Ki and Ka. Judul film ini sesederhana perspektif yang dibangun didalamnya. Dalam bahasa Hindi Ki berarti dia (laki-laki) dan Ka berarti dia (perempuan). Dalam film ini, Ki dan Ka merujuk pada dua karakter utama yang menjadi fokus dari pesan film. Ki adalah karakter utama perempuan dan Ka merupakan karakter utama laki-laki. Kia dan Kabir. Di seperempat jalannya film, rasanya seperti menemukan diri saya dalam karakter Ki. Tentu, bukan dalam raga jasmani Kareena Kapoor. Kemiripan itu saya temukan pada penokohan watak Ki sebagai perempuan ambisius yang menggugat pembagian kerja tradisional dalam wilayah keluarga. Sebagai anak yatim yang tumbuh dan berkembang bersama seorang Ibu pekerja sosial sekaligus kepala rumah tangga, Ki tumbuh menjadi seorang dewasa mandiri yang menaruh ambisi pada karier pribadi. Menganggap pernikahan serupa panoptikon yang mematikan seluruh mimpinya, menganggap kebanyakan laki-laki adalah pengecut, karena tidak berani melihat kekasih atau pasangannya mampu sukses atau lebih sukses darinya. Sementara pada karakter Ka, saya seperti melihat sosok Ayah saya, meskipun tidak seberhasil Ka dalam karier domestiknya. Ka tumbuh bersama seorang Ayah dengan reputasi dan karier cemerlang. Di usia yang sama seperti Ki, konon ibu Ka meninggal. Latar belakang yang berbeda membuat Ki dan Ka bertolak belakang. Tidak seperti Ki yang ambisius tentang pencapaian dalam hidup, sebagai anak semata wayang dari kontraktor besar yang memiliki separuh wilayah Bombay, Ka justru menentang kemapanan. Ia tak menaruh hasrat pada bisnis Ayahnya dan menganggap orang-orang semisal Ayahnya serupa robot perusahaan yang menghabiskan waktu hanya untuk mempersiapkan mati di rumah sakit swasta mahal. Ka bercita-cita ingin menjadi seorang seniman seperti Ibunya. Seorang ahli dalam seni merawat dapur, membesihkan rumah dan merawat anak, sebuah pekerjaan yang orang-orang sebut Ibu rumah tangga. Menonton film ini sambil berpegang teguh pada seksisme, justru akan membawa kita pada kesimpulan yang misoginis, seperti mempromosikan gender namun dengan memberi bumbu antagonis pada perempuan. Mendevaluasi nilai perempuan dalam segi moral. Awalnya saya pun berpikir demikian. Namun, di akhir film, melalui dialog yang dibangun tokoh Kia dan Ibunya, saya memahami bahwa fokus utama film ini adalah pada pembagian peran domestik dan publik dalam sebuah institusi keluarga. Terlepas dari apakah perempuan atau laki-laki yang berada di wilayah domestik, ia akan selalu dipandang sebagai nomor dua. Jadi, yang perlu diperbaiki adalah penilaian kita terhadap peran tersebut. Film ini menyampaikan kritik terhadap peran domestik yang dianggap rendah, terlepas siapa pihak yang berposisi di ranah tersebut. Baik Suami atau Istri yang berada di wilayah produksi, ia akan merasa superior. Melalui penokohan Ka, film ini seolah ingin mengangkat derajat pekerjaan domestik, mengapresisasi kinerja yang dikonstruksi oleh budaya menjadi lahannya perempuan. Tidak hanya sekadar menghibur hati para pekerja rumah tangga, film ini juga berusaha menunjukkan keberpihakannya pada upaya pembebasan perempuan dari label domestik, melalui narasi Jaya Bachchan, yang diantaranya berbunyi “..kau adalah sumber inspirasi. Aku harap akan ada lebih banyak Kia lainnya di dunia ini." Selain itu, film ini mengungkapakan bahwa pola pengasuhan sangat mungkin memengaruhi perilaku si anak. Feminin atau maskulinnya seorang individu ditentukan oleh pola pengasuhannya. Ka yang sempat dibesarkan oleh seorang Ibu (rumah tangga) menjadi begitu feminin. Sementara Kia yang dibesarkan oleh seorang Ibu pekerja keras, berwatak begitu maskulin. Sebagai perempuan yang sedari kanak menyaksikan peran Ibu sebagai pencari nafkah keluarga dan Ayah sebagai pengelola rumah tangga, saya membenarkan asumsi dalam film ini, bahwa pihak yang memproduksi kapital senantiasa merasa superior. Saya pun merasa memiliki kecenderungan seperti tokoh Kia. Saya juga menyepakati bahwa untuk menjadikan anak-anak kita memiliki watak ideal sehingga tidak didominasi salah satu watak yang dipandang dikotomis (feminin vs maskulin) adalah dengan pengasuhan yang adil. Itulah mengapa pengasuhan disebut parenting, bukan mothering, karena tidak ada istilah fathering. Film ini pada akhirnya dapat bermuara pada pemahaman bahwa upaya pembebasan bukanlah pada menolak pernikahan hanya karena budaya telah mengkonstruksi maknanya untuk menghalalkan praktik persenggamaan dan mengakibatkan perempuan sebagai pihak yang dibebani agenda domestik. Justru, perjuangan seharusnya jatuh pada merebut (jika bukan meluruskan) makna konsep pernikahan ke arah yang humanis. Dalam film ini, upaya pelurusan tersebut diadakan. Namun, sayang sekali, film ini masih bermuara pada kedangkalan perspektif gender yang secara mainstream diimani. Hal ini dapat dilihat pada adegan Kia yang berang kala mendapati dirinya hamil. Sang sutradara, R. Balki, seolah-olah meyepakati pandangan bahwa memiliki anak biologis adalah hal yang mengerikan untuk sebuah pencapaian karier perempuan. Tidak mengherankan sebenarnya, karena jika diamati sedari awal, feminisme liberal memang menjadi landasan bangunan cerita dalam film ini. Dengan begitu, upaya pelurusan makna konsep pernikahan dalam film ini sebenarnya tidak tuntas. Sebab tidak ada upaya menarik pemahaman mengenai konsep pernikahan pada prinsip kesejahteraan kolektif, padahal pranata pernikahan adalah sebuah mekanisme distribusi tanggung jawab perawatan generasi, bukan semata perihal hasrat yang disakralkan. Melalui konsep pernikahan, mekanisme merawat generasi diatur menjadi tanggug jawab setiap pasangan, bukan tersentralistik pada satu institusi makro, yakni negara. Negara idealnya akan berperan dalam menjamin keberlangsungan mekanisme pengasuhan tersebut, sifatnya sistemik melalui kebijakan politik. Misalnya menjamin hak, tanggung jawab dan kemerdekaan masing-masing pihak pasangan dalam relasi pernikahan, sehingga tanggung jawab parenting terlaksana secara adil. Karena aktivisme sejarah tentu tidak berakhir seiring dengan berakhirnya usia seseorang. Maka menjamin kualitas generasi mendatang demi melanjutkan peradaban adalah bagian dari rekayasa sosial. Jika para feminis hari ini memperjuangkan seksualitas melulu hanya seputar otoritas subjek terhadap tubuhnya dengan bersikap naif pada dimensi bermasyarakat, kebebasan HAM senantisa bermuara pada kebebasan individu semata. Disitulah paradigma liberal (yang juga menjadi akar dari kapitalisme) tumbuh secara diam-diam. Maka, pandangan mengenai upaya perjuangan HAM perlu ditarik menuju ruang kolektif, tidak tunggal pada kemerdekaan individu-subjek. Dalam film ini, kita memang tidak menemukan upaya penarikan menuju ruang kolektif tersebut. Film ini murni mewakili pandangan feminis perspektif liberal, yang memusatkan agen pada individu, bukan kelas. Siapa yang kuat ia yang mampu bertarung. Namun, sebagai sebuah karya modern yang lahir ditengah karya-karya berlumur drama, fantasi dan kecanggihan teknologi tapi tanpa kritik sosial, film ini layak diapresiasi. Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia yang terletak di Kalimantan Barat. Tetapi sungguh disayangkan, berbagai aktivitas masyarakat yang tidak ramah lingkungan menyebabkan air Sungai Kapuas sudah tidak sehat lagi. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi sebagian masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Sungai menjadi tempat perempuan melakukan berbagai aktivitas seperti mencuci, mandi, memasak, dan lainnya. Namun di sisi lain, mereka mengabaikan air sungai yang sudah tercemar akibat limbah industri dan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin). Limbah berbahaya mencemari air sungai, tapi masyarakat beraktivitas seperti biasa, pemerintah pun bersikap biasa saja. Seakan-akan kondisi air sungai tidak berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sungai Kapuas sudah tercemari zat kimia merkuri, limbah pabrik, bakteri coli, dan terdapat indikasi tercemar pestisida dari perkebunan.[i] Anak-Anak dan Sungai Suatu ketika saya memiliki kesempatan untuk tinggal bersama keluarga yang sudah cukup lama mendiami wilayah bantaran Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Sebut saja Ibu Alya dan Pak Umin, yang memberikan tumpangan rumah kepada saya selama seminggu di Kota Pontianak. Anak-anak bermain air dengan riang gembira, menggunakan pelampung dari ban dalam bekas mobil. Mereka tertawa lepas, tanpa tahu mereka berenang di atas limbah racun. Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok paling rentan terkontaminasi racun berbahaya dari air sungai. Suami dan ayah mereka mencari ikan di sungai untuk dimakan. Ikan-ikan sudah terkontaminasi racun limbah yang berbahaya, dan dikonsumsi oleh mereka sekeluarga. Sementara ibu-ibu menyusui anak-anak mereka, bayi mereka ikut terkontaminasi racun limbah seperti merkuri. Hal ini sangat serius, pembiaran perusakan hutan oleh perusahaan tambang tanpa pengelolaan limbah yang baik sama saja membunuh generasi yang tiada berdosa. Hampir di setiap aliran Sungai Kapuas terdapat perempuan dan anak-anak yang (bertahan) hidup dalam keterbatasan. Mereka berburu ikan untuk makan, tanpa mengetahui ikan telah tercemar oleh zat kimia berbahaya. Mereka beranggapan bahwa ikan itu masih segar karena baru saja ditangkap. Secara tidak langsung, keluarga pengonsumsi ikan terkontaminasi oleh zat berbahaya. Belum lagi anak-anak suka berenang, tanpa sengaja menelan air sungai. Sedikit banyak zat kimia masuk ke dalam tubuh si anak. Anak-anak Bu Alya, sangat suka bermain air di sungai. Kulit mereka dekil dan hitam, bagian kaki terdapat bercak koreng. Hal itu karena kebiasaan anak-anaknya yang tidak mandi menggunakan sabun. Atau setidaknya mereka tidak dapat membilas badan mereka dengan air bersih, karena tidak ada. Kebiasaan anak-anak yang tidak dipantau ini, tumbuh terus-menerus, sehingga kuman penyebab penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh anak-anak. Ditambah lagi, karena Bu Alya dan Pak Umin sibuk bekerja, maka sedikit waktu untuk memantau anak-anak mereka. Keluarga, Perempuan dan Limbah Saya tinggal bersama sebuah keluarga di pinggiran sungai Kapuas. Rumah mereka adalah rumah sewa, bukan rumah milik pribadi. Mereka warga asli, memiliki KK (Kartu Keluarga) asli, tetapi tidak memiliki rumah permanen. Terdapat tiga anak di tengah keluarga itu, yang tertua kelas satu SMP, dan dua orang lagi masih duduk di bangku SD. Pak Umin bekerja sebagai sopir dan istrinya bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sedangkan anak tertua mereka, yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), bekerja sambilan sebagai buruh cuci. Rumah mereka berdiri di atas air, jika Sungai Kapuas pasang. Sehingga toiletnya langsung mengalir ke sungai. Kondisi ini adalah kondisi umum bagi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Kapuas, hampir setiap rumah memiliki toilet yang langsung mengalir ke sungai. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, sebagai antisipasi pencemaran limbah rumah tangga di Sungai Kapuas. Limbah rumah tangga seperti detergen untuk mencuci pakaian, toilet, dan sampah-sampah rumah tangga menjadi penyumbang atas pencemaran air di Sungai Kapuas. Peringatan tanpa disertai dengan solusi tidak akan membangun kesadaran masyarakat. Buang Air Besar (BAB) di sungai merupakan kebiasaan masyarakat di pinggir sungai yang sulit untuk di ubah. Namun, saya yakin jika masyarakat difasilitasi dengan one family one toilet, kemudian dibekali dengan pemahaman kesehatan, masyarakat akan mengubah kebiasaannya. Sore itu anak-anak masih bergumul dengan air pasang, mereka senang sekali bermain air dikala pasang. Mereka masih sangat polos, tak kurang dari sepuluh orang jumlahnya. Sedangkan bapak-bapak ada yang sedang memasang pukat, ada pula yang menebar jala. Untuk apa lagi kalau bukan mencari ikan buat lauk keluarga mereka. Saya masih duduk di muka pintu, menikmati sunset yang mulai turun meninggalkan bumi khatulistiwa. Isu perempuan dan isu lingkungan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipandang secara terpisah. Isu lingkungan juga merupakan isu feminis, dalam hal ini ekofeminis. Karena opresi terhadap alam sama dengan opresi terhadap perempuan. Sebagaimana diungkapkan Greta Gaard, “ecofeminists have described a number of connections between the oppressions of women and of nature that are significant to understanding why the environment is a feminist issue”.[ii] Bu Alya tidak tamat SD (Sekolah Dasar), begitu pula dengan Pak Umin. Bu Alya masih cukup kuat membantu suaminya bekerja, menopang perekonomian keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. “Yang terpenting, anak-anak saya bisa bersekolah” ucapnya. Mental fight to survive sudah tertanam dalam diri mereka sehingga mereka mampu bertahan hidup di kota, dengan penghasilan seadanya. Sekilas keluarga mereka tampak bahagia hidup dalam kesederhanaan, namun di balik itu terdapat perjuangan dan mimpi untuk generasi dan anak-anak mereka. Tidak ada akses air bersih di rumah mereka, padahal air sungai menjadi tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Tetapi mandi, mencuci sayur, mencuci pakaian mereka lakukan menggunakan air sungai yang kondisinya bau dan tidak layak—mereka tergantung pada air limbah (sungai). Rata-rata masyarakat di bantaran sungai tidak memiliki akses air bersih. Hanya untuk minum mereka membeli air galon isi ulang seharga Rp 6.000 per galon. Imbauan pemerintah hanya sebatas “jangan membuang sampah di sungai”, tetapi tidak mengimbau untuk jangan menggunakan air sungai, tentu diikuti dengan solusi yang implementatif. Perempuan yang hidup di bantaran sungai, seolah-olah sudah terbiasa dengan kondisi hidup mereka, tanpa mereka menghiraukan akibat-akibat yang timbul terhadap keluarga mereka. Kemiskinan sebenarnya lebih dari sekadar rendahnya konsumsi dan minimnya pendapatan, gambaran yang lebih mendalam mengenai orang miskin adalah bahwa mereka adalah orang yang cenderung tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, bahkan lulus sekolah dasar saja sudah merupakan suatu keistimewaan, apalagi memiliki keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.[iii] Masyarakat miskin di wilayah perkotaan, bukan perkara memiliki penghasilan rendah semata, melainkan akses masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup. Catatan belakang: [i] Pencemaran di Hulu Hingga Hilir, di akses tanggal 13 September 2016 dari: http://nasional.kompas.com/read/2008/09/17/10331232/pencemaran.di.hulu.hingga.hilir [ii] Gaard, G (ed.) 1993, Ecofeminsm: Women, Animals, Nature, Temple University Press, Philadelphia. [iii] Stamboel, K A 2012, Panggilan Keberpihakan: Strategi Menangani Kemiskinan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dua kali Jumat, berturut-turut saya menyaksikan pementasan drama dalam rangka ujian akhir mahasiswa teater ISBI Bandung. Yang sungguh menarik minat saya untuk tidak melewatkannya adalah lakon yang diperankan merupakan karya Putu Wijaya Bila Malam Bertambah Malam dan Nyai Ontosoroh mengambil kisah dari Roman Pramoedya Ananta Toer yang disadur oleh Faiza Mardzoeki. Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya bercerita tentang kehidupan di Bali pada masa setelah perang puputan. Gusti Biang sebagai tokoh utama adalah seorang janda ningrat yang keras, sesekali angkuh karena keningratannya. Angkuhnya bukan karena keinginan tapi karena kebutuhan untuk terus dihargai. Mungkin itu salah satu cara Gusti Biang mempertahankan hidupnya. Berbeda dengan Gusti Biang, Nyai Ontosoroh, tokoh dalam roman Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer adalah seorang gadis desa yang dijual bapaknya untuk menjadi Nyai Tuan Mellema seorang Belanda tulen. Dendam pada orang tuanya dan pengetahuan barunya akan hal-hal yang berbau Eropa menyebabkan Nyai Ontosoroh menjadi sosok perempuan Jawa yang berbeda pada masanya. Kuat, keras, cerdas, cekatan dan tangguh. Terdapat kesamaan antara tokoh Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh, keduanya berperan dominan sebagai perempuan. Perempuan yang biasanya hanya sebagai pelengkap dalam rumah tangga, pada diri Gusti Biang dan Ontosoroh perempuan berwujud menjadi pengatur dan inti dari rumah tangga. Tentang kisah cinta yang terjadi pada Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh nyaris serupa. Mereka berpasangan dengan seseorang yang tidak dicintainya. Cinta sejati Gusti Biang sebenarnya adalah Wayan, laki-laki sudra yang rela mengorbankan segalanya untuk Gusti Biang bahkan Wayan tidak menikah sampai tua. Hanya karena keningratan suaminya yang membuat Gusti Biang bertahan dari perkawinannya. Begitupun dengan Nyai Ontosoroh meski dalam romannya tidak ada cerita tentang cinta sejatinya, tetapi perkawinan dengan Tuan Mellema adalah sebuah proses jual beli, paksaan bukan dengan sepenuh hati. Kekayaan dan kebaikannya lah yang membuat Nyai bisa menjalani hidup barunya bersama Tuan Mellema. Tetapi tentu ada juga perbedaan yang sangat mencolok. Gusti Biang terlahir sebagai ningrat dan kaya, ditambah lagi dengan harta warisan kekayaan suaminya. Gusti Biang mungkin tak mempunyai dendam masa lalu pada latar belakang kehidupannya. Hidupnya sudah cukup beruntung, tak perlu bekerja keras untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Sedangkan Nyai Ontosoroh adalah sosok pekerja keras. Dia beranggapan semua yang didapatnya adalah hasil kerja kerasnya bekerja siang dan malam di rumah dan di dalam perusahaan Tuan Mellema: “Tuan mulai membayar tenagaku, juga dari tahun-tahun yang sudah” (Toer 2006, hal 96). Hal seperti itu dilakukan nyai, karena nyai khawatir dengan masa depannya sendiri. Nyai paham benar bahwa dia hanyalah gundik yang tidak bisa mendapatkan sedikitpun hak atas suami, perusahaan dan anaknya. Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh bisa menjadi potret perempuan masa lampau yang tinggal di Bali ataupun di Jawa. Perempuan yang tidak bisa memilih cintanya, yang hidupnya ada di tangan orang tua dan suaminya. Meskipun mereka hanyalah tokoh fiktif bisa jadi mereka sebenarnya nyata. Sosok perempuan yang selalu digambarkan lemah, tak berdaya, di bawah kungkungan suami, harus taat pada adat dan agama itu semua seolah-olah didobrak oleh Nyai Ontosoroh. Mungkin kita terlalu besar dengan cerita RA Kartini dengan sistem feodalisme Jawa yang ketat. Tetapi jika kita mau menengok sekilas saja pada cerita perempuan dari masa ke masa maka kita akan menemukan banyak perempuan hebat. Misalnya saja Ken Dedes yang hidup pada awal abad ke-13 dan Dewi Mundingsari anak perempuan kedua Raja Pajajaran yang digambarkan sebagai “Kedua perempuan itu begitu ‘panas’–dalam arti magis–bahwa vaginanya bercahaya, dan hanya lelaki dengan kekuatan gaib bisa menikahinya” (Brandes 1897 dikutip dalam Carey & Houben 2016, hal. 9). ‘Panas’ mempunyai arti perempuan terpilih di antara kaum Hawa. Karena ceritanya yang sangat lokal lakon Bila Malam Bertambah Malam pantas dipentaskan berulang kali, terus dieksplorasi dan diapresiasi. Memerankan sosok Nyai Ontosoroh tentu merupakan tantangan tersendiri. Karena Nyai Ontosoroh tak bisa dilepaskan dari romannya yang besar ditambah kemelekatan dengan penulisnya sosok sastrawan hebat Pramoedya Ananta Toer. Bibliografi Carey, P & Houben, V 2016, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Bandel, K 2006, Sastra, Perempuan, Seks, Jalasutra, Yogyakarta. Wijaya, P 2007, Bila Malam Bertambah Malam, cetakan ketiga, Pustaka Jaya, Bandung. Toer, PA 2006, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, Jakarta. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |