ajang lebaran seringkali membuat perempuan yang belum menikah menjadi ketar-ketir, mereka menjadi enggan bertemu dengan keluarga. Dampak psikologis mungkin tak pernah terpikirkan oleh mereka yang gencar menyuruh menikah. Banyak perempuan menjadi tidak produktif karena hidupnya hanya memikirkan cara agar lebaran tahun berikutnya sudah mempunyai pendamping. Perempuan yang tinggal di perkotaan jauh lebih santai, dengan wawasan dan sudut pandang yang sudah luas maka mereka tidak merasa terburu-buru. Lain halnya dengan perempuan yang hidup di desa, sudut pandang yang masih sempit menjadikan mereka seperti bertaruh dengan usia dan harga diri keluarga di dalam masyarakat. Menikah bukan lagi upacara sakral, tapi sebuah upacara yang terburu-buru. Alasan pernikahan pun menjadi beragam, dari mulai ingin meningkatkan status sosial, ingin punya anak, takut tidak ada jodoh lagi, menghindari omongan kerabat dan tetangga, sampai status klasik yaitu ingin melegalkan cinta. Definisi pernikahan di indonesia menurut UU no 1 tahun 1974 adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi ini menurut saya terlalu sempit dan terbatas. Yang kemudian tergambar oleh calon pengantin adalah terburu-buru membuat keturunan, tanpa menikmati arti ikatan tersebut. Dalam Undang-undang tersebut seolah-olah dibenarkan jika pernikahan dilakukan dengan paksaan, pernikahan dengan yang belum matang pun sepertinya dibolehkan, karena hanya berdasarkan perbedaan jenis kelamin, ada pria ada wanita maka boleh dilangsungkan pernikahan. Menikah artinya bersatu. Bersatunya tubuh. Bersatunya pemikiran. Menikahi kebiasaan pasangan, baik atau buruk. Bercumbu seharusnya tidak melulu mengenai fisik, orgasme bisa dilakukan ketika kita saling berdiskusi, atau ketika kita saling berargumen. Tetapi kata orgasme menjadi sangat dangkal, dibatasi oleh aturan halal dan haram, sebatas fisik dan sentuhan. Perempuan-perempuan yang menikah di usia 30 ke atas mendapat label perawan tua. Apakah begitu menjijikkan tubuh perempuan? Sehingga pelabelan itu kerap diterapkan oleh perempuan itu sendiri, ibunya, tetangganya yang perempuan, kerabatnya yang juga perempuan, seperti kita tahu, perempuan banyak dijatuhkan oleh kaumnya sendiri. Hal ini digambarkan dengan gamblang dalam novel-novel karya Oka Rusmini. Seperti petikan kalimat di novel Sagra“Mengapa perempuan itu tidak menggunakan bahasa perempuan? Mengapa bahasa yang mereka gunakan bahasa laki-laki? Suara laki-laki. Hasil pemikiran laki-laki. Yang mana bahasa mereka hanya bisa menyudutkan bahasa perempuan”. Setiap makhluk mempunyai fase sendiri, perempuan yang menikah dan punya anak di usia kurang dari 25 tahun akan segera mencibir temannya yang belum menikah, berbicara dengan lantang, bahwa dia lebih beruntung. Fase mempunyai harga tersendiri, fase tidak bisa disetarakan satu sama lainnya, jadi kita tidak bisa dengan lugas berbicara bahwa fase kita lebih baik hanya karena kita menikah lebih dulu karena pernikahan bukan perkara sehari atau dua hari hidup dengan pasangan, tetapi sepanjang hidup, sampai ajal menjemput. *** Beberapa opini yang banyak berkembang di masyarakat adalah : Menikah=normal, tidak menikah=tidak normal, menikah dan punya anak = normal, menikah dan tidak punya anak = tidak normal. Stigma tersebut berhasil dibuat oleh sebagian besar masyarakat. Isu massal yang ditiupkan ke segala penjuru ini sukses dan bahkan telah mengakar di setiap keluarga. Beberapa orang yang kritis terhadap stigma ini pun tidak bisa berbuat banyak, kebanyakan dari mereka menyerah karena diharuskan sopan pada leluhur dan harus takluk pada agama. Seharusnya makna pernikahan tidak hanya membuat nama istri dibubuhi nama belakang suami, juga tak sesempit menghasilkan keturunan yang biasanya dibubuhi nama dengan nama belakang ayahnya, tetapi mampu menghasilkan pemikiran dan idealisme yang baru, melahirkan generasi yang bisa mewarisi pemikiran yang kritis, buah dari dua kepala yang disandarkan pada satu bantal. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |