Mendobrak Nilai-Nilai Patriarki Melalui Karya Seni: Analisis terhadap Lukisan Citra Sasmita21/4/2017
Aninda Dyah Hayu Pinasti Putri, Nooryan Bahari, Novita Wahyuningsih, Citra Sasmita (Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Sebelas Maret) [email protected] Pendahuluan Permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupam manusia sangat beragam, diantaranya adalah persoalan tentang perempuan. Hampir semua permasalahan sosial yang ada terjadi pada perempuan. Perempuan menjadi objek perbincangan, perdebatan yang tidak pernah ada akhirnya (Rhode, 1995: 686). De Beauvoir mengatakan perempuan hanyalah makhluk kedua yang tercipta secara kebetulan setelah laki-laki (De Beauvoir, 1989: ix). Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki. Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat. Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki. Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Perempuan kontemporer memiliki kesempatan yang jauh lebih besar tentang persamaan hak dengan laki-laki, terutama bidang-bidang seperti pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial, serta gaya hidup (Macdonald, 2008: 1769). Dekade 90-an merupakan masa ketika perempuan mulai tampil lebih banyak pada sektor publik (pekerjaan formal di luar rumah), lepas dari anggapan bahwa perempuan hanya mampu tampil pada sektor domestik (wilayah rumah tangga) semata. Pemikiran tentang feminisme menjadi salah satu pemikiran penting dalam upaya menyetarakan hak-hak perempuan di masyarakat. Munculnya perubahan kontemporer menjadikan banyaknya perempuan yang bekerja di luar wilayah domestik, seperti perempuan karier yang bekerja di perkantoran, kontraktor, arsitek, bahkan di bidang seni. Dalam bidang seni, tidak begitu banyak perempuan di Indonesia yang memutuskan untuk menggeluti profesi perupa. Hal ini bisa saja disebabkan oleh anggapan masyarakat yang memandang bahwa perempuan berprofesi perupa kurang populer bila dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya. Keberadaan perempuan perupa dalam histori seni rupa selalu diawali dengan ketidakpercayaan medan sosial seni rupa terhadap kemampuan perempuan dalam membuat karya seni rupa. Seni merupakan sesuatu yang abstrak, sulit dijelaskan dan diluar kemampuan mereka untuk mengerti. Seni adalah sebuah proses, seni menciptakan keindahan, seni dapat menjadi ekspresi religius seseorang. Berbicara tentang perempuan tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan sebagai objek seni lebih mendominasi daripada perempuan sebagai subjek seni. Terbukti dalam dunia seni rupa perempuan banyak dipakai sebagai model lukisan yang hanya mengekspose keindahan tubuhnya sehingga dalam karya seni apa yang bisa dipahami dari perempuan hanyalah estetika tubuhnya, tidak termasuk kompleksitas kehidupannya. Beberapa seniman perempuan memilih berkarya bertemakan perempuan (feminism) sebagai wujud eksistensi untuk kaumnya. Tidak hanya sekadar itu, perupa perempuan memilih profesi seniman bisa jadi untuk melawan sistem patriarki atau membawa suara-suara masyarakat yang tidak tersampaikan. Citra Sasmita (perupa Bali) merupakan salah satu contoh perempuan yang menjadi perupa, dan karya-karyanya membahas mengenai kehidupan perempuan. Konsep karya Citra lebih berfokus pada sistem patriarkis pada perempuan dalam adat dan budaya di Bali. Citra berhasil menyeimbangkan antara peran perempuan dalam adat Bali dan berkeseniannya, bahkan menjadikan kodrat perempuan sebagai inspirasi dalam penciptaan karya seninya. Di Bali belum banyak ditemui seniman perempuan, dikarenakan belum banyak perempuan yang bersedia menggeluti profesi perupa sebagai jalan hidupnya. Bagi para perupa perempuan di Bali, kesenian hanyalah dianggap sebagai ekspresi emosional, bukan sebagai medium untuk menunjukkan perlawanan. Selain itu, masyarakat adat Bali kurang mendukung perempuan memilih profesi perupa sebagai jalan hidupnya. Perempuan Bali telah dikonstruksi perannya tidak hanya sebagai ibu dengan kewajibannya mengurus rumah tangga, juga sebagai pekerja adat dimana setiap perempuan yang telah menikah diwajibkan berpartisipasi penuh dalam setiap upacara keagaamaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam pura di desa ataupun pura di keluarganya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan dibalik minim nya minat perempuan berprofesi perupa dikarenakan jika melanggar peraturan adat yang berlaku, maka masih ada sanksi-sanksi yang mengikat perempuan. Perempuan Bali merupakan kaum yang tersubordinasikan kedudukannya secara adat istiadat dalam budaya Bali yang berbentuk patriarki. Menariknya, Citra Sasmita merupakan perupa perempuan dari Bali yang ide-ide karyanya berasal dari kasus-kasus kekerasan, serta analisis dalam ruang sosial yang tidak disadari oleh banyak perempuan, seolah kasus-kasus perempuan di Bali hanyalah persoalan di bawah permukaan. Dalam karyanya Citra Sasmita berusaha untuk membangun kesadaran dan empati bagi perempuan lainnya. Simbol-simbol visual yang digunakan Citra juga dikemas dalam bahasa global, jadi tidak begitu sulit untuk memahami apa maksud dari pesan yang ingin disampaikan Citra melalui karya-karyanya. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan teknik dokumen, teknik observasi, teknik wawancara. Jenis penelitian yang diterapkan dalam pelaksanaan penelitian tentang analisis karya seni Citra Sasmita ini adalah kualitatif deskriptif, data yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kalimat, narasi, uraian, dan berbagai bentuk pemahaman lainnya. Proses analisis data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur, observasi, dan dari dokumen dan arsip. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif model analisis interaktif antara komponen analisis, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan atau verifikasi. Semua data yang diperolah kemudian disimpulkan dan diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Sistem Patriarki dalam Perspektif Seni dan Budaya Patriarki merupakan sebuah sistem otoritas yang berdasarkan kekuasaan laki-laki tersosialisasi melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan ekonomi. Lembaga keluarga dipandang sebagai institusi otoritas sang “Bapak”, dimana pembagian kerja berdasarakan gender. Keluarga sarat dengan muatan-muatan ideologis dan kepentingan kelas yang berkuasa, yaitu laki-laki (Jane dan Helen, 1996:39-40). Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan perempuan, status dan perannya dalam kehidupan sosial, sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan keadaan dan waktu. Dengan begitu kajian terhadap hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan menjadi penting. Laki-laki dan perempuan secara alamiah, biologis dan genetis berbeda, adalah sebuah kenyataan, sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat diubah. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal dengan konsep gender, yaitu beberapa sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural (Mansour, 1997:8). Dominasi laki-laki dalam wilayah publik selanjutnya melahirkan produk-produk budaya yang diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga sosial, dengan begitu mulailah terjadi hegemonisasi patriarki dalam kehidupan sosial, yang kemudian menimbulkan kesadaran perempuan untuk menerima ketidakadilan gender mereka sebagai “kodrat”. Seni rupa sebagai sebuah medan pertemuan proses kreatif merupakan satu sarana yang memberi saluran refleksi tak terbatas dalam melakukan analisa pengolahan tanda-tanda secara produktif. Perupa, khususnya perempuan masih sangat sedikit jumlahnya karena dominasi perupa laki-laki di bidang seni rupa. Namun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali. Bahkan perupa perempuan yang ada telah banyak melahirkan karya seni yang sangat feminis. Dengan adanya sistem patriarki, maka muncul perupa perempuan yang dalam penciptaan karyanya mengkritisi mengenai sistem-sistem patriarki yang dialami oleh para perempuan. Kendati demikian, ada juga sejumlah karya yang menyoal domestik yang cenderung positif. Perempuan seolah dekat dengan sifat keperempuanan; bunga, hangat, mimpi, dan serupanya. Ada semacam korespondensi perempuan dengan sifat alami pada karyanya. Unsur Kritik Seni & Aspek yang Dikritik Dalam melaksanakan kritik seni, terdapat unsur-unsur deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan evaluasi atau penilaian terhadap mutu suatu karya seni. Kritik seni awalnya digunakan untuk menjelaskan makna dari suatu karya seni, kemudian merambah menjadi diskusi bersama dengan suasana yang lebih santai, dan pada akhirnya mengarah pada perumusan pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni. Sebuah karya seni dibuat atau diciptakan bukan sekadar untuk ditampilkan, dilihat dan didengar saja, tetapi harus penuh dengan gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu yang hendak dikomunikasikan penciptanya. Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material, prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisasian dalam mengelola kaidah-kaidah estetis, keunikan bentuk, gaya perseorangan, kreativitas dan inovasi, turut dipertimbangkan. Kaya seni yang baik bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba atau sebuah manifestasi sembarangan. Falsafah hidup merupakan salah satu aspek yang mendasari penampilan suatu karya seni menjadi baik. Falsafah seorang seniman cukuplah falsafah seni yang dijadikan titik pangkal dalam konsep dan artistiknya. Secara psikologis, langkah pertama lahirnya karya seni ialah pengamatan (Bahari, 2008:14-18). Analisis Karya: Citra Sasmita dan Tubuh yang “Mengalami” Citra Sasmita merupakan seniman perempuan kelahiran Tabanan, Bali tanggal 30 maret tahun 1990. Sejak lahir Citra beragama Hindu, tetapi sekitar dua tahun yang lalu telah resmi menjadi mualaf dan menikah dengan pria asal Banyumas, Jawa Tengah bernama Dwi S. Wibowo di tahun 2017. Menempuh pendidikan dan telah lulus dari Universitas Ganesha Jurusan Fisika. Citra telah aktif berpameran sejak tahun 2012. Dalam karier berkeseniannya Citra merupakan seniman yang cukup berpretasi. Karya-karya Citra banyak diilhami atau dipengaruhi dari Bali. Tanpa adanya jarak dengan Bali, Citra melihat kehidupan sosial masyarakat dari yang baik sampai yang terburuk. Dalam proses berkarya, kepuasan Citra bertumpu pada kejujuran dalam mengungkapkan permasalahan sosial (seperti kasus kekerasan dan pelecehan seksual) tentu melalui bahasa seni yang kemudian dapat menjadi mediasi ke ruang lingkup yang lebih luas. Menurut Citra ketika seniman berkarya, secara sadar ataupun tidak, seniman akan mengolah persoalan pribadinya menjadi sesuatu yang mewakili persoalan-persoalan di luar dirinya. Bagaimana karya tersebut memberikan sebuah analisis, rasa ingin tahu atau sebuah diskursus bahwa seniman juga mempunyai cara estetis untuk membawa permasalahan-permasalahan kemanusiaan ke dalam karyanya. Visual perempuan dipilih jangan hanya dianggap sebuah “tema” namun merupakan sebuah “bahasa”. Jika bisa sebuah penyadaran semenjak karya Citra banyak mengangkat isu-isu perempuan dan permasalahan sosial. Maka ide-ide penciptaan Citra berasal dari rasa simpati dan upaya mengungkapkan pengalaman dan gagasan secara jujur mengenai apa yang dilihat dan dialami. Kata kunci kejujuran sebuah karya adalah “mengalami”. Citra Sasmita menghadirkan lukisan tubuh perempuan yang ditumbuhi kaktus. Berjudul “Ab Initio, Ab Aeterno ” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang tanpa awal dan yang tanpa akhir. Citra menggunakan bahasa latin untuk menunjukkan infinity (tanpa batas waktu) dalam kultur patriarki, mempertanyakan kembali kapan sistem itu berawal dan bagaimana sistem itu berakhir. Kaktus merupakan simbol dari phallus (penis) atau maskulinitas. Bagi Citra, patriarki merupakan permasalahan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Karya ini merupakan potret dari diri Citra Sasmita itu sendiri, bagaimana mecoba mencari tahu awal terciptanya konsep purusa dan pradana. Konsep purusa yang disimbolkan dengan phalus dan pradana yang disimbolkan sebagai rahim, sudah ada dalam kebudayaan Hindu kuno yang menggambarkan seksualitas dan mitos penciptaan. Di Bali, setiap keluarga mempunyai pura merajan yang menjadi simbol penyatuan keduanya, ini merupakan filosofi adiluhung yang juga menggambarkan adanya kesetaraan gender. Adanya oposisi biner antara konsep filosofi yang adiluhung tersebut dengan sikap mental masyarakat, seolah agama dan kearifan lokal telah gagal membentuk rasa kemanusiaan pada masyarakatnya. Patriarki dibawa oleh pengaruh kolonialisme yang diperkuat oleh feodalisme kerajaan di Bali, kolonialisme berperan penting dalam membentuk kultur Bali sehingga ritual dan upacara yang kaya akan nilai-nilai kebijaksanaan seolah tidak dipakai lagi sebagai pedoman hidup, hanya sebagai seremonial untuk menghibur orang-orang asing. Dalam kultur patriarki di Bali selalu berfokus terhadap kuasa phalus, dan vulva hanya sebagai objek, inilah pengaruh kolonialisme tersebut, konsep phalus dan vulva dianggap dalam oposisi biner, dimana proses penyatuan diabaikan, itulah perbedaan antara kultur barat dan timur. Ada raut kesedihan di wajah perempuan dalam lukisan ini, figur perempuan menahan rasa sakitnya karena memotong satu persatu kaktus yang tumbuh dari tubuhnya, maka seperti itulah sistem patriarki, senantiasa ada dalam masa pertumbuhan anak selama hidupnya. Karya berjudul torment dalam bahasa Indonesia mempunyai arti azab atau kesengsaraan. Karya ini menceritakan tentang stigma atau noda atau kecacatan yang selalu dialamatkan kepada perempuan. Simbol babi dipakai karena kedekatan masyarakat Bali dengan hewan yang satu ini. Babi adalah salah satu hewan yang diternak oleh masyarakat Bali dan menjadi sarana upakara. Karena sifat yang dimiliki babi sangat mirip dengan sifat buruk manusia, misalnya jorok, pemalas, angkuh, kasar, pelit, bodoh dan rakus. Isu sosialnya yaitu mengenai persoalan stigma buruk terhadap perempuan. Di Bali khususnya, mengapa perempuan tidak mempunyai daya tawar dalam kehidupan sosial itu dikarenakan ada nilai-nilai sosial yang mengikat. Jika seorang perempuan melanggar nilai-nilai tersebut maka dia akan dinilai “tercela”. Maka perempuan memilih untuk tidak terlalu aktif dalam ruang publik, dan hanya berkutat dalam sektor domestik, untuk mengurangi resiko bergesekan dengan lingkungan sosial yang riskan memberikan stigma untuknya. Contohnya, perempuan Bali yang tidak bisa punya anak pasti akan mendapat stigma buruk “mandul” oleh masyarakat, padahal yang mandul bisa saja suaminya. Kemudian perempuan yang tidak bisa mendapatkan anak laki-laki untuk meneruskan hak waris sebuah keluarga, akan mendapat stigma buruk juga, karena melahirkan anak perempuan dianggap tidak ada nilainya dan posisi perempuan dalam keluarga tersebut juga akan terancam, bisa diceraikan atau dimadu. Maka seorang perempuan bisa tidak peduli telah melahirkan banyak anak, sampai akhirnya mendapatkan anak laki-laki. Karya berjudul Dis Manibus Sacrum (In memoriam of) yang selalu dikenang. Dis Manibus Sacrum berasal dari bahasa latin, dalam bahasa Indonesia mempunyai arti para dewa yang kudus. Kata Dis Manibus Sacrum dapat dijumpai pada nisan orang Kristian Romawi. Konon banyak puisi yang menceritakan kematian ibu-ibu usia muda yang diukir dalam nisannya. Dis Manibus Sacrum disingkat menjadi D.M.S yang menjadi awalan dalam puisi. Dalam karya ini Citra menceritakan bahwa pengalaman maternal (keibuan) hanya dianggap sebagai pengalaman biologis, padahal lebih dari itu. Karya ini mencoba menceritakan bagaimana perjuangan seorang ibu saat melahirkan bayi. Tidak sedikit peristiwa melahirkan menjadi taruhan nyawa antara sang ibu dan bayi yang dilahirkan, dan akhirnya banyak ibu muda yang tidak kuat secara fisik menjadi korban (meninggal dunia). Citra kembali mevisualkan kaktus sebagai simbol dari phalus atau purusa, perempuan dalam karya ini terlihat melahirkan seorang bayi kaktus. Dalam masyarakat Bali, keturunan terutama anak laki-laki sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri, sebab dari anak laki-lakilah digantungkan harapan-harapan, seperti menjadi penerus generasi. Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat kuat dianut suatu kepercayaan bahwa keberadaan keturunan (laki-laki) dalam keluarga sangat penting untuk membebaskan roh leluhur dari kawah neraka dan mengantarkannya menuju alam surga. Kepercayaan ini diilhami dari kisah yang diceritakan dalam kitab Adiparwa. Dalam karya ini sesungguhnya bagaimana menggambarkan penghormatan kepada seorang ibu, kenapa D.M.S yang identik dengan nisan, secara visual rahim ibu yang digambarkan juga identik dengan bentuk nisan. Mengenang kembali rasa sakit ketika melahirkan anak, juga sama halnya mengenang rasa sakit kematian seorang ibu. Kesan pertama yang didapat setelah melihat karya ini yaitu keseraman yang dimunculkan dari wajah perempuan dalam lukisan. Mata berwarna hitam pekat ini menjadi faktor utama lukisan ini terlihat seram. Tangannya yang membawa gunting dan akan memotong lidahnya sendiri memunculkan unsur sadisme didalamnya. Karya Citra ini mencoba mengkritisi permasalahan mengenai manusia-manusia yang menggunakan lidahnya untuk berbicara hal-hal yang dapat menyakiti hati orang lain, atau bahkan membicarakan keburukan manusia lain dengan seenaknya, karya ini juga membicarakan stigma sosial. Untuk apa mempunyai lidah jika tidak bisa digunakan untuk berbicara baik, bukankah lebih baik memotong lidahnya sendiri untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu. Dalam karya ini terdapat coretan kata yang menarik perhatian yaitu “pray for us, sinner” yang mempunyai arti berdoa untuk orang yang berdosa. Jika tidak bisa menghentikan mulut-mulut penuh dosa, maka lebih baik mendoakan saja agar manusia jahat seperti ini diberi kesadaran untuk menghentikan tabiat buruknya. Jika perempuan pada umumnya berlomba-lomba mempercantik tubuh dan kulitnya agar terlihat cantik hingga masa tua dan melupakan kemungkinan-kemungkinan bahwa semua tidak ada yang abadi. Jika bertambah umur, sudah pasti tubuh dan kulit akan bertambah tua. Organ tubuh bisa saja bertambah rapuh, dan kulit bertambah keriput. Bagi Citra keindahan tubuh perempuan terletak pada kekuatan perempuan menikmati kesakitannya. Perempuan yang cantik sempurna adalah perempuan dengan rasa tenang menikmati waktu yang terus berjalan, membiarkan tubuh indahnya tumbuh melawan waktu. Tanpa rasa takut akan fakta-fakta bahwa menjadi keriput,tua dan sakit itu adalah sesuatu hal yang pasti. Karya ini bisa saja mengkritik para perempuan yang rela menyakiti tubuhnya demi mendapatkan tubuh yang indah. Misalnya yang sedang menjadi trend saat ini yaitu sulam alis, sulam bibir, tanam benang, memperbesar payudara dan pantat, yang lebih ekstrim yaitu operasi plastik. Semua treatment dilakukan demi mendapatkan tubuh dan kulit yang indah dan abadi hingga masa tua. Sesungguhnya yang diperjuangkan itu hanya sesuatu hal yang sia-sia. Karena tubuh ini sesungguhnya milik pencipta-Nya dan harus kembali dengan kondisi yang sama. Diamati dari sudut pandang personal, karya ini merupakan potret diri Citra dan suaminya. Dalam karya ini mengumpamakan bahwa Citra tidak mempunyai mata dan suaminya tidak mempunyai bibir. Bagaimana bisa jika pasangan yang satu tidak mampu melihat dan yang lain tidak mampu berbicara, dapatkah mereka berkomunikasi. Tetapi tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini, segala upaya dapat dilakukan. Hanya kepercayaan, saling memahami dan keyakinan yang mampu mempermudah cara berkomunikasi Citra dan suaminya. Citra tidak mempunyai mata, namun masih sanggup mendengar dan berbicara, masih mampu menangkap informasi yang didengar, kemudian menceritakan pada suaminya. Disisi lain, sang suami tidak mampu berbicara, namun masih mampu mendengar dan melihat. Yang menjadi masalah bagaimana sang suami berkomunikasi dengan Citra, dengan bercerita sudah tidak mungkin bisa, dengan cara ditulis juga akan sulit karena Citra tidak bisa melihat, mungkin bisa saja jika Citra mahir membaca huruf braille. Ada yang menarik perhatian, yaitu pada rambut keduanya yang terlihat menyatu dan terikat selamanya, seperti ada sesuatu yang ingin dijelaskan Citra dan suaminya. Ikatan atau chemistry yang terjalin diantara keduanya telah menjadikan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing lebih mudah untuk dipahami. Apa yang menjadi kekurangan pasangan, maka itulah yang menjadi kelebihan pasangannya, saling menerima dan memahami adalah kunci utama setiap pasangan. Karya ini juga merupakan apropriasi karya performance Marina Abramovic dan Ulay “Relation in Time”. Menggambarkan bagaimana sebuah relasi itu bisa bertahan lama. Sama halnya dengan relasi sosial, jika seseorang telah mempunyai tubuh yang utuh, maka dia akan menjadi orang yang individualis. Dalam sebuah relasi, seseorang bisa menjadi mata bagi orang lain dan mulut “mediasi” untuk orang lain. Hanya dengan relasi tersebut seseorang bisa menjadi lebih sosialis. Penutup Beberapa orang bisa saja menilai karya Citra provokatif, menyeramkan dikarenakan mengeksploitasi tubuh perempuan, tetapi jika ditelusuri alasan mengapa seniman membuat karya ini bisa dianggap wajar dikarenakan seniman memang mempunyai cara atau gaya berkeseniannya masing-masing, bahkan banyak perupa perempuan yang eksplorasi tubuhnya sendiri. Tetapi tidak hanya sembarang mengekplorasi kelaminnya, butuh menganalisis terlebih dahulu apa yang menjadi latar belakangnya. Citra sendiri beranggapan bahwa rasa malu yang dialami perempuan ketika melihat kemaluannya sendiri merupakan konstruksi dari masyarakat patriarkis. Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Karya-karya Citra memang dibuat untuk mengkritik kultur patriarki yang berkembang di budaya Bali. Citra Sasmita juga mengungkapkan persoalan tentang sikap mental masyarakat patriarki yang mensubordinasi kaum perempuan. Sebagai seniman perempuan asal Bali, Citra mengaku mengalami masalah ganda karena di satu sisi ada sikap mental masyarakat patriarki dan di sisi lain adanya pengkotak-kotakan orang berdasarkan kastanya masing-masing. Objek-objek visual yang digunakan Citra sangat erat kaitannya dengan simbol-simbol dari adat Bali dan patriarki. Seperti visual kaktus, merupakan bahasa visual Citra dalam menyampaikan konsep purusa dan pradana. Purusa atau phalus, sedangkan visual vagina menyimbolkan pradana (rahim), konsep purusa dan pradana berasal dari Hindu Bali dan karena kedua simbol itulah penciptaan keturunan manusia bisa terjadi. Tetapi kedua simbol ini disalah artikan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki, pada kasus ini perempuan hanya dianggap objek kepuasan pria sebagai objek atau tanah untuk pembibitan dalam proses penciptaan keturunan manusia. Kaktus mewakili simbol dan bentuk phalus, tetapi bukan sebagai kebendaannya yaitu penis, arti phalus lebih ke phalogosentrisme atau sifat dominasi dalam kaitannya dalam kultur patriarki, dengan dilengkapi psikoanalisa Freud tentang phalogosentrisme yang memuliakan penis dan meminggirkan vagina. Duri pada kaktus merupakan metafora kesakitan yang dialami perempuan dari dominasi sistem patriarki itu sendiri, dominasi yang dimaksud bagaimana kekuasaan itu berpusat dan perempuan yang lemah selalu tersiksa oleh yang kuat. Pesan yang ingin disampaikan Citra kepada perupa perempuan yaitu berkaryalah tanpa ada kata “perempuan” dalam prosesmu. Bahwa kesenian menawarkan kesetaraan dalam dunia gagasan di dalamnya. Karyamu adalah penentu nasibmu, maka percayalah bahwa mereka adalah bentuk kemerdekaanmu untuk terlepas dari hierarki sosial dan ketimpangan persepsi antara pria dan perempuan. Berkarya bukan permasalahan apakah perempuan atau pria, tetapi tentang ide yang dibawa dalam setiap penciptaan karyanya apakah sudah mampu memberi dampak baik pada penikmatnya. Membawa gagasan yang dapat diterima masyarakat dan memberikan suatu perubahan positif. Menjadi perempuan adalah suatu takdir yang pantas untuk dibanggakan. Daftar Pustaka: Abdullah, Dr.Irwan. (2006). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bahari, Nooryan. (2008). Kritik Seni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beauvoir, Simon De. (1989). The Second Sex. Vintage, New York. (Terjemahan oleh: Toni B. Febriantono, Nuraini Juliastuti.2003. Pustaka Promethea). Bhasin, Kamla. (1996). Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan Kalyanamitra. Fakih, Mansour. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Habsari, S.K. et al. Representasi Dominasi Perempuan Dalam Rumah Tangga: Feminisme Atau Patriarki?. Makalah pada Jurusan Sastra Inggris FSRD UNS, Surakarta. Kutha, Ratna, N. (2010). Metodologi Penelitian: Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Iicul. (2010). Melihat Perempuan Dalam Seni Rupa. http://www.kompasiana.com/iiculyogya/melihat-perempuan-dalam-seni-rupa_54fffa03a33311bf6e501844.Html (Diakses pada 26 September 2016). Macdonald, M. (2008). Feminity and Feminine Values dalam Wolfgang Donsbach (editor) International Encyclopedia of Communication: 17641769. Malden: Blackwell Publishing. Mantra, Gayatri. (2017). Kekerasan Ideologi Patriarki pada Perempuan Bali. http://www.balisruti.com/kekerasan-ideologi-patriarki-pada-perempuan-bali.html (Diakses pada 19 februari 2017). Ollenburger, J.C. (1996). Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta. Sasmita, C. (2015). Metanarasi Perempuan dalam Seni Rupa. https://thebeatbali.com/art/whose-canvas-citra-sasmita/ (Diakses pada 26 Oktober 2016) Sasmita, C. (2016). Whose Canvas: Citra Sasmita. https://thebeatbali.com/art/whose-canvas-citra-sasmita/ (Diakses pada 26 Oktober 2016) Walby, Sylvia. (1990). Teorisasi Patriarki. Yogyakarta: Jalasutra. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |