Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kesempatan magang di Sekolah PRT DIY, yang merupakan salah satu program LSM Rumpun Tjoet Njak Dien, yang fokus pada isu PRT. Pada tanggal 30 Juni 2014, saya menghadiri Sekolah PRT dengan bahasan mengenai Paralegal. Sembari menunggu kelas dimulai, para pekerja rumah tangga yang kebetulan semuanya perempuan dengan usia yang masih muda, saling berbincang dan ada juga yang berjualan. Seorang perempuan menghampiri saya dengan sebuah selebaran ditangan, lalu berkata “Mbak Indri, mohon dibaca ya... Sekali lagi ini bukan kampanye loh”. Perempuan tersebut memberikan selebaran berisi perbandingan visi dan misi kedua kandidat presiden RI periode 2014-2015 mengenai perempuan. Sebelumnya saya diberi sebuah kartu dan kipas plastik bergambar wajah dari salah satu kandidat presiden. Para pekerja rumah tangga juga sempat mengumpulkan koin sukarela untuk membantu pendanaan kampanye salah satu kandidat presiden. Berbagai aksi yang dilakukan para perempuan pekerja rumah tangga untuk menyukseskan salah satu kandidat presiden membuat saya bertanya-tanya. Apakah yang membuat perempuan-perempuan tersebut begitu peduli? “Mungkin hidup saya dan para PRT lain bisa lebih baik mbak, bila beliau terpilih” Itulah jawaban salah satu perempuan, ketika saya tanyakan mengapa mereka begitu peduli pada pemilu kali ini? Menurutnya, visi dan misi yang diusung salah satu kandidat lebih “pro perempuan”. Selain itu mereka yakin bahwa kandidat tersebut mampu membantu pekerja rumah tangga untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hal itu dikarenakan dalam visi dan misinya, salah satu kandidat berkomitmen menginisiasi pembuatan peraturan perundangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri[1]. Mereka percaya, satu suara yang mereka sumbangkan pada salah satu kandidat, bisa membawa perubahan pada hidup perempuan Indonesia. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019 dilaksanakan tanggal 9 Juli 2014. Wajar bila saat itu, isu mengenai pemilu menjadi topik pembicaraan yang hangat dimanapun. Pada periode sebelumnya, usia saya belum genap 17 tahun sehingga saya belum mempunyai hak pilih. Sebagai pemilih pemula, saya justru merasa kurang begitu tertarik dengan isu pemilu. Sebelumnya, saya tidak peduli siapa yang akhirnya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Apalagi, sebagai mahasiswa yang harus ngekos jauh dari daerah asal atau yang tertera di KTP, saya harus mengurus formulir A5 untuk bisa memilih di daerah tempat saya tinggal. Dilihat dari banyaknya teman sesama mahasiswa yang akhirnya memilih menjadi golput ketimbang mengurus formulir A5, menunjukkan ketidakpedulian dan tidak tertariknya mereka pada isu pilpres. Berangkat dari kepercayaan perempuan PRT pada satu suara yang bisa membawa perubahan besar pada hidup perempuan, saya yang juga seorang perempuan akhirnya merasa tertarik dan ingin terlibat dalam perjuangan tersebut. Saya kemudian mencari tahu lebih lanjut mengenai keterlibatan perempuan dalam isu politik. Suara perempuan Di awal abad ke ke-21, lebih dari 95 persen negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar yaitu, hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election)[2].Meskipun kedua hak tersebut sudah diakui oleh banyak negara sebagai hak dasar manusia tanpa adaya bias gender, bagi perempuan hak tersebut didapat melalui proses perjuangan yang panjang. Namun, perlu diketahui bahwa sampai saat ini beberapa negara masih belum mengakui hak pilih perempuan. Semisal, Arab Saudi yang baru menjanjikan hak pilih bagi perempuan pada tahun 2015. Di Indonesia, perjuangan hak pilih bagi perempuan dimulai pada tahun 1930-an. Gerakan perempuan Indonesia pada waktu itu mulai menyuarakan hak pilih bagi perempuan. Adapun dalam Kongres Perempuan Indonesia III yang diselenggarakan pada tahun 1938 di Bandung, wacana mengenai hak pilih bagi perempuan masuk sebagai agenda pembahasan. Walaupun begitu, hak dipilih dan memilih bagi perempuan Indonesia baru diperoleh setelah Indonesia meraih kemerdekaannya[3]. Namun, setelah perjuangan untuk mendapatkan hak pilih telah selesai dan negara telah mengakuinya. Muncul pertanyaan lagi, tentang bagaimana para perempuan memaknai dan memanfaatkan hak pilih tersebut? Selepas pelaksanaan pemilu pada 9 Juli 2014, saya berkunjung ke rumah sepupu perempuan saya yang baru saja menikah. Ketika kami sedang duduk santai di depan televisi, muncul pembahasan mengenai rekapitulasi pemilu di berita. Spontan saya bertanya pada sepupu saya “Eh, 9 Juli kemarin milih gak kak?”. Tidak diduga, dia langsung bicara dengan nada bersemangat mengenai pilihannya pada pemilu kemarin. Saya sedikit heran karena sebelumnya sepupu saya tidak pernah tertarik dengan isu politik. Namun kali ini dia terkesan sangat peduli dan bersemangat mendukung salah satu kandidat. Setelah saya tanyakan, akhirnya saya tahu kalau keberpihakannya didasarkan atas pilihan suaminya. Saya menemukan begitu banyak kasus serupa dalam keluarga saya maupun lingkungan sekitar saya, seperti tetangga atau beberapa teman saya. Mungkin hal itu dikarenakan saya tinggal di desa, yang masih menjaga tradisi-tradisi yang patriarkal. Semisal dalam rumah saya, peran seorang laki-laki sangat dominan. Oleh karena itu, ayah selalu menjadi pembuat keputusan-keputusan penting. Berbeda dengan sepupu saya yang menggunakan hak pilihnya, namun didasarkan atas pilihan orang lain. Beberapa teman sebaya saya yang juga perempuan lebih memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada pemilu 9 Juli kemarin. Berbagai alasan muncul seperti, malas mengurus formulir A5, tidak tertarik, atau tidak peduli sama sekali. Menurut mereka, satu suara dari mereka tidak akan berpengaruh besar pada hasil pemilu. Lagipula, siapapun yang menjadi presiden dirasa tidak akan mengubah kehidupannya. Keterwakilan perempuan dalam parlemen Setelah hak pilih bagi perempuan sudah diakui, lantas disusul dengan partisipasi perempuan dalam parlemen sebagai “lapangan perjuangan” kaum perempuan. Sejarah mengenai representasi perempuan di parlemen Indonesia diawali dalam Kongres Wanita Indonesia pertama tahun 1928. Sejak saat itu, dimulailah kesadaran perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang juga termasuk dalam bidang politik. Sejarah mencatat, 6,5 persen anggota parlemen pada pemilu pertama 1965 adalah perempuan. Sampai akhirnya pada tahun 1987 representasi perempuan dalam parlemen mencapai angka tertinggi 13 persen, setelah mengalami pasang surut sebelumnya. Indonesia yang masih menganut sistem patriarkal, menjadi salah satu alasan terbatasnya kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses berpolitik. Hal itu dikarenakan persepsi masyarakat yang masih mengotak-ngotakkan pembagian peran antara laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ranah domestik[4] Parlemen di Indonesia yang masih didominasi laki-laki memunculkan adanya wacana pemenuhan kuota 30% bagi perempuan dalam visi dan misi kedua kandidat presiden RI periode 2014-2019. Dominasi laki-laki sebagai pembuat kebijakan dapat menjadi salah satu alasan munculnya berbagai peraturan-peraturan yang dinilai tidak “ramah” terhadap perempuan. Semisal RUU PRT yang masih diperjuangkan untuk segera disahkan, yang mengalami banyak revisi karena terdapat beberapa pasal yang dinilai merugikan perempuan pekerja rumah tangga. Atau Perda No 5 Tahun 2007 tentang larangan pelacuran di Kabupaten Bantul, DIY yang masih menjadi kontroversi mengingat banyaknya kasus salah tangkap pada perempuan karena dugaan sebagai pelacur. Oleh karena itu, partisipasi perempuan sangat diperlukan dalam memperjuangkan haknya. Salah satunya yaitu melalui representasi di dalam parlemen agar bisa menyuarakan perspektif perempuan dalam setiap kebijakan pemerintah. Namun, apabila kuota 30% kursi parlemen bagi perempuan sudah terpenuhi, apakah nantinya akan benar efektif dimanfaatkan dalam menyuarakan hak-hak perempuan? Perempuan muda: lebih dari sekadar “hak pilih” Bagi beberapa perempuan di lingkungan terdekat saya, partisipasi politik sangat ditentukan oleh laki-laki. Dalam pelaksanaan pemilu misalnya, suara mereka bergantung pada pilihan suami atau ayah. Sedangkan bagi teman-teman mahasiswa saya yang bisa dikatakan sebagai “anak muda”, kebanyakan tidak peduli dengan isu politik. Politik sering dianggap tidak dekat dengan kehidupan perempuan dan anak muda. Sewaktu saya berbincang dengan seorang teman sesama mahasiswa mengenai isu politik, dia langsung berargumen bahwa politik itu kotor dan kejam. Ketika saya tanyakan tentang apa politik itu sendiri, dia hanya diam lalu mengulangi perkataannya bahwa politik itu kotor dan kejam. Walaupun saya sendiri mahasiswa bidang ilmu sosial, saya tidak pernah benar-benar paham mengenai apa itu politik. Seorang teman berkata pada saya bahwa politik itu terkait segala hal yang berhubungan dengan khalayak banyak. Ada juga teman lain yang berpendapat bahwa politik itu berhubungan dengan kekuasaan. Bahkan sewaktu saya tanyakan mengenai apa itu politik pada teman yang lain, ada juga yang memaknai pengertian politik dengan “uang”. Stigma buruk mengenai politik yang masih tertanam dalam pikiran anak muda membuat mereka acuh terhadap isu politik. Bahkan, saya sendiri sering merasa sebagai perempuan yang masih muda, tidak seharusnya membicarakan isu politik. Sebelumnya, saya beranggapan bahwa politik hanya urusan para orang tua yang kebanyakan laki-laki. Anggapan mengenai politik sebagai arena laki-laki juga saya temukan disebuah penggalan paragraf dalam Women in Parliament: Beyond Numbers(2005), yang memunculkan perjuangan perempuan ditengah dominasi laki-laki dalam parlemen. “Once women entered parliament, their struggle was far from over. In parliament, women enter a male domain. Parliaments were established, organized and dominated by men, acting in their own interest and establishing procedures for their own convenience. There was no deliberate conspiracy to exclude women. It was not even an issue. Most long-established parliaments were a product of political processes that were male-dominated or exclusively male. Subsequent legislatures were, for the most part, modelled on these established assemblies. Inevitably, these male dominated organizations reflect certain male biases, the precise kind varying by country and culture. Until recently, this "institutional masculinity" has been an invisible characteristic of legislatures; it was embedded, pervasive and taken for granted. Only recently have legislatures' masculine biases come under scrutiny. Indeed, in most countries, the political role of women in legislatures has become a public issue only in the second half of the twentieth century.”(Kazam: 2005) Berbagai stigma tersebut yang mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak dari teman saya yang kemudian menarik diri dari partisipasi politik, seperti tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Negara Indonesia sudah menjamin dua hak demokratik untuk memilih dan mencalonkan diri bagi seluruh warganya. Dalam, pelaksanaan pemilu, setiap suara yang kita sumbangkan dinilai satu, tanpa adanya bias gender, tua maupun muda, ataupun status kedudukan masing-masing pribadi. Oleh karena itu, sudah seharusnya kesempatan tersebut digunakan dan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh kaum perempuan. Namun, apakah menyumbangkan suara saja sudah cukup? Dalam pemilu, partsipasi politik perempuan melibatkan lebih dari sekadar suara. Partisipasi politik bisa meliputi banyak hal, terkait kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan asosiasi; mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik; dan kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon, berkampanye, serta untuk memegang jabatan di semua tingkat pemerintahan[5]. Hampir setiap negara sudah mengakui dan menjamin bahwa, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek dari proses politik. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan hak tersebut seoptimal mungkin. Walaupun dalam praktiknya, bagi sebagian perempuan masih sulit untuk menggunakan hak tersebut. Namun, sebagai perempuan muda, banyak akses yang memudahkan kita untuk berpartisipasi lebih dari sekadar menyumbangkan suara dalam pemilu. Anak muda sering disebut dengan generasi melek teknologi. Melalui perkembangan teknologi yang begitu cepat, perempuan muda dapat memanfaatkan media sosial (internet) untuk meningkatkan jangkauan yang semakin luas, cepat dan efisiensi komunikasi dalam partisipasi politik. Selain pemanfaatan dalam partisipasi politik, media sosial juga bisa digunakan oleh perempuan muda dalam usaha perjuangan hak-hak perempuan. Semisal, melalui petisi online untuk mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU PRT atau petisi untuk menolak sunat pada perempuan. Referensi Karam, Azza and Julie Ballington. 2005. "Women in Parliament: Beyond Numbers". IDEA International Publications. Parawansa, Khofifah Indah. 2002. Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia. IDEA International Publications. United Nations. 2005.“Women and Elections: Guide to promoting the participation of women in elections”. UN Press. Catatan Belakang: [1] Lihat visi misi dan program aksi Joko Widodo dan Yusuf Kala dalam Pemilu RI periode 2014-2019 [2]Diambil dari "Women's Suffrage: A World Chronology of the Recognition of Women's Rights to Vote and to Stand for Election" di www.ipu.org/wmn-e/suffrage.htm. [3] Lebih lanjut dalam artikel “Perempuan dan Perjuangan Parlementer” di http://www.berdikarionline.com/opini/20140329/gerakan-perempuan-dan-perjuangan-parlementer.html [4]Diambil dari tulisan Khofifah Indar Parawansa, "Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia", yang dimuat di IDEA International 2002. [5]United Nations. 2005. “Women and Elections: Guide to promoting the participation of women in elections”. UN Press. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |